• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. NSAIDs

2.3.2. Kegunaan NSAID

NSAID digunakan terutama untuk mengobati peradangan, nyeri ringan sampai sedang, dan demam. Penggunaan spesifik mencakup pengobatan sakit kepala, arthritis, cedera olahraga, dan kram menstruasi. Ketorolac (Toradol) hanya digunakan untuk pengobata jangka pendek nyeri akut yang cukup parah yang seharusnya dapat diobati dengan opioid. Aspirin (juga suatu NSAID) digunakan untuk menghambat pembekuan darah dan mencegah stroke dan serangan jantung pada individu yang berisiko tinggi. NSAID juga termasuk dalam persiapan dingin dan alergi (Wilmana dan Gan, 2007).

2.3.3 Tempat Obat NSAID Bekerja

Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG₂ terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektifitas yang berbeda.

Enzim siklooksigenase terdapat dalam dua isoform disebut 1 dan COX-2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase-2 semula diduga induksi berbagai stimulus

inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan. COX-2 mempunyai fungsi fisiologis di ginjal, jaringan vaskuler dan pada proses perbaikan jaringan. Tromboksan A₂ , yang disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokontriksi dan proliferasi otot polos.

Sebaliknya prostasiklin (PGI₂ ) yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi, dan efek anti-proliferatif.

2.3.4 Mekanisme Kerja

Gambar 2.3.4 Mekanisme Kerja Anti Inflamasi Non Steroid

S e b a g i a n b e s a r e f e k t e r a p i d a n e f e k s a m p i n g N S A I D b e r d a s a r k a n a t a s p e n g h a m b a t a n b i o s i n t e s i s p r o s t a g l a n d i n ( P G ) . P a d a s a a t s e l m e n g a l a m i kerusakan, maka akan dilepaskan beberapa mediator kimia. Di antara mediator inflamasi, prostaglandin adalah mediator dengan peran terpenting. Enzim yang dilepaskan saat ada rangsang mekanik maupun kimia adalah prostaglandin endoperoksida sintase (PGHS) atau siklooksigenase (COX) yang memiliki dua sisi

k a t a l i t i k . S i s i y a n g p e r t a m a a d a l a h s i s i a k t i f s i k l o o k s i g e n a s e , y a n g a k a n mengubah asam arakhidonat menjadi endoperoksid PGG2. Sisi yang lainn ya adalah sisi aktif peroksidase, yang akan mengubah PGG2 menjadi endoperoksid lain yaitu PGH2. PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs, prostasiklin d a n t r o m b o k s a n A 2 , y a n g k e t i g a n y a m e r u p a k a n m e d i a t o r u t a m a p r o s e s infamasi. COX terdiri atas dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2.

Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat dengan cara berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus.

Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit.Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. I n h i b i s i b i o s i n t e s i s p r o s t a g l a n d i n o l e h a s p i r i n m e n y e b a b k a n a s e t i l a s i y a n g irreversibel di sisi akti f siklookigenase, sedangkan sisi akti f peroksidase tidak terpengaruh. Berlawanan dengan aksi aspirin yang irreversibel, NSAID lainya seperti ibuprofen atau indometasin menyebabkan penghambatan terhadap COX baik reversibel maupun irreversibel melalui kompetisi dengan substrat, yaituasam arakhidonat.

2.3.5 Perbandingan COX-1 dan COX-2

COX-1 memiliki fungsi fisiologis, mengaktivasi produksi prostasiklin, dimana saat p r o s t a s i k l i n d i l e p a s k a n o l e h e n d o t e l v a s k u l a r , m a k a dan hanya sedikit menin gkat sebagai respon terhadap stimulasi hormon

atau faktor pertumbuhan. Normalnya, sedikit atau bahkan tidak ditemukan COX-2 pada sel istirahat, akan tetapi bisa meningkat drastic setelah terpajan oleh bakteri lipopolisakarida, sitokin atau faktor pertumbuhan.

