DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG
ALDINO AKBAR
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG
ALDINO AKBAR
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Dibimbing oleh Unggul Aktani dan Fredinan Yulianda.
Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung yang terletak di Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung memiliki potensi ekosistem terumbu karang di perairannya yang belum diketahui dengan jelas. Belum tersedianya data mengenai ekosistem terumbu karang mungkin salah satu penyebab belum berkembangnya wisata bahari di Kecamatan Sijuk tersebut. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret – April 2006 tersebut bertujuan untuk mengetahui potensi ekosistem terumbu karang sebagai dasar untuk menentukan kesesuaian ketiga pulau tersebut menjadi objek wisata bahari untuk selam dan snorkeling. Pengamatan penutupan habitat dasar menggunakan metode visual transek kuadrat, jenis dan kelimpahan ikan karang menggunakan metode sensus visual dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Parameter fisika dan kimia perairan diukur secara insitu di tempat yang sama saat pengamatan karang dan ikan karang. Data hasil pengamatan di lapangan dianalisis dengan matriks kesesuaian wisata bahari menurut Bakosurtanal (1996).
Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.
Nama Mahasiswa : Aldino Akbar
NIM : C24102061
Diketahui :
Pembimbing I
Dr. Unggul Aktani NIP. 131956707
Pembimbing II
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.sc NIP. 131788596
Mengetahui :
Dekan Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
INVENTARISASI POTENSI EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK
WISATA BAHARI (
SNORKELING
DAN SELAM) DI PULAU KERA, PULAU
LUTUNG DAN PULAU BURUNG DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN
BELITUNG
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Desember 2006
ALDINO AKBAR
yang telah diberikan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung”.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Unggul Aktani dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.sc sebagai
anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
hingga penyelesaian skripsi.
2. Bapak Ir. Agustinus Samosir, M.Phil sebagai dosen penguji tamu atas saran
serta arahannya dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai ketua Program Pendidikan S-1
dan sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
terima kasih atas bimbingan dan arahannya hingga penyelesaian skripsi.
4. Ibu Ir. Niken T.M.P M.Si, selaku pembimbing akademik atas segala nasehat
dan bimbingannya.
5. PEMKAB. Belitung atas bantuan dana untuk melaksanakan penelitian ini.
6. Dinas KESBANGLING dan PEMAS, Bang Lutfy, Bang Ramdan, Fachrizal
Setiawan dan Belly yang telah membantu pengambilan data pada saat
penelitian.
7. BAPPEDA Kabupaten Belitung atas bantuan data – data sekunder untuk
penyelesaian penulisan skripsi.
8. Seluruh dosen dan staf karyawan Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan serta Fakultas Periakanan dan Ilmu Kelautan.
9. Bapak, Ibu dan Adek tercinta yang selalu memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis, dan
10.Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini yang tidak
dapat kami sebutkan satu per satu.
Bogor, Januari 2007
vii
Halaman
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan ... 3
1.4. Manfaat ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Terumbu Karang... 4
2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang ... 5
2.3. Komunitas Ikan Karang ... 10
2.4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang... 13
2.4.1 Kerusakan Terumbu Karang Karena Faktor Alam ... 13
2.4.2 Kerusakan Terumbu Karang Akibat Kegiatan Manusia ... 14
2.4.2.1. Karena kegiatan pariwisata ... 14
2.4.2.2. Karena kegiatan non-pariwisata... 15
2.5. Pariwisata Bahari ... 17
2.6. Aspek Sosisal Ekoturisme... 19
2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata... 21
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23
3.2. Metode Pengambilan Sampel... 23
3.2.1. Penentuan Stasiun Pengamatan... 23
3.2.2. Pengambilan Data Karang ... 23
3.2.3. Pengambilan Data Ikan Karang ... 26
3.2.4. Data Pendukung ... 28
3.3. Analisa Data ... 29
3.3.1. Penutupan Habitat Dasar dan Indeks Mortalitas Karang ... 29
3.3.2. Komunitas Ikan Karang ... 30
3.3.3. Analisis Data Kualitas Air ... 31
3.3.4. Matriks Kesesuaian Untuk Pariwisata Bahari ... 31
viii
4.1.4. Sungai... 35
4.1.5. Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 35
4.1.5.1. Penduduk... 35
4.1.5.2. Agama dan tempat peribadatan... 37
4.1.5.3 Sarana perhubungan dan transportasi... 38
4.2. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ... 39
4.2.1. Persen Penutupan dan IMK... 39
4.2.1.1. Persen penutupan dan IMK P. Kera... 39
4.2.1.2. Persen penutupan dan IMK P. Lutung ... 43
4.2.1.3. Persen penutupan dan IMK P. Burung... 45
4.2.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang ... 49
4.2.2.1. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Kera... 49
4.2.2.2. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Lutung... 49
4.2.2.3. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Burung ... 50
4.2.3. Kondisi Komunitas Ikan Karang... 51
4.2.3.1. Kondisi komunitas ikan karang di P. Kera... 51
4.2.3.2. Kondisi komunitas ikan karang di P. Lutung... 52
4.2.3.3. Kondisi komunitas ikan karang di P. Burung ... 53
4.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan... 54
4.3.1. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Kera... 54
4.3.2. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Lutung... 55
4.3.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Burung ... 55
4.4. Analisis Kesesuaian Kawasan Sebagai Objek Wisata Bahari ... 56
4.4.1. Kesesuaian P. Kera Sebagai Objek Wisata Bahari ... 56
4.4.2. Kesesuaian P. Lutung Sebagai Objek Wisata Bahari... 58
4.4.3. Kesesuaian P. Burung Sebagai Objek Wisata Bahari ... 59
4.5. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari ... 60
4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Kera ... 60
4.5.2. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Lutung ... 61
4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Burung ... 61
4.6. Persepsi Masyarakat dan Instansi-Instansi Pemerintah Terkait ... 63
4.6.1. Persepsi Masyarakat Desa Tanjung Binga... 63
4.6.2. Tanggapan Instansi-instansi Pemerintahan yang Terkait dengan Pengembangan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung .. 64
4.6.2.1. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung ... 64
4.6.2.2. BAPPEDA Kabupaten Belitung ... 64
4.6.2.3. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Belitung ... 64
4.6.2.4. Kecamatan Sijuk ... 65
ix
4.7.3. Pengelolaan P. Burung ... 69
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 72 5.2. Saran... 72
DAFTAR PUSTAKA... 73
LAMPIRAN... 77
x
Tabel 1. Kategori bentuk pertumbuhan dan kodenya
(English et al 1994)... 25
Tabel 2. Alat dan metode pengambilan data karang dan ikan karang... 27
Tabel 3. Parameter kualitas perairan yang diukur... 29
Tabel 4. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasar persen penutupan karang (Gomez dan Yap 1988)... 29
Tabel 5. Matriks kesesuaian untuk pariwisata bahari (snorkeling dan selam) (Modifikasi dari Bakosurtanal 1996)... 32
Tabel 6. Komposisi penduduk Desa Tanjung Binga Bulan Maret 2006 ... 36
Tabel 7. Jenis pekejaan dan jumlah tenaga kerja ... 36
Tabel 8. Sarana/prasarana perhubungan... 38
Tabel 9. Sarana perhubungan... 38
Tabel 10. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Kera ... 40
Tabel 11. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Lutung ... 43
Tabel 12. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Burung... 46
Tabel 13. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Kera ... . 51
Tabel 14. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Lutung ... 52
Tabel 15. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Burung... 53
DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG
ALDINO AKBAR
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG
ALDINO AKBAR
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Dibimbing oleh Unggul Aktani dan Fredinan Yulianda.
Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung yang terletak di Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung memiliki potensi ekosistem terumbu karang di perairannya yang belum diketahui dengan jelas. Belum tersedianya data mengenai ekosistem terumbu karang mungkin salah satu penyebab belum berkembangnya wisata bahari di Kecamatan Sijuk tersebut. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Maret – April 2006 tersebut bertujuan untuk mengetahui potensi ekosistem terumbu karang sebagai dasar untuk menentukan kesesuaian ketiga pulau tersebut menjadi objek wisata bahari untuk selam dan snorkeling. Pengamatan penutupan habitat dasar menggunakan metode visual transek kuadrat, jenis dan kelimpahan ikan karang menggunakan metode sensus visual dengan menggunakan peralatan selam SCUBA. Parameter fisika dan kimia perairan diukur secara insitu di tempat yang sama saat pengamatan karang dan ikan karang. Data hasil pengamatan di lapangan dianalisis dengan matriks kesesuaian wisata bahari menurut Bakosurtanal (1996).
Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung.
Nama Mahasiswa : Aldino Akbar
NIM : C24102061
Diketahui :
Pembimbing I
Dr. Unggul Aktani NIP. 131956707
Pembimbing II
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.sc NIP. 131788596
Mengetahui :
Dekan Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
INVENTARISASI POTENSI EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK
WISATA BAHARI (
SNORKELING
DAN SELAM) DI PULAU KERA, PULAU
LUTUNG DAN PULAU BURUNG DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN
BELITUNG
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, Desember 2006
ALDINO AKBAR
yang telah diberikan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Inventarisasi Potensi Ekosistem Terumbu Karang Untuk Wisata Bahari (Snorkeling dan Selam) di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung”.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Unggul Aktani dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.sc sebagai
anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan
hingga penyelesaian skripsi.
2. Bapak Ir. Agustinus Samosir, M.Phil sebagai dosen penguji tamu atas saran
serta arahannya dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS sebagai ketua Program Pendidikan S-1
dan sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
terima kasih atas bimbingan dan arahannya hingga penyelesaian skripsi.
4. Ibu Ir. Niken T.M.P M.Si, selaku pembimbing akademik atas segala nasehat
dan bimbingannya.
5. PEMKAB. Belitung atas bantuan dana untuk melaksanakan penelitian ini.
6. Dinas KESBANGLING dan PEMAS, Bang Lutfy, Bang Ramdan, Fachrizal
Setiawan dan Belly yang telah membantu pengambilan data pada saat
penelitian.
7. BAPPEDA Kabupaten Belitung atas bantuan data – data sekunder untuk
penyelesaian penulisan skripsi.
8. Seluruh dosen dan staf karyawan Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan serta Fakultas Periakanan dan Ilmu Kelautan.
9. Bapak, Ibu dan Adek tercinta yang selalu memberikan dukungan dan
semangat kepada penulis, dan
10.Semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini yang tidak
dapat kami sebutkan satu per satu.
Bogor, Januari 2007
vii
Halaman
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR GAMBAR... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan ... 3
1.4. Manfaat ... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Terumbu Karang... 4
2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang ... 5
2.3. Komunitas Ikan Karang ... 10
2.4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang... 13
2.4.1 Kerusakan Terumbu Karang Karena Faktor Alam ... 13
2.4.2 Kerusakan Terumbu Karang Akibat Kegiatan Manusia ... 14
2.4.2.1. Karena kegiatan pariwisata ... 14
2.4.2.2. Karena kegiatan non-pariwisata... 15
2.5. Pariwisata Bahari ... 17
2.6. Aspek Sosisal Ekoturisme... 19
2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata... 21
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 23
3.2. Metode Pengambilan Sampel... 23
3.2.1. Penentuan Stasiun Pengamatan... 23
3.2.2. Pengambilan Data Karang ... 23
3.2.3. Pengambilan Data Ikan Karang ... 26
3.2.4. Data Pendukung ... 28
3.3. Analisa Data ... 29
3.3.1. Penutupan Habitat Dasar dan Indeks Mortalitas Karang ... 29
3.3.2. Komunitas Ikan Karang ... 30
3.3.3. Analisis Data Kualitas Air ... 31
3.3.4. Matriks Kesesuaian Untuk Pariwisata Bahari ... 31
viii
4.1.4. Sungai... 35
4.1.5. Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 35
4.1.5.1. Penduduk... 35
4.1.5.2. Agama dan tempat peribadatan... 37
4.1.5.3 Sarana perhubungan dan transportasi... 38
4.2. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang ... 39
4.2.1. Persen Penutupan dan IMK... 39
4.2.1.1. Persen penutupan dan IMK P. Kera... 39
4.2.1.2. Persen penutupan dan IMK P. Lutung ... 43
4.2.1.3. Persen penutupan dan IMK P. Burung... 45
4.2.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang ... 49
4.2.2.1. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Kera... 49
4.2.2.2. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Lutung... 49
4.2.2.3. Genus dan bentuk pertumbuhan karang di P. Burung ... 50
4.2.3. Kondisi Komunitas Ikan Karang... 51
4.2.3.1. Kondisi komunitas ikan karang di P. Kera... 51
4.2.3.2. Kondisi komunitas ikan karang di P. Lutung... 52
4.2.3.3. Kondisi komunitas ikan karang di P. Burung ... 53
4.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan... 54
4.3.1. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Kera... 54
4.3.2. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Lutung... 55
4.3.3. Parameter Físika dan Kimia Perairan P. Burung ... 55
4.4. Analisis Kesesuaian Kawasan Sebagai Objek Wisata Bahari ... 56
4.4.1. Kesesuaian P. Kera Sebagai Objek Wisata Bahari ... 56
4.4.2. Kesesuaian P. Lutung Sebagai Objek Wisata Bahari... 58
4.4.3. Kesesuaian P. Burung Sebagai Objek Wisata Bahari ... 59
4.5. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari ... 60
4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Kera ... 60
4.5.2. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Lutung ... 61
4.5.1. Titik-Titik Aktivitas Wisata Bahari di P. Burung ... 61
4.6. Persepsi Masyarakat dan Instansi-Instansi Pemerintah Terkait ... 63
4.6.1. Persepsi Masyarakat Desa Tanjung Binga... 63
4.6.2. Tanggapan Instansi-instansi Pemerintahan yang Terkait dengan Pengembangan P. Kera, P. Lutung dan P. Burung .. 64
4.6.2.1. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung ... 64
4.6.2.2. BAPPEDA Kabupaten Belitung ... 64
4.6.2.3. Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Belitung ... 64
4.6.2.4. Kecamatan Sijuk ... 65
ix
4.7.3. Pengelolaan P. Burung ... 69
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ... 72 5.2. Saran... 72
DAFTAR PUSTAKA... 73
LAMPIRAN... 77
x
Tabel 1. Kategori bentuk pertumbuhan dan kodenya
(English et al 1994)... 25
Tabel 2. Alat dan metode pengambilan data karang dan ikan karang... 27
Tabel 3. Parameter kualitas perairan yang diukur... 29
Tabel 4. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasar persen penutupan karang (Gomez dan Yap 1988)... 29
Tabel 5. Matriks kesesuaian untuk pariwisata bahari (snorkeling dan selam) (Modifikasi dari Bakosurtanal 1996)... 32
Tabel 6. Komposisi penduduk Desa Tanjung Binga Bulan Maret 2006 ... 36
Tabel 7. Jenis pekejaan dan jumlah tenaga kerja ... 36
Tabel 8. Sarana/prasarana perhubungan... 38
Tabel 9. Sarana perhubungan... 38
Tabel 10. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Kera ... 40
Tabel 11. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Lutung ... 43
Tabel 12. Rata-rata persen penutupan habitat dasar dan Indeks Mortalitas Karang (IMK) di P. Burung... 46
Tabel 13. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Kera ... . 51
Tabel 14. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Lutung ... 52
Tabel 15. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) serta jumlah famili dan jumlah spesies ikan karang yang teramati di P. Burung... 53
xi
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian (Sumber : BAPPEDA Kab.
