Pengantar
Hukum Persaingan Usaha Indonesia
Manfaat Persaingan
Henry Clay (1832) pernah mengungkapkan dalam suatu kalimat: “Off all human powers
operating on the affairs of mankind, none is greater than that of competition,” untuk
menggambarkan mengenai arti penting dari persaingan bagi umat manusia. Bahkan
mungkin sejak dimulainya peradaban dan selama masih akan ada peradaban rasanya
persaingan tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan manusia.
Bayangkan seandainya di dalam kehidupan ini tidak ada persaingan, mungkin
perkembangan teknologi tidak akan semaju seperti sekarang ini, dan pergi ke luar
angkasa serta menginjakan kaki di bulan hanya akan menjadi sebuah mimpi belaka.
Dengan adanya persaingan jelas memberikan manfaat kepada peningkatan kualitas
kehidupan manusia. Namun di samping segi positifnya persaingan juga terkadang
membawa segi negatif, terutama bagi pihak yang kalah dalam persaingan. Namun
secara umum persaingan diakui ataupun tidak, lebih banyak membawa segi positif
dibandingkan segi negatifnya. Jadi keinginan untuk meniadakan persaingan adalah
suatu keinginan yang jelas justru akan membawa kehidupan umat manusia kearah
kemunduran.
Mengapa sebagian besar orang dalam berbelanja sesuatu untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari biasanya lebih memilih pergi berbelanja di pasar,
dibandingkan harus membeli dari toko atau warung yang terdapat di sekitar tempat
tinggal, walaupun toko atau warung tersebut juga menjual barang-barang yang terdapat
di pasar? Hal tersebut terjadi, dikarenakan pada umumnya harga barang-barang yang
dijual oleh penjual di pasar biasanya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga
barang-barang yang dijual ditoko atau warung di sekitar tempat tinggal, harga di pasar
bisa lebih murah dibandingkan harga di toko di sekitar tempat tinggal, dikarenakan di
pasar terdapat banyak sekali penjual yang juga menjual produk yang terkadang hampir
sama, sehingga penjual-penjual yang ada di pasar biasanya tidak berani mengambil
keuntungan terlalu besar atas barang dagangannya, karena pembeli pasti dengan
mudah pindah ke penjual lain di pasar tersebut juga, yang menawarkan harga yang lebih
murah, oleh karena itu harga-harga barang yang di jual di pasar biasanya menjadi lebih
murah.
Lebih mahalnya harga barang-barang yang dijual di toko atau warung di sekitar tempat
tinggal, merupakan akibat dari toko atau warung tersebut mengambil keuntungan yang
terlalu besar atau berlebihan, dimana mereka mengetahui mengenai posisinya yang
tidak memiliki banyak pesaing dalam menjual produknya, sehingga membuat mereka
bebas memainkan harga sekehendak hatinya saja. Namun walaupun harga
barang-barang di toko atau warung di sekitar tempat tinggal jauh lebih mahal, biasanya tetap
dibeli juga oleh penduduk sekitar karena mereka tidak memiliki pilihan lain lagi.
Dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya persaingan jelas
memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi kehidupan kita, namun untuk menghindari
sisi negatif dari persaingan perlu dibuat suatu aturan main yang jelas, sehingga
persaingan dapat berjalan dengan baik atau dengan kata lain tercipta suatu level playing
field, yang membuat pelaku-pelaku usaha kecil tetap dapat menjalankan usaha
Sejarah Undang-undang No.5/1999
Setelah sekian lama dinantikan akhirnya Indonesia pada tanggal 5 Maret 1999 memiliki
juga undang-undang yang mengatur mengenai persaingan usaha yaitu Undang-undang
Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
atau juga dapat disebut dengan nama Undang-undang Persaingan Usaha ataupun
Undang-undang Anti Monopoli. Undang-undang No.5/1999 ini juga memiliki makna dan
sejarah tersendiri, karena Undang-undang No.5 / 1999 merupakan Undang-undang hasil
inisiatif DPR RI yang pertama sejak negara Republik Indonesia merdeka.
Sebenarnya sebelum diberlakukan Undang-undang Persaingan Usaha, Indonesia telah
memilik peraturan perundang-undangan yang yang mengatur mengenai praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walupun masih tercecer, bersifat parsial
dan kurang komprehensif,1 seperti terdapat beberapa pasal di dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (PT), Undang -undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal, Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, Undang -undang
Nomor 10 Tahun 1998 jo. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.2
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 / 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat, perangkat hukum yang mengatur
mengenai praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat jauh lebih baik dari yang
diatur oleh peraturan perundang-undangan sebelumnya.
Lahirnya Undang-undang Persaingan Usaha sebenarnya tidak lepas dari krisis moneter
yang kemudian berlanjut kepada krisis ekonomi yang melanda Indonesia di pertengahan
1
Normis S. Pakpahan, “Rangkuman Seminar ELIPS: Penemuan Hukum Persaingan: Suatu Layanan Analitik Komparatif,”Jurnal Hukum Bisnis(Volume 4, 1998), hal.23.
2
tahun 1997, dimana pemerintah disadarkan bahwa sebenarnya fundamental ekonomi
Indonesia pada waktu itu ternyata begitu lemah, lemahnya fundamental ekonomi
Indonesia terjadi karena berbagai kebijakan pemerintah di berbagai sektor ekonomi
yang kurang tepat yang menyebabkan pasar menjadi terdistorsi.3 Terdistrosinya pasar
membuat harga yang terbentuk di pasar tidak lagi merefleksikan hukum permintaan dan
hukum penawaran yang rill, proses pembentukan harga dilakukan secara sepihak (oleh
pengusaha atau produsen)4 tanpa memperhatikan kualitas produk yang mereka
tawarkan terhadap konsumen.
Di dalam penjelasan umum atas Undang-undang Persaingan Usaha dikatakan bahwa
kebijakan pemerintah diberbagai sektor ekonomi yang dibuat selama tiga dasawarsa
terakhir ternyata belum membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi, hanya
sebagian kecil golongan masyarakat saja yang dapat menikmati kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah tersebut, sehingga berdampak kepada semakin meluasnya
kesenjangan sosial.5
Di sisi lain perkembangan usaha swasta pada kenyataannya sebagian besar merupakan
perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.6Kedudukan monopoli yang
ada lahir karena adanya fasilitas yang diberikan oleh pemerintah7 (antara lain melalui
tata niaga) serta ditempuh melalui praktek bisnis yang tidak sehat (unfair business
practices) seperti persekongkolan untuk menetapkan harga (price fixing) melalui kartel8,
3
Penjelasan UU
4
Sjahdeini,loc. cit., hal.14 .
5
penjelasan UU
6 Penjelasan Undang-Undang Bagian Umum UU No.5/1999.
7
Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, cet.1.(Jakarta: Raya Grafindo Persada, 1999).hal.7.
8
menetapkan mekanisme yang yang menghalangi terbentuknya kompetisi, menciptakan
barrier to entry,9dan terbentuknya integrasi baik horisontal10dan vertikal.11
Perusahaan-perusahaan swasta yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan
berbagai kemudahan berlebihan12dengan alasan klasik melindungi “industri bayi”13dan
demi stabilisasi harga.14 Munculnya konglomerasi15 dan sekelompok kecil pengusaha
kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati, yang berus aha
didasarkan pada hutang dan tanpa adanya inovasi kreatifitas16yang mendukung kinerja
pengusaha merupakan faktor yang mengakibatkan fundamental ekonomi Indonesia
lemah17dan tidak mampu bersaing.18
9Barrier to entry
adalah hambatan yang dibuat untuk mencegah masuknya pesaing potensial,
barrier toentryini biasa dilakukan melalui perizinan usaha dari pemerintah.
10
Integrasi horizontal adalah penggabungan beberapa pelaku usaha yang masing-masing pelaku usaha memproduksi suatu produk yang bersaing dipasar. Istilah integrasi horizontal ini didefinisikan oleh penulis berdasarkan definsi atas istilah merger yang bersifat horizontal. Dikutip dari tulisan R.B. Suhartono,
loc. cit., hal.7.
11
Sunarsip,loc. cit., hal. 2C.
12 hal ini terjadi menurut karena adanya prilaku individu ataupun perusahaan tertentu (oknum)
yang mempengaruhi kebijakan pemerintah, untuk kepentingan sendiri atau juga dapat dikatakan sebagai
rent seeking behavior, dikutip dari A Tony Prasetiantono,Agenda Ekonomi Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal.305.
13
Industri bayi disini maksudnya adalah industri yang masih baru ada atau dikembangkan di Indonesia. Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah kepada industri yang bersangkutan agar insvestor mau menanamkan modalnya pada industri tersebut, lihat Sutan Remy Sjahdeini, “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,”Jurnal Hukum Bisnis(Volume 10, 2000) : 4.
