• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPORSI MAHASISWI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN YANG MENGGUNAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROPORSI MAHASISWI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN YANG MENGGUNAKAN"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

PROPORSI MAHASISWI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2019-2020

YANG MENGGUNAKAN NSAIDs (NON STEROID ANTI INFLAMMATORY DRUGS) DALAM KEADAAN DISMENORE

SKRIPSI

Oleh :

ADILA DZAKIYYATU SYIFA 170100021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

PROPORSI MAHASISWI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ANGKATAN 2019-2020

YANG MENGGUNAKAN NSAIDs (NON STEROID ANTI INFLAMMATORY DRUGS) DALAM KEADAAN DISMENORE

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

ADILA DZAKIYYATU SYIFA 170100021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdullillahirabbil‟alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, berkat, dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Proporsi Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2019-2020 Yang Menggunakan NSAIDs Dalam Keadaan Dismenore”

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran.

Terima kasih juga saya sampaikan atas segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan dalam perihal kelancaran proses penyelesaian skripsi ini diantaranya:

1. Kedua orang tua saya, atas segala doa, kasih sayang dan upaya mereka dalam membantu terselesaikannya skripsi ini.

2. Dr.dr. Aldi Syafruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Dr.dr. Johny Marpaung, M.Ked(OG), Sp.OG(K), selaku Dosen Pembimbing yang telah membantu saya dalam penyusunan skripsi hingga terselesaikan.

4. Dr. Med. dr. Yahwardiah Siregar dan Dr. Dudy Aldiansyah, M.Ked., Sp.OG, selaku Dosen Penguji saya. Terima kasih atas segala tuntunan, masukan dan berbagai kritik yang membangun dalam memperbaiki segala kekurangan saya.

5. Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2019-2020 yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian saya.

6. Teman-teman dan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... ... i

Daftar Isi ... ii

Daftar Gambar ... iv

Daftar Tabel ... v

Daftar Singkatan ... vi

Abstrak ... vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menstruasi ...4

2.1.1. Pengertian ...4

2.1.2. Siklus Menstruasi ...5

2.2. Dismenore ...8

2.2.1. Pengertian ...8

2.2.2. Klasifikasi ...8

2.2.3. Etiologi ...11

2.2.4. Patofiologi ...11

2.2.5. Manifestasi Klinis ...12

2.2.6. Faktor Resiko ... 13

2.2.7. Derajat ...13

2.2.8. Diagnosis ...14

2.2.9. Penatalaksanaan ...15

(6)

2.2.10. Pencegahan ...16

2.3. NSAIDs ...17

2.3.1. Definisi ...17

2.3.2. Kegunaan NSAID ...18

2.3.3. Cara Kerja NSAID ...18

2.3.4. Jenis-Jenis NSAID ... 19

2.4. Kerangka Teori ...20

2.5. Kerangka Konsep ...21

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian ...22

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...22

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ...22

3.4. Metode Pengumpulan Data ...23

3.5. Teknik Pengumpulan Data ...24

3.6. Definisi Operasional...25

3.7. Analisis Data ...26

BAB IV. JADWAL PENELITIAN DAN BIAYA 4.1. Jadwal Penelitian ...27

4.2. Biaya Penelitian ...27

DAFTAR PUSTAKA ...28

LAMPIRAN ...31

(7)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1.2 Siklus Menstruasi ... 5

Gambar 2.3.3 Cara Kerja NSAID ... 17

Gambar 2.4 Kerangka Teori... 20

Gambar 2.5 Kerangka Konsep...21

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 4.1 ... 27 Tabel 4.2 ... 27

(9)

DAFTAR SINGKATAN

AKDR : Alat Kontrasepsi Dalam Rahim CA-125 : Cancer Antigen 125

COX : Siklooksigenase COX-1 : Siklooksigenase 1 COX-2 : Siklooksigenase 2

NSAIDs : Non Steroid Anti Inflammatory Drugs PGE2 : Prostaglandin E2

PGF : Prostaglandin F2-alpha PMS : Premenstrual Syndrome SSP : Sistem Saraf Pusat VAS : Visual Analogue Scale

(10)

ABSTRAK

Latar Belakang. Dismenore adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan nyeri rahim selama menstruasi. Dismenore merupakan masalah ginekologis yang paling umum dialami wanita baik wanita dewasa maupun remaja. Non-Steroidal Anti-Infammatory Drugs (NSAIDs) merupakan obat yang digunakan dalam pengobatan nyeri dan inflamasi. Non Steroid Anti- Inflammatory Drugs (NSAIDs) adalah terapi awal yang paling baik untuk penanganan dismenore.

Tujuan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi mahasiswi yang menggunakan Non Steroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) dalam keadaan dismenore di Fakultas

Kedokteran, Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2020.

Metode. Menggunakan metode penelitian deskriptif dengan desain potong lintang (cross- sectional study).

Hasil. Dari 74 responden yang mengisi kuesioner, 33 responden menggunakan Non Steroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) dalam mengatasi dismenore. Adapun intensitas nyeri sebelum menggunakan NSAIDs yaitu sebanyak 26 responden merasakan nyeri berat dan 7 responden merasakan nyeri sedang, sedangkan intensitas nyeri sesudah menggunakan NSAIDs adalah sebanyak 29 responden merasakan nyeri yang ringan dan 4 responden merasakan nyeri sedang.

Kesimpulan. Sesuai data dapat dilihat bahwa NSAIDs adalah efektif karena kejadian dismenore menurun dengan penggunaan NSAIDs bagi responden.

Kata kunci : Dismenore, NSAIDs, Mahasiswi Kedokteran

ABSTRACT

Background: Dysmenorrhea is a medical condition characterized by uterine pain during menstruation. Dysmenorrhea is the most common gynecological problem experienced by women, both adult women and adolescents. Non Steroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) are drugs used in the treatment of pain and inflammation. NSAIDs are the best initial therapy for the management of dysmenorrhea.

Objective: This study was conducted to determine the proportion of female students who use NSAIDs in a state of dysmenorrhea at the Faculty of Medicine, University of North Sumatera, Medan in 2020.

Method:Using a descriptive research method with a cross sectional design

Result: Of the 74 respondents filling out questionnaires, 33 of those asked to use NSAIDs on dysmenorrhea(44,59%). As for the intensity of pain before using NSAIDs, as many as 26 respondents(78,79%) felt heavy pain and 7 respondents(21,21%) felt moderate pain, while the intensity of pain following NSAIDs said was that 29 of those felt mild pain (87,88%) and 4 of those felt moderate pain(12,12%).

Conclusion: According to the data can be seen that nsaid is effective because dysmenorrhea events decline with the use of NSAIDs for respondents.

Key words : Dysmenorrhea, NSAIDs, Medical Student

(11)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Menstruasi adalah keluarnya darah dari kemaluan. Menstruasi yang timbul pertama kali disebut “menarche”, kemudian setiap bulan secara periodik seorang wanita normal akan mengalami menstruasi secara siklik. Menstruasi merupakan peristiwa yang wajar dan alami, walaupun kenyataannya banyak wanita mengalami masalah menstruasi di antaranya yang sering terjadi adalah dismenore atau nyeri haid (Callis KA, 2011).

Dismenore berasal dari kata Yunani, yaitu dys yang berarti susah atau nyeri abnormal, meno yang berarti bulan, dan rea yang berarti aliran (Callis KA, 2011).

Dismenore didefinisikan sebagai menstruasi yang dapat terjadi sebelum atau selama menstruasi berupa serangan ringan, kram pada bagian tengah, bersifat spasmodis yang dapat menyebar ke punggung atau paha bagian dalam (Morgan G.

dan Hamilton C., 2009).

Sebanyak 90% dari remaja wanita di seluruh dunia mengalami masalah saat haid dan lebih dari 50% dari wanita haid mengalami dismenore primer dengan 10-20% dari mereka mengalami gejala yang cukup parah (Berkley KJ., 2013).

Proporsi dismenore di Indonesia sebesar 64,25% yang terdiri dari 54,89%

dismenore primer dan 9,36% dismenore sekunder. Dismenore primer dialami oleh 60-75% remaja, dengan tiga perempat dari jumlah remaja tersebut mengalami nyeri ringan sampai berat dan seperempat lagi mengalami nyeri berat. Dilaporkan 30-60% remaja wanita yang mengalami dismenore, sebanyak 7-15% tidak pergi bersekolah atau bekerja (Ningsih R., 2012).

Nyeri haid atau dismenore jelas memberikan ketidaknyaman kepada penderita dan dapat mengganggu aktivitas sehari-hari, apalagi jika serangan nyeri datang hampir setiap bulan, sehingga mereka melakukan berbagai hal untuk mengatasi nyeri tersebut, seperti mengompres dengan air hangat atau mengonsumsi obat pereda nyeri. Salah satu obat pereda nyeri yang sering dikonsumsi oleh penderita dismenore adalah NSAID.