Belitung 2005)... 24
Gambar 2. Pengambilan data ikan karang dengan metode pencacahan langsung (Sumber : English et al 1994) ... 27
Gambar 3. Piramida Penduduk Desa Tanjung Binga (Sumber: Monografi Desa Tanjung Binga 2005 Diolah)... 35
Gambar 4. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P. Kera ... 41
Gambar 5. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P.Lutung ... 44
Gambar 6. Peta Kondisi Ekosistem Terumbu Karang P. Burung ... 47
xii
Lampiran 1. Peta Sebaran Potensi Perikanan dan Kelautan
(Sumber : BAPPEDA Kab. Belitung 2005)... 77
Lampiran 2. Kuisioner Untuk Masyarakat Sekitar ... 78
Lampiran 3. Kuisioner Untuk Instansi Pemerintahan Terkait ... 79
Lampiran 4. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
No. 51 Tahun 2004... 80 Lampiran 4.1. Baku Mutu Air Laut Untuk Wisata Bahari... 80 Lampiran 4.1. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut ... 81
Lampiran 5. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang... 84 Lampiran 5.1. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang
di P. Kera... 84 Lampiran 5.2. Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang
di P. Lutung... 84 Lampiran 5.1 Genus dan Bentuk Pertumbuhan Karang
di P. Burung ... 85
Lampiran 6. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang... 86 Lampiran 6.1. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang
di P. Kera... 86 Lampiran 6.2. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang
di P. Lutung... 87 Lampiran 6.3. Famili, Spesies dan Jumlah Ikan Karang
di P. Burung ... 88
Lampiran 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan ... 91 Lampiran 7.1. Parameter Fisika dan Kimia Perairan
P. Kera... 91 Lampiran 7.2. Parameter Fisika dan Kimia Perairan
P. Lutung ... 91 Lampiran 7.3. Parameter Fisika dan Kimia Perairan
P. Burung ... 92
Lampiran 8. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari... 93 Lampiran 8.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Kera... 93 Lampiran 8.1.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari
P. Kera Secara Umum ... 93 Lampiran 8.1.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat
Kera ... 93 Lampiran 8.1.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur
xiii
P. Kera... 94 Lampiran 8.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Lutung ... 94 Lampiran 8.2.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari
P. Lutung Secara Umum ... 94 Lampiran 8.2.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat
P. Lutung ... 94 Lampiran 8.2.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur
P. Lutung ... 94 Lampiran 8.2.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara
P. Lutung ... 95 Lampiran 8.2.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan
P. Lutung ... 95 Lampiran 8.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari P. Burung... 95 Lampiran 8.3.1. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari
P. Burung Secara Umum... 95 Lampiran 8.3.2. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Barat
P. Burung ... 95 Lampiran 8.3.3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Timur
P. Burung ... 96 Lampiran 8.3.4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Utara
P. Burung ... 96 Lampiran 8.3.5. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari di Selatan
P. Burung ... 96
Lampiran 9. Foto Pulau-pulau... 97 Lampiran 9.1. Foto P. Kera... 97 Lampiran 9.2. Foto P. Lutung ... 97 Lampiran 9.3. Foto Pantai di Selatan P. Burung... 98
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pulau Belitung merupakan bagian dari wilayah Propinsi Kepulauan
Bangka Belitung yang juga merupakan wilayah kepulauan yang memiliki luas
wilayah daratan 4.800 km2, luas laut 29.606 km2, luas wilayah pesisir 1.900 km2, panjang garis pantai 195 km dan jumlah pulau kecil sebanyak 189 buah
(BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).
Setelah mengalami pemekaran, Pulau Belitung dibagi menjadi 2 kabupaten yaitu
Kabupaten Belitung dan Kabupaten Belitung Timur. Kabupaten Belitung secara
administratif memiliki luas wilayah 2.293,69 km2 yang terdiri dari 98 buah pulau dan terbagi menjadi 5 kecamatan yang memiliki wilayah daratan utama dan
pulau-pulau kecil di wilayah lautnya.
Kabupaten Belitung merupakan wilayah kepulauan yang secara geografis
dikelilingi oleh laut dan selat dengan kondisi daerah pesisir berupa hamparan pasir
putih, bebatuan granit dengan mozaik nan indah dan deburan air laut yang jernih
dengan terumbu karang dan pulau-pulau kecil. Maka dari itu, objek wisata yang
telah ada dan dikembangkan lebih mengarah ke objek wisata pantai seperti pantai
Tanjung Tinggi, pantai Tanjung Kelayang, Tanjung Pendam dan sebagainya.
Batuan granit dapat ditemukan di perairan dangkal dan di pematang pantai yang
tersusun secara alami. Pematang pantai lama dan sekarang dengan lebar 100 – 300
meter dapat dimanfaatkan untuk pembangunan hotel dan pondok peristirahatan
serta restoran. Di perairan laut Kabupaten Belitung ditemukan 76 jenis ikan hias
yang mewakili 18 suku. Bagi turis yang menyenangi olahraga selam, disarankan
untuk melihat taman laut di Pulau Lengkuas, Pulau Kepayang dan Pulau
Kembung. Kedua hal diatas merupakan potensi yang sangat menarik bagi turis
yang senang menikmati pemandangan bawah laut (PPRTKIM 1995).
Kecamatan Sijuk merupakan salah satu bagian yang termasuk ke dalam
wilayah administratif Kabupaten Belitung yang memiliki 23 pulau yang
dipisahkan oleh wilayah lautnya dari daratan utama. Kondisi pesisir Kecamatan
Sijuk berupa hamparan pasir putih di sepanjang pantai diselingi bebatuan granit
Pantai-pantai di Kecamatan Sijuk sudah sejak lama menjadi daerah tujuan wisata
bagi wisatawan domestik yang berasal dari berbagai daerah di Pulau Belitung.
Jarak antara pulau-pulau yang terdapat di perairan Kecamatan Sijuk tersebut
tidaklah berjauhan dari tempat wisata lainnya yang sudah umum seperti Tanjung
Kelayang, Tanjung Tinggi dan Bukit Berahu, tetapi pulau-pulau tersebut dan
perairannya belum dikembangkan menjadi objek wisata secara serius. Sampai saat
ini objek wisata yang dikembangkan di Kecamatan Sijuk hanya sebatas wisata
pantai saja dan belum ada pihak baik swasta maupun pemerintah yang tertarik
untuk mengembangkan objek wisata bahari. Belum dikembangkannya objek
wisata bahari di Kecamatan Sijuk antara lain disebabkan belum tersedianya data
mengenai potensi terumbu karang dan ikan karang serta kondisi perairan di suatu
wilayah yang spesifik untuk menjadi dasar penentuan bentuk wisata bahari yang
akan dikembangkan. Peta master plan tentang etalase perikanan dan kelautan
dalam BAPPEDA Kabupaten Belitung (2005) (Lampiran 1) memuat bahwa
terdapat potensi terumbu karang di Pulau Kera, Pulau Lutung dan Pulau Burung
yang terletak di Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk tersebut. Namun, belum
diketahui jelas potensi terumbu karang yang dimaksud.
Pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang terdapat di ketiga pulau
tersebut saat ini hanya sebatas tempat untuk mencari ikan bagi nelayan setempat.
Potensi tersebut mungkin bisa lebih dimanfatkan semisal menjadi objek wisata
bahari khususnya untuk aktivitas snorkeling dan selam. Sehingga dirasakan perlu
adanya suatu penelitian untuk mengungkap potensi bahari di P. Kera, P. Lutung
dan P. Burung tersebut khususnya yang terdapat di ekosistem terumbu karang,
sehingga bisa diketahui kondisi ekosistem terumbu karang berupa persen
penutupan karang hidup, jenis karang, jenis dan kelimpahan ikan karang yang
terdapat di ketiga pulau tersebut untuk kemudian dianalisis keseuaiannya untuk
dijadikan suatu objek wisata bahari khususnya untuk aktivitas snorkeling dan
selam. Dengan adanya data tentang kondisi ekosistem terumbu karang yang
terdapat di ketiga pulau tersebut, maka diharapkan akan dapat memberikan
informasi dan masukan sebagai pertimbangan untuk membuat perencanaan
1.2. Rumusan Masalah
Ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan di P. Kera, P. Lutung dan
P. Burung, yaitu :
1. Belum diketahui potensi dan kondisi ekosistem terumbu karang yang berupa
persen penutupan karang hidup, jenis karang dan bentuk pertumbuhannya,
serta jenis ikan karang dan kelimpahannya yang terdapat di P. Kera, P. Lutung
dan P. Burung.
2. Belum diketahui seberapa besar kesesuaian P. Kera, P. Lutung dan P. Burung
untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari (snorkeling dan selam).
1.3. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui potensi di ekosistem terumbu karang yang berupa persen
penutupan karang hidup, jenis karang dan bentuk pertumbuhannya, serta jenis
dan kelimpahan ikan karang yang terdapat di perairan P. Kera, P. Lutung dan
P. Burung.
2. Menganalisis kesesuaian potensi ekosistem terumbu karang P. Kera, P. Lutung
dan P. Burung untuk pemanfaatan wisata bahari khususnya untuk snorkeling
dan selam.
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini yaitu dapat diketahui persen penutupan terumbu karang,
jenis terumbu karang dan bentuk pertumbuhannya serta jenis dan kelimpahan ikan
karang yang terdapat di P. Kera, P. Lutung dan P. Burung di Kecamatan Sijuk
sehingga diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan untuk pembuatan
perencanaan pengembangan wilayah tersebut khususnya untuk pengembangan
II. TINJAUAN PUSTAKA
Inventarisasi menurut P3B Depdikbud (1989) yaitu pencatatan atau
pendaftaran barang-barang milik atau pengumpulan data. Potensi yaitu kekuatan,
kemampuan, kesanggupan, kekuasaan, kemampuan yang mempunyai
kemungkinan untuk dikembangkan atau sesuatu yang dapat menjadi aktual.