14
Banu Astono, “Gejolak Rupiah Menyingkap Keropos industri Nasional,”KOMPAS(22 Agustus 1997) : 17.
15
Lebih jelas lagi mengenai prilaku konglomerasi dapat membaca buku Kwik Kian Gie,Saya Bermimpi Jadi Konglomerat(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995).
16 Djisman S. Simanjuntak, “Bisnis Indonesia 2020: Terbuka dan Kompetitif” dalamIndonesia
2020: Wawasan Ekonomi, Sosial Budaya, dan Politik. Hadi Soesastro dan Iwan P. Hutajulu, ed.,(Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996).
17 Lihat A. Tony Prasetiantono, Keluar dari Krisis: Analisis Ekonomi Indonesia (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal.179. mengatakan: “yang lebih fundamental dari pada “fundamental ekonomi” adalah beberapa isu dan indicator makro yang bersifat kualitatif. Misalnya, soal struktur pasar, tata niaga, monopoli, korupsi dan kolusi. Semua isu fundamental ini praktis sudah lama kita inventarisasikan, kita paksa substansinya, dan kita agendakan.”
18
Dalam pembuatan kebijakan, pemerintah seharusnya mendorong iklim usaha yang
sehat,19 efesien, dan kompetitif. Sehingga tercipta kesempatan yang sama bagi setiap
warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi, pemasaran barang dan
jasa,20 tetapi yang terjadi sebaliknya, Pemerintah malah mendorong terjadinya iklim
usaha yang tidak sehat, tidak efesien dan tidak kompetitif. Melalui pembuatan kebijakan
yang hanya menguntungkan orang dan kelompok tertentu saja, yang mengakibatkan
timbulnya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Beberapa fakta menunjukan pemerintah memainkan peran cukup dominan dalam
tindakan yang mendorong praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat seperti :
a. Penunjukan perusahaan swasta sebagai produsen dan importir tunggal untuk
mengolahbiji gandum menjadi tepung terigu dan mengijinkan perusahaan tersebut
untuk masuk pada industri hilir, contohnya penunjukan PT Bogasari oleh BULOG.
b. Pemeritah tampaknya tidak hanya mengijinkan tapi tampaknya juga mendorong
berkembangnya asosiasi-asosiasi produsen yang berfungsi sebagai kartel
diam-diam yang mampu mediktekan harga barang dan jumlah pasokan barang di pasar,
contohnya adalah ORGANDA (Organisasi Angkutan Darat),21 Asosiasi Produsen
Semen,22 Apkindo (Asosiasi Panel Kayu Indonesia), APKI (Asosiasi Pulp dan
Kertas Indonesia).23
19 Lihat Sjahrir, Meramal Ekonomi Indonesia di Tengah Ketidakpastian (Jakarta; Gramedia
Pustaka Utama, 1995), hal.256.
20
Indonesia. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1998 Tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, Bagian Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun Ketujuh, Bidang Ekonomi Perihal Perdagangan.
21
LihatBusiness News, “KPPU Tanyakan Kenaikan Tarif Taksi, Indikasikan Ada Kartel Dalam ORGANDA,” (22 Januari 2001). Lihat juga Partnership for Business Competition bekerjasama dengan Georgetown University Law Centre, serta Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI), “Reaksi Pelaku Usaha Atas Berlakunya UU No 5/1999 dan Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha: Ringkasan Pokok Laporan Penelitian,”( Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Partnership for Business Competition, Jakarta, Juli, 2000), hal. 37.
22
c. Pemerintah dengan sengaja telah membiarkan satu perusahaan menguasai
pangsa pasar di atas 50% atas suatu produk, contonya adalah PT Indofood yang
mengusasi pangsa pasar mie instan di Indoesia lebih dari 50%.24
d. Pemerintah telah dengan sengaja membuat entry barrier bagi pemain baru di
bidang industri tertentu, contohnya adalah kebijakan Mobil Nasional.25
e. Pemerintah memberikan perlindungan kepada industri hulu yang memproduksi
barang tertentu dengan cara menaikan bea masuk barang yang sama yang
diimpor dari luar negeri, contohnya adalah prokteksi terhadap PT Chandra Asri.26
Kondisi di atas, terjadi dikarenakan orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang
lebih memprioritaskan kepada pertumbuhan ekonomi, sehingga menyebabkan seluruh
kebijakan ekonomi yang dibuat diupayakan mendukung semua aktivitas yang
diharapkan dapat memacu tingkat pertumbuhan tersebut.
Perusahaan-perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta diberikan keleluasaan
dalam mengembangkan usahanya melalui hutang, baik yang berasal dari lembaga
keuangan domestik maupun dari luar negeri tanpa batas dan kontrol dari pemerintah.
Akibatnya pada saat terjadinya krisis moneter yang menyebabkan terpuruknya nilai tukar
rupiah terhadap mata uang asing, terutama US$, akhirnya membuka tabir kebobrok an
dunia usaha di Indonesia.
Sehingga pada akhirnya menuntut pemerintah untuk menata kembali kegitan usaha di
Indonesia yang keliru dimasa lalu, agar dunia usaha dapat tumbuh dan berkembang
secara sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta
terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan dan kelompok tertentu,
24
Partnership for Business Competition, “Persaingan Usaha: Potret Beberapa Pasar di Indonesia,” (Laporan penelitian disampaikan pada seminar sehari Partnership for Business Competition, Jakarta, Juli, 2000), hal.18 -19. LihatBisnis Indonesia, “ 8 Perusahaan diduga lakukan monopoli,” (20 Desember 2000).
25
Yose Rizal dan Pande Radja Silalahi, “Industri Mobil Indonesia: Suatu Tinjauan” dalam
Transformasi Industri Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, cet.1. Marie Pangestu, Raymon Atje dan Julius Mulyadi, ed., (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1996), hal.200-203.
26
antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
merugikan masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial, dengan
segera membuat Undang-undang Persaingan Usaha
Ditambah juga adanya tekanan dari pihak luar, terutama IMF yang memaksa Indonesia
harus segera memiliki Undang-undang Persaingan Usaha, dalam rangka persetujuan
Indonesia dengan IMF pada tanggal 15 januari 1998, dimana telah disepakati bahwa
pemerintah Indonesia akan melaksanakan berbagai pembaruan struktural, termasuk
deregulasi kegiatan domestik, yang bertujuan untuk mengubah ekonomi biaya tinggi
Indonesia menjadi suatu ekonomi yang lebih terbuka, kompetitif dan efesien, apabila
ingin mendapatkan bantuan dari IMF untuk menanggulangi krisis ekonomi yang sedang
melanda Indonesia. Sehingga ketika awal diberlakukan Undang-undang ini beberapa
kalangan berpendapat miring bahwa sebenarnya Undang-undang Nomor 5 / 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak lebih
hanya merupakan pesanan IMF semata.
Pendapat di atas sebenarnya tidak sepenuhnya benar, karena jauh hari sebelum
Indonesia dilanda krisis ekonomi, sudah banyak kalangan menyuarakan akan
pentingnya memiliki Undang-undang Persaingan Usaha, bahkan pada tahun 1993
Fakultas Hukum Universitas Indonesia berkerja sama dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Perdagangan Departemen Perdagangan Republik Indonesia telah
menghasilkan Rancangan Akademik Undang-undang tentang Persaingan di Bidang
Perdagangan, namun karena kondisi pada waktu lalu belum memungkinkan
Undang-undang Persaingan Usaha untuk diberlakukan, maka pemberlakuan Undang -Undang-undang
Persaingan Usaha baru dapat terwujud pada tahun 1999.
Prof. Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan beberapa alasan yang menyebabkan
Undang-undang Persaingan Usaha untuk lahir pada masa Orde Baru, yaitu antara lain:
Pertama, adalah karena pemerintah menganut konsep bahwa perusahaan-perusahaan
besar perlu ditumbuhkan untuk berfungsi menjadi lokomotif pembangunan apabila
perusahaan-perusahaan tersebut diberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu ada
fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi pioner di
sektor yang bersangkutan. Tampa fasilitas monopoli dan proteksi, sulit bagi pemerintah
untuk mendapatkan kesedian insvestor menanamkan modal disektor tersebut. Ketiga,
adalah untuk menjaga berlangsungnya praktek KKN demi kepentingan kroni-kroni
mantan presiden Suharto dan pejabat-pejabat yang berkuasa pada waktu itu.27
Kedudukan Hukum Persaingan Usaha dalam Sistem Hukum Indonesia
Memperhatikan ruang lingkup kajian yang dilakukan oleh Hukum Persaingan Usaha,
maka Hukum Persaingan Usaha dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari Hukum
Ekonomi. Dan bahkan apabila kita memperhatikan materi dari Undang-undang
Persaingan Usaha rasanya tidak cukup hanya dengan belajar dari ilmu hukum saja
untuk memahami Undang-undang tersebut, tetapi juga penting mempelajari ilmu
ekonomi khususnya ilmu ekonomi industri untuk dapat memahami secara baik hukum
persaingan usaha.