M e s k i p u n C O X - 2 d a p a t d i t e m u k a n j u g a d i o t a k d a n g i n j a l . I n d u k s i C O X - 2 menghasilkan PGF2 yang menyebabkan terjadinya kontraksi uterus pada akhir kehamilan sebagai awal terjadinya persalinan.

2.3.6 Penghambat COX-1 dan COX-2

M a s i n g - m a s i n g N S A I D m e n u n j u k k a n p o t e n s i y a n g b e r b e d a - b e d a d a l a m menghambat COX-1 dibandingkan COX-2. Hal inilah yang menjelaskan adanya variasi dalam timbulnya efek samping NSAID pada dosis sebagai anti infamasi. Obat yang potensinya rendah dalam menghambat COX-1, yang berarti memiliki rasio aktivitas COX-2/COX-1 lebih rendah, akan mempunyai efek sebagai antii n f l a m a s i d e n g a n e f e k s a m p i n g l e b i h r e n d a h p a d a l a m b u n g d a n g i n j a l . P i r o k s i k a m d a n i n d o m e t a s i n m e m i l i k i t o k s i s i t a s t e r t i n g g i t e r h a d a p s a l u r a n gastrointestinal. Kedua obat ini memiliki potensi hambat COX-1 yang lebih tinggi d a r i p a d a m e n g h a m b a t C O X - 2 . D a r i p e n e l i t i a n e p i d e m i o l o g i y a n g m e m b a n d i n g k a n r a s i o C O X - 2 / C O X - 1 , t e r d a p a t k o r e l a s i s e t a r a a n t a r a e f e k samping gastrointestinal dengan rasio COX-2/COX-1. Semakin besar rasio COX-2/COX-1, maka semakin besar pula efek samping gastrointestinalnya. Aspirin memiliki selektivitas sangat tinggi terhadap COX-1 daripada COX-2, sehingga efek terhadap gastrointestinal relatif lebih tinggi .

Tabel 2.3.6. Rasio COX2/COX1 pada NSAID

2.3.7 Jens-jenis NSAIDs 1. Asetosal/Aspirin

Obat golongan salisilat yang paling banyak digunakan adalah asam asetil salisilat (Miladiyah, 2012). Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik antipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis (Wilmana dan Sulistia, 2007).

Aspirin berbeda dengan derivat asam salisilat lainnya karena mempunyai gugus asetil. Gugus asetil inilah yang nantinya mampu menginaktivasi enzim siklooksigenase, sehingga obat ini dikenal sebagai Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) yang unik karena penghambatannya terhadap enzim siklooksigenase bersivat ieversibel, sementara AINS lainnya menghambat enzim siklooksigenase secara kompetitif sehingga bersifat reversibel (Miladiyah, 2012).

Farmakokinetik

Aspirin merupakan obat anti inflamasi non steroid. Aksi anti inflamasi disebabkan oleh penghambatan terhadap prostaglandin. Aspirin secara ireversibel terikat ke enzim siklooksigenase (COX) pada jaringan untuk menghambat sintesis prostaglandin. Pada dosis yang rendah lebih spesifik untuk COX-1 daripada

COX-2. Sensitifitas COX-1 di atas COX-2 untuk dosis rendah aspirin digunakan untuk pengobatan anti platelet. Pada beberapa hewan, bahkan aspirin dosis rendah tidak menghambat agregasi platelet, kemungkinan karena COX-2 dapat menjadi sumber tambahan dari tromboksan (TXA2). Efek anti inflamasi khusus untuk penghambatan COX, tapi mekanisme anti inflamasi lainnya- khusus salisilat- juga memperbesar aksi anti inflamasi, seperi penghambatan NF kappa-β.