Menurut Nybakken (1988), terumbu karang adalah endapan - endapan masif yang
penting dari kalsium karbonat terutama dihasilkan oleh karang dengan sedikit
tambahan alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan
kalsium karbonat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa inventarisasi potensi
ekosistem terumbu karang untuk wisata bahari yaitu mencatat atau
mengumpulkan data berupa persen penutupan karang hidup, jenis karang, jumlah
bentuk pertumbuhan, jenis dan kelimpahan ikan karang serta kondisi perairan
yang terdapat di suatu ekosistem terumbu karang yang bisa menjadi dasar untuk
mengetahui seberapa besar kesesuaian dan kemungkinan suatu wilayah untuk
dikembangkan menjadi objek wisata bahari.
2.1. Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang sangat terancam di dunia.
Sebanding dengan hutan hujan dalam keanekaragaman hayatinya dan merupakan
sumber keuntungan ekonomi yang besar dari perikanan dan pariwisata, ekosistem
terumbu karang adalah salah satu kepentingan dunia. Selain itu, karang
memegang fungsi penting di negara - negara berkembang, khususnya di
negara-negara kepulauan berkembang (Westamacott et al. 2000). Tomascik et al. (1997)
menyatakan bahwa salah satu fungsi ekosistem terumbu karang yaitu sebagai
penyedia kesempatan atau peluang untuk rekreasi, dan salah satu manfaat terumbu
karang yang berkelanjutan yaitu sebagai wisata bahari yaitu wisata yang
berorientasi cahaya matahari, laut dan pasir, snorkeling dan selam SCUBA
merupakan daya tarik utama di banyak pulau di daerah tropis. Ironisnya,
ekosistem terumbu karang di Indonesia, walaupun sangat penting untuk makanan
dan penerimaan devisa dari pariwisata dan perikanan lepas pantai yang berasosiasi
degradasi secara cepat. Dahuri et al. (2004) menyatakan bahwa daya tarik wilayah
pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti
misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun, pasir dan
sebagainya), dan hutan-hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuh-tumbuhan,
burung dan hewan-hewan lain. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa andalan
utama kegiatan wisata bahari yang banyak diminati oleh para wisatawan adalah
aspek keindahan dan keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat
dimanfaatkan untuk objek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang
sangat tinggi.
2.2. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Kehidupan Karang
Kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada kondisi lingkungan pesisir,
seperti kebersihan, keunikan dan keindahan di lingkungan pantai, baik untuk
dimanfaatkan maupun dinikmati oleh wisatawan. Andalan utama kegiatan wisata
bahari yang banyak dinikmati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan
keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek
wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi (Supriharyono
2000). Kondisi ekosistem terumbu karang yang baik pastinya harus didukung oleh
kondisi perairan yang baik pula. Adapun parameter-parameter fisika dan kimia
yang mempengaruhi kehidupan terumbu karang yaitu :
¾ Cahaya
Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh
dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya matahari merangsang
terjadinya proses fotosintesis oleh Zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang.
Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang, dan bersamaan
dengan itu kemampuan karang untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan
berkurang pula. Kebanyakan terumbu karang dapat berkembang dengan baik pada
kedalaman 25 meter atau kurang. Pertumbuhan karang sangat berkurang saat
tingkat laju produksi primer sama dengan respirasinya (zona kompensasi) yaitu
kedalaman dimana kondisi intensitas cahaya berkurang sekitar 15 - 20 % dari
intensitas cahaya di lapisan permukaan air (Veron 1995). Keadaan awan di suatu
mempengaruhi pertumbuhan karang (Goreau dan Goreau 1959 dalam
Supriharyono 2000).
Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang, maka faktor
kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih
memungkinkan penetrasi cahaya bisa sampai pada lapisan yang sangat dalam,
sehingga binatang karang juga dapat hidup pada kedalaman yang cukup dalam
(Supriharyono 2000). Efek yang mungkin dari ketersediaan sinar pada kedalaman
dan distribusi lintang dari karang sepertinya kecil dibandingkan dengan kecerahan
perairan, temperatur, pertumbuhan musiman dari makroalga, cahaya spesifik yang
dibutuhkan oleh Zooxanthellae dan mekanisme dari adaptasi terhadap cahaya.
Karang umumnya terdapat pada perairan yang jernih sampai kedalaman 30 m dan
kadang-kadang lebih dari 40 m dimana tersedia substrat horizontal yang cocok
(Veron 1995). Menurut Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000), secara
umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m.
¾ Suhu
Suhu air merupakan faktor penting yang menentukan kehidupan karang.
Menurut Wells (1954) dalam Supriharyono (2000), suhu yang baik untuk
pertumbuhan karang adalah berkisar antara 22 - 29 oC. Batas maksimum dan minimum suhu berkisar antara 16 - 17 oC dan sekitar 36 oC (Kinsman 1964 dalam Supriharyono 2000). Veron 1995 menyatakan bahwa temperatur minimal untuk
karang adalah 18 oC, terus-menerus dalam periode waktu yang berlarut - larut telah diketahui sebagai temperatur minimum permukaan laut dimana fungsional
karang-karang secara normal terekspos. Sangat sedikit karang berZooxanthellae
yang diketahui dapat mentoleransi suhu di bawah 11 oC. Jokiel dan Coles (1977), Glynn (1984), Hoegh-Guldberg dan Smith dalam Veron (1995) menyatakan
bahwa nilai pembatas dari temperatur tinggi dari pentingnya ekologi adalah
mencapai maksimal 30 - 34 oC. Nilai maksimun ini bervariasi secara geografi dan waktu penyinaran, dimana toleransi lebih dari 2 oC lebih tinggi di daerah-daerah tropis dari pada di daerah temperate (Coles et al. 1976, Coles dan Jokiel 1977
dalam Veron 1995). Perkembangan mengenai pengaruh suhu terhadap binatang
karang lebih lanjut dilaporkan bahwa suhu yang mematikan binatang karang
karena perbedaan perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient
level). Menurut Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) dalam
Supriharyono (2000), perubahan suhu secara mendadak sekitar 4 – 6 oC di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan
mematikan.
Suhu di perairan Kabupaten Belitung, pada bulan oktober 2005 secara
keseluruhan berkisar antara 28,93 – 29,37 oC dengan rata-rata 29,12 oC. Nilai suhu pada lapisan permukaan (0 m), 5 m, dan 10 m masing-masing berkisar antara
28,97 – 29,37 oC dengan rata-rata 29,15 ºC; 28,97 - 29,25 ºC dengan rata-rata 29,13 ºC dan 28,93 - 29,18 ºC dengan rata-rata 29,06 ºC. Nilai rata-rata suhu di
perairan Kabupaten Belitung yaitu 29,12 ºC (BAPPEDA Provinsi
Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).
¾ Salinitas
Binatang karang hidup pada kisaran salinitas sekitar 34 - 36 ‰ (Kinsman
1964 dalam Supriharyono 2000). Namun, pengaruh salinitas terhadap kehidupan
binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat
dan/atau pengaruh alam seperti run-off, badai dan hujan. Sehingga kisaran
salinitas bisa sampai dari 17,5 - 52,5 ‰ (Vaughan 1919, Wells 1932 dalam
Supriharyono 2000). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan diatas
maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai
Bandengan, Jepara, Jawa Tengah salinitas nol permil (0 ‰) untuk beberapa jam
pada waktu air surut yang menerima limpahan air tawar sungai (Supriharyono
2000).
Salinitas di perairan Belitung Barat pada Oktober 2005 berkisar antara 32,62
– 33,32 ‰ dengan rata-rata 33,04 ‰. Nilai salinitas yang terendah (32,62 ‰)
diperoleh di Stasiun 1 pada lapisan permukaan (0 m) dan tertinggi (33,32 ‰) di
Stasiun 4 pada kedalaman 10 m. Nilai salinitas di perairan Belitung Barat pada
lapisan permukaan (0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 32,62 –
33,26 ‰ dengan rata-rata 33,01 ‰; 32,62 – 33,29 ‰ dengan rata-rata 33,02 ‰
dan 33,00 – 33,32 ‰ dengan rata-rata 33,11 ‰. Nilai rata-rata salinitas yaitu
33,04 ‰ lebih tinggi bila dibandingkan dengan di perairan Belitung Barat bulan
Tanjungpandan 2005). Kinsman (1964) dalam Supriharyono (2000) mengatakan
bahwa daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Sebagai
contoh, Acropora dapat bertahan pada salinitas 40 ‰ hanya bertahan beberpa jam
di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan sampai salinitas 48 ‰.
