• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4.2 Kerusakan Terumbu Karang Akibat Kegiatan Manusia

2.4.2.2. Karena kegiatan non-pariwisata

Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa aktivitas manusia yang berdampak negatif terhadap kondisi terumbu karang yaitu:

• Polusi minyak karena penambangan lepas pantai dan kapal minyak, menyebabkan degradasi terhadap karang dan organisme yang hidup di terumbu karang. Selain itu, petroleum hydrocarbon (PHC) mengganggu pertumbuhan karang, reproduksi, kemampuan mengkolonisasi, makan dan respon tingkah laku.

• Sedimentasi dari penggalian, penambalan dan kegiatan konstruksi di pantai. Sediment yang terlalu banyak mungkin berdampak merugikan fungsi dan struktur komunitas terumbu karang melalui perubahan proses fisika, kimia dan biologi. Sediment meningkatkan kekeruhan pada kolom perairan yang mengurangi penetrasi cahaya dan fotosintesis Zooxanthellae, hal tersebut secara langsung berdampak pada produktivitas bersih dari karang. Sedimentasi juga menyebabkan penutupan terhadap karang dan organisme bentik lainnya. Sedimentasi yang tinggi berhubungan dengan penutupan karang hidup yang rendah, mengurangi recruitment karang baru dan pertumbuhan karang yang rendah. Sedimentasi juga mengurangi pertumbuhan dan reproduksi karang. • Sedimentasi yang dihasilkan oleh tambang (tailing) dari kegiatan

penambangan di pantai memproduksi efek toksik secara langsung, menyebabkan peningkatan kekeruhan dan mengurangi fotosintesisi Zooxanthellae dan penutupan biota-biota bentik secara langsung.

• Erosi tanah dari daratan seperti perkebunan, penebangan hutan, jalan-jalan, pembangunan industri dan pemukiman menghasilkan peningkatan kekeruhan

dan sedimentasi, pemasukkan pestisida dan biosida yang lain, pemasukkan nutrien-nutiren.

• Pembuangan dari limbah industri, termasuk bahan-bahan dari desalinasi tanaman menyebabkan degradasi biologi secara umum melalui pemasukan biosida dan zat beracun yang lain serta perubahan kondisi alami lingkungan. • Pembuangan limbah cair menyebabkan eutropikasi melalui kelebihan

pemasukan nutrien. Interfensi dan perubahan proses ekologi alam pada terumbu karang. Limbah cair yang mengandung klorin mungkin menyebabkan biota laut terekspos ringan sampai bahkan kronis akut. Klorin dalam limbah cair mungkin memproduksi keracunan kronis dan akut.

• Pembuangan dari proses perikanan dan pertanian meningkatkan eutropikasi, pemasukan sediment dan biosida, pemasukan hama dan organisme penyebab penyakit.

• Kegiatan perikanan yang merusak seperti menggunakan dinamit, trawl di atas karang, muroami, penggunaan bahan kimia/racun dan over-fishing menyebabkan perusakan habitat secara umum, deplesi stok dan spesies.

• pengumpulan ikan-ikan untuk akuarium menggunakan racun dan teknik lain yang tidak sesuai menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan dalam keseimbangan ekosistem.

• Kegiatan konstruksi di karang menyebabkan kerusakan habitat.

• Pelepasan bahan kimia beracun dari daratan dan kapal menyebabkan kerusakan habitat.

• Resuspensi sedimen laut oleh kendaraan laut dengan daya muat yang dalam menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan keseimbangan ekologi.

• Pembuangan sampah padat (becak, tas plastik dll) menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan keseimbangan ekologis.

• Penambangan karang dan pengumpulan pasir menyebabkan perusakan habitat, perubahan keseimbangan ekologi, deplesi stok dan spesies.

• Pembuangan air tawar menyebabkan perusakan habitat dan kematian organisme karang atau tekanan fisiologi yang berat.

• Pembuangan air ballast menyebabkan efek toksik secara langsung dan pemasukan organisme hama.

