• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan yang Dilarang

Dalam dokumen Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia (Halaman 51-64)

Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 Undang-undang No.5/1999 mengatur mengenai kegiatan-kegiatan yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha ketika mereka menjalankan usahanya. Oleh Undang-undang kegiatan yang dilarang tersebut dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Monopoli, 2. Monopsoni,

3. Penguasaan Pasar, dan 4. Persekongkolan.

1. Monopoli

Monopoli merupakan masalah yang menjadi perhatian utama dalam setiap pembahasan pembentukan hukum persaingan usaha. Monopoli itu sendiri merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu monos polein yang artinya penjual sendiri. Namun istilah tersebut dalam kenyataannya sudah tidak relevan lagi, berdasarkan perkembangannya meskipun di dalam suatu pasar atau industri terdapat beberapa pelaku usaha, tetapi jika ada satu pelaku usaha yang memiliki perilaku seperti monopoli maka dapat dikatakan perusahaan tersebut monopoli.

Berdasarkan teori, monopoli dapat dibedakan menjadi dua yaitu: monopoli yang alamiah (natural monopoly) dan monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang- undangan. Monopoli yang alamiah adalah monopoli yang terjadi karena pelaku usaha tersebut memiliki kemampuan teknis tertentu seperti: (1) pelaku usaha tersebut memiliki kemampuan atau pengetahuan khusus (special knowledge) yang memungkinkan berproduksi sangat efesien; (2) skala ekonomi, dimana semakin besar skala produksi maka biaya marjinal semakin menurun, sehingga biaya produksi perunit (average cost) makin rendah; (3) pelaku usaha memiliki kemampuan kontrol sumber faktor produksi, baik berupa sumber daya alam, sumber daya manusia maupun lokasi produksi.

Sedangkan monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan adalah: (1) hak atas kekayaan intelektual, yaitu dimana negara memberikan hak monopoli kepada pelaku usaha untuk memproduksi atau memasarkan hasil dari suatu inovasinya tersebut; (2) hak usaha eksklusif, yaitu hak yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha tertentu yang tidak didapatkan oleh pelaku usaha yang lain, misalkan agen tunggal, importir tunggal, pembeli tunggal, dan lain sebagainya.

tidak dapat dilakukan di Indonesia, karena monopoli yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, seperti yang monopoli yang berkaitan dengan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara masih diperbolehkan, asalkan diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh BUMN atau badan/lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah, masih dapat ditoleransi oleh Undang-undang No.5/1999.

Kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan dari monopoli, membuat monopoli menjadi suatu kegiatan yang perlu diatur oleh undang -undang. Menurut Machlup terdapat beberapa dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari suatu kegiatan monopoli, antara lain:

1) mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak ekonomis;

2) melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan tingkat harga, melalui produksi yang lebih rendah;

3) membuka kesempatan untuk memberikan upah yang rendah pada tenaga kerja, dalam kondisi kerja yang buruk;

4) menekan persaingan dan menyebabkan pengelolaan tidak efesien; 5) mengurangi arus investasi, dapat pula meniadakan rangsangan inovasi; 6) dalam berproduksi menghindari kapasitas penuh;

7) memperlambat penyesuaian dalam perubahan ekonomi, misalnya ada ke tegaran harga dan merangsang adanya ketidak stabilan;

8) memperlambat perbaikan tingkat kehidupan;

9) memperburuk distribusi pendapatan melalui penentuan laba yang tinggi, dan konsentrasi kekayaan.

Pelaku usaha tidak dapat melakukan tindakan yang mengakibatkan munculnya permasalahan-permasalahan di atas, tanpa pelaku usaha tersebut memiliki kekuatan monopoli (monopoly power). Tanpa monopoly power pelaku usaha tidak akan mempunyai kemampuan untuk menaikan harga semaunya, mengurangi produksi ataupun kualitas produk seenaknya saja. Tanpa monopoly power juga pelaku usaha tidak dapat bisa keliru dalam mengalokasikan sumber daya, menyerap surplus

konsumen ke produsen, menolak adanya kesempatan berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha, atau sentralisasi dan menyalahgunakan kekuatan yang dimilikinya.