¾ Sedimentasi
Hubbard dan Pocock (1972), Bak dan Elgershuizen (1976), Bak (1978)
dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa sedimen dapat langsung
mematikan binatang karang, yaitu apabila sediment tersebut ukurannya cukup
besar atau banyak sehingga menutupi polip. Pengaruh tidak langsung dari
sedimentasi adalah menurunnya penetrasi cahaya matahari yang penting untuk
fotosintesis Zooxanthellae dan banyaknya energi yang dikeluarkan oleh binatang
karang untuk untuk menghalau sediment tersebut, yang berakibat turunnya laju
pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985, Supriharyono 1986 dalam
Supriharyono 2000). Perairan yang sedimentasinya tinggi atau keruh memiliki
keanekaragaman karang dan tutupan karang hidup cenderung rendah. Loya
(1976a) dalam Supriharyono (2000) menyatakan pada perairan Puerto Rico yang
sedimentasinya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 3,0 - 15,0 mg/cm2/hari, keanekaragaman dan tutupan karang hidupnya relatif rendah dibandingkan dengan
di daerah yang lebih jernih. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa sedimentasi
dapat disebabkan oleh pembangunan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas
manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak,
pembukaan hutan dan aktivitas pertanian dapat membebaskan sediment ke
perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Laju sedimentasi biasanya
bervariasi dari rendah ke tinggi, tergantung besar kecilnya dan kontinuitas
aktivitas diatas serta musim. Suatu daerah yang tidak banyak menerima limpahan
sediment dari sungai, seperti di daerah kepulauan, laju sedimentasinya cenderung
rendah. Terkecuali ada aktivitas yang merangsang terbentuknya sediment, seperti
pengerukan, pengeboman, badai dan sebagainya. Namun apabila perairan karang
tersebut lokasinya berdekatan dengan muara sungai, yang pengelolaan lahan di
atasnya buruk biasanya laju sedimentasinya tinggi, terutama di musim penghujan.
Pomeroy et al. (1965) dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa di
tanah. Hal ini menyebabkan perairan yang keruh oleh sediment menjadi subur,
dan kondisi ini sering menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang.
Walker dan Ormond (1982) dalam Supriharyono (2000) melaporkan bahwa
adanya unsur-unsur hara yang terkontaminasi pada sediment di perairan karang
Aqaba, Red Sea, menyebabkan pertumbuhan makro alga, terutama Ulva lactuca
dan Enteromorpha clathrata. Kondisi ini menyebabkan keanekaragaman karang
di perairan tersebut turun. Menurut Supriharyono (2000) unsur hara yang terikat
pada sedimen menyebabkan pesatnya pertumbuhan makro alga Ulva reticulata
seperti yang terjadi di Pantai Bandengan Jepara. Makro alga tersebut mulai
tumbuh pesat pada akhir musim penghujan atau setelah perairan menerima
sediment yang cukup tinggi dari perairan sungai di sekitarnya. Makro alga ini
umumnya menutupi karang-karang yang hidup di daerah reef flat seperti
Acropora sp dan Montipora digitata.
Kadar zat hara (fosfat, nitrat, nitrit, ammonia dan silikat) di perairan
Belitung secara umum relatif tinggi, hal ini sangat dipengaruhi sumbangan limbah
organik dari daratan serta proses pasang surut dengan terjadinya pengadukan masa
air laut yang mengakibatkan naiknya zat-zat hara dari dasar perairan ke
permukaan. Bila ditinjau dari kadar fosfat dan nitrat yang merupakan salah satu
indikator kesuburan, maka perairan kabupaten Belitung masih baik untuk
budidaya perikanan (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI
Tanjungpandan 2005).
¾ pH
Nilai pH suatu perairan dipengaruhi beberapa faktor, seperti aktivitas
fotosintetis, terdapatnya anion dan kation serta suhu. Batas toleransi organisme
akuatik terhadap nilai pH bervariasi tergantung pada suhu air laut, konsentrasi
oksigen terlarut dan adanya anion dan kation (PESCOD 1978 dalam BAPPEDA
Propinsi Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005). pH dalam air laut
relatif stabil dan biasanya berada dalam kisaran 7,5 – 8,4. Perairan yang produktif
dan ideal bagi kehidupan biota akuatik adalah yang pH-nya berkisar antara 6,5 –
8,5. Batasan nilai pH yang diizinkan berkisar antara 7 – 8,5 (KLH 2004). Secara
keseluruhan nilai pH di perairan Belitung, Oktober 2005 berkisar antara 8,02 –
(0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 8,02 – 8,17 dengan rata-rata
8,08; 8,04 – 8,21 dengan rata-rata 8,11 dan 8,08 – 8,24 dengan rata-rata 8,15.
Nilai rata-rata pH tersebut (8,11 ‰) lebih rendah bila dibandingkan dengan di
perairan Belitung Barat bulan Juni 2005 (8,17) (BAPPEDA Propinsi
Bangka-Belitung dan P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).
¾ Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan zat pengoksidasi yang kuat dan berperan
penting dalam pernafasan biota laut. Permasalahan akan timbul bilamana
konsentrasi okaigen tersebut berubah sampai batas di luar batas angka normal
dalam suatu perairan. Konsentrasi oksigen terlarut dalam air laut bervariasi, di laut
lepas bisa mencapai 7 ml/l sedangkan di wilayah pesisir konsentrasinya akan
semakin berkurang. Dalam air laut permukaan konsentrasinya dipengaruhi oleh
temperatur, semakin tinggi temperatur maka kelarutan gas akan semakin rendah.
Penurunan konsentrasi oksigen terlarut ini biasanya disebabkan oleh terjadinya
perubahan kualitas perairan sebagai akibat banyaknya limbah yang kaya akan
karbon organik mengalir ke dalam perairan. Besarnya konsentrasi oksigen terlarut
di air laut yang memenuhi syarat untuk wisata bahari menurut KLH no. 51 tahun
2004 adalah sebesar >5 mg/l. Secara keseluruhan kadar oksigen terlarut di
perairan Belitung, bulan Oktober 2005 berkisar antara 3,91 – 4,65 ml/l dengan
rata-rata 4,18 ml/l. Kadar oksigen terlarut di perairan Belitung pada lapisan
permukaan (0 m), 5 m dan 10 m masing-masing berkisar antara 4,01 – 4,65 ml/l
dengan rata-rata 4,33 ml/l; 4,06 – 4,48 ml/l dengan rata-rata 4,19 ml/l dan 3,91 –
4,19 ml/l dengan rata-rata 4,02 ml/l (BAPPEDA Propinsi Bangka-Belitung dan
P2O-LIPI Tanjungpandan 2005).
2.3. Komunitas Ikan Karang
Laut di daerah ekuatorial memiliki kondisi fisika-kimia yang sangat konstan
sepanjang waktu di daerah karang. Peningkatan daerah permukaan dari dasar dan
celah-celah dan gua-gua yang tak terhingga jumlahnya menyediakan tempat untuk
bersembunyi untuk bermacam-macam invertebrata yang merupakan makanan dari
ikan-ikan. Keberagaman, kelimpahan dan biomasa ikan meningkat dengan
dilihat pertama dan yang paling diingat oleh penyelam-penyelam baru. Jika
ikan-ikan karang tidak memiliki tanda corak dan pola yang sangat luar biasa cemerlang
dan variasinya, hal tersebut tidak mungkin terjadi bahwa perjalanan pertama
dengan masker dan snorkel di atas karang akan menjadi pengalaman yang tak
terlupakan, satu ingatan yang menarik kita lagi dan lagi ke perairan tropis.
menyaksikan warna-warna indah dari mahluk yang bergerak cepat dengan
tiba-tiba dan bercahaya cukup dapat dikatakan sebagai aktivitas yang sangat menarik
(Wilson dan James 1985). Supriharyono (2000) menambahkan bahwa ikan-ikan
karang biasanya mempunyai warna yang sangat indah, selain itu bentuknya sering
unik, memberikan kesan tersendiri kepada wisatawan.