Yosephine dan Suharsono (1995) dalam Tomascik dkk. (1997), menyatakan bahwa keragaman karang dan penutupan karang di Pulau Kotok Besar telah menurun secara drastis sejak tahun 1985, sementara bahan-bahan dari pantai yang terapung-apung dan sampah dari daratan utama Jawa juga masyarakat setempat telah meningkat 10 kali.

2.5. Pariwisata Bahari

Agenda 21 (1992) dalam Aryanto (2003) mengartikan pariwisata sebagai seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud lain. Pariwisata di Indonesia menurut UU Kepariwisataan No. 9 tahun 1990 pasal 1 (5) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidangnya. Dalam usaha pengembangannya, Indonesia wajib memperhatikan dampak- dampak yang ditimbulkannya, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah sektor ekowisata dan pariwisata alternatif yang oleh Eadington dan Smith (1995) dalam Aryanto (2003) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para pelakunya. Lindberg dan Hawkins (1993) menyatakan bahwa ekowisata adalah suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial yang menggabungkan suatu komitmen yang kuat terhadap alam dan suatu rasa tanggungjawab sosial untuk menciptakan dan memuaskan keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan. Nugroho (2004) mendefinisikan ekoturisme adalah kegiatan perjalan wisata yang dikemas secara professional, terlatih dan memuat unsur pendidikan, sebagai suatu sektor/usaha ekonomi, yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Aryanto (2003) mengemukakan wisata pesisir dan bahari adalah bagian dari wisata lingkungan (ekoturisme). Sarwono Kusumaatmaja, mantan Menteri Negara Lingkungan hidup dan mantan Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan dalam

Aryanto (2003) berpendapat; selain sebagai bagian dari ekowisata, wisata pesisir dan bahari merupakan industri yang menjanjikan. Lebih lanjut wisata bahari ini merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berlandaskan pada daya tarik kelautan dan terjadi di lokasi atau kawasan yang didominasi perairan dan kelautan. Daya tarik itu mencakup perjalanan dengan moda laut; kekayaan alam bahari serta peristiwa-peristiwa yang diselenggarakan di laut dan di pantai, seperti misalnya lomba memancing, selancar, menyelam, lomba layar, olah raga pantai, dayung, upacara adat yang dilakukan di laut. Selain itu, adat istiadat dan budaya masyarakat pesisir dan bahari. Wisata bahari dalam PPRTKIM (1995) merupakan kumpulan dari segala bentuk wisata yang berhubungan dengan laut, mulai dari wisata di pesisir pantai, wisata di permukaan laut (berenang, snorkeling, berlayar, berselancar dan sebagainya) bahkan sampai wisata di dasar laut (selam, selam SCUBA). Agar dapat dinikmati, wisata bahari ini harus mempunyai tiga unsur pendukung, yaitu: objek, paket dan sarana wisata. Objek adalah tempat atau lokasi dimana keindahan alam dapat dinikmati. Paket wisata yaitu aktivitas-aktivitas seperti memancing, snorkeling, selam, parasailing. Sedangkan sarana yaitu kapal dll. Dibandingkan dengan wisata lain, wisata bahari mempunyai sifat spesifik, karena untuk dapat menikmatinya para wisatawan harus mempunyai persiapan khusus sebelumnya. Persiapan tersebut misalnya, untuk dapat melakukan selam SCUBA maka wisatawan harus mengikuti kursus atau pelatihan terlebih dahulu

Menurut Spriharyono (2000), Daerah pantai yang mempunyai ekosistem terumbu karang, hewan-hewan laut yang beraneka ragam dan pantai pasir putih secara alamiah akan memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Namun pengembangan pariwisata bahari di suatu tempat apabila aktivitas wisatawannya tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah bagi daerah tersebut, seperti turunnya keanekaragaman hayati. Pemanfaatan suatu daerah konservasi untuk tujuan wisata yang dikelola oleh agen-agen pariwisata biasanya terlalu mementingkan keuntungan daripada harapan konservasi, yaitu pelestarian sumberdaya alam. Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka pelestarian sumberdaya alam laut, maka saat ini banyak dikembangkan konsep “Jumlah rendah tapi nilai tinggi”. Jumlah kunjungan wisata dibatasi, tidak perlu banyak akan tetapi kualitas wisatawan yang berkunjung diharapkan tinggi baik dari segi

keuangan maupun kepedulian terhadap lingkungan. Dengan kata lain konsep kunjungan wisata tersebut lebih diarahkan ke ekowisata laut daripada wisata massa. Walaupun konsep tersebut cenderung deskriminatif, hanya untuk orang kaya dan pendidikan tinggi saja yang menikmati kawasan konservasi, sedangkan masyarakat biasa cukup di lokasi wisata di luar kawasan konservasi, tetapi pelestarian alam diharapkan menjadi lebih terjaga.

