• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Dominan Posisi dominan didefenisikan oleh Pasal 1 ayat (4) Undang-undang No.5/1999 sebaga

Dalam dokumen Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia (Halaman 64-84)

Posisi dominan didefenisikan oleh Pasal 1 ayat (4) Undang-undang No.5/1999 sebagai suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Bila dibandingkan dengan monopoli, secara konseptual posisi dominan itu seperti jembatan di antara struktur pasar monopoli dan struktur pasar oligopolistik (pasar yang dikuasai oleh beberapa perusahaan sejenis yang mempunyai kemampuan yang sama). Pada pasar yang berstruktur monopoli, pelaku usaha yang ingin masuk ke dalam pasar akan mendapatkan rintangan yang cukup besar dari si pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli, tetapi untuk pasar yang terdapat pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan di dalamnya, hambatan yang dibuat untuk menceg ah pelaku usaha lain yang hendak masuk ke dalam pasar oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan tidak sebesar yang dibuat oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli, atau dengan kata lain rintangan yang diciptakan oleh pelaku usaha dominan untuk mencegah pelaku usaha lain untuk masuk kedalam pasar yang sama tidak sebesar rintangan yang diciptakan oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli, sehingga dapat dikatakan bahwa si posisi dominan masih memberikan sedikit ruang bagi pelaku usaha lain untuk berpartisipasi di dalam pasar.

Sedangkan hal lainnya yang membedakan pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan dengan pelaku usaha yang memiki kedudukan monopoli adalah Kemampuan pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan (si posisi dominan) dalam mengontrol (menaikan atau menurunkan) harga tidak sekuat yang dimiliki oleh pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli. Dimana dalam menentukan harga si posisi dominan harus memperhatikan reaksi konsumen atas tindakan yang diambilnya, karena mungkin atas tindakannya tersebut dapat memicu konsumen si posisi dominan berpindah kepada pelaku usaha lain yang lebih kecil yang berusaha menjadi pesaing dari si posisi dominan. Sedangkan bagi pelaku usaha yang memiliki kedudukan monopoli (si monopoli) tidak perlu memperhatikan reaksi konsumen ketika si monopoli harus menaikan harga, karena si monopoli mempunyai keyakinan bahwa konsumen tidak akan berpindah ke pelaku usaha lain meskipun si monopoli nantinya menaikan harga, karena sebelumnya si monopoli telah membuat rintangan-rintangan yang mencegah pelaku usaha lain masuk ke dalam pasar si monopoli, sehingga membuat yang ada di dalam pasar tersebut hanya si monopoli saja yang menjalankan usahanya.

Mencapai posisi dominan di dalam pasar bukanlah perkara yang mudah bagi setiap pelaku usaha, misalkan si pelaku usaha diharuskan meningkatkan kemampuan

keuangannya, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu terlebih dahulu, barulah kemudian si pelaku usaha bisa mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar.

Oleh karena mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar perlu usaha yang tidak ringan, hal tersebut mendorong si pelaku usaha melakukan segala cara untuk mempertahankan posisi dominannya agar tidak tergoyahkan oleh pelaku usaha lain, bahkan terkadang si posisi dominan melakukan tindakan -tindakan yang terlarang (anti persaingan) dalam mempertahankan posisi dominannya.

Hukum persaingan usaha memberikan perhatian yang cukup serius terhadap pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan, karena seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pelaku usaha yang memiliki kedudukan posisi dominan mempunyai kecendrungan untuk menghalalkan melakukan segala cara dalam mempertahankan posisi dominanya di dalam pasar. Si posisi dominan sangat tidak tentram bila ada pelaku usaha yang yang coba-coba untuk menggoyahkan kedudukannya di dalam pasar, sehingga terkadang si posisi dominan menerapkan strategi-strategi bisnis yang membuat pelaku usaha lain tidak dapat menyainginya, bila si posisi dominan dalam mempertahankan posisi dominannya tidak melalui cara-cara yang anti persaingan, seperti mengembangakan teknologi ataupun peningkatan permodalannya sudah barang tentu bagi hukum persaingan usaha tidak menjadi masalah, tetapi ketika si posisi dominan dalam mempertahankan kedudukannya melalui cara-cara yang anti persaingan maka sudah barang tentu pula hukum persaingan usaha sudah menyiapkan jerat-jerat hukum untuk si posisi dominan.