Farmakokinetik merupakan faktor dalam hewan dengan rentang dari 1 jam pada kuda, 6 jam pada babi, 8.5 jam pada anjing, sampai 38 jam pada kucing.(Papich, 2016) Farmakodinamik :

Salisilat khususnya asetosal merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat terjadi demam dan hyperhidrosis. (Wilmana dan Sulistia, 2007)

Indikasi :

Aspirin digunakan sebagai obat analgesik, anti inflamasi, dan antiplatelet.

Pada dosis rendah, aspirin lebih spesifik penghambat selektif COX-1 dan obat antiplatelet daripada obat NSAIDs lainnya. Oleh karena itu dosis rendah sudah digunakan pada hewan utamanya untuk mencegah pembentukan tromboemboli.

Aspirin dosis rendah secara rutin digunakan untuk terapi anti- platelet, tapi aspirin tidak memberikan penghambatan lengkap dari stimulasi platelet. Tambahan dari obat antiplatelet lainnya seperti clopidogrel (Plavix) memberi penghambatan yang lebih efektif. Penghambatan dari platelet telah dibenarkan karena pada beberapa penyakit, platelet menjadi hiperreaktif, dan pengeluaran serotonin dan mediator lainnya yang mungkin memperburuk penyakit vascular. (Papich, 2016)

Aspirin telah digunakan untuk mencegah komplikasi dari penyakit cacing hari (tromboemboli). Walaupun tidak ada bukti meyakinkan bahwa ada keuntungan klinis dari pengobatan ini. Beberapa bukti menunjukkan bahwa aspirin mungkin kontraindikasi dalam penyakit cacing hati. (Papich, 2016)

2. Ibuprofen Mekanisme kerja

Ibuprofen bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi terganggu. Ada dua jenis siklooksigenase, yang dinamakan COX-1 dan COX-2. COX-1 terdapat pada pembuluh darah, lambung, dan ginjal, sedangkan COX-2 keberadaannya diinduksi oleh terjadinya inflamasi oleh sitokin dan merupakan mediator inflamasi. Aktivitas antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi dari ibuprofen.

Berhubungan dengan kemampuan inhibisi COX-2, dan adapun efek samping seperti perdarahan saluran cerna dan kerusakan ginjal adalah disebabkan inhibisi COX-1. Ibuprofen menghambat COX-1 dan COX-2 dan membatasi produksi prostaglandin yang berhubungan dengan respon inflamasi.

Farmakodinamik

Ibuprofen hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, dan efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opioat, tetapi tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Untuk menimbulkan efek analgesik, ibuprofen bekerja pada hipotalamus, menghambat pembentukan prostaglandin ditempat terjadinya radang, dan mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik atau kimiawi.

Ibuprofen akan menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam.

Demam yang menyertai infeksi dianggap timbul akibat dua mekanisme kerja, yaitu pembentukan prostaglandin di dalam susunan syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek interleukin-1 pada hipotalamus.

Ibuprofen menghambat baik pirogen yang diinduksi oleh pembentukan prostaglandin maupun respon susunan syaraf pusat terhadap interleukin-1 sehingga dapat mengatur kembali “thermostat” di hipotalamus dan memudahkan pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.

Sebagai antiinflamasi, efek inflamasi dari ibuprofen dicapai apabila penggunaan pada dosis 1200-2400 mg sehari. Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi.

Ibuprofen dapat dimanfaatkan pada pengobatan muskuloskeletal seperti artritis rheumatoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Namun, ibuprofen hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki, atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan musculoskeletal. merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi dimetabolisme dihati untuk dua metabolit utama aktif yang dengan cepat dan lengkap dikeluarkan oleh ginjal.

Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konyugata (1%

sebagai obat bebas), beberapa juga diekskresi melalui feses. Ibuprofen masuk ke ruang synovial dengan lambat. Konsentrasinya lebih tinggi di ruang synovial dibandingkan diplasma.

Indikasi

Efek analgesik dan antiinflamasi ibuprofen dapat digunakan untuk meringankan gejala-gejala penyakit rematik tulang, sendi, gejala arthritis, osteoarthritis, dan non-sendi. Juga dapat digunakan untuk meringankan gejala-gejala akibat trauma otot dan tulang atau sendi (trauma muskuloskeletal).