Komunitas ikan di P. Burung dan P. Kelayang dalam kondisi baik, terlihat
dati tingginya nilai E (indeks keseragaman) dan rendahnya C (indeks dominansi).
Ditemukan 11 genus ikan di pulau Kelayang, nilai H’ (indeks keanekaragaman)
untuk masing-masing pulau tergolong sedang. Diperkirakan bahwa lebih
banyaknya genus ikan yang ditemukan di Pulau Kelayang disebabkan oleh
kondisi habitat dasar atau penutupan karang yang lebih luas, karena meliputi 2
strata kedalaman (3 dan 6 m). Genus ikan yang paling umum dijumpai di setiap
perairan Kecamatan Sijuk adalah Amblyglyphidodon, Amphiprion dan
Pomacentrus. Ketiga genus tersebut merupakan kelompok ikan mayor utama yang
berasal dari satu famili yaitu Pomacentridae (betok laut). Hanya tiga genus ikan
yang termasuk kelompok target, satu genus (Chaetodon) termasuk kelompok ikan
indikator dan sisanya adalah ikan mayor utama (Tim Expedisi Zooxanthellae VII
FDC-IPB 2002).
Nybakken (1988) menyatakan bahwa ikan karang merupakan organisme
yang sering dijumpai di ekosistem terumbu karang. Keberadaan mereka telah
menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem yang paling banyak
dihuni biota air. Ikan-ikan ini hidup berasosiasi dengan terumbu pada habitat yang
disukai yaitu daerah yang banyak menyediakan makanan. Ikan-ikan karang ini
memanfaatkan bentuk-bentuk terumbu karang untuk mempertahankan diri.
Keberadaan ikan karang di perairan sangat tergantung pada kesehatan terumbu
yang ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup. Hal ini dimungkinkan
tempat tinggal, perlindungan dan tempat mencari makan. Ikan karang secara
relatif menetap hampir di seluruh hidup mereka. Sale (1978b) dalam Sale (1991)
menyatakan bahwa ikan karang kecil (panjang kurang dari 30 cm) berbeda-beda
dalam tingkat pergerakan, merupakan hal yang benar bahwa ikan-ikan karang
lebih menetap dibandingkan dengan vertebrata lain yang seukuran. Alasan yang
mendukung hal tersebut adalah ikan karang hidup di lingkungan yang sangat
berstruktur yang dibuat oleh arsitektur yang kompleks dari karang-karang, dan
lingkungan yang berbeda-beda dalam struktur dari suatu tempat ke tempat yang
lain dalam skala meter.
Sale (1991) menyatakan bahwa Struktur karang yang kompleks
menyediakan habitat fisik dan tempat berlindung yang mengakomodasi banyak
ukuran kelas dan khususnya individu yang kecil dari invertebrata. Banyak spesies
ikan yang mengambil hewan invertebrata yang khas di koloni karang, tumpukan
patahan karang dan turf alga. Terdapat beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi komunitas ikan karang. Faktor yang pertama yaitu keberadaan
karang hidup. Karang mati menyebabkan penurunan secara nyata jumlah spesies
ikan dan individu-individu yang berasosiasi dengan terumbu. Terdapat tiga bentuk
interaksi antara ikan dan karang, yaitu: Pertama, ada interaksi langsung antara
struktur karang dan tempat berlindung, yang paling nyata pada ikan-ikan kecil.
Kedua, adanya interaksi memakan yang layak melibatkan ikan-ikan karang dan
biota-biota sesil, termasuk alga. Ketiga, adanya peranan dari struktur karang dan
pola memakan dari pemakan plankton dan karnivor yang berasosisasi dengan
karang.
Goldman dan Talbot (1976) dalam Wilson dan James (1985) menyatakan
bahwa secara keseluruhan di perairan karang di Pulau One Tree (Great Barrier
Reef) biomasa ikan karnivor menguasai 3,4 kali ikan grazer, tetapi ikan karnivor
tersebut juga biasa memakan invertebrate pada tingkat tropik ke-2 dan ke-3.
biomasa di bagian leeward slope terdiri dari 4 kategori tropik kira-kira dalam
jumlah yang sama, di laguna karang biomasa utama adalah pemakan invertebrata
dasar dan grazer, dan di windward slope dan transisi ke dasar yang tidak
berkarang biomasa yang utama adalah piscivores. Picivores ini akan tetapi,
mencari makan pada malam hari, sehingga tidak ada contoh yang akurat dari
jumlah ikan yang tersedia disokong oleh zona-zona tersebut.
2.4. Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
2.4.1. Kerusakan Terumbu Karang Karena Faktor Alam
Diantara pergantian abad dan tahun 1962, 200 angin topan dan lebih dari
200 bencana besar badai tropis melanda Carribean, atau sekitar enam setengah
badai setahun. Kenyataannya, habitat yang lebih dangkal yang paling terkena
dampak, kemiringan yang dalam, terutama sekali sekitar dibawah 16 kaki adalah
lingkungan yang paling stabil. Meskipun tidak ada badai yang memukul setiap
karang, aksi gelombang yang keras merobohkan karang dan melukai ikan-ikan.
Mungkin dampak merusak yang lebih serius daripada kerasnya badai secara
langsung adalah perubahan yang lama dari suhu perairan dan tingkat salinitas.
Suhu perairan di beberapa wilayah karang di Pasifik meningkat menjadi setinggi
31 oC, diatas tingkat toleransi karang, menjadikan penurunan yang cepat dari beberapa karang selama musim panas tahun 1983 (Wilson dan James 1985).
Peledakan populasi dari bintang laut mahkota duri pemakan karang yang tidak
dapat dijelaskan, setiapnya mampu melahap sekitar 2 kaki2 karang per hari berbaris sepanjang hamparan karang, memperingatkan peneliti laut di mana-mana.
Tidak seperti badai, yang hanya merusak daerah yang lebih dangkal, bintang laut
mahkota duri bisa mencapai area yang dalam dan merusak pada banyak
kedalaman. Para peneliti tidak yakin mengapa penjangkitan bermula atau
mengapa itu berakhir, tetapi banyak yang berpikir bahwa itu bukan merupakan
penyakit yang parah yang paling ditakuti (Wilson dan James 1985). Memperparah
dampak badai, karang di beberapa tempat kadang-kadang rusak karena surut yang
tidak biasa yang mengekspos karang ke udara dan mengeringkan mereka. Di
Teluk Elat, Laut Merah, surut yang tidak diharapkan pada tahun 1970 membunuh
2.4.2. Kerusakan Terumbu Karang Akibat Aktivitas Manusia 2.4.2.1. Karena kegiatan pariwisata
Ancaman terhadap terumbu karang dari wisata bahari tidak hanya
berhubungan dengan campur tangan manusia dengan biota yang sensitif, tetapi
termasuk aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan konstruksi-konstruksi dan
pembangunan di daratan. Wisata telah melibatkan degradasi dari banyak daerah
terumbu karang, terutama di Asia Tenggara. Pengembangan pariwisata pada coral
cays dan dampaknya terhadap terumbu karang sekitar menjadi masalah yang
serius. Hal tersebut perlu diketahui bahwa coral cays yang terbuat dari
bahan-bahan yang berasal dari karang itu sendiri adalah fitur morfologi yang sangat
dinamis yang berubah setiap pasang surut. Untuk mencegah proses erosi,
pengembang membuat pelindung garis pantai dengan cara menghancurkan
memindahkan terumbu karang yang mengelilingi pulau. Kegiatan ini tidak hanya
menghancurkan terumbu karang itu sendiri, yang merupakan daya tarik
wisatawan, tetapi juga mempercepat proses erosi pantai (Tomascik et al. 1997).
Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata terhadap
ekosistem terumbu karang menurut (Tomascik et al. 1997) yaitu :
• Kerusakan fisik secara langsung terhadap terumbu karang dan perbatasan garis
pantai karena kegiatan konstruksi dan pengumpulan karang untuk konstruksi
tersebut.
• Peningkatan pemasukkan sedimen-sedimen dari kegiatan di daratan. • Peningkatan pemasukkan sedimen-sedimen dari kegiatan-kegiatan di laut. • Peningkatan pemasukkan aliran permukaan air tawar, nutrien-nutrien dan
polutan-polutan yang lain dari pembersihan daratan, lapangan parkir, lapangan
golf, jalan-jalan, bandara, dll. • Pemasukan bahan kimia beracun.