(12)

Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) merupakan obat yang digunakan dalam pengobatan nyeri dan inflamasi. NSAIDs adalah terapi awal yang paling baik untuk penanganan dismenore (French, 2005). NSAIDs mempunyai efek analgesik yang secara langsung menghambat enzim siklooksigenase sehingga terganggunya konversi asam arakidonat menjadi Prostaglandin G2, Prostaglandin H2 dan Tromboksan A2 yang berkontribusi dalam menimbulkan nyeri. Kemanjuran terapi NSAIDs pada terapi dismenore di atas 85% dalam mengurangi nyeri (Shanon, 2006).

Penelitian tentang proporsi penggunaan NSAID pada kasus dismenore di Indonesia secara umum masih belum terlalu banyak, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai proporsi penggunaan NSAID dalam mengatasi dismenore pada mahasiswi FK USU.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul “Proporsi Mahasiswi Angkatan 2019-2020 yang Menggunakan Nonsteroid Anti-Inflammatory Drugs dalam Keadaan Dismenore di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara”.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berapa proporsi mahasiswi angkatan 2019-2020 yang menggunakan Nonsteroid Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) dalam keadaan dismenore di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara?

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui proporsi penggunaan NSAID dalam mengatasi dismenore pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019-2020.

1.3.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui gejala penyerta saat dismenore dam tatalaksana apa saja yang digunakan dalam mengatasi dismenore pada mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2019-2020.

(13)

1.4 MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Peneliti

Dapat memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai efektivitas penggunaan NSAIDs dalam penanganan dismenore.

2. Bagi Akademik

Dapat digunakan sebagai bahan bacaan atau sumber informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya.

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 MENSTRUASI

2.1.1 Pengertian

Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai pelepasan (deskuamasi) endometrium. Menstruasi pada waktu pertama kali disebut menarche, biasanya terjadi pada masa pubertas yaitu usia 10-16 tahun, tergantung pada berbagai faktor seperti keturunan, keadaan gizi dan kesehatan umum (Sarwono, 2011). Panjang daur ulang bervariasi pada satu wanita selama saat yang berbeda dalam hidupnya, dan bahkan dari bulan ke bulan tergantung pada berbagai hal, termasuk kesehatan fisik, emosi dan nutrisi wanita tersebut (Guyton & Hall, 2008).

Menstruasi yang berulang setiap bulan tersebut pada akhirnya akan membentuk siklus menstruasi. Siklus menstruasi biasanya berkisar sekitar 25 sampai 36 hari. Hanya 10% sampai 15% dari perempuan memiliki siklus yang tepat 28 hari (Peter, 2007). Hari pertama dalam siklus haid dihitung sebagai hari ke-1. Masa subur adalah hari ke-12 hingga hari ke-16 dalam siklus haid.

Menstruasi adalah perdarahan periodik dari uterus yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi secara berkala akibat terlepasnya lapisan endometrium uterus.

Lama keluarnya darah menstruasi juga bervariasi, pada umumnya lamanya 4 sampai 6 hari, tetapi antara 2 sampai 8 hari masih dianggap normal (Heffner, 2008). Darah menstruasi biasanya tidak membeku. Jumlah kehilangan darah tiap siklus berkisar 60-80 ml. Kira-kira tiga per empat darah ini hilang dalam dua hari pertama (Benson, 2009).

Menstruasi merupakan suatu siklus discharge fisiologik darah dan jaringan mukosa melalui vagina dari uterus yang tidak hamil, di bawah kendali hormonal dan berulang secara normal, biasanya interval sekitar empat minggu, tanpa adanya kehamilan selama periode reproduktif pubertas sampai menopause pada wanita (Dorland, 2005).

(15)

2.1.2 Siklus Menstruasi

Siklus menstruasi diatur oleh hormon. Luteinizing hormone dan follicle stimulating hormone, yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis, mempromosikan ovulasi dan merangsang ovari untuk memproduksi estrogen dan progesteron.

Estrogen dan progesteron merangsang rahim dan payudara untuk mempersiapkan pembuahan. Siklus ini memiliki tiga fase yaitu fase folikular, fase ovulasi, dan fase luteal (Peter, 2007).

Gambar 2.1.2. Siklus menstruasi

1. Fase Folikular

Fase ini dimulai pada hari pertama perdarahan haid (hari 1). Tetapi perkara utama dalam fase ini adalah pengembangan folikel dalam ovarium. Pada awal fase folikular, lapisan rahim (endometrium) tebal dengan cairan dan nutrisi untuk mempersiapkan datangnya embrio. Jika tidak ada telur telah dibuahi, tingkat

(16)

estrogen dan progesteron rendah. Akibatnya, lapisan atas endometrium luruh, dan perdarahan terjadi.

Sekitar saat ini, kelenjar pituitari meningkatkan sedikit produksi follicle stimulating hormone. Hormon ini lalu merangsang pertumbuhan 3-30 folikel.

Setiap folikel berisi telur. Kemudian pada fase ini, berkurangnya tingkat hormon ini, hanya satu dari folikel (disebut folikel dominan) terus bertambah. Ia segera mulai memproduksi estrogen, dan folikel lain yang dirangsang mulai rusak.

Rata-rata, fase folikuler berlangsung sekitar 13-14 hari. Dari tiga fase, fase ini bervariasi paling panjang. Hal ini cenderung untuk menjadi lebih pendek apabila mendekati menopause. Tahap ini berakhir ketika tingkat luteinizing hormone meningkat secara dramatis. Hasil melonjakkan menyebabkan pelepasan telur (ovulasi).

2. Fase ovulasi

Fase ini dimulai ketika tingkat luteinizing hormone meningkat. Luteinizing hormone merangsang folikel dominan untuk menonjol dari permukaan ovarium pecah dan akhirnya, melepaskan telur. Tingkat follicle stimulating hormone menurun ke tingkat yang lebih rendah. Fungsi peningkatan follicle-stimulating hormone tidak dipahami. Fase ovulasi biasanya berlangsung 16-32 jam. Hal ini berakhir ketika telur dilepaskan.

Sekitar 12 sampai 24 jam setelah telur dilepaskan, peningkatan luteinizing hormone dapat dideteksi dengan mengukur tingkat hormon ini dalam urin.

Pengukuran ini dapat digunakan untuk menentukan kapan wanita subur. Telur bisa dibuahi sekitar 12 jam setelah pelepasannya. Fertilisasi lebih mungkin terjadi ketika sperma hadir dalam saluran reproduksi sebelum telur dilepaskan.

Sekitar waktu ovulasi, beberapa wanita merasakan nyeri tumpul pada salah satu sisi perut bagian bawah. Nyeri ini dikenali sebagai mittelschmerz (nyeri tengah). Nyeri dapat berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam.

Nyeri dirasakan di sisi yang sama dimana ovarium yang melepaskan telur, tapi penyebab nyeri tidak diketahui. Nyeri dapat mendahului atau diikuti pecahnya folikel dan mungkin tidak terjadi pada semua siklus. Telur yang dilepaskan tidak

(17)

bergantian antara kedua ovarium dan tampaknya acak. Jika salah satu ovarium dikeluarkan, ovarium satu lagi melepaskan telur setiap bulan.

3. Fase luteal

Fase ini dimulai setelah ovulasi. Ini berlangsung sekitar 14 hari (kecuali pembuahan terjadi) dan berakhir tepat sebelum periode menstruasi. Pada tahap ini, folikel yang pecah menutup setelah melepaskan telur dan membentuk struktur yang disebut korpus luteum, yang memproduksi progesteron yang tinggi. Korpus luteum mempersiapkan rahim jika pembuahan terjadi . Progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum menyebabkan endometrium menebal, diisi dengan cairan dan nutrisi untuk melindungi janin potensial. Progesteron juga menyebabkan suhu tubuh sedikit meningkat selama fase luteal dan tetap meninggi sehingga periode menstruasi bermula. Peningkatan suhu dapat digunakan untuk memperkirakan apakah ovulasi telah terjadi. Selama sebagian dari fase luteal, tingkat estrogen meningkat.

Estrogen juga merangsang penebalan endometrium. Peningkatan kadar estrogen dan progesteron menyebabkan saluran susu di payudara untuk melebar.

Akibatnya, payudara akan membengkak dan menjadi lembut. Jika telur tidak dibuahi , korpus luteum akan degenerasi setelah 14 hari, dan siklus haid baru akan dimulai. Jika telur dibuahi, sel-sel di sekitar embrio berkembang mulai menghasilkan hormon yang disebut Human Chorionic Gonadotropin. Hormon ini memelihara korpus luteum, yang terus memproduksi progesteron, sampai janin bisa menghasilkan hormon sendiri (Peter, 2007).