Meringankan nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada dismenore primer (nyeri haid), nyeri pada penyakit gigi atau pencabutan gigi, nyeri setelah operasi dan sakit kepala Ibuprofen juga umumnya bertindak sebagai vasodilator, dapat melebarkan arteri koroner dan beberapa pembuluh darah lainnya. Ibuprofen diketahui memiliki efek antiplatelet, meskipun relatif lebih lemah bila dibandingkan dengan aspirin atau obat lain yang lebih dikenal sebagai antiplatelet.

Dapat digunakan pada neonatus dengan paten duktus arteriosus, disfungsi ginjal, nekrotizing enterokolitis, perforasi usus, dan perdarahan intraventrikular, efek protektif neuronal.

Ibuprofen lisin diindikasikan untuk penutupan duktus arteriosus. paten pada bayi prematur dengan berat antara 500 dan 1.500 gram, yang tidak lebih dari 32 minggu usia kehamilan saat restriksi cairan, diuretik, dukungan pernafasan tidak efektif.

Efek samping

Ibuprofen bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Prostaglandin terlibat dalam pelepasan renin, vaskular lokal, sirkulasi regional, keseimbangan air, dan keseimbangan natrium. Prostaglandin juga menstimulasi perbaikan sel epitelial gastrointestinal dan menstimulasi sekresi bikarbonat dari sel epitelial. Hal ini menyebabkan ibuprofen dapat menurunkan sekresi mukus yang berfungsi sebagai pelindung dalam lambung dan usus kecil, dan juga dapat menyebabkan vasokonstriksi pada mukosa lambung.

Selain itu efek samping pada gastrointestinal meliputi stress lambung, kehilangan darah tiba-tiba, diare, mual, muntah, heartburn, dispepsia, anoreksia, konstipasi, distress atau karma atau nyeri abdominal, kembung, kesukaran mencerna, dan rasa penuh pada perut juga dapat disebabkan oleh penggunaan ibuprofen.

Efek samping pada sistem kardiovaskular antara lain edema perifer, retensi air, dan perburukan CHF. Pada sistem saraf pusat antara lain dizzines, mengantuk,

vertigo, sakit kepala ringan, dan aseptik meningitis. Pada mata, telinga dan nasofaring antara lain gangguan penglihatan, fotopobia, dan tinnitus.

Pada genitourinaria antara lain menometrorrhagia, hematuria, cistisis, acute renal insufisiensi; interstitial nephritis; hiperkalemia; hiponatremia; nekrosis papillar renal. Pada kulit antara lain rash, pruritus, dan eritema. Efek samping yang lain seperti kram otot.

Hampir sama dengan jenis OAINS lain, ibuprofen juga dapat meningkatkan risiko palpitasi, ventrikular aritmia dan infark miokard (serangan jantung), khususnya di antara mereka yang menggunakan dosis tinggi dalam jangka waktu lama. Studi pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kebiasaan menggunakan OAINS dikaitkan dengan peningkatan gangguan pendengaran.

Penggunaan pada paten duktus arteriosus saat neonatal dengan masa gestasi kurang dari 30 minggu dapat mengakibatkan peningkatan hiperbilirubinemia pada neonatal, karena dapat menggeser kedudukan bilirubin dari albumin, sehingga dapat mengakibatkan kerniikterus dan ensefalopati. Namun hal ini, dapat dikurangi dengan cara pemberian bersama dengan indometasin.

Efek samping yang umum ditemukan antara lain sembelit, epistaksis, sakit kepala, pusing, ruam, retensi garam dan cairan mual, kenaikkan enzim hati,dispepsia, ulserasi gastrointestinal atau perdarahan, diare, dan hipertensi.

Ibuprofen dapat menghambat aliran darah renal, GFR, dan transprtasi ion tubular.