• Peningkatan masukan nutrien dari pembuangan limbah cair.
• Pemasukan polutan-polutan seperti gas, minyak, knalpot perahu, bahan-bahan antifouling, pestisida, dll.
• Pemasukan minyak-minyak dan minyak dari aktivitas mandi (minyak untuk
berjemur dan losion pelembab) di daerah yang memiliki pola sirkulasi
• Perubahan pola sirkulasi karena pekerjaan pembangunan pantai (penghancuran karang, pengeboran, tempat berlabuh kapal/dok, pemecah
gelombang, dll)
• Pengambilan karang dan kerang untuk souvenir.
• Perusakan fisik secara langsung karena aktivitas rekreasi seperti berjalan di atas karang dan pembangunan galangan kapal.
2.4.2.2 Karena kegiatan non-pariwisata
Tomascik et al. (1997) menyatakan bahwa aktivitas manusia yang
berdampak negatif terhadap kondisi terumbu karang yaitu:
• Polusi minyak karena penambangan lepas pantai dan kapal minyak, menyebabkan degradasi terhadap karang dan organisme yang hidup di
terumbu karang. Selain itu, petroleum hydrocarbon (PHC) mengganggu
pertumbuhan karang, reproduksi, kemampuan mengkolonisasi, makan dan
respon tingkah laku.
• Sedimentasi dari penggalian, penambalan dan kegiatan konstruksi di pantai. Sediment yang terlalu banyak mungkin berdampak merugikan fungsi dan
struktur komunitas terumbu karang melalui perubahan proses fisika, kimia dan
biologi. Sediment meningkatkan kekeruhan pada kolom perairan yang
mengurangi penetrasi cahaya dan fotosintesis Zooxanthellae, hal tersebut
secara langsung berdampak pada produktivitas bersih dari karang. Sedimentasi
juga menyebabkan penutupan terhadap karang dan organisme bentik lainnya.
Sedimentasi yang tinggi berhubungan dengan penutupan karang hidup yang
rendah, mengurangi recruitment karang baru dan pertumbuhan karang yang
rendah. Sedimentasi juga mengurangi pertumbuhan dan reproduksi karang. • Sedimentasi yang dihasilkan oleh tambang (tailing) dari kegiatan
penambangan di pantai memproduksi efek toksik secara langsung,
menyebabkan peningkatan kekeruhan dan mengurangi fotosintesisi
Zooxanthellae dan penutupan biota-biota bentik secara langsung.
• Erosi tanah dari daratan seperti perkebunan, penebangan hutan, jalan-jalan,
dan sedimentasi, pemasukkan pestisida dan biosida yang lain, pemasukkan
nutrien-nutiren.
• Pembuangan dari limbah industri, termasuk bahan-bahan dari desalinasi
tanaman menyebabkan degradasi biologi secara umum melalui pemasukan
biosida dan zat beracun yang lain serta perubahan kondisi alami lingkungan. • Pembuangan limbah cair menyebabkan eutropikasi melalui kelebihan
pemasukan nutrien. Interfensi dan perubahan proses ekologi alam pada
terumbu karang. Limbah cair yang mengandung klorin mungkin menyebabkan
biota laut terekspos ringan sampai bahkan kronis akut. Klorin dalam limbah
cair mungkin memproduksi keracunan kronis dan akut.
• Pembuangan dari proses perikanan dan pertanian meningkatkan eutropikasi, pemasukan sediment dan biosida, pemasukan hama dan organisme penyebab
penyakit.
• Kegiatan perikanan yang merusak seperti menggunakan dinamit, trawl di atas
karang, muroami, penggunaan bahan kimia/racun dan over-fishing
menyebabkan perusakan habitat secara umum, deplesi stok dan spesies.
• pengumpulan ikan-ikan untuk akuarium menggunakan racun dan teknik lain yang tidak sesuai menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan dalam
keseimbangan ekosistem.
• Kegiatan konstruksi di karang menyebabkan kerusakan habitat.
• Pelepasan bahan kimia beracun dari daratan dan kapal menyebabkan
kerusakan habitat.
• Resuspensi sedimen laut oleh kendaraan laut dengan daya muat yang dalam menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan keseimbangan ekologi.
• Pembuangan sampah padat (becak, tas plastik dll) menyebabkan kerusakan habitat dan perubahan keseimbangan ekologis.
• Penambangan karang dan pengumpulan pasir menyebabkan perusakan habitat,
perubahan keseimbangan ekologi, deplesi stok dan spesies.
• Pembuangan air tawar menyebabkan perusakan habitat dan kematian organisme karang atau tekanan fisiologi yang berat.
Yosephine dan Suharsono (1995) dalam Tomascik dkk. (1997), menyatakan
bahwa keragaman karang dan penutupan karang di Pulau Kotok Besar telah
menurun secara drastis sejak tahun 1985, sementara bahan-bahan dari pantai yang
terapung-apung dan sampah dari daratan utama Jawa juga masyarakat setempat
telah meningkat 10 kali.
2.5. Pariwisata Bahari
Agenda 21 (1992) dalam Aryanto (2003) mengartikan pariwisata sebagai
seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat
di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun
untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud lain. Pariwisata di Indonesia
menurut UU Kepariwisataan No. 9 tahun 1990 pasal 1 (5) adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidangnya.
Dalam usaha pengembangannya, Indonesia wajib memperhatikan
dampak-dampak yang ditimbulkannya, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah
sektor ekowisata dan pariwisata alternatif yang oleh Eadington dan Smith (1995)
dalam Aryanto (2003) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial
dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para
pelakunya. Lindberg dan Hawkins (1993) menyatakan bahwa ekowisata adalah
suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan,
ekonomi dan sosial yang menggabungkan suatu komitmen yang kuat terhadap
alam dan suatu rasa tanggungjawab sosial untuk menciptakan dan memuaskan
keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi
dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi,
kebudayaan dan keindahan. Nugroho (2004) mendefinisikan ekoturisme adalah
kegiatan perjalan wisata yang dikemas secara professional, terlatih dan memuat
unsur pendidikan, sebagai suatu sektor/usaha ekonomi, yang mempertimbangkan
warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal serta upaya-upaya
konservasi sumberdaya alam dan lingkungan.
Aryanto (2003) mengemukakan wisata pesisir dan bahari adalah bagian dari
wisata lingkungan (ekoturisme). Sarwono Kusumaatmaja, mantan Menteri Negara
Aryanto (2003) berpendapat; selain sebagai bagian dari ekowisata, wisata pesisir
dan bahari merupakan industri yang menjanjikan. Lebih lanjut wisata bahari ini
merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berlandaskan pada daya tarik kelautan
dan terjadi di lokasi atau kawasan yang didominasi perairan dan kelautan. Daya
tarik itu mencakup perjalanan dengan moda laut; kekayaan alam bahari serta
peristiwa-peristiwa yang diselenggarakan di laut dan di pantai, seperti misalnya
lomba memancing, selancar, menyelam, lomba layar, olah raga pantai, dayung,
upacara adat yang dilakukan di laut. Selain itu, adat istiadat dan budaya
masyarakat pesisir dan bahari. Wisata bahari dalam PPRTKIM (1995) merupakan
kumpulan dari segala bentuk wisata yang berhubungan dengan laut, mulai dari
wisata di pesisir pantai, wisata di permukaan laut (berenang, snorkeling, berlayar,
berselancar dan sebagainya) bahkan sampai wisata di dasar laut (selam, selam
SCUBA). Agar dapat dinikmati, wisata bahari ini harus mempunyai tiga unsur
pendukung, yaitu: objek, paket dan sarana wisata. Objek adalah tempat atau lokasi
dimana keindahan alam dapat dinikmati. Paket wisata yaitu aktivitas-aktivitas
seperti memancing, snorkeling, selam, parasailing. Sedangkan sarana yaitu kapal
dll. Dibandingkan dengan wisata lain, wisata bahari mempunyai sifat spesifik,
karena untuk dapat menikmatinya para wisatawan harus mempunyai persiapan
khusus sebelumnya. Persiapan tersebut misalnya, untuk dapat melakukan selam
SCUBA maka wisatawan harus mengikuti kursus atau pelatihan terlebih dahulu
Menurut Spriharyono (2000), Daerah pantai yang mempunyai ekosistem
terumbu karang, hewan-hewan laut yang beraneka ragam dan pantai pasir putih
secara alamiah akan memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.