2.2 DISMENORE 2.2.1 Pengertian

Dismenore adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Nyeri haid ini timbul akibat kontraksi disritmik miometrium yang menampilkan satu atau lebih gejala mulai dari nyeri yang ringan sampai berat pada perut bagian bawah, bokong, dan nyeri spasmodik pada sisi medial paha (Anisa, 2015). Dismenore adalah nyeri selama menstruasi yang disebabkan oleh kejang otot uterus (Nelwati, 2005).

(18)

Dismenore adalah nyeri kram atau tegang di daerah perut, mulai terjadi pada 24 jam sebelum terjadinya pendarahan menstruasi dan dapat bertahan 24-36 jam meskipun nyeri hanya berlangsung 24 jam pertama. Kram tersebut terutama dirasakan di daerah perut bagian bawah dan dapat menjalar ke punggung atau permukaan dalam paha, yang terkadang menyebabkan penderita tidak berdaya dalam menahan nyerinya tersebut (Omidyar dan Khyrunnisa, 2012).

Dismenore adalah nyeri perut yang berasal dari kram rahim dan terjadi selama menstruasi. Disebut dismenore jika nyeri haid yang tidak didasari kondisi patologis, sedangkan dismenore sekunder jika nyeri haid yang didasari dengan kondisi patologis seperti ditemukannya endometriosis atau kista ovarium (Latthe et al., 2012).

2.2.2 Klasifikasi

Klasifikasi dismenore dibagi menjadi dua yaitu dismenore berdasarkan jenis nyeri dan dismenore berdasarkan ada tidaknya kelainan atau sebab:

1. Dismenore berdasarkan jenis nyeri:

a. Dismenore Spasmodik

Dismenore spasmodik adalah nyeri yang dirasakan di bagian bawah perut dan terjadi sebelum atau segera setelah haid dimulai. Dismeorea spasmodik dapat dialami oleh wanita muda maupun wanita berusia 40 tahun ke atas. Sebagian wanita yang mengalami dismenore spasmodik, tidak dapat melakukan aktivitas.

Tanda dismenore spasmodik, antara lain pingsan, mual, muntah.

b. Dismenore Kongestif

Dismenore kongestif dapat diketahui beberapa hari sebelum haid datang.

Gejala yang ditimbulkan berlangsung 2 dan 3 hari sampai kurang dari 2 minggu.

Pada saat haid datang, tidak terlalu menimbulkan nyeri. Bahkan setelah hari pertama haid, penderita dismenore kongestif akan merasa lebih baik. Gejala yang ditimbulkan pada dismenore kongestif, antara lain pegal (pegal pada bagian paha), Sakit pada daerah payudara, lelah, mudah tersinggung, kehilangan keseimbangan, ceroboh, dan gangguan tidur (Judha dkk, 2012).

(19)

2. Dismenore berdasarkan ada tidaknya kelainan atau sebab (Larasati dan Faridah, 2012):

a. Dismenore Primer

Dismenore primer adalah nyeri haid tanpa ditemukan keadaan patologi pada panggul. Dismenore berhubungan dengan siklus ovulasi dan disebabkan oleh kontraksi myometrium sehingga terjadi iskemia akibat adanya prostaglandin yang diproduksi oleh endometrium fase sekresi. Peningkatan kadar prostaglandin tertinggi saat haid terjadi pada 48 jam pertama. Hal ini sejalan dengan awal muncul dan besarnya intensitas nyeri haid. Keluhan mual, muntah, nyeri kepala, atau diare sering menyertai dismenore yang diduga karena masuknya prostaglandin ke sirkulasi sistemik. Biasanya dismenore ini terbatas pada perut bawah, tetapi dapat mneyebar ke daerah pinggang dan paha (Mugiati, 2016).

b. Dismenore Sekunder

Dismenore sekunder adalah nyeri haid yang berhubungan berbagai keadaan patologis di organ genitalia, misalnya endometriosis, adenomiosis, mioma uteri, stenosis serviks, penyakit radang panggul, perlekatan panggul atau irritable bowel syndrome. Dismenore sekunder adalah nyeri menstruasi yang berkembang dari dismenore yang terjadi sesudah 25 tahun (Mugiati, 2016). Biasanya terjadi selama 2-3 hari selama siklus dan wanita yang mengalami dismenore sekunder ini biasanya mempunyai siklus haid yang tidak teratur atau tidak normal (Larasati dan Faridah, 2016).

2.2.3 Etiologi

Dismenore terjadi akibat endometrium mengandung prostaglandin dalam jumlah tinggi dan prostaglandin menyebabkan kontraksi miometrium yang kuat serta mampu menyempitkan pembuluh darah yang mengakibatkan iskemia, disintegrasi endometrium, perdarahan dan nyeri.

Dismenore sekunder disebabkan karena beberapa kondisi yaitu endometriosis, fibroid uterus, penyakit radang panggul, perdarahan uterus disfungsional, prolaps uterus, maladaptasi pemakaian AKDR, produk kontrasepsi yang tertinggal setelah abortus spontan, abortus teraoeutik atau melahirkan serta kanker ovarium (Anurogo, 2009)

(20)

2.2.4 Patofisiologi

Peningkatan produksi prostaglandin dan pelepasannya (terutama PGF₂ α) dari endometrium selama menstruasi menyebabkan kontraksi uterus yang tidak terkoordinasi dan tidak teratur sehingga menimbulkan nyeri. Selama periode menstruasi, wanita yang mempunyai riwayat dismenore mempunyai tekanan intrauteri yang lebih tinggi dan memiliki kadar prostaglandin dua kali lebih banyak dalam darah (menstruasi) dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami nyeri. Uterus lebih sering berkontraksi dan tidak terkoordinasi atau tidak teratur. Akibat peningkatan aktivitas uterus yang abnormal tersebut, aliran darah menjadi berkurang sehingga terjadi iskemia atau hipoksia uterus yang menyebabkan timbulnya nyeri. Mekanisme nyeri lainnya disebabkan oleh prostaglandin (PGE2) dan hormon lain yang membuat saraf sensori nyeri di uterus menjadi hipersensitif terhadap kerja bradikinin serta stimulus nyeri fisik dan kimiawi lainnya.

Kadar vasopressin mengalami peningkatan selama menstruasi pada wanita yang mengalami dismenore. Apabila disertai dengan peningkatan kadar oksitosin, kadar vasopresin yang lebih tinggi menyebabkan ketidakaturan kontraksi uterus yang mengakibatkan adanya hipoksia dan iskemia uterus. Pada wanita yang mengalami dismenore tanpa disertai peningkatan prostaglandin akan terjadi peningkatan aktivitas alur 5-lipoksigenase. Hal seperti ini menyebabkan peningkatan sintesis leukotriene, vasokontriktor sangat kuat yang menginduksi kontraksi otot uterus (Dawood, 2006).

2.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala pada dismenore sesuai dengan jenis dismenorenya yaitu:

1. Dismenore

Gejala-gejala umum seperti rasa tidak enak badan, lelah, mual, muntah, diare, nyeri punggung bawah, sakit kepala, kadang-kadang dapat juga disertai vertigo atau sensasi jatuh, perasaan cemas dan gelisah, hingga jatuh pingsan (Anurogo, 2011). Nyeri dimulai beberapa jam sebelum atau bersamaan dengan awitan menstruasi dan berlangsung selama 48 sampai 72 jam. Nyeri yang berlokasi di area suprapubis dapat berupa nyeri tajam, dalam, kram, tumpul dan sakit. Sering

(21)

kali terdapat sensasi penuh di daerah pelvis atau sensasi mulas yang menjalar ke paha bagian dalam dan era lumbosakralis. Beberapa wanita mengalami mual muntah, sakit kepala, letih pusing, pingsan dan diare, serta kelebihan emosi

selama menstruasi (Dawood, 2006).

Sedangkan menurut Novia dan Nunik (2008) ciri-ciri atau gejala dismenore, yaitu 1) nyeri berupa kram dan tegang pada perut bagian bawah; 2) nyeri pinggang; 3) pegal-pegal pada paha; 4) pada beberapa orang dapat disertai mual, muntah, nyeri kepala, dan diare.

2. Dismenore Sekunder

Nyeri dengan pola yang berbeda didapatkan pada dismenore sekunder yang terbatas pada onset haid. Dismenore terjadi selama siklus pertama atau normal setelah haid pertama, dismenore dimulai usia 25 tahun (Anurogo, 2011).