Lebih lanjut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 mendefenisikan Monopoli sebagai penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Monopoli oleh Undang-undang No.5/1999 dikatagorikan sebagai salah satu kegiatan yang dilarang untuk dilakukan, Pasal 17 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 menyebutkan bahwa: “pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan barang dan/atau jasa yang da pat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” Sedangkan Pasal 17 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 lebih lanjut menyebutkan bahwa: “pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:

a. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau

b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama; atau

c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Parameter yang digunakan oleh Undang-undang No.5/1999 untuk mengetahui pelaku usaha melakukan monopoli atau tidak, yang terdapat pada Pasal 17 ayat (2) Undang- undang No.5/1999, dalam implementasinya akan menimbulkan ketidak pastian, terutama dalam hal pencatuman kata “atau” sebagai kata penghubung pada setiap kondisi yang dianggap sebagai ukuran dari monop oli, sehingga membawa konsekwensi dengan digunakannya salah satu ukuran yang ada (seperti mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama) pelaku usaha dapat dianggap melakukan monopoli, padahal pelaku usaha tersebut mungkin tidak menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha) sebenarnya tidak dilarang untuk melakukan penguasaan barang dan/atau jasa hingga lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar, asalkan terdapat substitusi terhadap barang atau jasa yang bersangkutan, tidak mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan/atau jasa yang sama dan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Pemberian judul Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 dengan judul monopoli, ditafsirkan oleh masyarakat luas bahwa monopoli merupakan suatu yang dilarang. Padahal sesungguhnya apabila dibaca isi dari pasal 17 Undang-undang No.5/1999 sama sekali tidak melarang monopoli, tetapi yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi monopoli yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk melakukan tindakan -tindakan anti persaingan tersebut.

Apabila merujuk kepada Model Law on CompetitionUNCTAD, Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 sebenarnya tidak memiliki padanannya secara langsung, namun ketentuan yang ada pada Pasal 17 Undang-undang No.5/1999 memiliki kemiripan substansi dengan Pasal 4Model Law on Competition UNCTAD mengatur mengenai perilaku yang dianggap sebagai penyalah gunaan posisi dominan.

2. Monopsoni

Secara teori ekonomi, monopsoni adalah sebuah pasar dimana hanya terdapat seorang pembeli. Biasanya pembeli tunggal ini akan menjual dengan cara monopoli. Pada kondisi inilah potensi kerugian masyarakat akan timbul dan juga ada potensi yang tidak sehat, karenanya Undang-Undang no 5 tahun 1999 mengatur secara khusus dalam pasal 18. Secara hukum, pasal ini melarang pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan /atau jasa dalam pasar yang bersangkutan. Dan pada ayat dua, pasal ini menyatakan seseorang atau sekelompok pelaku usaha dianggap melakukan monopsoni manakala menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pada satu jenis barang atau jasa tertentu.

Meskipun kasus monopsoni sangat jarang terjadi, akan tetapi dalam satu waktu atau suatu daerah tertentu hal ini bisa terjadi. Contoh klasik pada literatur ekonomi adalah

kasus penguasaan pasar tenaga kerja oleh pihak produsen pada daerah pertambangan, dimana pemuda atau angkatan kerja tidak punya banyak pilihan untuk bekerja. Misalkan pada suatu daerah yang kaya minyak tertentu hanya terdapat sebuah perusahaan/industri pertambangan dan perusahaan tersebut sangat besar. Maka, meskipun pemerintah daerah setempat menyediakan alternatif tempat bekerja yang lain pada retail dan jasa, akan tetapi hampir bisa dipastikan industri yang sendiri tadi akan sangat bisa menguasai pasar tenaga kerja di kota tersebut. Dan industri tersebut bisa dipastikan akan menyedot tenaga kerja, yang konsekuensinya adalah pengaturan harga dari tenaga kerja tersebut. Pada kondisi inilah kemudian kita menyaksikan ada salahsatu pihak yang dirugikan, karenanya hukum harus mengatur dengan tegas kondisi yang menyebabkan turunnya kesejahteraan secara agregat.