Namun pengembangan pariwisata bahari di suatu tempat apabila aktivitas
wisatawannya tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah bagi daerah
tersebut, seperti turunnya keanekaragaman hayati. Pemanfaatan suatu daerah
konservasi untuk tujuan wisata yang dikelola oleh agen-agen pariwisata biasanya
terlalu mementingkan keuntungan daripada harapan konservasi, yaitu pelestarian
sumberdaya alam. Berkaitan dengan hal di atas, dalam rangka pelestarian
sumberdaya alam laut, maka saat ini banyak dikembangkan konsep “Jumlah
rendah tapi nilai tinggi”. Jumlah kunjungan wisata dibatasi, tidak perlu banyak
keuangan maupun kepedulian terhadap lingkungan. Dengan kata lain konsep
kunjungan wisata tersebut lebih diarahkan ke ekowisata laut daripada wisata
massa. Walaupun konsep tersebut cenderung deskriminatif, hanya untuk orang
kaya dan pendidikan tinggi saja yang menikmati kawasan konservasi, sedangkan
masyarakat biasa cukup di lokasi wisata di luar kawasan konservasi, tetapi
pelestarian alam diharapkan menjadi lebih terjaga.
Agenda 21 (1992) dalam Nugroho (2004) menyatakan pengembangan
program-program wisata di masa yang akan datang dipandu oleh prinsip-prinsip
sebagai berikut :
a. Alam, sejarah, budaya dan sumberdaya lain untuk wisata dilestarikan untuk
penggunaan yang berkelanjutan di masa yang akan datang, walaupun masih
mendatangkan keuntungan untuk komunitas sekarang ini.
b. Pengembangan wisata direncanakan dan diatur sehingga tidak menimbulkan
masalah-masalah lingkungan dan sosial budaya yang serius di daerah wisata.
c. Kualitas lingkungan di daerah wisata dijaga dan diperbaiki sesuai kebutuhan.
d. Kepuasan turis pada tingkatan yang tinggi dijaga sehingga tempat tujuan
wisata dapat mempertahankan kemampuan pasar dan kepopuleran.
e. Keuntungan dari wisata disebar luaskan kepada masyarakat.
2.6. Aspek Sosial Ekoturisme
Nugroho (2004) menjelaskan bahwa aspek sosial menyajikan peran yang
penting dalam mendukung kinerja sektor ekoturisme. Aspek sosial bukan hanya
mengidentifikasikan pemangku kepentingan tetapi juga mengorganisasikannya
sehingga menghasilkan manfaat (dan insentif ekonomi) yang optimal bagi
masing-masing pemangku kepentingan. Stakeholder dalam ekoturisme meliputi
siapapun yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sektor ekoturisme. Mereka
adalah penduduk lokal, pemerintah, kelompok masyarakat nirlaba (LSM atau
yang sejenis), sektor swasta dan wisatawan. Sektor ekoturisme mempertemukan
dua atau lebih kultur yang berbeda. Wisatawan memperoleh pengalaman berharga
dari kultur lokal, sementara penduduk lokal memainkan proses edukasi perihal
lingkungan spesifik lokal dan mendapatkan penghasilan. Sinergi tersebut harus
beroperasinya sektor swasta dan bantuan dari kelompok nirlaba. Dalam jangka
panjang, pariwisata bergantung pada kualitas dari lingkungan. Tentu saja, kualitas
dari lingkungan tersebut atau beberapa bagian dari lingkungan adalah seringkali
merupakan daya tarik utama dari wisatawan. Sekarang ini, semua jenis wisatawan
menjadi lebih sensitif terhadap kondisi lingkungan yang terpolusi atau
terdegradasi pada tujuan perjalanan mereka. Hal tersebut terjadi di beberapa
tempat, jumlah wisatawan menurun karena masalah lingkungan. Penurunan dalam
pariwisata tidaklah selalu disebabkan oleh wisata itu sendiri. Agaknya, itu adalah
pola dari pertumbuhan industri, eksploitasi sumberdaya alam dan konsumsi,
secara singkat, pembangunan yang tidak berkelanjutan yang mencirikan
masyarakat zaman sekarang yang harus disalahkan (Ceballos-Lascurian 1996).
Masyarakat yang tinggal sekitar atau di dekat daerah perlindungan
seringkali dilupakan dalam pariwisata, pembangunan dan manajemen.
Kadang-kadang hal ini karena mereka tersebar dan terisolasi membuat komunikasi
menjadi sulit. Dalam waktu yang lain pengembang yang menghindari meluangkan
waktu dan usaha untuk menginformasikan kepada masyarakat lokal akan rencana
pengembangan pariwisata tertentu, atau mencoba untuk mengesampingkan
mereka untuk menghilangkan mereka dari keuntungan ekonomi yang diharapkan.
Akan tetapi, kebutuhan akan masyarakat lokal harus diperhitungkan secra penuh,
terutama sekali sejak mereka sering tergantung pada sumberdaya alam yang
menarik perhatian turis pada daerah tersebut. Proses perencanaan harus
memprakarsai pembangunan dari mekanisme yang menjamin bahwa masyarakat
lokal harus menerima pembagian keuntungan dari pengembangan pariwisata.
Tetapi yang paling utama, masyarakat lokal dirundingkan dalam hal tingkat dari
pengembangan pariwisata yang mereka pikirkan adalah tepat dalam lingkungan
mereka sekarang ini dan di daerah tersebut secara keseluruhan. Jika keterlibatan
mereka tidak diminta, tentu saja ekoturisme akan mustahil (Ceballos-Lascurian
1996).
Nugroho (2004) menguraikan peran masing-masing pemangku kepentingan
di dalam ekoturisme sebagai berikut :
1. Pemerintah. Pemerintah memiliki peran strategis mengembangkan kebijakan
meliputi perpajakan (dan tarif), infestasi dalam prasarana infrastruktur,
dukungan aspek keamanan atau peningkatan profesional aparat pemerintah.
2. Sektor swasta. Sektor swasta adalah pemangku kepentingan yang
mengoperasikan usaha ekoturisme. Sektor swasta menyediakan berbagai
fasilitas dan akomodasi, informasi, produk wisata, tujuan wisata dan kualitas
pelayanan, dengan tujuan agar menarik wisatawan dan memberikan kepuasan
dan pengalaman yang berharga.
3. Pengunjung atau wisatawan. Pengunjung merupakan indikator terpenting
keberhasilan pembangunan ekoturisme. Pengunjung dari luar daerah dapat
menginjeksi aliran ekonomi lokal dan diharapkan dapat memberikan insentif
bagi pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
4. Penduduk lokal. Penduduk lokal berperan sebagai subjek dan objek dalam
pengembangan ekoturisme. Mereka perlu diberikan kesempatan aktif
mengolah dan menjual produk wisata yang dibutuhkan oleh wisatawan. Juga
tidak ada salahnya, kerangka berfikir penduduk lokal digunakan untuk saran
kebijakan.
5. Lembaga masyarakat. Lembaga domestik maupun internasional khususnya
yang profesional, sama-sama berfungsi dalam memfasilitasi semua
kepentingan pemangku kepentingan seperti memberikan fungsi politis untuk
mengangkat isyu-isyu kemiskinan, ketidakadilan dan dampak kerusakan
lingkungan agar diperbaiki keadannya.
2.7. Dampak Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Pariwisata
Wisatawan mungkin bereaksi dengan banyak cara terhadap pemutihan dan
terumbu karang yang rusak. Jika mereka menyadari pemutihan (dari media, mulut
ke mulut, atau sumber informasi lain), mereka mungkin memilih untuk tidak
mengunjungi daerah yang terpengaruh, hal mana yang menyebabkan penderitaan
industri pariwisata di semua tingkat. Beberapa akan mengunjungi sekali dan tidak
akan pernah datang lagi seperti yang sebelumnya. Mereka yang awam dengan
olaraga selam dan snorkeling mungkin tidak menyadari permasalahan tersebut.
Orang-orang ini dan yang tidak tertarik pada kegiatan yang berhubungan langsung
Kemungkinan lainnya adalah wisatawan tetap mengunjungi daerah tersebut tetapi
mereka tidak mengunjungi terumbu karang, sehingga dalam kasus ini industri
selam dan snorkeling akan menderita. Kurang dari 5 % dari penyelam dan
snorkeller di Zanzibar dan Mombasa yang diwawancarai berkata bahwa mereka
tidak mau menyelam ataupun snorkeling karena pemutihan. Di Maldiva, 48 %