Sedangkan menurut Novia dan Nunik (2008) ciri-ciri atau gejala dismenore sekunder, yaitu 1) darah keluar dalam jumlah banyak dan kadang tidak beraturan;

2) nyeri saat berhubungan seksual; 3) nyeri perut bagian bawah yang muncul di lur waktu haid; 4) nyeri tekan pada panggul; 5) ditemukan adanya cairan yang keluar dari vagina; 6) teraba adanya benjolan pada rahim atau rongga panggul.

2.2.6 Faktor Resiko Dismenore

Faktor resiko yang berhubungan dengan episode dismenore yang lebih parah, seperti menarche usia muda, periode menstruasi yang panjang, aliran menstruasi yang banyak, merokok, riwayat keluarga dismenore. Beberapa studi telah menemukan obesitas dan konsumsi alkohol berhubungan dengan dismenore (Larasati dan Faridah, 2016). Menurut French (2005), faktor resiko dari dismenore adalah usia kurang dari 20 tahun, usaha untuk menurunkan berat badan, depresi, perdarahan menstruasi yang berat, multiparitas dan merokok.

Masalah kesehatan mental merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi.

Depresi, kecemasan, dan gangguan dukungan sosial telah dikaitkan dengan nyeri saat menstruasi (Larasati dan faridah, 2016)

(22)

2.2.7 Derajat Dismenore

Derajat dismenore ada empat yaitu derajat 0-3 1. Derajat 0

Tanpa rasa nyeri dan aktifitas sehari-hari tak terpengaruhi 2. Derajat 1

Nyeri ringan dan tertolong dengan obat rasa nyeri, namun aktifitas jarang terpengaruh

3. Derajat 2

Nyeri sedang dan tertolong dengan obat penghilang nyeri namun aktifitas sehari- hari terganggu.

4. Derajat 3

Nyeri sanagat hebat dan tidak berkurang walaupun telah menggunakan obat dan tidak daoat bekerja, kasus ini segera ditangani dokter.

Setiap menstruasi menyebabkan rasa nyeri, terutama pada awal menstruasi namun dengan kadar nyeri yang berbeda-beda.

Dismenore dibagi menjadi tiga tingkat keparahan, yaitu : 1. Dismenore ringan

Seseorang akan mengalami nyeri atau nyeri masih dapat ditolerir karena masih berada pada ambang rangsang, berlangsung beberapa saat dan dapat melanjutkan kerja sehari-hari. Dismenore ringan terdapat pada skala nyeri dengan tingkatan 1- 4.

2. Dismenore sedang

Seseorang mulai merespon nyerinya dengan merintih dan menekan-nekan bagian yang nyeri, diperlukan obat penghilang rasa nyeri tanpa perlu meninggalkan kerjanya. Dismenore sedang terdapat pada skala nyeri dengan tingkatan 5-6.

3. Dismenore berat

Seseorang mengeluh karena adanya rasa terbakar dan ada kemungkinan seseorang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan biasa dan perlu istirahat beberapa hari dapat disertai sakit kepala, migrain, pingsan, diare, rasa tertekan, mual dan sakit perut. Dismenore berat terdapat pada skala nyeri dengan tingakatan 7-10

(Paramita, 2010).

(23)

2.2.8 Diagnosis

Diagnosis dismenore didasari atas ketidaknyamanan saat menstruasi.

Perubahan apapun pada kesehatan reproduksi, perubahan pada jumlah dan lama menstruasi, membutuhkan pemeriksaan ginekologis, perubahan-perubahan seperti itu dapat menandakan sebab dari dismenore sekunder. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

2.2.9 Penatalaksanaan 1. Farmakologi

Terapi medis dengan keberhasilan cukup baik dalam terapi dismenore, antara lain (Sarwono, 2011):

a. Pemberian obat analgetik

Jika rasa nyerinya berat, diperlukan istirahat di tempat tidur dan kompres panas pada perut bawah untuk mengurani penderitaan. Obat analgetik yang sering diberikan adalah preparat kombinasi Aspirin, fenasetin dan kafein. Obat-obat paten yang beredar di pasaran adalah antara lain Novalgin, Ponstan, Parasetamol, dsb.

b. Terapi Hormonal

Tujuan terapi hormonal ialah menekan ovulasi. Tindakan ini bersifat sementara dengan maksud untuk membuktikan bahwa gangguan benar-benar dismenore atau memungkinkan penderita melaksanakan pekerjaan penting pada waktu haid tanpa gangguan. Tujuan ini dapat dicapai dengan pemberian salah satu jenis tablet kombinasi kontrasepsi.

c. Terapi dengan obat non steroid anti prostaglandin

Terapi ini memegang peranan yang makin penting terhadap dismenore. Termasuk disini Indomethasin, Ibuprofen, dan Naproxen; dalam kurang lebih 70% penderita dapat disembuhkan atau mengalami banyak perbaikan. Hendaknya pengobatan diberikan sebelum haid mulai; 1-3 hari sebelum haid dan pada hari pertama haid (Sarwono, 2011).

(24)

2. Non Farmakologi

Ada beberapa cara untuk mengatasi nyeri secara non-farmakologis, yaitu : a. Kompres hangat

Suhu panas dapat meminimalkan ketegangan otot. Setelah otot rileks, rasa nyeri pun akan berkurang. Kompres hangat dapat menggunakan kompres handuk atau pun botol yang berisi air hangat. Pengompresan dapat dilakukan pada daerah yang terasa kram seperti pada perut ataupun pinggang bagian belakang.

b. Istirahat

Beristirahat ketika menstruasi diperlukan untuk merilekskan otot-otot yang tegang saat berkontraksi meluruhkan lapisan endometrium.

c. Minum Air Putih

Minum air putih sebanyak 8 gelas sehari mampu mengurangi rasa nyeri saat menstruasi. Minum air putih saat menstruasi dilakukan untuk mencegah terjadinya penggumpalan darah dan melancarkan peredaran darah (Laila, 2011)

2.2.10 Pencegahan

Menurut Anurogo (2011), pencegahan dismenore adalah:

1. Menghindari stress.

2. Memiliki pola makan yang standar dengan asupan gizi yang memadai.

3. Hindari makanan yang cenderung asam dan pedas, saat menjelang haid.

4. Istirahat yang cukup, menjaga kondisi agar tidak terlalu lelah, dan tidak menggunakan energi yang berlebihan.

5. Tidur yang cukup, sesuai standar keperluan masing-masing 6-8 jam dalam sehari.

6. Lakukan olahraga ringan secara teratur.

(25)

2.3 NSAIDS (NON STEROID ANTI-INFLAMMATORY DRUGS) 2.3.1 Definisi

Obat anti inflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan NSAIDs (Non steroidal Ati-Infalammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat analgesik (pereda nyeri), anti piretik (penurun panas), dan anti inflamasi (anti radang). Istilah “non steroid” digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. Banyak obat anti inflamasi non steroid bekerja dengan jalan menghambat sintesis prostaglandin.

Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi non steroid (NSAIDs) merupakan salah satu kelompok obat yang banyak diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dokter. Obat-obat ini merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, secara kimia (Wilmana dan Gan, 2007)

2.3.2 Kegunaan NSAID

NSAID digunakan terutama untuk mengobati peradangan, nyeri ringan sampai sedang, dan demam. Penggunaan spesifik mencakup pengobatan sakit kepala, arthritis, cedera olahraga, dan kram menstruasi. Ketorolac (Toradol) hanya digunakan untuk pengobata jangka pendek nyeri akut yang cukup parah yang seharusnya dapat diobati dengan opioid. Aspirin (juga suatu NSAID) digunakan untuk menghambat pembekuan darah dan mencegah stroke dan serangan jantung pada individu yang berisiko tinggi. NSAID juga termasuk dalam persiapan dingin dan alergi (Wilmana dan Gan, 2007).

2.3.3 Tempat Obat NSAID Bekerja

Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG₂ terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektifitas yang berbeda.

Enzim siklooksigenase terdapat dalam dua isoform disebut COX-1 dan COX- 2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Siklooksigenase-2 semula diduga induksi berbagai stimulus

(26)

inflamatoar, termasuk sitokin, endotoksin dan faktor pertumbuhan. COX-2 mempunyai fungsi fisiologis di ginjal, jaringan vaskuler dan pada proses perbaikan jaringan. Tromboksan A₂ , yang disintesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokontriksi dan proliferasi otot polos.

Sebaliknya prostasiklin (PGI₂ ) yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi, dan efek anti-proliferatif.