Sebagai contoh dimana sebelum Perang Dunia II Perusahaan Alumunium America (Alcoa), merupakan satu-satunya perusahaan nasional Amerika Serikat yang memproduksi batangan alumunium dari biji alumunium. Alcoa dalam pasar Amerika menghadapi persaingan dari beberapa perusahaan batangan alumunium yang melakukan daur ulang alumunium. Alcoa memiliki posisi dominan yang memproduksi alumunium dengan teknologi yang telah dipatenkan sehingga dengan teknologi tersebut

memegang hak paten dan dengan demikian teknik produksi Alcoa dilindungi oleh hak paten. Namun setelah tahun 1909 hak paten tersebut telah kadaluwarsa dan Alcoa harus mempertahankan posisi tersebut.

Pemerintah mencoba menuntut Alcoa melakukan aksi monopoli terhadap pasar batangan alumunium, karena Alcoa, dituduh, melakukan pembelian bauxit melebihi dari jumlah yang dibutuhkan oleh perusahaannnya sehingga menyebabkan perusahaan lain yang menjadi pesaing potensial tidak bisa mendapatkan bahan dasar yang dibutuhkan untuk memproduksi batangan alumunium. Pemerintah juga menyatakan bahwa Alcoa telah menandatangani kontrak dengan Perusahaan Listrik Publik (PLN Amerika) yang mana kontrak tersebut didesain sedemikian rupa sehingga perusahaan yang bergerak sebagai produsen batangan alumunium, yang menjadi saingan Alcoa, tidak bisa mendapatkan listrik dengan harga yang murah (perlu diketahui bahwa untuk memproduksi batangan alumunium, dibutuhkan listrik yang besar). Dal am pandangan pengadilan, pemerintah dipandang tidak berhasil membuktikan bahwa Alcoa telah berupaya untuk melakukan usaha-usaha untuk melanggengkan monopoli di bidang produksi alumunium batangan. Namun demikian, pengadilan di Amerika Serikat menemukan bahwa Alcoa telah melakukan monopoli alumunium batangan yang dengan demikian telah bertentangan dengan bagian 2 dari Sherman Act. Faktor yang mendukung tuduhan tersebut adalah perluasan kapasitas produksi yang dilakukan oleh Alcoa. Berikut merupakan cuplikan dari pertimbangan keputusan pengadilan:

“It was not inevitable that it should always anticipate increases in demand for ingot and be prepared to supply them. Nothing compelled it to keep doubling and redoubling its capacity before others entered the field. It insist thet it never excluded competitors; but we can think of no more effective exclusion than progressively to embrace each new opportunity as it opened, and to face every newcomer with new capacity already geared into a great organization, having the advantage of experience, trade connections and the elite of personel.”

Pada Undang-undang No.5/1999 khususnya Pasal 25 mengemukakan beberapa tindakan terlarang yang umumnya dilakukan oleh si posisi dominan dalam mempertahankan kedudukannya di dalam pasar, antara lain:

1. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun dari segi kualitas; atau

2. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

3. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Hukum persaingan usaha secara umum ataupun Undang-undang No.5/1999 secara khusus sebenarnya tidak mengharamkan bagi pelaku usaha memiliki k edudukan posisi dominan di dalam pasar, asalkan tidak menyalahgunakan posisi yang dimilikinya untuk melakukan hal-hal yang telah di sebutkan di atas, Seperti yang dikemukakan oleh Pasal 25 ayat (1) Undang-undang No.5/1999 bahwa: “Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:

1. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun dari segi kualitas; atau

2. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

3. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.”

Pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan oleh Undang-undang No.5/1999 apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau, dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu, dimana hal ini di atur di dalam Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999.