Prostaglandin juga mengatur aliran darah ginjal sebagai fungsional dari antagonis angiotensin II dan norepinefrin. Jika pengeluaran dua zat tersebut meningkat (misalnya, dalam hipovolemia), inhibisi produksi PG mungkin mengakibatkan berkurangnya aliran darah ginjal dan kerusakan ginjal. Namun, efek samping yang terkait dengan ginjal jarang terjadi pada dosis ibuprofen yang ditentukan. Waktu paruh yang pendek pada ibuprofen terkait dengan menurunnya resiko efek ginjal daripada OAINS lain dengan waktu paruh yang panjang.

Dari penelitian-penelitian yang Penggunaan jangka pendek dari ibuprofen tidak signifikan meningkatkan risiko kerusakan ginjal pada sukarelawan sehat

atau pada anak dengan penyakit demam. Pengobatan jangka panjang dengan ibuprofen dengan dosis 1200 mg / hari tidak meningkatkan risiko kerusakan ginjal pada orang lanjut usia. Ibuprofen juga bisa mempengaruhi agregasi trombosit.

Efek ini ditimbulkan karena adanya penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2).

Sediaan dan Posologi

Bentuk sediaan generik yang tersedia yaitu berupa sediaan tablet 200 mg, 400 mg, 600 mg; tablet salut selaput 200 mg, 400 mg; kaptabs salut selaput 200 mg.

Bentuk sediaan paten yang tersedia yaitu berupa sediaan tablet 200 mg, 400 mg, 600 mg; tablet salut selaput 200 mg, 400 mg, 600 mg; kaptabs salut selaput 200 mg, 400 mg; suspensi 100 mg/5 mL, 200 mg/5 mL; tablet kunyah 100 mg ; suppositoria 125 mg.

Sediaan kombinasi yang tersedia yaitu berupa kombinasi ibuprofen dengan parasetamol; ibuprofen dengan parasetamol dan kafein; dan ibuprofen dengan Vitamin B6 B1 dan B12.

Posologi : Ibuprofen dosis rendah (200 mg dan 400 mg) banyak tersedia.

Ibuprofen memiliki durasi tergantung dosis yaitu sekitar 4-8 jam, yang lebih lama dari yang disarankan dari waktu paruh. Dosis yang dianjurkan bervariasi tergantung massa tubuh dan indikasi. Umumnya, dosis oral 200-400 mg (5 10 mg / kg BB pada anak-anak) setiap 4-6 jam, dapat ditambahkan sampai dosis harian 800-1200 mg. Jumlah maksimum ibuprofen untuk orang dewasa adalah 800 miligram per dosis atau 3200 mg per hari (4 dosis maksimum). Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kgBB dengan interval pemberian 4-6 jam, mereduksi demam 15% lebih cepat dibandingkan parasetamol dosis 10-15 mg/kgBB.

Keamanan untuk kehamilan dan menyusui

Kontraindikasi kehamilan tiga bulan terakhir dan menyusui.

Toksisitas

Gejala -gejala overdosis ibuprofen mirip dengan gejala yang disebabkan oleh overdosis OAINS lain. Korelasi antara tingkat keparahan gejala dengan kadar ibuprofen dalam plasma pernah ditemukan. Efek racun tidak mungkin muncul pada dosis di bawah 100 mg/kg tetapi saat di atas 400mg/kg; (sekitar 150 tablet dari 200 unit mg). Dosis letal sukar ditentukan karena bervariasi tergantung pada usia, berat badan, dan penyakit pada pasien. Terapi untuk overdosis dalam kasus awal adalah dekontaminasi lambung menggunakan arang aktif, jarang menyerap obat sebelum bisa masuk ke sirkulasi sistemik. Lavage lambung sekarang jarang digunakan, namun dapat dipertimbangkan jika jumlah yang dikonsumsi secara potensial mengancam kehidupan dan dapat dilakukan dalam waktu 60 menit setelah menelan. Emesis tidak dianjurkan.