2.3.4 Mekanisme Kerja

Gambar 2.3.4 Mekanisme Kerja Anti Inflamasi Non Steroid

S e b a g i a n b e s a r e f e k t e r a p i d a n e f e k s a m p i n g N S A I D b e r d a s a r k a n a t a s p e n g h a m b a t a n b i o s i n t e s i s p r o s t a g l a n d i n ( P G ) . P a d a s a a t s e l m e n g a l a m i kerusakan, maka akan dilepaskan beberapa mediator kimia. Di antara mediator inflamasi, prostaglandin adalah mediator dengan peran terpenting. Enzim yang dilepaskan saat ada rangsang mekanik maupun kimia adalah prostaglandin endoperoksida sintase (PGHS) atau siklooksigenase (COX) yang memiliki dua sisi

(27)

k a t a l i t i k . S i s i y a n g p e r t a m a a d a l a h s i s i a k t i f s i k l o o k s i g e n a s e , y a n g a k a n mengubah asam arakhidonat menjadi endoperoksid PGG2. Sisi yang lainn ya adalah sisi aktif peroksidase, yang akan mengubah PGG2 menjadi endoperoksid lain yaitu PGH2. PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs, prostasiklin d a n t r o m b o k s a n A 2 , y a n g k e t i g a n y a m e r u p a k a n m e d i a t o r u t a m a p r o s e s infamasi. COX terdiri atas dua isoform yaitu COX-1 dan COX-2.

Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase (COX) sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat dengan cara berbeda. Khusus parasetamol, hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus.

Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit.Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak ada. I n h i b i s i b i o s i n t e s i s p r o s t a g l a n d i n o l e h a s p i r i n m e n y e b a b k a n a s e t i l a s i y a n g irreversibel di sisi akti f siklookigenase, sedangkan sisi akti f peroksidase tidak terpengaruh. Berlawanan dengan aksi aspirin yang irreversibel, NSAID lainya seperti ibuprofen atau indometasin menyebabkan penghambatan terhadap COX baik reversibel maupun irreversibel melalui kompetisi dengan substrat, yaituasam arakhidonat.

2.3.5 Perbandingan COX-1 dan COX-2

COX-1 memiliki fungsi fisiologis, mengaktivasi produksi prostasiklin, dimana saat p r o s t a s i k l i n d i l e p a s k a n o l e h e n d o t e l v a s k u l a r , m a k a b e r f u n g s i s e b a g a i a n t i trombogenik, dan jika dilepaskan oleh muk osa lambung bersifat sitoprotektif. C O X - 1 d i t r o m b o s i t , y a n g d a p a t m e n g i n d u k s i p r o d u k s i t r o m b o k s a n A 2 , menyebabkan agregasi trombosit yang mencegah terjadinya perdarahan yang s e m e s t i n y a t i d a k t e r j a d i . C O X - 1 b e r f u n g s i d a l a m m e n g i n d u k s i s i n t e s i s p r o s t a g l a n d i n y a n g b e r p e r a n d a l a m m e n g a t u r a k t i v i t a s s e l n o r m a l . Konsentrasinya stabil, dan hanya sedikit menin gkat sebagai respon terhadap stimulasi hormon

(28)

atau faktor pertumbuhan. Normalnya, sedikit atau bahkan tidak ditemukan COX-2 pada sel istirahat, akan tetapi bisa meningkat drastic setelah terpajan oleh bakteri lipopolisakarida, sitokin atau faktor pertumbuhan.

M e s k i p u n C O X - 2 d a p a t d i t e m u k a n j u g a d i o t a k d a n g i n j a l . I n d u k s i C O X - 2 menghasilkan PGF2 yang menyebabkan terjadinya kontraksi uterus pada akhir kehamilan sebagai awal terjadinya persalinan.

2.3.6 Penghambat COX-1 dan COX-2

M a s i n g - m a s i n g N S A I D m e n u n j u k k a n p o t e n s i y a n g b e r b e d a - b e d a d a l a m menghambat COX-1 dibandingkan COX-2. Hal inilah yang menjelaskan adanya variasi dalam timbulnya efek samping NSAID pada dosis sebagai anti infamasi. Obat yang potensinya rendah dalam menghambat COX-1, yang berarti memiliki rasio aktivitas COX-2/COX-1 lebih rendah, akan mempunyai efek sebagai antii n f l a m a s i d e n g a n e f e k s a m p i n g l e b i h r e n d a h p a d a l a m b u n g d a n g i n j a l . P i r o k s i k a m d a n i n d o m e t a s i n m e m i l i k i t o k s i s i t a s t e r t i n g g i t e r h a d a p s a l u r a n gastrointestinal. Kedua obat ini memiliki potensi hambat COX-1 yang lebih tinggi d a r i p a d a m e n g h a m b a t C O X - 2 . D a r i p e n e l i t i a n e p i d e m i o l o g i y a n g m e m b a n d i n g k a n r a s i o C O X - 2 / C O X - 1 , t e r d a p a t k o r e l a s i s e t a r a a n t a r a e f e k samping gastrointestinal dengan rasio COX-2/COX-1. Semakin besar rasio COX-2/COX-1, maka semakin besar pula efek samping gastrointestinalnya. Aspirin memiliki selektivitas sangat tinggi terhadap COX-1 daripada COX-2, sehingga efek terhadap gastrointestinal relatif lebih tinggi .

(29)

Tabel 2.3.6. Rasio COX2/COX1 pada NSAID

2.3.7 Jens-jenis NSAIDs 1. Asetosal/Aspirin

Obat golongan salisilat yang paling banyak digunakan adalah asam asetil salisilat (Miladiyah, 2012). Asam asetil salisilat yang lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin adalah analgesik antipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Selain sebagai prototip, obat ini merupakan standar dalam menilai efek obat sejenis (Wilmana dan Sulistia, 2007).

Aspirin berbeda dengan derivat asam salisilat lainnya karena mempunyai gugus asetil. Gugus asetil inilah yang nantinya mampu menginaktivasi enzim siklooksigenase, sehingga obat ini dikenal sebagai Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) yang unik karena penghambatannya terhadap enzim siklooksigenase bersivat ieversibel, sementara AINS lainnya menghambat enzim siklooksigenase secara kompetitif sehingga bersifat reversibel (Miladiyah, 2012).

Farmakokinetik

Aspirin merupakan obat anti inflamasi non steroid. Aksi anti inflamasi disebabkan oleh penghambatan terhadap prostaglandin. Aspirin secara ireversibel terikat ke enzim siklooksigenase (COX) pada jaringan untuk menghambat sintesis prostaglandin. Pada dosis yang rendah lebih spesifik untuk COX-1 daripada

(30)

COX-2. Sensitifitas COX-1 di atas COX-2 untuk dosis rendah aspirin digunakan untuk pengobatan anti platelet. Pada beberapa hewan, bahkan aspirin dosis rendah tidak menghambat agregasi platelet, kemungkinan karena COX-2 dapat menjadi sumber tambahan dari tromboksan (TXA2). Efek anti inflamasi khusus untuk penghambatan COX, tapi mekanisme anti inflamasi lainnya- khusus salisilat- juga memperbesar aksi anti inflamasi, seperi penghambatan NF kappa-β.

Farmakokinetik merupakan faktor dalam hewan dengan rentang dari 1 jam pada kuda, 6 jam pada babi, 8.5 jam pada anjing, sampai 38 jam pada kucing.(Papich, 2016) Farmakodinamik :

Salisilat khususnya asetosal merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dan efektif sebagai antipiretik. Dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan berat terjadi demam dan hyperhidrosis. (Wilmana dan Sulistia, 2007)

Indikasi :

Aspirin digunakan sebagai obat analgesik, anti inflamasi, dan antiplatelet.

Pada dosis rendah, aspirin lebih spesifik penghambat selektif COX-1 dan obat antiplatelet daripada obat NSAIDs lainnya. Oleh karena itu dosis rendah sudah digunakan pada hewan utamanya untuk mencegah pembentukan tromboemboli.

Aspirin dosis rendah secara rutin digunakan untuk terapi anti- platelet, tapi aspirin tidak memberikan penghambatan lengkap dari stimulasi platelet. Tambahan dari obat antiplatelet lainnya seperti clopidogrel (Plavix) memberi penghambatan yang lebih efektif. Penghambatan dari platelet telah dibenarkan karena pada beberapa penyakit, platelet menjadi hiperreaktif, dan pengeluaran serotonin dan mediator lainnya yang mungkin memperburuk penyakit vascular. (Papich, 2016)

Aspirin telah digunakan untuk mencegah komplikasi dari penyakit cacing hari (tromboemboli). Walaupun tidak ada bukti meyakinkan bahwa ada keuntungan klinis dari pengobatan ini. Beberapa bukti menunjukkan bahwa aspirin mungkin kontraindikasi dalam penyakit cacing hati. (Papich, 2016)

(31)

2. Ibuprofen Mekanisme kerja

Ibuprofen bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi terganggu. Ada dua jenis siklooksigenase, yang dinamakan COX-1 dan COX-2. COX-1 terdapat pada pembuluh darah, lambung, dan ginjal, sedangkan COX-2 keberadaannya diinduksi oleh terjadinya inflamasi oleh sitokin dan merupakan mediator inflamasi. Aktivitas antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi dari ibuprofen.