Ahli hukum yang menguasai Undang-undang Persaingan Usaha tanpa memiliki
pemahaman yang baik terhadap ilmu ekonomi industri akan membuat kajian-kajian yang
dihasilkannya kering atau timpang. Jadi diperlukan kajian secara interdisipliner (terutama
hukum ekonomi dan ilmu ekonomi industri) untuk dapat memahami hukum persaingan
usaha secara lebih komprehensif. Jadi disarankan jika yang ingin mempelajari hukum
persaingan usaha secara lebih baik tidak ada salahnya untuk membaca literatur -literatur
dari ilmu ekonomi khususnya ekonomi industri.
Hukum persaingan usaha dapat dikatakan merupakan species atau bagian dari genus
hukum ekonomi, yang menurut Sunaryati Hartono hukum ekonomi itu sendiri
memerlukan metode penelitian dan penyajian yang interdisipliner dan transnasional.
Interdisipliner, karena: (1) hukum ekonomi Indonesia tidak hanya bersifat perdata, tetapi
juga berkaitan erat dengan Hukum Administrasi Negara, Hukum Antar wewenang,
hukum pidana, bahkan juga tidak mengabaikan hukum publik Internasional dan hukum
landasan pemikiran bidang-bidang non hukum, seperti filsafat, ekonomi, sosiologi,
administrasi pembangunan, ilmu wilayah, ilmu lingkungan, dan bahkan juga futurologi.28
Materi yang terkandung di dalam Undang-undang No.5/1999 secara umum
mengandung 6 (enam) bagian pengaturan, yang terdiri dari:
1. perjanjian yang dilarang;
2. kegiatan yang dilarang;
3. posisi dominan;
4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
5. penegakan hukum;
6. ketentuan lain-lain.
Asas dan Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha
Asas yang digunakan sebagai landasan dalam pembentukan Undang-undang
No.5/1999 bila dilihat dari Pasal 2 Undang-undang No.5 / 1999, yang berbunyi : “pelaku
usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi
ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum,” sebenarnya adalah demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi yang
dimaksud oleh Undang-undang No.5/1999 dapat dilihat pada bagian menimbang
Undang-undang No.5/1999 yaitu menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi
setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi atau pemasaran
barang atau jasa.
Sedangkan hubungan antara demokrasi ekonomi dengan sistem ekonomi Pancasila bila
menurut Tirta Hidayat dalam makalah pengantar diskusi pada “seminar intern Bappenas,
tanggal 14 Agustus 1997, adalah demokrasi ekonomi itu sendiri merupakan inti dari
sistem ekonomi Pancasila. Lebih lanjut Gunawan Sumodiningrat mena mbahkan,
campuran. Sistem ekonomi campuran adalah campuran dari sistem ekonomi
kapitalistik dan sistem ekonomi sosialis-komunistik. Dalam sistem ekonomi
liberal-kapitalistik semua kegiatan ekonomi dilakukan oleh individu-individu atau swasta, bukan
oleh pemerintah. Sebaliknya, dalam sistem ekonomi sosialis-komunistik, tidak dikenal
atau tidak ada sektor swasta, sebab semua kegiatan ekonomi direncanakan, dilakukan
dan dikuasai oleh pemerintah atau negara.
Namun dalam sistem ekonomi campuran kedua sektor, pemerintah dan swasta hidup
berdampingan. Dengan demikian terdapat kegiatan ekonomi yang dilaksanakan oleh
swasta dan sebagian dilaksanakan oleh pemerintah, khususnya yang menyangkut hajat
dan kepentingan orang banyak. Dalam sistem ini sebagian interaksi pelaku ekonomi
terjadi di pasar, tetapi terdapat berbagai pula campur tangan pemerintah melalui
berbagai kebijaksanaan. Pada akhirnya ciri yang paling menonjol dari sistem ekonomi
campuran adalah adanya intevensi pemerintah dalam perekonomian yang terintegrasi di
pasar.
Intervensi pemerintah melalui perencanaan pembangunan adalah untuk bisa mengatur
pengalokasian sumber-sumber produktif secara lebih terarah, efektif dan efesien,
sehingga dapat dicapai suatu perubahan struktural yang lebih menjamin kepentingan
masyarakat secara keseluruhan berdasarkan nilai-nilai keadilan sosial.
Hakikat dari demokrasi ekonomi bila menurut Emil Salim adalah tersebarnya (dispersi)
kekuatan ekonomi di masyarakat, dan tidak tersentralisasi di pusat atau terkumpul di
beberapa tangan anggota masyarakat (monopoli dan oligopoli). Jadi dapat dikatakan
Undang-undang Persaingan Usaha merupakan salah satu wujud intervensi pemerintah
dalam usaha menciptakan demokrasi ekonomi.
Penjabaran lebih lanjut dari asas demokrasi ekonomi pada Undang-undang No.5/1999
dapat dilihat pada Pasal 3 Undang-undang No.5/1999, yang memuat mengenai Tujuan
pembentukan dari Undang-undang No.5/1999, yaitu:
1. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efesiensi ekonomi nasional sebagai
2. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi
pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;
3. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan
4. terciptanya efektivitas dan efesiensi dalam kegiatan usaha.
Prinsip-prinsip Umum dalam Hukum Persaingan Usaha
1. Rule of Reason dan Per se
Secara garis besar perumusan pasal-pasal yang terdapat di dalam Undang-undang
No.5/1999 adalah menggunakan perumusan Rule of Reason dan Per Se. Yang
dimaksudkan dengan Rule of Reason adalah untuk menyatakan bahwa suatu
perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, penegak hukum harus
mempertimbangkan keadaan disekitar kasus untuk menentukan apakah perbuatan itu
membatasi persaingan secara tidak patut, dan untuk itu disyaratkan bahwa penegak
hukum harus dapat menunjukan akibat-akibat anti persaingan, atau kerugian yang
secara nyata terhadap persaingan.29Dengan demikian dapat dikatakan, Rule of Reason
lebih memfokuskan kepada melihat akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan
barulah pasal yang menggunakan rumusan secara Rule of Reason ini dapat diterapkan.
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan
penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.”
Merupakan salah satu pasal yang menggunakan perumusanRule of Reason.
29
Sedangkan yang dimaksud dengan Per Seadalah rumusan pasal mengenai perbuatan
tertentu yang dilarang untuk dilakukan, dimana perbuatan tersebut sudah dapat terbukti
dilakukan dan dapat di proses secara hukum tanpa harus menunjukan akibat-akibat atau
kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.30
Pasal 6 Undang-undang No.5/1999 yang berbunyi: “pelaku usaha dilarang membuat
perjanjianyang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang
sama.” Merupakan salah satu pasal yang mempergunakan perumusan Per Se.
Sehingga ketika pelaku usaha melakukan perbuatan yang dilarang oleh pasal tersebut,
pelaku usaha tersebut sudah dapat diproses secara hukum tampa harus menunggu
adanya bukti-bukti bahwa perbuatan yang dilakukannya tersebut tanpa harus
menunjukan akibat-akibat atau kerugian yang secara nyata terhadap persaingan.
2. Pendekatan Struktur Pasar dan Tingkah Laku
Pendekatan dalam penyusunan Undang-undang Persaingan Usaha secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua, yaitu: pendekatan struktur pasar dan pendekatan perilaku.
Dalam pendekatan struktur penguasaan pasar oleh pelaku usaha menjadi bahan
analisis utama apakah pelaku usaha melakukan pelanggaran hukum persaingan dengan
menilai struktur pasar setiap produk oleh suatu pelaku usaha. Sedangkan pendekatan
perilaku adalah pelaku usaha tidak dilarang menjadi “besar” sepanjang posisinya tidak
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Definisi
Dalam penyusunan suatu peraturan perundangan, perumusan suatu defenisi
merupakan suatu hal yang sangat penting, karena setiap kata terkadang memiliki
banyak defenisi. Terlebih penyusunan peraturan perundangan yang sebagian besar
ketentuannya merupakan hasil adopsi dari ketentuan hukum asing, dimana kebanyakan
istilah-istilah yang ada menggunakan bahasa asing, yang terkadang untuk pengaturan
tertentu dalam bahasa asing sulit untuk dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia.
Dan hal ini sangat dirasakan dalam penyusunan pengaturan persaingan usaha dimana
sebagian ketentuannya mengadopsi dari ketentuan hukum asing.