Tetapi dengan pemberian judul posisi dominan pada Bab tersebut, seolah-olah posisi dominan dibaca oleh masyarakat sebagi suatu yang dilarang oleh Undang-Undang No. 5/1999. Padahal sebenarnya tidak demikian. Undang-undang ini tidak bertujuan untuk melarang pelaku usaha untuk menjadi besar atau dominan dalam menjalankan bisnisnya. Bahkan sebaliknya, UU No. 5/1999 justru b ertujuan untuk menggairahkan

memiliki posisi dominan di dalam pasar yang bersangkutan sepanjang posisi dominan tersebut diperolehnya dengan cara-cara yang jujur dan mengedepankan persaingan yang sehat dalam berbisnis. Dengan demikian penjudulan “Posisi Dominan” sangat tidak tepat sebagai sesuatu yang dilarang, dan lebih tepat apabila judul bab tersebut diganti dengan judul “Penyalahgunaan Posisi Dominan”, karena dianggap penyalahgunaan posisi dominan memiliki konotasi yang negatif sehingga harus menjadi sesuatu hal yang dilarang oleh undang-undang nantinya. Dan apabila melihat substansi yang ada dalam bab tersebut memang nampak lebih tepat bahwa hal-hal yang dilarang di dalam bab tersebut merupakan penyalahgunaan posisi dominan. Sehingga kesimpulannya adalah bahwa pencapaian penguasaan pangsa pasar (posisi dominan) pada dasarnya tidaklah dilarang, yang dilarang adalah penyalahgunaan posisi dominan tersebut.59

Kemudian isi dari Pasal 25 ayat 1 huruf (a) Undang-undang No.5/1999 mempunyai kesamaan dengan pasal 19 huruf b Undang-undang No.5/1999, walaupun tidak sepenuhnya sama. Persyaratan pertama yang harus dipenuhi adalah bahwa pelaku usaha bersangkutan menentukan syarat perdagangan. Rumusan ini bermakna sangat luas dan sepertinya meliputi hampir seluruh perilaku persaingan usaha.60Untuk itu perlu semacam pengaturan yang lebih jelas dan bukan merupakan pengulangan dari suatu pasal yang lain. Begitupula dengan pasal 25 ayat 1 huruf (b) di mana hal ini memiliki tujuan mirip dengan tujuan pasal 19 huruf c. Pada pasal 25 ayat 1 huruf (b) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominannya untuk membatasi pasar dan pengembangan teknologi. Mengenai tujuan membatasi pasar, hal ini bermakna sangat luas, sehingga memerlukan interpretasi. Dan istilah “membatasi” dan “pasar” tidak dijabarkan lebih lanjut.61 Apabila dilakukan interpretasi secara ekstensif, yang sebenarnya tidak sesuai dengan maksud dan tujuan ketentuan ini, maka semua hambatan persaingan sekaligus merupakan pembatasan pasar.62

59

Udin Silalahi, Harian Umum Sore Sinar Harapan, Rubrik Persaingan Bisnis,Rencana Merger Air France dengan KLM: Peta Persaingan Penerbangan Dunia Akan Berubah,

http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2003/1029/ind4.html

60Peter W. Heerman,Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat, Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Jakarta 2002, cet. II, hal. 335

61

Ibid.

62

Selanjutnya, di dalam pasal tersebut diatas disebutkan juga bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pengembangan teknologi. Tentu saja hak atas kekayaan intelektual sebagai monopoli pribadi cocok sekali untuk membatasi pengembangan teknologi. Namun dari sistematik undang-undang ini nyata bahwa pasal 25 ayat 1 huruf (a) memerlukan reduksi teleologis.63 Menurut pasal 50 huruf b, perjanjian hak atas kekayaan intelektual dikecualikan dari jangkauan undang-undang ini. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hambatan persaingan yang diakibatkan adanya hak atas kekayaan intelektual selalu harus dapat diterima. Karenanya, pasal 25 ayat 1 huruf (b) hanya ditujukan bagi pembatasan yang “melampaui” batas, yang telah ditetapkan oleh hak milik kekayaan industri dan hak cipta.

Sedangkan Pasal 25 ayat (1) huruf (c) Undang-undang No.5/1999 menekankan tujuan penyalahgunakan posisi dominan untuk menciptakan hambatan masuk kepada pelaku usaha lain untuk ikut terjun dalam bidang usaha yang sama, sebenarnya pengaturan ini telah diakomodir di dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang No. 5/1999 yang berbunyi sebagai berikut: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Untuk itu maka perlu kedua pengaturan tersebut diakomodir di dalam satu bagian atau pasal tertentu sehingga tidak terjadi pengulangan pengaturan.

Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 berbunyi: Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: (a) satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% ( lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau (b) dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Materi ketentuan pasal 25 ayat 2 huruf a identik dengan ketentuan Pasal 17 ayat (2) huruf (c) Undang-undang No.5/1999 dan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang No.5/1999, sedangkan Pasal 25 ayat (2) huruf (b) sama dengan isi

pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 dan pasal 13 ayat 2 Undang-undang No.5/1999.

Kata-kata yang dipergunakan dalam ketentuan dalam pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.5/1999 berbeda dengan istilah hukum “pasar bersangkutan” yang terdapat dalam Pasal 1 angka (10) Undang-undang No.5/1999, dan dapat mengarah pada interpretasi yang lebih sempit, namun kesamaan bahasa dan konsep UNCTAD mengindikasikan bahwa sesuai dengan standar internasional, dibutuhkan posisi dominan dalam pasar bersangkutan. Karena itu, istilah hukum yang terdapat dalam Pasal 1 angka (10) Undang-undang No.5/1999 juga relevan dalam penerapan pasal 25 ayat (2). dari materinya, ketentuan ini berkaitan dengan definisi posisi dominan sebagaimana dimaksud pasal 1 angka (4) Undang-undang No.5/1999 dan memodifikasi definisi tersebut. Namun dalam menerapkan ketentuan tersebut, pangsa pasar bukan merupakan satu-satunya kriteria untuk menentukan posisi dominan. Perlu dipertanyakan apakah parameter-parameter lainnya yang berperan penting untuk menentukan posisi dominan patut atau dapat diabaikan dalam menerapkan Pasal 25 ayat 2 Undang- undang No.5/1999. apabila demikian, maka definisi hukum di satu-satunya ketentuan hukum dalam undang-undang ini yang menggunakan istilah hukum “posisi dominan”, termodifikasi secara menyeluruh. Namun hal ini perlu dihindari demi penerapan istilah- istilah hukum secara seragam, paling sedikit di dalam satu undang -undang

Lebih lanjut pada Bab Posisi Dominan Undang-undang No.5/1999 juga memasukan beberapa hal yang memungkinkan pelaku usaha meraih sebagai posisi dominan di dalam pasar, yaitu antara lain:

1. memiliki jabatan baik sebagai direksi ataupun sebagai komisaris dibeberapa perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama (Pasal 26 Undang -undang No.5/1999);

2. memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama (Pasal 27 Undang-undang No.5/1999);

3. melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan badan usaha (Pasal 28 dan Pasal 29 Undang-undang No.5/1999).

Bagi pelaku usaha yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan, kemudian menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama juga, kemungkinan besar pelaku usaha tersebut akan mengkoordinasikan kegiatan usaha perusahaan-perusahaan dimana dia menjadi pejabat direksi atau komisarisnya, yang mungkin jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama perusahaan-perusahaan tersebut dapat saling bersaing satu sama lain, namun karena perusahaan-perusahaan tersebut memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama sangat kecil kemungkinannya di antara perusahaan tersebut akan saling bersaing.

Memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama di beberapa perusahaan yang bergerak di dalam pasar yang sama, sudah barang tentu akan membuat perilaku dari perusahaan-perusahaan tersebut kemungkinan akan menjadi seragam di dalam pasar, sehingga membuat perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama tersebut terlihat seperti satu perusahaan saja.

Dengan terjadinya praktek jabatan rangkap dapat mempengaruhi persaingan usaha dalam berbagai cara. Misalnya dapat menimbulkan pengawasan administratif di mana keputusan sehubungan dengan investasi dan produksi dapat melahirkan pembentukan strategi bersama di antara perusahaan sehubungan dengan harga, alokasi pasar dan kegiatan bersama lainnya. Dan ini penting disadari bahwa jabatan rangkap apabila tidak diawasi dengan cara efektif, dapat digunakan sebagai alat untuk menghindarkan perundang-undangan yang susunannya bagus dan diterapkan setepat-tepatnya di daerah praktek usaha yang restriktif.