Berhubungan dengan kemampuan inhibisi COX-2, dan adapun efek samping seperti perdarahan saluran cerna dan kerusakan ginjal adalah disebabkan inhibisi COX-1. Ibuprofen menghambat COX-1 dan COX-2 dan membatasi produksi prostaglandin yang berhubungan dengan respon inflamasi.

Farmakodinamik

Ibuprofen hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang, dan efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan. Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opioat, tetapi tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Untuk menimbulkan efek analgesik, ibuprofen bekerja pada hipotalamus, menghambat pembentukan prostaglandin ditempat terjadinya radang, dan mencegah sensitisasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik atau kimiawi.

Ibuprofen akan menurunkan suhu badan hanya dalam keadaan demam.

Demam yang menyertai infeksi dianggap timbul akibat dua mekanisme kerja, yaitu pembentukan prostaglandin di dalam susunan syaraf pusat sebagai respon terhadap bakteri pirogen dan adanya efek interleukin-1 pada hipotalamus.

Ibuprofen menghambat baik pirogen yang diinduksi oleh pembentukan prostaglandin maupun respon susunan syaraf pusat terhadap interleukin-1 sehingga dapat mengatur kembali “thermostat” di hipotalamus dan memudahkan pelepasan panas dengan jalan vasodilatasi.

(32)

Sebagai antiinflamasi, efek inflamasi dari ibuprofen dicapai apabila penggunaan pada dosis 1200-2400 mg sehari. Inflamasi adalah suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, prostaglandin dan lainnya yang menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah, bengkak, dan disertai gangguan fungsi.

Ibuprofen dapat dimanfaatkan pada pengobatan muskuloskeletal seperti artritis rheumatoid, osteoartritis, dan spondilitis ankilosa. Namun, ibuprofen hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara simtomatik, tidak menghentikan, memperbaiki, atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan musculoskeletal.

Farmakokinetik

Absorbsi ibuprofen cepat melalui lambung dan kadar maksimum dalam plasma dicapai setelah 1-2 jam. Waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam.

Sembilan puluh persen ibuprofen terikat pada protein plasma. Onset sekitar 30 menit. Durasi ibuprofen berkisar antara 6-8 jam.

Absorpsi jika diberikan secara oral mencapai 85%. Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi dimetabolisme dihati untuk dua metabolit utama aktif yang dengan cepat dan lengkap dikeluarkan oleh ginjal.

Ekskresinya berlangsung cepat dan lengkap. Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan diekskresi melalui urin sebagai metabolit atau konyugata (1%

sebagai obat bebas), beberapa juga diekskresi melalui feses. Ibuprofen masuk ke ruang synovial dengan lambat. Konsentrasinya lebih tinggi di ruang synovial dibandingkan diplasma.

Indikasi

Efek analgesik dan antiinflamasi ibuprofen dapat digunakan untuk meringankan gejala-gejala penyakit rematik tulang, sendi, gejala arthritis, osteoarthritis, dan non-sendi. Juga dapat digunakan untuk meringankan gejala- gejala akibat trauma otot dan tulang atau sendi (trauma muskuloskeletal).

(33)

Meringankan nyeri ringan sampai sedang antara lain nyeri pada dismenore primer (nyeri haid), nyeri pada penyakit gigi atau pencabutan gigi, nyeri setelah operasi dan sakit kepala Ibuprofen juga umumnya bertindak sebagai vasodilator, dapat melebarkan arteri koroner dan beberapa pembuluh darah lainnya. Ibuprofen diketahui memiliki efek antiplatelet, meskipun relatif lebih lemah bila dibandingkan dengan aspirin atau obat lain yang lebih dikenal sebagai antiplatelet.

Dapat digunakan pada neonatus dengan paten duktus arteriosus, disfungsi ginjal, nekrotizing enterokolitis, perforasi usus, dan perdarahan intraventrikular, efek protektif neuronal.

Ibuprofen lisin diindikasikan untuk penutupan duktus arteriosus. paten pada bayi prematur dengan berat antara 500 dan 1.500 gram, yang tidak lebih dari 32 minggu usia kehamilan saat restriksi cairan, diuretik, dukungan pernafasan tidak efektif.

Efek samping

Ibuprofen bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Prostaglandin terlibat dalam pelepasan renin, vaskular lokal, sirkulasi regional, keseimbangan air, dan keseimbangan natrium. Prostaglandin juga menstimulasi perbaikan sel epitelial gastrointestinal dan menstimulasi sekresi bikarbonat dari sel epitelial. Hal ini menyebabkan ibuprofen dapat menurunkan sekresi mukus yang berfungsi sebagai pelindung dalam lambung dan usus kecil, dan juga dapat menyebabkan vasokonstriksi pada mukosa lambung.

Selain itu efek samping pada gastrointestinal meliputi stress lambung, kehilangan darah tiba-tiba, diare, mual, muntah, heartburn, dispepsia, anoreksia, konstipasi, distress atau karma atau nyeri abdominal, kembung, kesukaran mencerna, dan rasa penuh pada perut juga dapat disebabkan oleh penggunaan ibuprofen.

Efek samping pada sistem kardiovaskular antara lain edema perifer, retensi air, dan perburukan CHF. Pada sistem saraf pusat antara lain dizzines, mengantuk,

(34)

vertigo, sakit kepala ringan, dan aseptik meningitis. Pada mata, telinga dan nasofaring antara lain gangguan penglihatan, fotopobia, dan tinnitus.

Pada genitourinaria antara lain menometrorrhagia, hematuria, cistisis, acute renal insufisiensi; interstitial nephritis; hiperkalemia; hiponatremia; nekrosis papillar renal. Pada kulit antara lain rash, pruritus, dan eritema. Efek samping yang lain seperti kram otot.

Hampir sama dengan jenis OAINS lain, ibuprofen juga dapat meningkatkan risiko palpitasi, ventrikular aritmia dan infark miokard (serangan jantung), khususnya di antara mereka yang menggunakan dosis tinggi dalam jangka waktu lama. Studi pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kebiasaan menggunakan OAINS dikaitkan dengan peningkatan gangguan pendengaran.

Penggunaan pada paten duktus arteriosus saat neonatal dengan masa gestasi kurang dari 30 minggu dapat mengakibatkan peningkatan hiperbilirubinemia pada neonatal, karena dapat menggeser kedudukan bilirubin dari albumin, sehingga dapat mengakibatkan kerniikterus dan ensefalopati. Namun hal ini, dapat dikurangi dengan cara pemberian bersama dengan indometasin.

Efek samping yang umum ditemukan antara lain sembelit, epistaksis, sakit kepala, pusing, ruam, retensi garam dan cairan mual, kenaikkan enzim hati,dispepsia, ulserasi gastrointestinal atau perdarahan, diare, dan hipertensi.

Ibuprofen dapat menghambat aliran darah renal, GFR, dan transprtasi ion tubular.

Prostaglandin juga mengatur aliran darah ginjal sebagai fungsional dari antagonis angiotensin II dan norepinefrin. Jika pengeluaran dua zat tersebut meningkat (misalnya, dalam hipovolemia), inhibisi produksi PG mungkin mengakibatkan berkurangnya aliran darah ginjal dan kerusakan ginjal. Namun, efek samping yang terkait dengan ginjal jarang terjadi pada dosis ibuprofen yang ditentukan. Waktu paruh yang pendek pada ibuprofen terkait dengan menurunnya resiko efek ginjal daripada OAINS lain dengan waktu paruh yang panjang.

Dari penelitian-penelitian yang Penggunaan jangka pendek dari ibuprofen tidak signifikan meningkatkan risiko kerusakan ginjal pada sukarelawan sehat

(35)

atau pada anak dengan penyakit demam. Pengobatan jangka panjang dengan ibuprofen dengan dosis 1200 mg / hari tidak meningkatkan risiko kerusakan ginjal pada orang lanjut usia. Ibuprofen juga bisa mempengaruhi agregasi trombosit.

Efek ini ditimbulkan karena adanya penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2).

Sediaan dan Posologi

Bentuk sediaan generik yang tersedia yaitu berupa sediaan tablet 200 mg, 400 mg, 600 mg; tablet salut selaput 200 mg, 400 mg; kaptabs salut selaput 200 mg.