Mayoritas konsumsi ibuprofen hanya menghasilkan efek ringan dan pengelolaan overdosis sangatlah mudah. Standar langkah-langkah untuk mempertahankan output urine normal harus dilakukan dan fungsi ginjal harus dipantau. Ibuprofen memiliki sifat asam dan juga diekskresikan dalam urin, diuresis paksa alkaline secara teori menguntungkan. Namun, karena ibuprofen sangat terikat protein dalam darah, sehingga ekskresi dari ginjal minimal.

Diuresis paksa alkalin mempunyai manfaat yang terbatas. Terapi simtomatis untuk hipotensi, perdarahan GI, asidosis, dan toksisitas ginjal dapat diindikasikan.

Kadang-kadang, pemantauan ketat di unit perawatan intensif selama beberapa hari diperlukan. Jika seorang pasien bertahan pada keracunan akut, mereka biasanya tidak akan mengalami gejala ulangan.

3. Asam Mefenamat

Asam mefenamat merupakan derivat asam fenamat.

Mekanisme Kerja

Asam mefenamat mengikat reseptor prostaglandin sintetase 1 dan COX-2 sehingga menghambat sintesis prostaglandin. Prostaglandin berperan sebagai mediator utama peradangan, oleh karena dihambat maka nyeri akan berkurang atau hilang.

Farmakodinamik

Asam mefenamat menghambat COX-1 dan COX-2, maka menghambat pembentukan prostaglandin. Namun, karena asam mefenamat lebih kuat menghambat COX-1 dibanding COX-2 sehingga memiliki efek anti nyeri lebih besar daripada efek antiinflamasi.

Farmakokinetik

Asam mefenamat diabsorbsi pertama kali dari lambung dan usus selanjutnya obat akan melalui hati diserap darah dan dibawa oleh darah sampai ke tempat kerjanya. 90% asam mefenamat terikat pada protein. Konsentrasi puncak asam mefenamat dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam dengan waktu paruh 2 jam. Sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresikan dalam urin sebagai metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi. dan 20% obat ini ditemukan dalam feses sebagai metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi.

Indikasi

Asam Mefenamat diindikasikan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dismenore, nyeri, peradangan, dan demam.

Efek Samping-Toksik

Efek samping dari asam mefenamat terhadap saluran cerna yang sering timbul adalah diare, diare sampai berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung, selain itu dapat juga menyebabkan eritema kulit, memperhebat gejala asma dan kemungkinan gangguan ginjal.

Sediaan -Dosis-Cara pemberian

Sediaan asam mefenamat dalam bentuk kapsul dengan cara pemberian secara oral. Dosis untuk mengobati nyeri akut dan dismenorea dikonsumsi 500mg per hari atau 250 mg per 6 jam, tetapi tidak boleh digunakan lebih dari 7 hari, pada anak usia 14 tahun tidak boleh digunakan lebih dari 3 hari. Asam mefenamat tidak dianjurkan untuk anak dibawah 14 tahun.

Indeks Keamanan Kehamilan Dan Menyusui

Asam mefenamat ditetapkan untuk kategori kehamilan C oleh FDA. Karena non steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) diketahui menyebabkan penutupan dini ductus arteriosus, penggunaan asam mefenamat pada akhir

kehamilan tidak dianjurkan. Maka, asam mefenamat tidak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusui.

4. Ketorolak

Ketorolak merupakan analgesik poten dengan efek antiinflamasi sedang.

Mekanisme Kerja

Ketorolak adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) kimia yang berkaitan dengan indometasin dan tolmetin. Trometamin Ketorolak adalah campuran rasemat [-] S-dan [+] R-enansiomer bentuk, dengan S-bentuk yang memiliki aktivitas analgesik. Efek antiinflamasi terjadi karena penghambatan dari kedua cylooxygenase-1 (COX-1) dan cylooxygenase-2 (COX-2) yang menyebabkan penghambatan sintesis prostaglandin mengakibatkan penurunan prekursor pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat.