Meskipun jabatan rangkap terlihat dari penjelasan di atas memberikan dampak yang kurang baik bagi persaingan usaha, bukan berarti seseorang dilarang sama sekali untuk menduduki jabatan rangkap di beberapa perusahaan yang berada di dalam pasar bersangkutan yang sama, karena berdasarkan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999, yang berbunyi :“seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi

a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau

b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha; atau

c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat,” sehingga dapat dikatakan jabatan rangkap yang dilarang berdasarkan Pasal 26 Undang-undang No.5/1999 adalah jabatan rangkap yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Sedangkan mungkin yang dimaksud dengan jabatan rangkap yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat atau yang dilarang oleh Undang-undang No.5/1999 adalah jabatan rangkap, dimana dengan adanya perusahaan-perusahaan yang memiliki pejabat direksi atau komisaris yang sama pada pasar bersangkutan yang sama kemudian menyebabkan beberapa perusahaan yang ada tersebut seperti satu perusahaan saja, yang selanjutnya membuat keberadaan mereka di pasar menjadi dominan, dan berikutnya perusahaan-perusahaan tersebut saling berkolusi untuk melakukan tindakan-tindakan yang anti persaingan.

Namun untuk memberikan pengawasan terhadap jabatan rangkap ini tidak cukup pengaturan mengenai jabatan rangkap terhadap direksi atau komisaris saja sebagaimana yang telah diatur oleh pasal 26 Undang-Undang No. 5/1999. Direksi dan Komisaris merupakan suatu istilah jabatan yang hanya terdapat dalam badan usaha yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, di mana direksi dan komisaris merupakan organ yang terdapat dalam suatu Perseroan Terbatas. Apabila ketentuan pasal 26 Undang-Undang No. 5/1999 tetap dipertahankan demikian, di mana larangan jabatan rangkap tersebut hanya diberlakukan bagi jabatan direksi dan komisaris maka pada akhirnya badan usaha lain selain Perseroan Terbatas seperti firma, CV, Koperasi dan lain-lain tidak akan terkena ketentuan mengenai jabatan rangkap ini sekalipun badan usaha tersebut memenuhi kriteria huruf (a), (b), dan (c) yang justru sebenarnya dapat mempengaruhi kondisi persaingan ke arah yang tidak sehat.

Untuk itu agar ketentuan mengenai jabatan rangkap ini tidak hanya mengarah kepada badan usaha yang berbentuk Perseroan Terbatas saja maka penggunaan istilah Direktur dan Komisaris ini diganti menjadi Pengurus dan Pengawas dengan harapan

agar undang-undang ini juga dapat diberlakukan bagi bentuk badan usaha lain selain Perseroan Terbatas.

Kedudukan posisi dominan pelaku usaha juga bisa dilakukan dengan cara memiliki saham secara mayoritas di beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, dimana kemudian pangsa pasar perusahaan-perusahaan yang dimilikinya menjadi lebih besar.

Dengan memiliki saham secara mayoritas dibeberapa perusahaan yang sejenis yang bergerak di dalam pasar yang sama, pelaku usaha melalui perusahaan-perusahaanya yang telah berhasil dikuasai dapat juga melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menduduki jabatan rangkap dibeberapa perusahaan yang berada dalam pasar yang sama, sehingga seharusnya pengaturan mengenai kepemilikan saham secara mayoritas di beberapa perusahaan yang sama disesuaikan dengan pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi dominan dan jabatan rangkap.

Namun Pasal 27 Undang-undang No.5/1999 yang mengatur mengenai pemilikan saham secara mayoritas pada perusahaan sejenis yang m elakukan kegiatan usaha pada pasar bersangkutan yang sama - (dimana Pasal 27 secara lengkap berbunyi: “pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan :

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu:

b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.”)

- sepertinya dirumuskan secara keliru, karena Pasal 27 yang merupakan salah satu pasal yang juga menjadi bagian dari Bab V Posisi Dominan, seharusnya perumusannya juga disesuaikan dengan kaidah yang lain, seperti pada pengaturan penyalahgunaan posisi dominan dan jabatan rangkap, yang dikatakan sebelumnya bahwa sesungguhnya posisi dominan itu sendiri tidak dilarang, asalkan tidak melakukan tindakan-tindakan

jabatan rangkap yang sebenarnya juga tidak dilarang asalkan tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, karena sesungguhnya

Dalam dokumen Pengantar Hukum Persaingan Usaha Indonesia (Halaman 64-84)