Kasus penguasaan tenaga kerja juga dapat terjadi jika ada serikat pekerja yang mereka sangat solid sehingga mereka memiliki nilai tawar yang sangat tinggi. Solid disini terukur dengan kemampuan organisasi serikat tenaga kerja yang dapat meliputi dan mewakili sebagian besar atau seluruh tenaga kerja dalam sebuah industri. Dalam kondisi tertentu mereka bahkan bisa merugikan perusahaan dengan :

1. Menuntut upah yang lebih tinggi dari yang dicapai pada keseimbangan penawaran dan permintaan pasar tenaga kerja. Dengan ancaman mogok yang sangt merugikan perusahaan dan lain sebagainya, mereka menjadi punya kekuatan untuk merubah.

2. Membatasi penawaran tenaga kerja. Ketika buruh bisa melakukan pembatasan tenaga kerja. Pembatasan penawaran juga akan berimplikasi pada tuntutan peninggian upah.

Untuk kasus Indonesia, kita juga melihat beberapa kasus yang terjadi pada tenaga kerja. Akan tetapi pada beberapa tahun belakangan ini, kita juga melihhat ada kasus monopsoni yang terjadi pada beberap pasar. Diantaranya pada pasar cengkeh, dimana BPPC dibawah koordinasi Tomy Suharto memaksa semua petani untuk menjual cengkeh mereka pada Badan tersebut dengan berbagai alasan yang dipaksakan. Monopsoni juga terjadi pada kasus penambangan pasir laut bagi kepentingan reklamasi di Singapura. Tentunya Singapura dalam hal ini menjadi pembeli tunggal yang kita sebut

mendikte harga pasir di pasar. Otomatis harga dapat bergerak turun-naik menurut kehendak pembeli, dan Singapura telah mampu menekan harga pasir se cara drastis di kurun waktu tahun 1999-2002. Lepas dari Singapura kemudian punya kemampuan memaksakan harga atau tidak, pada kondisi tertentu pasar dengan struktur seperti ini sangat rentan menimbulkan pasar gelap (black market), semisal penyelundupan dan lain-lain.Dalam kasus ini Singapura bisa menempuh jalan kasar kalau pemerintah tidak mau menuruti kemauan harga yang diinginkan mereka, yakni dengan penyelundupan, dan sudah terjadi. Tentunya, dalam jangka pendek dan panjang , hal ini sangat merugikan bangsa ini.

Kasus lain yang cukup mengusik kita adalah kasus penguasaan beras di beberapa daerah yang mesti dijual kepada KUD (Koperasi Unit Desa), DOLOG dan lain-lain. Juga peternak sapi perah di Pengalengan dan Cikajang yang dengan banyak alasan harus menjual susunya pada Koperasi (KPBS), dengan harga yang tentunya sudah diatur sedemikian rupa.

Penegakkan Pasal 18 Undang-undang No.5/1999 dalam prakteknya bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena berdasarkan pengalaman praktek ini merupakan praktek yang jarang terjadi dan konsekwensi hukum yang akan timbul dari ketentuan ini tetap tidak jelas. Dan apabila melihat kepada Model Law on Competition Law UNCTAD padanan untuk pasal 18 ini sulit untuk ditemukan.

Pemberian judul monopsoni pada pasal 18 undang-undang No.5/1999, dapat ditafsirkan dan dibaca oleh masyarakat bahwa monoposoni itu merupkan suatu hal yang dilarang padahal dalam kenyataannya monopsoni bukan sesuatu yang terlarang, maka lebih baik judul monopsoni dalam pasal 18 dihilangkan saja atau ketentuan ini tidak perlu diberikan judul.

3. Penguasaan Pasar

Penguasaan pasar atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakan keinginan dari sebagian besar pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki korelasi yang positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh pelaku usaha. Segala cara dilakukan -dari yang halal sampai yang

haram- oleh pelaku usaha agar mereka dapat menjadi penguasa di pasar. Penguasaan pasar oleh pelaku usaha dapat memungkinkan pelaku usaha tersebut melakukan segala tindakan yang bertujuan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.

Penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha biasanya selalu menjadi perhatian bagi penegak hukum persaingan usaha untuk mengawasi perilaku pelaku usaha tersebut di dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar oleh pelaku usaha tertentu biasanya dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan yang anti persaingan yang tujuannya agar dia dapat tetap menjadi penguasa pasar.