Analgesia dihasilkan melalui aksi perifer di mana blokade nyeri hasil impuls dari penurunan aktivitas prostaglandin. Namun, penghambatan sintesis atau tindakan zat lain yang peka reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik atau kimia juga dapat menyebabkan efek analgesik. Dalam hal aplikasi mata dari ketorolak, administrasi okular ketorolak mengurangi prostaglandin E2 di tingkat humor aqueous, sekunder terhadap penghambatan biosintesis prostaglandin.

Farmakodinamik

Ketorolak merupakan agen antiinflamasi dengan analgesik dan antipiretik dengan m e n g h a m b a t s i n t e s i s p r o s t a g l a n d i n . Ketorolak sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak memiliki efek penenang atau sifat anxiolytic.Aktivitas biologis ketorolak trometamin dikaitkan dengan bentuk-S.

Farmakokinetik

Ketorolak diabsorbsi dengan cepat baik diberikan secara oral maupun intramuskular, mencapai konsentrasi puncak plasma dalam 30 sampai 50 menit.

Ketorolak terikat pada protein plasma, obat ini diekskresi dengan waktu paruh eliminasi 4 sampai 6 jam. Sekitar 90% kerorolak diekskresikan dalam urin, sekitar 10% diekskresi dalam bentuk tidak berubah, dan sisanya sebagai konjugat yang

mengalami glukuronidasi. Laju eliminasi berkurang pada orang lanjut usia dan pada pasien gagal ginjal.

Indikasi

Ketorolak hanya diindikasikan untuk penanganan nyeri jangka pendek (tidak lebih dari 5 hari) dan tidak boleh digunakan untuk nyeri ringan atau kronis.

Ketorolak digunakan untuk nyeri akut cukup parah yang memerlukan analgesia pada tingkat opioid, biasanya dalam pengaturan pasca operasi. Ketorolak topikal mungkin berguna untuk kondisi peradangan pada mata dan diizinkan untuk penanganan konjungtivitis alergi musiman dan radang mata.

Efek Samping-Toksik

Efek samping yang terjadi antara lain mengantuk, pusing, sakit kepala, nyeri saluran cerna, dispepsia dan mual,serta nyeri pada tempat injeksi.

Sediaan-Dosis-Cara Pemberian

Dalam jangka pendek (≤ 5 hari) pengobatan nyeri akut yang memerlukan analgesia pada tingkat opioid; kerolak tidak diindikasikan untuk nyeri ringan atau kronis IV: 30 mg sebagai dosis tunggal atau 30 mg setiap 6 jam; tidak melebihi 120 mg / hari IM: 60 mg sebagai dosis tunggal atau 30 mg setiap 6 jam; tidak melebihi 120 mg / hari PO: 20 mg sekali setelah IV atau terapi IM, maka 10 mg setiap 4-6 jam; tidak melebihi 40 mg / hari

Indeks Keamanan Kehamilan Dan Menyusui

Ketorolak telah ditetapkan untuk kategori kehamilan C oleh FDA. Beberapa penelitian pada hewan telah menunjukkan bukti efek teratogenik. Dalam sebuah penelitian, hanya jumlah yang sangat kecil dari ketorolak terdeteksi dalam sampel

vena umbilikalis setelah digunakan dalam persalinan. Ketorolak diketahui melewati plasenta, injeksi intramuskular ketrolak untuk menghilangkan rasa sakit selama persalinan. Namun, penggunaan ketorolak dianggap kontraindikasi selama persalinan dan melahirkan karena dapat mempengaruhi sirkulasi janin dan menghambat kontraksi uterus.

Ketorolak diekskresikan ke dalam ASI dalam jumlah kecil setelah dosis oral dengan 10 mg empat kali sehari. Ketorolak dianggap kompatibel dengan menyusui oleh The American Academy of Pediatrics.

Tidak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusui.

Dokumen terkait