Bentuk sediaan paten yang tersedia yaitu berupa sediaan tablet 200 mg, 400 mg, 600 mg; tablet salut selaput 200 mg, 400 mg, 600 mg; kaptabs salut selaput 200 mg, 400 mg; suspensi 100 mg/5 mL, 200 mg/5 mL; tablet kunyah 100 mg ; suppositoria 125 mg.

Sediaan kombinasi yang tersedia yaitu berupa kombinasi ibuprofen dengan parasetamol; ibuprofen dengan parasetamol dan kafein; dan ibuprofen dengan Vitamin B6 B1 dan B12.

Posologi : Ibuprofen dosis rendah (200 mg dan 400 mg) banyak tersedia.

Ibuprofen memiliki durasi tergantung dosis yaitu sekitar 4-8 jam, yang lebih lama dari yang disarankan dari waktu paruh. Dosis yang dianjurkan bervariasi tergantung massa tubuh dan indikasi. Umumnya, dosis oral 200-400 mg (5 10 mg / kg BB pada anak-anak) setiap 4-6 jam, dapat ditambahkan sampai dosis harian 800-1200 mg. Jumlah maksimum ibuprofen untuk orang dewasa adalah 800 miligram per dosis atau 3200 mg per hari (4 dosis maksimum). Dosis Ibuprofen 5- 10 mg/kgBB dengan interval pemberian 4-6 jam, mereduksi demam 15% lebih cepat dibandingkan parasetamol dosis 10-15 mg/kgBB.

Keamanan untuk kehamilan dan menyusui

Kontraindikasi kehamilan tiga bulan terakhir dan menyusui.

(36)

Toksisitas

Gejala -gejala overdosis ibuprofen mirip dengan gejala yang disebabkan oleh overdosis OAINS lain. Korelasi antara tingkat keparahan gejala dengan kadar ibuprofen dalam plasma pernah ditemukan. Efek racun tidak mungkin muncul pada dosis di bawah 100 mg/kg tetapi saat di atas 400mg/kg; (sekitar 150 tablet dari 200 unit mg). Dosis letal sukar ditentukan karena bervariasi tergantung pada usia, berat badan, dan penyakit pada pasien. Terapi untuk overdosis dalam kasus awal adalah dekontaminasi lambung menggunakan arang aktif, jarang menyerap obat sebelum bisa masuk ke sirkulasi sistemik. Lavage lambung sekarang jarang digunakan, namun dapat dipertimbangkan jika jumlah yang dikonsumsi secara potensial mengancam kehidupan dan dapat dilakukan dalam waktu 60 menit setelah menelan. Emesis tidak dianjurkan.

Mayoritas konsumsi ibuprofen hanya menghasilkan efek ringan dan pengelolaan overdosis sangatlah mudah. Standar langkah-langkah untuk mempertahankan output urine normal harus dilakukan dan fungsi ginjal harus dipantau. Ibuprofen memiliki sifat asam dan juga diekskresikan dalam urin, diuresis paksa alkaline secara teori menguntungkan. Namun, karena ibuprofen sangat terikat protein dalam darah, sehingga ekskresi dari ginjal minimal.

Diuresis paksa alkalin mempunyai manfaat yang terbatas. Terapi simtomatis untuk hipotensi, perdarahan GI, asidosis, dan toksisitas ginjal dapat diindikasikan.

Kadang-kadang, pemantauan ketat di unit perawatan intensif selama beberapa hari diperlukan. Jika seorang pasien bertahan pada keracunan akut, mereka biasanya tidak akan mengalami gejala ulangan.

3. Asam Mefenamat

Asam mefenamat merupakan derivat asam fenamat.

Mekanisme Kerja

Asam mefenamat mengikat reseptor prostaglandin sintetase COX-1 dan COX- 2 sehingga menghambat sintesis prostaglandin. Prostaglandin berperan sebagai mediator utama peradangan, oleh karena dihambat maka nyeri akan berkurang atau hilang.

(37)

Farmakodinamik

Asam mefenamat menghambat COX-1 dan COX-2, maka menghambat pembentukan prostaglandin. Namun, karena asam mefenamat lebih kuat menghambat COX-1 dibanding COX-2 sehingga memiliki efek anti nyeri lebih besar daripada efek antiinflamasi.

Farmakokinetik

Asam mefenamat diabsorbsi pertama kali dari lambung dan usus selanjutnya obat akan melalui hati diserap darah dan dibawa oleh darah sampai ke tempat kerjanya. 90% asam mefenamat terikat pada protein. Konsentrasi puncak asam mefenamat dalam plasma tercapai dalam 2 sampai 4 jam dengan waktu paruh 2 jam. Sekitar 50% dosis asam mefenamat diekskresikan dalam urin sebagai metabolit 3-hidroksimetil terkonjugasi. dan 20% obat ini ditemukan dalam feses sebagai metabolit 3-karboksil yang tidak terkonjugasi.

Indikasi

Asam Mefenamat diindikasikan untuk pengobatan arthritis rheumatoid, osteoarthritis, dismenore, nyeri, peradangan, dan demam.

Efek Samping-Toksik

Efek samping dari asam mefenamat terhadap saluran cerna yang sering timbul adalah diare, diare sampai berdarah dan gejala iritasi terhadap mukosa lambung, selain itu dapat juga menyebabkan eritema kulit, memperhebat gejala asma dan kemungkinan gangguan ginjal.

Sediaan -Dosis-Cara pemberian

Sediaan asam mefenamat dalam bentuk kapsul dengan cara pemberian secara oral. Dosis untuk mengobati nyeri akut dan dismenorea dikonsumsi 500mg per hari atau 250 mg per 6 jam, tetapi tidak boleh digunakan lebih dari 7 hari, pada anak usia 14 tahun tidak boleh digunakan lebih dari 3 hari. Asam mefenamat tidak dianjurkan untuk anak dibawah 14 tahun.

Indeks Keamanan Kehamilan Dan Menyusui

Asam mefenamat ditetapkan untuk kategori kehamilan C oleh FDA. Karena non steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) diketahui menyebabkan penutupan dini ductus arteriosus, penggunaan asam mefenamat pada akhir

(38)

kehamilan tidak dianjurkan. Maka, asam mefenamat tidak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusui.

4. Ketorolak

Ketorolak merupakan analgesik poten dengan efek antiinflamasi sedang.

Mekanisme Kerja

Ketorolak adalah obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) kimia yang berkaitan dengan indometasin dan tolmetin. Trometamin Ketorolak adalah campuran rasemat [-] S-dan [+] R-enansiomer bentuk, dengan S-bentuk yang memiliki aktivitas analgesik. Efek antiinflamasi terjadi karena penghambatan dari kedua cylooxygenase-1 (COX-1) dan cylooxygenase-2 (COX-2) yang menyebabkan penghambatan sintesis prostaglandin mengakibatkan penurunan prekursor pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat.

Analgesia dihasilkan melalui aksi perifer di mana blokade nyeri hasil impuls dari penurunan aktivitas prostaglandin. Namun, penghambatan sintesis atau tindakan zat lain yang peka reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik atau kimia juga dapat menyebabkan efek analgesik. Dalam hal aplikasi mata dari ketorolak, administrasi okular ketorolak mengurangi prostaglandin E2 di tingkat humor aqueous, sekunder terhadap penghambatan biosintesis prostaglandin.

Farmakodinamik

Ketorolak merupakan agen antiinflamasi dengan analgesik dan antipiretik dengan m e n g h a m b a t s i n t e s i s p r o s t a g l a n d i n . Ketorolak sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak memiliki efek penenang atau sifat anxiolytic.Aktivitas biologis ketorolak trometamin dikaitkan dengan bentuk-S.

Farmakokinetik

Ketorolak diabsorbsi dengan cepat baik diberikan secara oral maupun intramuskular, mencapai konsentrasi puncak plasma dalam 30 sampai 50 menit.

Ketorolak terikat pada protein plasma, obat ini diekskresi dengan waktu paruh eliminasi 4 sampai 6 jam. Sekitar 90% kerorolak diekskresikan dalam urin, sekitar 10% diekskresi dalam bentuk tidak berubah, dan sisanya sebagai konjugat yang

(39)

mengalami glukuronidasi. Laju eliminasi berkurang pada orang lanjut usia dan pada pasien gagal ginjal.

Indikasi

Ketorolak hanya diindikasikan untuk penanganan nyeri jangka pendek (tidak lebih dari 5 hari) dan tidak boleh digunakan untuk nyeri ringan atau kronis.

Ketorolak digunakan untuk nyeri akut cukup parah yang memerlukan analgesia pada tingkat opioid, biasanya dalam pengaturan pasca operasi. Ketorolak topikal mungkin berguna untuk kondisi peradangan pada mata dan diizinkan untuk penanganan konjungtivitis alergi musiman dan radang mata.