30
Meskipun harus diakui bahwa ketidak jelasan akan selalu ada pada setiap peraturan
perundangan, namun dengan berusaha memberikan defenisi yang jelas dan tidak
mempunyai arti ganda akan memperkecil kemungkinan perbedaan pendapat yang tidak
perlu. Selain itu harus dihindarkan sedemikian rupa untuk menunjuk arti suatu kata pada
rumusan ketentuan lain. Sebagaimana kit a ketahui, bahwa para penegak hukum,
apalagi masyarakat tidak menguasai semua bidang, mereka hanya menguasai satu atau
lebih bidang tertentu, namun mereka harus memutus atau menangani perkara yang
dihadapinya. Dengan perumusan yang jelas dan mudah dimengerti akan memudahkan
penerapan hukum secara efektif.31
Mengenai penempatan definisi ini dalam suatu perundang-undangan ada beberapa
kemungkinan. Pertama ditempatkan dibagian ketentuan umum yaitu pada bagian awal
dari suatu ketentuan. Kemungkinan kedua diletakkan dibagian belakang dari suatu
peraturan dan kemungkinan ketiga diletakkan sebagai satu kesatuan didalam
pasal-pasal mengenai materi dari peraturan tersebut. Dimana diletakkan ketentuan definisi ini
tergantung pada pertimbangan para pembuat undang-undang, dimana tempat yang
dianggap efektif untuk menuntun masyarakat termasuk para penegak hukum dapat
memahami arti dari suatu ketentuan.32
Di dalam Model Law on Competition yang disusun UNCTAD ditetapkan beberapa
definisi istilah-istilah yang berkaitan langsung dengan hukum persaingan usaha seperti
definisi (pengertian) pelaku usaha, posisi dominan, merger dan akuisisi dan pasar
bersangkutan (relevant market). Dahulu definisi istilah-istilah tersebut hanya ditemukan
di literature-literatur. Tetapi di dalam perkembangannya pengertian-pengertian istilah
tersebut dapat banyak ditemukan di dalam hukum persaingan usaha beberapa negara,
paling tidak dijelaskan di dalam suatu pedoman tertentu, misalnya di dalam pedoman
merger dan akuisisi tertentu, ditetapkan definisi pasar bersangkutan (relevant market).33
31
Demikian juga di dalam UU No. 5/1999 ditetapkan definisi istilah-istilah hukum
persaingan usaha di dalam ketentuan umum pasal 1. Di dalam pasal 1 tersebut terdapat
17 (tujuh belas) istilah yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha. Apabila kita
teliti, maka terdapat beberapa definisi yang tidak jelas dan saling bertentangan, antara
lain:
1. Penggunaan beberapa istilah yang hampir sama, namun tidak jelas apa artinya:
seperti kata pelaku usaha, pelaku usaha lain, pelaku usaha pesaing dan pihak
lain, seperti terdapat dalam Pasal 4, 5, 15 ayat 2.
2. Pengetian Monopoli Pasal 1 angka 1: kurang jelas, karena monopoli
berhubungan dengan posisi dominan dan besarnya pangsa pasar yaitu satu
pelaku usaha menguasai lebih dari 50 %( monopoli ) dan dua atau lebih pelaku
usaha menguasai lebih dari 75 % ( oligopoli ).
3. Pasal 1 angka 5 merumuskan pelaku usaha sebagai setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi,
dengan rumusan seperti ini, dianggap belum memasukan mengenai subyek
hukum badan usaha milik negara, sehingga apabila badan usaha mulik negara
melakukan pelanggaran terhadap UU Persaingan usaha dapat tidak terkena
hukuman.
4. Pasal 1 angka 6 merumuskan mengenai persaingan usaha tidak sehat yang
dilakukan secara tidak jujur, padahal tidak ada pasal yang merumuskan hal
tersebut pada bagian substansi.
5. Pasal 1 angka 7; yang merumuskan perjanjian sebagai suatu perbuatan satu
atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku
usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis, mungkin
dapat diperbaiki menjadi perjanjian adalah suatu bentuk perbuatan dari dua atau
lebih pelaku usaha untuk saling mengikatkan diri dengan nama apapun baik
tertulis maupun tidak tertulis.
6. Pasal 1 angka 8; persekongkolan tidak harus mempunyai tujuan menguasai
pasar bersangkutan. Ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 22 yang hanya
7. Pasal 1 angka 14: harga pasar didefenisikan sebagai harga yang dibayar dalam
transaksi barang dan/atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar
bersangkutan, padahal kesepakatan harga dilarang oleh undang-undang.
8. Perlu ditambahkan beberapa definisi, misalnya apa yang dimaksud dengan
penelitian dalam Pasal 36 b, kata keberatan dalam Pasal 44 ayat 2, dan arti
perbuatan dalam Pasal 50 a serta peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 50 a.
9. Pasal 2 perlu ditegaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum.
10. Pasal 3; Praktek monopoli tidak selalu jahat, karenanya perlu ditambahkan
bentuk dan praktek monopoli yang dilarang.
11. Pasal 4 tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelaku usaha lain;
12. Pasl 5 juga tidak jelas apa yang dimaksud dengan pelaku usaha pesaingnya.
13. Pasal 6 tidak jelas dengan siapa pelaku usaha mengadakan perjanjian.
14. Pasal 11 Pengertian kartel terlampau sempit karena hanya menyangkut
perjanjian untuk menguasai jumlah produksi atau pemasaran barang atau jasa.
15. Pasal 15 tidak jelas apa yang dimaksud dengan pihak lain,
16. Pasal 22; harus diperjelas siapa yang dimaksud dengan pihak lain.34
Dari ketujuh belas definisi tersebut diatas, definisi persaingan usaha tidak sehat perlu
mendapatkan perhatian utama, karena definisi tersebut menjelaskan bagaimana suatu
pasar dapat dinyatakan tidak sehat, dan sekaligus definisi tersebut menjelaskan tujuan
UU No. 5/1999 seperti disebutkan di atas sebelumnya. Sementara definisi persaingan
usaha tidak sehat tidak kita temukan di berbagai hukum persaingan usaha negara lain,
bahkan di dalam literature pun tidak ditemukan. Yang dapat ditemukan adalah
pengertian persaingan usaha, itupun para ahli hukum kartel tidak ada kesatuan
pendapat mengenai definisi tersebut. Karena jika disepekati pembuatan suatu definisi
persaingan usaha akan mempersulit penerapan hukum persaingan usaha, karena
berbicara mengenai persaingan usaha mempun yai fenomena yang beragam. Fenomena
tersebut berinteraksi antara struktur pasar, perilaku pasar dan menjadi hasil pasar. Di
dalam proses interaksi tersebut terdapat kebebasan. Kebebasan merupakan syarat
utama bagi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usahanya, baik untuk masuk ke
kebebasan pelaku usaha tersebut terhambat, itu berarti pasar terdistorsi. Terdistorsinya
suatu pasar disebabkan oleh banyak hal. Oleh karena sulitnya menetapkan suatu
definisi persaingan usaha, maka ditetapkan ketentuan-ketentuan normatif di dalam
hukum persaingan usaha untuk membatasi perilaku atau tindakan pelaku usaha yang
mendistorsi pasar tersebut. Jadi, secara sederhana suatu pasar dapat dinyatakan tidak
sehat, apabila pasar bersangkutan terdistorsi.35
Pasal 1 angka 6 menetapkan, bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan
antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang
dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha. Dari ketentuan pasal 1 no. 6 tersebut dapat
disimpulkan, bahwa persaingan usaha tidak sehat adalah hubungan antara pelaku
usaha yang satu dengan yang lain, yang dilakukan secara tidak jujur, melawan hukum
atau dengan menghambat persaingan usaha. Hanya saja definisi ketentuan pasal 1
angka 6 mencampur adukkan persaingan yang tidak sehat yang dilakukan secara tidak
jujur dengan melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Seperti sudah
disebut di atas, sementara ketentuan persaingan usaha yang dilakukan dengan cara
tidak jujur tidak diatur di dalam UU Antimonopoli.36
Perbuatan tidak jujur adalah suatu tindakan penipuan yang subjektif, yang dapat
dilakukan oleh suatu pelaku usaha dalam bentuk apa saja, mungkin dalam proses
produksi suatu barang, atau dalam memasarkan barang tertentu. Misalnya kualitas
barang dan mereknya tidak sesuai dengan harganya, kualitas barang tidak sesuai
dengan yang diiklankan, atau harga barang yang dibayar tidak sesuai dengan harga
yang tertera pada barang tersebut. Oleh karena itu suatu tindakan penipuan yang
dilakukan secara tidak jujur, yang pembuktiannya mensyaratkan pembuktian yang
subjektif. Akibat dari perbuatan tersebut dirasakan langsung oleh konsumen, dan secara
tidak langsung oleh pesaingnya. Hal-hal seperti ini diatur di dalam pasal 382 bis KUHP,
pasal 1365 KUHPerdata dan UU No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen. Jadi, hal
35
Ibid.hal.13.