Bagian ketiga dari Bab IV (mengenai Kegiatan yang Dilarang) Undang-undang No.5/1999 memasukan beberapa tindakan yang mungkin dilakukan oleh pelaku usaha ketika memiliki penguasaan yang cukup besar di dalam pasar, yaitu:

1) menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;

2) menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaing;

3) membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan;

4) melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu;

5) melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan;

6) melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa.

Kegiatan nomor satu sampai nomor empat di atas diatur di dalam Pasal 19 Undang- undang No.5/1999, dimana Pasal 19 Undang-undang No.5/1999 berbunyi: “pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat berupa:

b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau

c. membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau

d. melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.”

Sebenarnya Pasal 19 Undang-undang No.5/1999, ini lebih baik pengaturannya disinergikan saja dengan pengaturan mengenai monopoli yang diatur di dalam Pasal 17 Undang-undang No.5/1999, pengaturan mengenai oligopoli yang diatur di dalam Pasal 4 Undang-undang No.5/1999 dan pengaturan mengenai posisi dominan dalam Pasal 25 Undang-undang No.5/1999 karena ketentuan Pasal 19 tersebut memiliki kesamaan satu sama lain dengan Pasal-pasal yang telah disebutkan tersebut.

Sadangkan Pasal 20 dan 21 Undang-undang No.5/1999, apabila membaca Model Law on Competition UNCTAD memiliki padanannya yaitu pada Pasal 4 Romawi II huruf (a). Sedangkan dalam hal pembuktian mengenai masalah seperti yang diatur oleh Pasal 20 dan 21 Undang-undang No.5/1999, hukum persaingan Jerman menerapkan pembuktian terbalik, sehingga pelaku usaha yang dituduhkan melakukan praktek yang dilarang tersebut memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa pelaku uhsa tersebut tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

4. Persekongkolan

Persaingan bagi sebagian pelaku usaha bukan merupakan sesuatu hal yang menyenangkan, karena dengan adanya persaingan biasanya bagi perusahaan yang tidak efesien, tidak inovatif, atau berusaha dengan keras meningkatkan kinerja perusahaan agar dapat menghasilkan produk dengan harga yang semurah mungkin dengan kualitas yang terbaik tentulah akan tersingkir dari pasar. Maka oleh karena i tu bagi pelaku usaha yang alergi terhadap persaingan usaha yang terbaik yang mungkin mereka lakukan untuk tetap bertahan di dalam pasar adalah dengan melakukan persekongkolan.

Persekongkolan atau juga dapat disebut sebagai konspirasi usaha didefenisikan oleh Pasal 1 ayat (8) Undang-undang No.5/1999 adalah sebagai bentuk kerjasama yang

dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Maka oleh Undang-undang No.5/1999 Persekongkolan (conspiracy) merupakan salah satu kegiatan yang dilarang. Undang-undang No.5/1999 kemudian membagi persekongkolan menjadi tiga bentuk, yaitu:

1) Persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender (Pasal 22 UU No.5/1999);

2) Persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan (Pasal 23 UU No.5/1999);

3) Persekongkolan untuk menghambat produksi atau pemasaran barang atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi kurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasal 24 UU No.5/1999).

Persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender (bid rigging) menurut a framework for design and implementation of competition law and policyyang dibuat oleh Bank Dunia dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) adalah sebuah perjanjian yang dibuat diantara para pihak peserta tender yang akan menentukan siapa yang akan memenangkan tender tersebut (yang biasanya tender tersebut berasal dari lembaga pemerintahan).55

Di Indonesia, persekongkolan tender (bid rigging) dapat dikatakan sebagai hal yang lumrah terjadi. Kolusi yang terjadi antara penyelenggara dan peserta tender juga merupakan hal yang biasa sehingga dapat dikatakan Tender yang diselenggarakan hanyalah sekedar formalitas belaka.56 Di dalam a framework for design and implementation of competition law and policy juga disebutkan beberapa variasi persekongkolan yang biasa dilakukan dalam proses tender. Tiga diantaranya: bid suppression, complementary bidding, dan bid rotation. Bid suppression adalah bentuk persekongkolan yang dilakukan diantara peserta tender untuk memenangkan salah s atu di antara mereka dengan cara memaksa peserta tender yang lain untuk menahan diri