Efek Samping-Toksik

Efek samping yang terjadi antara lain mengantuk, pusing, sakit kepala, nyeri saluran cerna, dispepsia dan mual,serta nyeri pada tempat injeksi.

Sediaan-Dosis-Cara Pemberian

Dalam jangka pendek (≤ 5 hari) pengobatan nyeri akut yang memerlukan analgesia pada tingkat opioid; kerolak tidak diindikasikan untuk nyeri ringan atau kronis IV: 30 mg sebagai dosis tunggal atau 30 mg setiap 6 jam; tidak melebihi 120 mg / hari IM: 60 mg sebagai dosis tunggal atau 30 mg setiap 6 jam; tidak melebihi 120 mg / hari PO: 20 mg sekali setelah IV atau terapi IM, maka 10 mg setiap 4-6 jam; tidak melebihi 40 mg / hari

Indeks Keamanan Kehamilan Dan Menyusui

Ketorolak telah ditetapkan untuk kategori kehamilan C oleh FDA. Beberapa penelitian pada hewan telah menunjukkan bukti efek teratogenik. Dalam sebuah penelitian, hanya jumlah yang sangat kecil dari ketorolak terdeteksi dalam sampel

(40)

vena umbilikalis setelah digunakan dalam persalinan. Ketorolak diketahui melewati plasenta, injeksi intramuskular ketrolak untuk menghilangkan rasa sakit selama persalinan. Namun, penggunaan ketorolak dianggap kontraindikasi selama persalinan dan melahirkan karena dapat mempengaruhi sirkulasi janin dan menghambat kontraksi uterus.

Ketorolak diekskresikan ke dalam ASI dalam jumlah kecil setelah dosis oral dengan 10 mg empat kali sehari. Ketorolak dianggap kompatibel dengan menyusui oleh The American Academy of Pediatrics.

Tidak dianjurkan untuk dikonsumsi oleh ibu hamil dan menyusui.

(41)

2.4 KERANGKA TEORI

Gambar 2.4 Kerangka Teori Dismenore

Nyeri haid akibat kontraksi miometrium

Berdasarkan ada tidaknya kelainan:

Dismenore primer

Dismenore sekunder Berdasarkan jenis nyeri:

Dismenore spasmodik

Dismenore kongestif

NSAIDs: Golongan obat yang menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG₂ terganggu.

Jenis-jenis NSAID:

- Asam Mefenamat - Ibuprofen

- Ketorolak - Aspirin

Penatalaksanaan nonfarmakologi:

- Kompres air hangat - Istirahat

Penatalaksanaan farmakologi:

- Pemberian obat analgetik - Terapi hormonal

- Pemberian NSAID

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional study, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi mahasiswi yang menggunakan NSAIDs dalam keadaan dismenore dengan cara pengumpulan data berdasarkan survei terhadap sampel.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada bulan Juni hingga November 2020.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi target dalam penelitian ini adalah semua mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dari stambuk 2019, 2020 dan dipilih menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi seperti berikut:

1. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:

a. Responden yang sudah menstruasi dan mengalami dismenore saat menstruasi.

b. Responden adalah mahasiswi dari stambuk 2019 dan 2020.

c. Responden bersedia mengisi kuesioner.

2. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:

a. Responden yang menderita penyakit ginekologis tertentu.

b. Responden tidak bersedia mengisi kuesioner.

3.3.2 Sampel Penelitian

Teknik pengambilan sampel dan penelitian ini adalah dengan metode probability sampling dengan menggunakan simple random sampling, dimana jumlah subjek dalam populasi yang akan dipilih sebagai sampel penelitian dihitung terlebih dahulu.

(43)

Rumus besar sampel yang digunakan untuk penelitian ini adalah rumus proporsi binomunal (binomunal proportions):

n =

Keterangan:

n = jumlah sampel minimal yang diperlukan = nilai Z pada derajat kemaknaan

p = proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi

N = jumlah populasi (jumlah mahasiswi FK USU stambuk 2019 dan 2020) d = limit dari error atau presisi absolut

Maka besar sampel adalah:

n =

= 74 orang

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA 3.4.1 Alat Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah kuesioner data demografi dan karakteristik menstruasi, kuesioner pengukuran intensitas nyeri menurut Visual Analogue Scale (VAS) dan kuesioner penggunaan NSAIDs untuk penanganan dismenore. Bentuk kuesioner yang digunakan adalah pertanyaan tertutup (Closed Ended) dengan variasi pertanyaan berupa multiple choice.

3.4.2 Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas dengan menggunakan program komputer yaitu SPSS (Statistical Product and Service Solution).

3.5 TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Jenis data yang dikumpulkan dari penelitian ini berupa data, yaitu kumpulan fakta yang dikumpul sendiri oleh peneliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner.

(44)

Prosedur pengambilan data dilakukan dengan langkah-langkah berikut :

1. Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada instansi pendidikan.

2. Setelah mendapatkan izin dari instansi pendidikan, memilih responden sesuai yang memenuhi syarat atau kriteria sampel.

3. Menjelaskan kepada responden tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerahasiaan yang diberikan responden kepada peneliti serta meminta kerja sama responden untuk menjawab semua pertanyaan dalam kuesioner online secara jujur sesuai dengan keadaan responden.

4. Setelah responden bersedia menjadi responden secara sukarela, meminta responden untuk membaca lembar persetujuan (informed consent) sebelum mengisi lembar pertanyaan.

5. Memberikan penjelasan kepada responden tentang cara pengisian kuesioner online.

6. Memberikan kuesioner online kepada responden untuk diisi.

3.6 DEFINISI OPERASIONAL Variabel pada penelitian ini adalah:

1. Dismenore

Dismenore adalah sensasi nyeri pada saat menstruasi yang dirasakan di daerah abdomen bawah.

a. Alat ukur: Kuesioner dan Visual Analog Scale (VAS) b. Cara ukur: Angket

c. Skala ukur : Ordinal

d. Hasil ukur: 0 = Tidak nyeri 1-3 = Nyeri ringan 4-6 = Nyeri sedang 7-10 = Nyeri berat

(45)

2. NSAIDs

NSAIDs adalah obat yang digunakan untukmengurangi rasa nyeri tanpa mengurangi kesadaran pasien.

a. Alat ukur : Kuesioner b. Cara ukur : Angket c. Skala ukur : Ordinal

d. Hasil Ukur : 1 = Menggunakan NSAID 2 = Tidak menggunakan NSAID

3.7 ANALISIS DATA

Data dari setiap responden telah dimasukkan ke dalam komputer oleh peneliti.

Analisis data yang diperoleh dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan program komputer yaitu SPSS (Statistical Product and Service Solution).

Data hasil telah ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi. Tahap-tahap pengolahan data adalah sebagai berikut :

1. Editing, yaitu memeriksa nama dan kelengkapan identitas maupun data responden serta memastikan bahwa semua jawaban telah terisi sesuai petunjuk.

2. Coding, yaitu memberi kode atau angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah saat mengadakan tabulasi dan analisa.

3. Entry, yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution for Windows).

4. Tabulating, yaitu memeriksa kembali data yang telah dimasukkan untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan atau tidaknya pada kode, ketidaklengkapan data dan sebagainya.

Gambar

Gambar 2.1.2. Siklus menstruasi
Gambar 2.4 Kerangka Teori Dismenore
Tabel 4.9 Distribusi frekuensi gejala tambahan saat nyeri haid
TABEL FREKUENSI

Referensi

Dokumen terkait

Keuchik juga sempat berbicara secara langsung dengan pengedar orang asli Sumbok Rayek namun telah lama tidak tinggal di desa tersebut pada saat pulang menjenguk keluarganya

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-1/W1, 2017 ISPRS Hannover Workshop: HRIGI 17 – CMRT 17 – ISA 17

4. Pameran literasi dapat dilaksanakan di luar kelas dengan meja-meja yang diatur untuk memamerkan karya tulisan siswa dan bahan bacaan. Kegiatan membaca dapat dilakukan di

Seleksi calon Peserta Didik Baru kelas X SMA, SMAKH dilakukan berdasarkan Nilai Ujian Nasional SMP/SMPKH/MTs pada jumlah nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia,

mekanisme terjadinya komplikasi infeksi HIV pada kehamilan pada ibu dan janin 3.Mampu menjelaska n berbagai faktor resiko infeksi HIV pada kehamilan 4.. mampu

[r]

Kegiatan Perkuatan Tebing Sungai Pekerjaan Perkuatan Tebing Kali Jalidin Ds Mojayan Kec Klaten Tengah..

Di awal semester, mahasiswa mengisi KRS dan di akhir semester, mahasiswa mengisi kuesioner kinerja dosen untuk tiap-tiap dosen per mata kuliah, LPPM mengirimkan rekap