36Ibid
ini tidak berhubungan dengan persaingan usaha antara pelaku usaha yang sat u dengan
pelaku usaha pesaingnya.37
Persaingan usaha yang melawan hukum adalah segala kegiatan usaha yang melanggar
larangan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan larangan undang-undang adalah
yang melarang perilaku tertentu dan secara imperatif. Larangan imperatif biasanya
diikuti dengan kata-kata „dilarang atau tidak boleh“ di dalam suatu ketentuan
perundang-undangan. Contohnya ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, jika ketentuan-ketentuan tersebut dilanggar langsung dijatuhkan hukuman
tertentu. Misalnya seseorang dijatuhi hukuman penjara lima tahun, karena mencuri
barang milik orang lain.38
Di dalam ketentuan UU Antimonopoli ada juga ketentuan-ketentuan yang menggunakan
kata-kata „dilarang“ tetapi ini tidak bararti suatu pelaku usaha otomatis dijatuhkan
hukuman, - perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha yang
langsung dijatuhi hukuman atau denda adalah yang melanggar ketentuan-ketentuan
yang bersifat per se. Misalnya kalau pelaku usaha dengan pesaingnya mengadakan
perjanjian harga (price fixing) atas suatu barang tertentu. Selain itu ada ketentuan UU
Antimonopoli dalam penerapananya dengan pendekatan rule of reason, yang
penerapannya mempertimbangkan dari aspek keuntungan ekonomisnya baik bagi
pelaku usaha maupun bagi masyarakat. Jadi, ketentuan UU Antimonopoli lebih banyak
mengatur hubungan perilaku antara pelaku usaha dalam menjalankan usahanya di
wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian definisi persaingan usaha tidak sehat
yang dilakukan dengan tidak jujur sebaiknya dihilangkan saja. 39Sehingga defenisi dari
persaingan usaha tidak sehat menjadi persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang an atau jasa yang dilakukan
dengan cara melawan hukum atau menghambat persaingan.
37
Perjanjian yang Dilarang
Pada bagian ini secara khusus akan dibahas mengenai pengaturan perjanjian yang
dilarang menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-undang No.5/1999, perjanjian didefinisikan
sebagai: “Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak
tertulis.” Sedangkan menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Perjanjian hanya didefinisikan : “Suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.”
Dengan adanya definisi perjanjian yang dirumuskan oleh Undang -undang No.5/1999,
dapat diartikan bahwa perjanjian yang tidak tertulispun dapat diakui atau digunakan
sebagai alat bukti di pengadilan, dimana sebelumnya perjanjian tidak tertulis umumnya
sulit untuk diterima sebagai alat bukti di pengadilan, karena biasanya pengadilan hanya
mau menerima suatu perjanjian sebagai alat bukti jika perjanjian tersebut dibuat secara
tertulis saja.
Seandainya pengadilan hanya mau menerima perjanjian tertulis saja sebagai alat bukti
yang dapat dipergunakan di pengadilan, mungkin perkara-perkara pelanggaran terhadap
Undang-Undang Persaingan Usaha sulit untuk ditindak karena biasanya sangat sulit
untuk menemukan bukti tertulis mengenai suatu perjanjian yang dikategorikan
melanggar Undang-Undang Persaingan Usaha.
Undang-undang Nomor 5/1999 mengatur beberapa perjanjian yang dilarang untuk
dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu:
1) Oligopoli (Pasal 4 UU No.5/1999);
2) Penetapan harga
a. price fixing(Pasal 5 UU No.5/1999);
b. Diskriminasi harga /price discrimination(Pasal 6 UU No.5/1999);
c. Predatory Pricing(Pasal 7 UU No.5/1999);
d. Resale Price Maintenance(Pasal 8 UU No.5/1999);
3) Pembagian wilayah /market division(Pasal 9 UU No.5/1999);
5) Kartel (Pasal 11 UU No.5/1999);
6) Trust (Pasal 12 UU No.5/1999);
7) Oligopsoni (Pasal 13 UU No.5/1999) ;
8) Integrasi vertikal (Pasal 14 UU No.5/1999);
9) Perjanjian Tertutup
a. exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat (1) UU No.5/1999);
b. tying agreement(Pasal 15 ayat (2) UU No.5/1999);
c. vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat (3) UU No.5/1999);
10) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri.
1) Oligopoli
Oligopoli menurut ilmu ekonomi merupakan salah satu bentuk struktur pasar, dimana di
dalam pasar tersebut hanya terdiri dari sedikit perusahaan. Sedikitnya jumlah
perusahaan yang beroperasi di pasar disebabkan oleh adanya barrier to entry yang
mampu menghalangi pemain baru untuk masuk ke dalam pasar. Sedikitnya jumlah
pemain ini juga menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdependence)
antar pelaku usaha dan faktor inilah yang membedakan struktur pasar oligopoli deng an
struktur pasar yang lain. Ada beberapa model strategi ketergantungan antar pelaku
usaha oligopoli yaitu kolusi (collusion), kepemimpinan harga (price leadership), dan
kurva permintaan patah (kinked demand curve).
Dalam pasar yang berstruktur oligopoli sangat mungkin terjadi perusahaan-perusahaan
yang ada akan saling mempengaruhi untuk menentukan harga pasar, yang kemudian
dapat mempengaruhi perusahaan lainnya, baik yang sudah ada (existing firms) maupun
yang masih diluar pasar (potential firms). Praktek oligopoli umumnya dilakukan sebagai
salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk
kedalam pasar, dan juga perusahaan-perusahaan melakukan praktek oligopoli sebagai
salah satu usaha untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum
dengan menetapkan harga jual terbatas (limiting prices), sehingga menyebabkan
kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak
Apabila perusahaan yang dominan di dalam pasar oligopoli melakukan kolusi maka
mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan
laba dengan cara berlaku secara kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli. Tetapi
kemungkinan gabungan perusahaan yang melakukan kolusi akan mengalami kesulitan
tetap ada, karena masing-masing perusahaan memiliki struktur biaya yang berbeda,
sedangkan mereka harus menetapkan tingkat harga yang sama. Selain itu, semakin
banyak perusahaan yang masuk dalam kolusi maka kemampuan untuk mencapai
kesepakatan akan semakin sulit, dan masing-masing anggota akan memiliki
kecenderungan untuk berlaku curang. Cheating atau kecurangan yang dilakukan oleh
anggota kartel akan semakin tinggi apabila laba yang dijanjikan oleh kegiatan kolusi
lebih kecil dibandingkan laba yang akan mereka dapatkan, misalnya dengan menjual di
bawah harga kesepakatan sehingga pasar mereka akan semakin luas.
Hal tersebut di atas menyebabkan pembahasan mengenai struktur pasar oligopoli
merupakan salah satu pembahasan yang cukup penting dalam hukum persaingan
usaha, karena sebagian besar pelaku usaha yang memiliki kedudukan sebagai
penguasa di dalam pasar tersebut akan dapat memanfaatkan posisi dominannya untuk
mendapatkan keuntungan yang maksimal seperti layaknya pelaku usaha yang memiliki
kedudukan monopoli.
Struktur pasar oligopoli sebenarnya memiliki kesamaan dengan struktur pasar monopoli
dalam hal kurva permintaan dan kurva penerimaan marjinalnya yang berslope negatif.
Hanya saja jika dalam pasar monopoli hanya ada satu perusahaan, sedangkan dalam
pasar oligopoli ada beberapa pelaku pasar yang memiliki posisi yang dominan. Misalnya
dalam UU No. 5 Tahun 1999, disebutkan bahwa pasar oligopoli adalah pasar yang dua
atau tiga pelakunya memiliki share 75% atau lebih. Beberapa perusahaan tersebut
dipandang memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga atau memiliki market
power. Salah satu cara untuk dapat mengendalikan harga adalah melalui kebijakan
diferensiasi produk dimana perusahaan menciptakan produk yang berbeda dengan
produk kompetitornya sehingga struktur permintaan produk menjadi lebih inelastis.
Dalam kenyataannya, struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri
peralatan mesin, dimana di dalam proses produksinya baru akan tercapai tingkat
efisiensi (biaya rata-rata minimum) jika diproduksi dalam skala besar; kekuatan pasar
pelaku usaha di dalam pasar oligopoli kurang lebih sebanding; dan barang atau jasa
yang ditawarkan dalam pasar oligopoli barang atau jasa yang homogen. Namun tidak
tertutup kemungkinan dalam pasar yang heterogenpun dapat timbul oligopoli.