Agenda 21 (1992) dalam Nugroho (2004) menyatakan pengembangan program-program wisata di masa yang akan datang dipandu oleh prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Alam, sejarah, budaya dan sumberdaya lain untuk wisata dilestarikan untuk penggunaan yang berkelanjutan di masa yang akan datang, walaupun masih mendatangkan keuntungan untuk komunitas sekarang ini.

b. Pengembangan wisata direncanakan dan diatur sehingga tidak menimbulkan masalah-masalah lingkungan dan sosial budaya yang serius di daerah wisata. c. Kualitas lingkungan di daerah wisata dijaga dan diperbaiki sesuai kebutuhan. d. Kepuasan turis pada tingkatan yang tinggi dijaga sehingga tempat tujuan

wisata dapat mempertahankan kemampuan pasar dan kepopuleran. e. Keuntungan dari wisata disebar luaskan kepada masyarakat.

2.6. Aspek Sosial Ekoturisme

Nugroho (2004) menjelaskan bahwa aspek sosial menyajikan peran yang penting dalam mendukung kinerja sektor ekoturisme. Aspek sosial bukan hanya mengidentifikasikan pemangku kepentingan tetapi juga mengorganisasikannya sehingga menghasilkan manfaat (dan insentif ekonomi) yang optimal bagi masing-masing pemangku kepentingan. Stakeholder dalam ekoturisme meliputi siapapun yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sektor ekoturisme. Mereka adalah penduduk lokal, pemerintah, kelompok masyarakat nirlaba (LSM atau yang sejenis), sektor swasta dan wisatawan. Sektor ekoturisme mempertemukan dua atau lebih kultur yang berbeda. Wisatawan memperoleh pengalaman berharga dari kultur lokal, sementara penduduk lokal memainkan proses edukasi perihal lingkungan spesifik lokal dan mendapatkan penghasilan. Sinergi tersebut harus dapat dipelihara dengan dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif bagi

beroperasinya sektor swasta dan bantuan dari kelompok nirlaba. Dalam jangka panjang, pariwisata bergantung pada kualitas dari lingkungan. Tentu saja, kualitas dari lingkungan tersebut atau beberapa bagian dari lingkungan adalah seringkali merupakan daya tarik utama dari wisatawan. Sekarang ini, semua jenis wisatawan menjadi lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan yang terpolusi atau terdegradasi pada tujuan perjalanan mereka. Hal tersebut terjadi di beberapa tempat, jumlah wisatawan menurun karena masalah lingkungan. Penurunan dalam pariwisata tidaklah selalu disebabkan oleh wisata itu sendiri. Agaknya, itu adalah pola dari pertumbuhan industri, eksploitasi sumberdaya alam dan konsumsi, secara singkat, pembangunan yang tidak berkelanjutan yang mencirikan masyarakat zaman sekarang yang harus disalahkan (Ceballos-Lascurian 1996).

Masyarakat yang tinggal sekitar atau di dekat daerah perlindungan seringkali dilupakan dalam pariwisata, pembangunan dan manajemen. Kadang- kadang hal ini karena mereka tersebar dan terisolasi membuat komunikasi menjadi sulit. Dalam waktu yang lain pengembang yang menghindari meluangkan waktu dan usaha untuk menginformasikan kepada masyarakat lokal akan rencana pengembangan pariwisata tertentu, atau mencoba untuk mengesampingkan mereka untuk menghilangkan mereka dari keuntungan ekonomi yang diharapkan. Akan tetapi, kebutuhan akan masyarakat lokal harus diperhitungkan secra penuh, terutama sekali sejak mereka sering tergantung pada sumberdaya alam yang menarik perhatian turis pada daerah tersebut. Proses perencanaan harus memprakarsai pembangunan dari mekanisme yang menjamin bahwa masyarakat lokal harus menerima pembagian keuntungan dari pengembangan pariwisata. Tetapi yang paling utama, masyarakat lokal dirundingkan dalam hal tingkat dari pengembangan pariwisata yang mereka pikirkan adalah tepat dalam lingkungan mereka sekarang ini dan di daerah tersebut secara keseluruhan. Jika keterlibatan mereka tidak diminta, tentu saja ekoturisme akan mustahil (Ceballos-Lascurian 1996).