55

R. Syam Khemani, Loc. Cit. hal 23

56

dalam mengajukan penawaran, atau bahkan meminta peserta tender yang lain untuk menarik diri dari proses tender. Complementary bidding adalah salah satu bentuk persekongkolan tender yang mempunyai maksud yang sama yaitu untuk memenangkan salah satu diantara mereka dimana pihak yang diharapkan akan memenangkan tender akan memberikan penawaran harga yang terbaik dan para peserta tender yang lain juga memberikan penawaran yang kompetitif tetapi dengan klausul-klausul yang kemungkinan tidak dapat diterima penyelenggara tender. SedangkanBid rotationadalah bentuk persekongkolan tender dimana para peserta tender akan secara bergiliran memenangkan tender. Para peserta tender akan berusaha membagi giliran tender secara merata kepada setiap peserta persekongkolan tender. Penggiliran pemenang tender dalam suatu kelompok pelaku usaha tertentu dapat dijadikan petunjuk bahwa diantara mereka terjadi suatu kolusi.57

Dengan adanya persekongkolan tender (bid rigging) telah membuat tujuan dari penyelenggaraan tender menjadi tidak tercapai, yaitu untuk mendapatkan penawaran terbaik atas suatu pemborongan suatu pekerjaan, mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. Persekongkolan tender telah membuat penyelenggaraan tender tidak mendapatkan penawaran yang terbaik atas suatu pemborongan perkerjaan, pengadaan barang atau menyediakan jasa.

Pasal 22 undang-undang No.5/1999 yang berbunyi bahwa: “pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga konsekwensinya pelaku usaha diperbolehkan bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur atau menentukan pemenang tender asalkan tidak mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Karena misalkan dalam suatu proses tender, bagi pelaku usaha yang memiliki kualifikasi tertentu saja yang dapat mengikuti proses tender, sehingga pelaku usaha yang berminat ingin mengikuti tender tetapi tidak memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan mungkin akan saling berkerjasama agar mereka dapat mengikuti tender tersebut, maka kemungkinan praktek yang seperti ini tidak dapat dikatakan sebagai persekongkolan tender yang tidak mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat.

57

Namun yang menjadi permasalahan dalam penerapan Pasal 22 Undang-undang No.5/1999 adalah ketika dilapangan banyak ditemukan bahwa yang terlibat dalam praktek pesekongkolan tender itu tidak hanya para peserta tender saja tetapi juga pihak yang menyelenggarakan tender terlibat dalam persekongkolan tersebut. Pertanyaannya adalah apakah dimungkinkan pihak penyelenggara tender dapat dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 22.

Kemudian apakah Pasal 22 Undang-undang No.5/1999 tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pihal lain, apakah pihak lain itu diartikan sebagai sesama peserta tender ataukah seluruh pihak yang terlibat dalam suatu tender seperti konsultan jasa penilai, konsultan hukum atau akuntan misalnya.

Sedangkan penjelasan Pasal 22 memberikan penjelasan mengeni tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa. Sehingga penjelasan tersebut telah mempersempit defenisi dari tender, karena suatu tender diadakan biasanya tidak hanya untuk keperluan seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 22 tetapi juga ada dalam praktek sehari-harinya tender dilakukan dalam rangka melakukan suatu penjualan.

Sedangkan bentuk persekongkolan yang lain yang dilarang untuk dilakukan oleh Undang-undang No.5/1999 adalah persekongkolan untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan, ketentuan ini bertujuan memberikan perlindungan kepada pelaku usaha yang eksistensi atau keberadaan mereka di dalam pasar bergantung sekali kepada rahasia perusahaan yang dimiliki, seperti perusahaan Coca Cola jika resep mereka dalam meracik minuman sampai jatuh ketangan pelaku usaha lain yang kemungkinan akan memproduksi produk yang sama sudah barang tentu kedudukan Coca Cola di dalam pasar akan terancam, atau juga perusahaan farmasi yang melakukan riset dengan waktu dan biaya tidak

Dalam dokumen Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia (Halaman 51-64)