Dalam UU No. 5/1999, Oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori perjanjian yang
dilarang, padahal umumnya oligopoli terjadi melalui keterkaitan re aksi, khususnya pada
barang-barang yang bersifat homogen atau identik. Apabila oligopoli dimasukkan ke
dalam kelompok perjanjian maka hal ini identik dengan kartel, sehingga ketentuan yang
mengatur mengenai oligopoli ini akan lebih baik jika digabungkan saja dengan
pengaturan mengenai kartel.
Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 juga memberikan petunjuk bahwa ketentuan tersebut
hanya memperhatikan oligopoli sempit yang hanya melibatkan sejumlah kecil pesaing
yang mempunyai posisi yang kuat di pasar, dalam hal ini 2 atau 3 pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha yang menguasai lebih dari 75% pangsa pasar untuk satu jenis
barang atau jasa tertentu. Padahal menurut pengertian umum, jumlah pelaku usaha
dalam praktek oligopoli sebenarnya dapat lebih banyak. Namun memang semakin besar
jumlah pelaku usaha, terkadang semakin berkurang keterkaitan reaksi pelaku usaha di
dalam pasar yang oligopoli.
Kemudian, besaran pasar yang ditentukan pada Pasal 4 ayat (2) UU No.5/1999 yang
merupakan ukuran struktural, dalam prakteknya dapat menyulitkan dalam menindak
praktek oligopoli, karena adakalanya penguasaan pasar di bawah 50% dapat mengatur
pelaku usaha lainnya di dalam pasar bersangkutan, sehingga sebaiknya Pasal 4 ayat (2)
UU No.5/1999 dihilangkan saja.
2) Penetapan Harga
Perjanjian penetapan harga yang dilarang oleh Undang-undang No.5/1999 diatur di
dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8 Undang-undang No.5/1999, yaitu:
3. Harga pemangsa /Predatory Pricing;
4. Resale Price Maintenance.
ad. 1 Perjanjian Penetapan Harga (Price Fixing Agreement)
Perjanjian penetapan harga (price fixing agreement) merupakan salah satu strategi yang
dilakukan di antara pelaku usaha yang tujuannya adalah untuk menghasilkan laba yang
setingi-tingginya, dimana dengan adanya penetapan harga yang dilakukan di antara
pelaku usaha (produsen atau penjual) telah meniadakan persaingan dari segi harga
terhadap produk yang mereka jual atau pasarkan, yang kemudian dapat berakibat
kepada consumer’s surplus yang dimiliki oleh konsumen dipaksa beralih ke produsen
atau penjual.
Dengan adanya perjanjian penetapan harga, pelaku -pelaku usaha yang terlibat dalam
perjanjian penetapan harga kemungkinan dapat mendiktekan at au memaksakan harga
yang diinginkan secara sepihak kepada konsumen, dimana biasanya harga yang
didiktekan kepada konsumen merupakan harga yang berada di atas kewajaran. Bila hal
tersebut dilakukan oleh setiap pelaku usaha yang berada di dalam pasar yang
bersangkutan, hal ini dapat membuat konsumen tidak memiliki alternatif yang lain
kecuali harus menerima harga yang ditawarkan oleh pelaku usaha yang telah
melakukan perjanjian penetapan harga tersebut.
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 berbunyi bahwa: “Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas
suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama.” Apabila dilihat dari rumusnya, pasal yang mengatur
mengenai price fixing ini dirumuskan secara Per Se, sehingga penegak hukum dapat
langsung menerapkan pasal ini kepada pelaku usaha yang melakukan perjanjian price
fixingtanpa harus menunggu munculnya akibat dari perbuatan tersebut.
Tetapi jika dibandingkan dengan Model Law on Competition yang disusun oleh UNCTAD
terlihat bahwa perumusan yang dilakukan oleh Pasal 5 ayat (1) Undang -Undang
No.5/1999 berbeda dengan perumusan yang dilakukan oleh UNCTAD, dimana didalam
pemasok tetapi juga dari sisi konsumen.40 Meskipun pengaturan perjanjian penetapan
harga yang dilakukan konsumen juga di atur dalam Undang-undang No.5/1999
meskipun dalam pasal yang berbeda .
Sebenarnya apabila mengikuti ketentuan yang ada dalam Model Law UNCTAD,
khususnya pengaturan mengenai penetapan harga ini, dapat membuat pasal-pasal yang
ada dalam undang-undang persaingan kita tidak terlalu memiliki banyak pasal dan lebih
efesien.
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 sebenarnya kurang memberikan penjelasan
mengenai seperti apa penetapan harga yang dimaksudkan oleh undang-undang,
apakah penetapan harga maksimum atau penetapan harga minimum? Atau termasuk
syarat-syarat pembayaran yang lain? Karena yang biasanya yang menjadi
permasalahan dalam praktek usaha sehari-hari adalah penetapan harga minimum.
Karena terkadang penetapan harga maksimum, yang biasanya sering dilakukan
pemerintah, tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen,
bukan bertujuan untuk menghindari persaingan diantara pelaku usaha.
Kemudian bagaimana seandainya apabila dalam proses tender terjadi perjanjian
penetapan harga yang dilakukan oleh para peserta tender, apakah Pasal 5 ayat (1)
Undang-undang No.5/1999 dapat dikenakan untuk praktek tersebut, karena di dalam
undang-undang No.5/1999 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22 Undang-undang
No.5/1999 ketentuan yang mengatur mengenai tender hanya mengatur mengenai
penentuan pemenang tender, tidak mengatur mengani perjanjian penetapan harga
dalam proses tender.
Lebih lanjut menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 sebenarnya tidak
semua price fixing agreement dilarang, untuk suatu perjanjian price fixing yang dibuat
dalam suatu usaha patungan dan yang didasarkan kepada undang-undang yang
Mengenai pengecualian pemberlakuan ketentuan penetapan harga terhadap suatu
perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku tidak menjadi permasalahan
karena sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa ketentuan dari suatu
undang-undang dapat mengecualikan pemberlakuan undang-undang-undang-undang persaingan usaha, tetapi
yang jadi permsalahan adalah pengecualian pemberlakuan ketentuan mengenai
penetapan harga terhadap suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan.
Di dalam ketentuan yang ada pada beberapa negara seperti ketentuan pada Masyarakat
Economi Eropa (The EC Treaty) memang dimungkinkan untuk mengijinkan praktek
penetapan harga dilakukan oleh suatu usaha patungan (joint venture) asalkan berperan
besar mendorong perkembangan ekonomi dan teknologi. Dan apabila peruhsaan joint
venture tersebut tidak berperan besar dalam mendorong perkembangan ekonomi dan
teknologi maka perusahaan joint venture tersebut mendapatkan perlakuan yang sama
dengan penggabungan usaha biasa.
Apakah maksud pengecualian pemberlakuan perjanjian penetapan harga terhadap
suatu usaha patungan dalam Undang -undang No.5/1999 senada dengan pengaturan
yang diberikan pada The EC Treaty, dalam penjelasan Undang-undang tidak sedikitpun
diberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Sehingga apabila ketentuan ini
dipertahankan dan tanpa ada penjelasan yang cukup jelas ketentuan ini dapat
menghambat penegakkan undang-undang persaingan usaha.
Mengenai perumusan aturan price fixing di dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999 yang
dirumuskan secara Per se dapat dikatakan sudah tepat, karena memang hampir
sebagian besar Undang-Undang Persaingan Usaha di beberapa negara merumuskan
price fixing secara Per se, namun walaupun begitu terkadang hak im dalam
menggunakan ketentuan ini pun menerapkan secararule of reason.
ad. 2 Perjanjian diskriminasi harga (price discrimantion agreement)
Perjanjian diskriminasi harga adalah perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha dengan
pelaku usaha lainnya dimana untuk suatu produk yang sama dijual kepada setiap
konsumen dengan harga yang berbeda-beda. Dimana tujuan yang ingin dicapai dari
meningkatkan laba pelaku usaha (produsen atau penjual) setinggi-tingginya dengan
mengeksploitasi surplus konsumen.
Diskriminasi harga ini biasanya dapat terjadi karena produsen atau penjual telah dapat
memastikan bahwa setiap konsumen yang ada mau untuk membayar dengan harga
yang berbeda terhadap produk yang sama, misalnya seperti harga karcis bioskop Grup
21 (Twenty One) untuk film yang sama dan pada waktu yang sama di Cilandak Town
Square sekitar Rp 35.000,00 sedangkan harga karcis bioskop Grup 21 juga di Plaza
Indonesia Rp 60.000,00. Hal di atas dapat terjadi karena si penjual, dalam hal ini
pengelola bioskop telah dapat memastikan bahwa konsumen yang akan menonton
bioskop di Plaza Indonesia mau membayar dengan harga yang lebih mahal dengan
dibandingkan apabila menonton di bioskopCilandak Town Square.