Nugroho (2004) menguraikan peran masing-masing pemangku kepentingan di dalam ekoturisme sebagai berikut :

1. Pemerintah. Pemerintah memiliki peran strategis mengembangkan kebijakan sektor ekoturisme dan penunjangnya. Output dapat berupa kebijakan fiskal

meliputi perpajakan (dan tarif), infestasi dalam prasarana infrastruktur, dukungan aspek keamanan atau peningkatan profesional aparat pemerintah. 2. Sektor swasta. Sektor swasta adalah pemangku kepentingan yang

mengoperasikan usaha ekoturisme. Sektor swasta menyediakan berbagai fasilitas dan akomodasi, informasi, produk wisata, tujuan wisata dan kualitas pelayanan, dengan tujuan agar menarik wisatawan dan memberikan kepuasan dan pengalaman yang berharga.

3. Pengunjung atau wisatawan. Pengunjung merupakan indikator terpenting keberhasilan pembangunan ekoturisme. Pengunjung dari luar daerah dapat menginjeksi aliran ekonomi lokal dan diharapkan dapat memberikan insentif bagi pengelolaan lingkungan yang lebih baik.

4. Penduduk lokal. Penduduk lokal berperan sebagai subjek dan objek dalam pengembangan ekoturisme. Mereka perlu diberikan kesempatan aktif mengolah dan menjual produk wisata yang dibutuhkan oleh wisatawan. Juga tidak ada salahnya, kerangka berfikir penduduk lokal digunakan untuk saran kebijakan.

5. Lembaga masyarakat. Lembaga domestik maupun internasional khususnya yang profesional, sama-sama berfungsi dalam memfasilitasi semua kepentingan pemangku kepentingan seperti memberikan fungsi politis untuk mengangkat isyu-isyu kemiskinan, ketidakadilan dan dampak kerusakan lingkungan agar diperbaiki keadannya.

2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata

Wisatawan mungkin bereaksi dengan banyak cara terhadap pemutihan dan terumbu karang yang rusak. Jika mereka menyadari pemutihan (dari media, mulut ke mulut, atau sumber informasi lain), mereka mungkin memilih untuk tidak mengunjungi daerah yang terpengaruh, hal mana yang menyebabkan penderitaan industri pariwisata di semua tingkat. Beberapa akan mengunjungi sekali dan tidak akan pernah datang lagi seperti yang sebelumnya. Mereka yang awam dengan olaraga selam dan snorkeling mungkin tidak menyadari permasalahan tersebut. Orang-orang ini dan yang tidak tertarik pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan terumbu karang, mungkin tetap mengunjungi daerah yang rusak tersebut.

Kemungkinan lainnya adalah wisatawan tetap mengunjungi daerah tersebut tetapi mereka tidak mengunjungi terumbu karang, sehingga dalam kasus ini industri selam dan snorkeling akan menderita. Kurang dari 5 % dari penyelam dan snorkeller di Zanzibar dan Mombasa yang diwawancarai berkata bahwa mereka tidak mau menyelam ataupun snorkeling karena pemutihan. Di Maldiva, 48 % turis yang diwawancarai berkata bahwa hal yang paling mengecewakan dari liburan mereka adalah karang yang mati. Akan tetapi, kedatangan turis naik berkesinambungan sebesar 8 % selama 1998 dan 1999, dengan 7 % selama 1996 dan 1997. kedatangan wisatawan yang terus meningkat ini sebagiannya adalah jenis wisatawan lain pengganti penyelam (Westamacott et al. 2000).

Dokumen terkait