Dasar diskriminasi harga yang banyak diterapkan oleh pelaku usaha adalah dengan
cara melihat kepada siapa konsumennya (elastisitas permintaannya). Permintaan yang
lebih elastis akan dibebankan harga yang lebih rendah dibandingkan permintaan yang
inelastis, contohnya untuk barang-barang yang sama, bila di jual di Plaza Indonesia
akan lebih mahal dibandingkan yang dijual di Plaza Depok, karena permintaan barang
yang dijual di Plaza Indonesia lebih inelastis dibandingkan permintaan barang yang
dijual di Plaza Depok. Atau dengan kata lain, diskriminasi harga dapat terjadi bila sifat
permintaan dan elastisitas permintaan di masing-masing pasar haruslah sangat
berbeda.
Diskriminasi harga juga dapat terjadi bila: (1) barang tidak dapat dipindahkan dari s atu
pasar ke pasar lain, (2) sifat barang atau jasa tersebut memungkinkan dilakukan
pembedaan harga, (3) praktek diskriminasi harga tidak memakan ongkos yang melebihi
keuntungan dari kebijkan tersebut, (4) pelaku usaha dapat mengeksploitasi beberapa
sikap tidak rasional konsumen.
Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999 melarang setiap perjanjian diskriminasi harga tanpa
memperhatikan tingkatan yang ada pada diskriminasi harga, dimana bunyi dari pasal
pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus
dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama.”
Dengan adanya praktek yang seperti disebutkan Pasal 6 Undang-undang No.5/1999
dapat menyebabkan pembeli tertentu (dimana pembeli tersebut merupakan pelaku
usaha juga) yang terkena kewajiban harus membayar dengan harga yang lebih mahal
dibandingkan pembeli lain (yang juga merupakan pelaku usaha) yang sama-sama
berada dalam pasar yang sama, dapat menyebabkan pembeli yang mengalami
diskrimisasi tersebut tersingkir dari pasar.
Memasukkannya ketentuan mengenai diskriminasi harga ke dalam kelompok perjanjian
sulit dicarikan dasar argumentasinya, bahkan dalam praktek pun ketentuan ini jarang
terjadi, karena biasanya tindakan diskriminasi harga merupakan tindakan yang sepihak
dari seorang pelaku usaha (penjual), dan sangat jarang dilakukan berdasarkan atau
melalui suatu perjanjian. dan hal ini dapat menjadi kendala bagi penegak hukum untuk
menegakkan ketentuan diskriminasi harga ini karena sebagian besar praktek
diskriminasi harga yang terjadi tidak berdasarkan perjanjian. Jadi lebih mudah apabila
ketentuan ini tidak dimasukan dalam kelompok perjanjian yang dilarang.
Bila melihat kepada rumusan Pasal 6 Undang-Undang No.5/1999, ketentuan yang
mengatur mengenai diskriminasi harga ini, diatur secara Per Se, sehingga berakibat
pelaku usaha yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh Pasal 6 tersebut dapat
dijatuhi sanksi hukum oleh penegak hukum tanpa terlebih dahulu melihat bahwa yang
dilakukan tersebut menimbulkan akibat tertentu atau tidak. Dalam praktek, Pasal 6 UU
No.5/1999 tidak mudah untuk dibuktikan, karena menurut teori, diskriminasi harga selalu
dimungkinkan jika ada perbedaan volume pembelian, waktu, dan jarak antara penjual
dengan pembeli. Dan di dalam pasal tersebut juga tidak di jelaskan dengan siapa pelaku
usaha membuat perjanjian, apakah dengan sesama pelaku usaha ataukah dengan
pembeli?.
ad. 3 Harga Pemangsa /Predatory Pricing
Predatory pricing adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha
menyingkirkan pelaku usaha pesaing dari pasar dan juga mencegah pelaku usaha yang
berpotensi menjadi pesaing untuk masuk ke dalam pasar yang sama, segera setelah
berhasil mengusir pelaku usaha pesaing dan menunda masuknya pelaku usaha
pendatang baru, selanjutnya dia dapat menaikkan harga kembali dan memaksimalkan
keuntungan yang mungkin didapatkan.
Literatur ekonomi mengenai alasan dan keampuhan strategi predatory pricing masih
menjadi kontroversi. Banyak ahli ekonomi yang mempertanyakan strategi predatory
pricingatas dasar bahwa: itu bisa sama mahalnya bagi si pelaku usaha yang melakukan
predatory pricing dan bagi korbannya; sasaran predatory pricing tidak akan mudah
diusir, dengan asumsi pasar relatif efisien; dan masuknya pendatang baru atau
masuknya kembali principles dengan tidak adanya rintangan akan mengurangi
kesempatan pemangsa untuk mendapatkan kembali kerugian yang terjadi selama
pelaku usaha tersebut melakukan praktek predatory pricing.
Untuk sementara waktu atau jangka pendek praktek predatory pricing memang
menguntungkan bagi konsumen karena harga produk yang dijual oleh pelaku usaha
menjadi jauh lebih murah, tetapi belum tentu di masa depan, ketika pelaku usaha sukses
dalam menjalankan strategi predatory pricing dan menyebabkan dia tidak memiliki
pesaing yang berarti lagi, pelaku usaha tersebut akan menaikan harga kembali bahkan
mungkin setinggi-tingginya untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya agar
pengorbanan yang pernah dikeluarkan selama pelaku usaha tersebut melakukan
praktek predatory pricingterbayarkan.
Menurut R. Shyam Khemani dalam a framework for the design and implementation of
competition law and policy yang diterbitkan oleh World Bank dan OECD sebenarnya
Predatory pricing biasanya dilarang bukan dikarenakan menetapkan harga yang terlalu
rendah terhadap produk yang dijualnya sekarang, tetapi dikarenakan di masa yang akan
datang pelaku usaha akan berusaha untuk mengurangi produksinya dan menaikan
harga. Oleh karena itu bila pelaku usaha yang melakukan praktek predatory pricing di
masa depan dia tidak akan mengurangi produksinya dan juga tidak menaikan harga,
Praktekpredatory pricingsebagai salah satu strategi yang diterapkan oleh pelaku usaha
untuk mengusir pesaing-pesaingnya dari pasar yang sama sebenarnya sangat sulit
untuk dilakukan pada ekonomi pasar yang sehat (healty market economy), dimana tidak
ada hambatan untuk masuk (entry barrier) ke pasar bagi pelaku usaha, sehingga pada
awalnya (jika berhasil) predatory pricing memang akan mengusir pelaku usaha
pesaingnya dari pasar, namun ketika si pelaku usaha yang menjalankan strategi
predatory pricing-nya berhenti dan kemudian menaikan harga lagi untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada saat itulah pelaku-pelaku usaha
pesaingnya akan berusaha masuk kembali ke pasar. jadi kesimpulannya si pelaku
usaha yang melakukan predatory pricing tidak akan mempunyai cukup waktu untuk
mengembalikan pengorbannannya selama dia melakukan praktek predatory pricing
tersebut, karena pelaku usaha pesaingnya mungkin sudah kembali ke pasar dan bila si
pelaku usaha tersebut tetap ongtot terus menaikan harga, konsekwensi yang mungkin
didapatkan adalah produk dia tidak akan laku di pasar dan akan menderita kerugian
yang lebih besar.
Namun terkadang bagi pelaku usaha, terutama yang baru masuk ke dalam pasar dan
ingin mendapatkan tempat di pasar, dan kemudian merebut simpati konsumen agar
konsumen mau mencoba produknya, pelaku usaha biasanya mengenakan harga yang
sangat rendah untuk produknya tersebut, bahkan terkadang untuk sementara waktu
mereka rela rugi agar konsumen mau mencoba produk mereka. Sebagai contoh warnet
(warung internet) M-WEB di kampus Universitas Indonesia ketika pertama kali berdiri,
mereka mengratiskan biaya sewa internet agar konsumen mau mencoba warnet
mereka, sehingga sempat mengundang kontroversi terutama dari pengelol a warnet di
sekitar kampus UI yang merasa dirugikan atas strategi usaha yang dilakukan oleh
warnet M-WEB tersebut. Untunglah M-WEB menerapkan strategi dagangnya tidak
terlalu lama (ketika itu hanya seminggu) sehingga pengaruhnya tidak terlalu besar bagi
warnet-warnet yang terdapat disekitar lingkungan kampus UI.
Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 melarang sesama pelaku usaha untuk membuat
perjanjian di antara pelaku usaha untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
(predatory pricing) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
karena harga pasar bukanlah merupakan sesuatu yang pasti dalam nilai, juga bervariasi
dalam waktu yang berbeda.
Kemudian jika pelaku usaha melakukan perjanjian penetapan harga, dalam hal ini
menetapkan harga di bawah harga pasar, Pasal 5 sudah menegaskan hal tersebut
adalah per se illegal. Keberadaan Pasal 7 UU No.5/1999 dapat menimbulkan
interprestasi yang berbeda dengan Pasal 5 UU No.5/1999, dimana keduanya
mengandung substansi penetapan harga, Jadi untuk menghindari ketumpang-tindihan,
dimana substansi dari Pasal 7 sebenarnya sudah diatur oleh Pasal 5, maka lebih baik
substansi pengaturan dari Pasal 7 UU No.5/1999 digabungkan saja dengan pengaturan
yang ada pada pasal 5.
Sedangkan apabila Pasal 7 Undang-undang No.5/1999 dihubungkan dengan ketentuan
yang ada pada Pasal 20 Undang-undang No.5/1999 adalah Pasal 7 mengatur mengenai
predatory pricing yang didasarkan kepada perjanjian sedangkan Pasal 20 mengatur
mengenai predatory pricing yang didasarkan kepada tindakan sepihak dari pelaku
usaha.
ad. 4 Resale Price Maintenance
Pasal 8 Undang-undang No.5/1999 menyatakan bahwa: “pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang
dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang
telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat.”
Prof. Lawrence Anthony Sullivan dalam bukunya Handbook of the Law Antitrust
menyebutkan bahwa dengan adanya perjanjian di antara pelaku usaha, umumnya
perusahaan manufaktur dengan para perusahaan penyalurnya, yang memuat
persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok
kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah
Adanya perjanjian resale price maintenance yang telah dibuat sebelumnya oleh
perusahaan manufaktur dengan perusahaan penyalurnya mengakibatkan perusahaan
penyaluran tidak lagi memiliki kebebasan untuk menjual produk yang disalurkannya
tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan perusahaan
penyalur lainnya. Karena biasanya bila tidak ada perjanjian resale price maintenance,
perusahaan penyaluran dalam usaha agar lebih disukai oleh konsumen biasanya dalam
menjual produk yang disalurkannya akan selalu menetapkan harga yang lebih murah
dibandingkan harga yang ditawarkan oleh perusahaan penyalur lainnya, karena harga
merupakan salah satu faktor penting yang di pertimbangkan dan memiliki daya tarik
tersendiri bagi konsumen ketika mereka hendak membeli suatu produk tertentu.
Bila para perusahaan penyaluran dibiarkan menentukan sendiri harga produk yang
mereka salurkan, tidak ditentukan sebelumnya oleh perusahaan manufakturnya,
biasanya akan melahirkan persaingan diantara perusahaan penyaluran dimana mereka
akan berlomba-lomba untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya, dengan cara
menerapkan harga produk yang mereka salurkan semurah-murahnya (mungkin dengan
menekan marjin keuntungan) dan peningkatan kualitas pelayanan yang
setinggi-tingginya.
Dengan adanya perjanjian Resale Price Maintenance juga dapat membatasi marjin dan
harga konsumen. Sedangkan ditingkat pedagang akibatnya seperti kartel harga, dan
mengakibatkan hilangnya persaingan harga. Maka oleh karena itu dalam ketentuan
hukum persaingan usaha Internasional, perjanjian Resale Price Maintenance termasuk
kedalam perjanjian yang dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat.
Ketentuan yang mengatur mengenai Resale Price Maintenance oleh Undang-undang
No.5/1999 dirumuskan secara Rule of Reason, sehingga dapat diartikan pelaku usaha
diperbolehkan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa penerima produk tidak akan menjual atau memasok kembali produk yang
diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
Padahal apabila diperhatikan dalam UU No.5/1999, ketentuan Resale Price
Maintenance sebenarnya dapat dimasukan ke dalam Pasal 5 ayat (1) yang mana sudah
melarang perjanjian penetapan harga diantara pelaku usaha. Karena larangan yang
disebutkan oleh Pasal 5 ayat (1) juga seharusnya sudah mencakup mengenai larangan
menentukan harga jual yang dibayar penjual kembali, maupun penetapan harga
minimum yang boleh diminta oleh penjual kembali. Maka sesungguhnya pasal 8 ini
dapat dikatakan tidak diperlukan lagi. Karena Pasal 5 ayat (1) bisa di tafsirkan atau
dianggap perjanjian yang diatur tersebut merupakan perjanjian horizontal ataupun
vertikal. Meskipun memang interprestasi dari Pasal 8 UU No.5/1999 sebagai larangan
perjanjian vertikal telah sesuai dengan standar hukum persaingan usaha internasional
(Pasal 5 ayat (1) dan (2) angka 2 Rancangan International Antitrust Code UNTACD
tahun 1994) yang mana menetapkan harga penjualan kembali atau tingkat harga
tertentu adalah dilarang.
Bila memperhatikan bunyi Pasal 8 UU No.5/1999, pihak -pihak yang dimaksudkan oleh
Pasal 8 haruslah pelaku usaha, dan membuat suatu perjanjian. pihak-pihak yang terlibat
juga harus berada ditingkat pasar yang berlainan. Pasal 8 ditujukan bagi kepada
perjanjian yang dibuat oleh pemasok dengan perantara, sedangkan perjanjian harga
yang dibuat pelaku usaha dengan konsumen akhir tidak dapat dikenak an oleh pasal 8
UU No.5/1999.
Perumusan pasal mengenai Resale Price Maintenance dalam Pasal 8 UU No.5/1999
yang dirumuskan secara Rule of Reason dapat dikatakan menyimpang dari standar
Internasional yang ada. Baik menurut sistem hukum Eropa maupaun Pasal 5 ayat (1)
dan (2) angka 2 Rancangan International Antitrust Code menggolongkan semua
perjanjian Resale Price Maintenance sebagai hambatan terhadap persaingan usaha
yang sehat. Dibandingkan dengan Pasal 5 ayat (1) UU No.5/1999, maka pembatasan di
Pasal 8 UU No.5/1999 patut diragukan. Apabila ingin ditekankan perlindungan tambahan
terhadap penetapan harga seperti yang dirumuskan oleh Pasal 8, maka alangkah lebih
baik apabila perjanjian penetapan harga yang dalam hal ini secara vertikal dilarang
Kemudian Pasal 8 Undang-undang No.5/1999 sebenarnya juga telah membatasi
pemberlakuan ketentuan Resale Price Maintenance hanya kepada penerapan harga
yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan saja, bagaimana seandainya
Resale Price Maintenance dengan kondisi pelaku usaha membuat perjanjian RPM
dengan ketentuan tidak boleh menerapkan harga lebih tinggi daripada harga yang
diperjanjikan?. Apakah Pasal 8 masih dapat diterapkan?
3) Pembagian Wilayah /market division
Pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar merupakan salah satu strategi yang dilakukan
untuk menghindari terjadinya persaingan di antara mereka, sehingga pelaku usaha
dapat menguasai wilayah pemasaran atau alokasi pasar yang menjadi bagiannya tanpa
harus melalui persaingan.
Menurut Stephen F. Ross dalam bukunyaPrinciples of Antitrust Lawmenyatakan bahwa
hilangnya persaingan di antara sesama pelaku usaha dengan cara melakukan
pembagian wilayah bisa membuat pelaku usaha untuk melakukan tindakan
pengurangan produksi ke tingkat yang tidak efesien, kemudian mereka juga dapat
melakukan eksploitasi terhadap konsumen dengan menaikan harga produk, dan
menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk bertindak sewenan g-wenang terhadap
konsumen yang sudah teralokasi sebelumnya.41
Namun pembagian pasar tidak dapat berjalan secara efektif bila konsumen mempunyai
kemampuan yang cukup untuk berpindah dari pasar yang satu ke pasar yang lain untuk
membeli kebutuhannya. Misalkan pemilik Departemen store Matahari dan Ramayana
bersepakat untuk melakukan pembagian pasar di antara mereka, Departemen store
Ramayana hanya beroperasi dan menjalankan usahanya di wilayah Depok saja,
sedangkan Departemen store Matahari akan beroperasi melayani wilayah Ibu kota
Jakarta, andaikan konsumen di wilayah Depok ketika berbelanja di Ramayana merasa
tidak puas, kemudian konsumen masih memiliki kemampuan untuk berbelanja di
Departemen store Matahari Jakarta, meskipun lebih jauh dari tempat tinggalnya.
41