• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. WALI BAPTIS DAN REMAJA KATOLIK DALAM HIDUP

B. Kehidupan Menggereja Remaja

1. Kehidupan Menggereja

Anggota Gereja adalah anggota masyarakat modern (Banawiratma, 2000: 35). Saat ini umat Kristiani telah berada dalam kehidupan yang terus mengalami pembaruan. Kemajuan jaman telah ikut mengubah kepribadian manusia. Hal ini menuntun umat Kristiani untuk semakin kontekstual dalam menjalani hidup menggereja. Umat Kristiani dipanggil untuk menajamkan kesadaran dan kemudian melakukan gerakan, mengamati secara cermat dan menimbang-nimbang di hadapan Tuhan dan pada akhirnya hal tersebut perlu diwujudkan dalam tindakan kongkrit (Banawiratma, 2000: 26).

Dalam praksis hidup menggereja, ada kecenderungan pembagian tipe umat dalam dua golongan yakni umat yang aktif dan umat yang tidak aktif. Umat aktif dapat diartikan sebagai umat yang rajin mengikuti misa, terutama misa harian. Keaktifan itu juga dapat berarti umat ikut aktif dalam kegiatan organisasi Gereja, baik sebagai prodiakon, ketua kring, anggota kor maupun kegiatan hidup

menggereja lainya. Merupakan hiburan besar bagi para pastor kalau melihat umatnya aktif dalam hidup menggereja, makin banyak makin baik. Sebaliknya para pastor akan mempersoalkan mereka yang tidak aktif (Banawiratma, 2000: 35). Dalam kehidupan menggereja ada lingkup-lingkup yang perlu diketahui di antaranya adalah paroki desa, Gereja lokal sebagai persekutuan hidup menggereja, dan kehidupan menggereja yang relevan masa kini.

a. Paroki Desa

Situasi desa pasti berbeda dengan situasi kota tetapi sulit untuk mengatakan bahwa desa terisolasi dari proses globalisasi. Walaupun situasi desa tidak sedemikian terekspos seperti di kota tetapi warganya (petani) pasti juga mendengarkan siaran radio dan menonton acara-acara televisi. Oleh karenanya, studi mutakir memperlihatkan bahwa kaum tani tidak “sebodoh” yang sering disangka (Banawiratma, 2000: 36). Dalam rangka menangkal berbagai pengaruh kemajuan jaman, umat akan membuat suatu benteng pertahanan atau cara bertahan yang salah satunya ialah melalui hidup menggereja. Kegiatan hidup menggereja menyediakan semangat Kristiani dan nilai-nilai/keutamaan-keutamaan rohani yang pantas ditimba oleh umat sehingga memberi kekuatan untuk lepas bebas dari arus jaman. Meski demikian Gereja hanya salah satu dari banyak fasilitas yang ada dalam masyarakat yang dapat mereka gunakan untuk menolong diri sendiri.

Pemimpin Gereja belum boleh merasa puas jika terdapat 100-300 umatnya termasuk orang aktif dalam hidup menggereja (Banawiratma, 2000: 36). Banawiratma mengingatkan bahwa ketidakpuasan itu berkaitan dengan jumlah

umat tidak aktif yang menduduki jumlah mayoritas. Sangat menarik mengkaji mengapa jumlah umat yang tidak aktif dalam hidup menggereja jumlahnya lebih banyak karena pada dasarnya mereka mencari sesuatu “yang baru” tetapi Gereja Katolik sepertinya tidak mampu memberikannya, misalnya: liturgi Gereja yang lembek dan khotbah yang tidak mudah diikuti. Kiranya inilah yang menjadi ranah jawaban mengapa sebagian umat tidak aktif dalam hidup menggereja malah aktif dalam berbagai kegiatan atau organisasi lain. Gereja memang dipaksa untuk bersaing dengan organisasi-organisasi dalam masyarakat (Banawiratma, 2000: 36-37).

b. Gereja Lokal Sebagai Persekutuan Hidup Menggereja

Manusia adalah titik pangkal dan tujuan segala pembangunan (Banawiratma, 2000: 49). Pembangunan jemaat Katolik perlu dimulai dari bawah, artinya dimulai dari jemaat lokal yakni kehidupan menggereja umat setempat. Urgensinya ialah kehidupan menggereja yang dilakukan oleh umat dalam Gereja setempat dapat menjadi basis dalam menangkal, mengatasi maupun mengkritisi kehidupan yang serba modern ini. Kekuatan ini membenarkan sebuah keyakinan bahwa semua yang global dan serba modern belum tentu selalu lebih unggul daripada yang lokal (Banawiratma, 2000: 47). Oleh karena itu, kehidupan menggereja yang kuat pada tingkat Gereja lokal mutlak diperlukan.

Kaidah Gereja lokal sebagai persekutuan hidup menggereja hendaknya membahana dalam kehidupan setiap anggotanya. Kongkretnya, setiap anggota dapat saling memperhatikan satu sama lain terutama dalam membantu dan mendorong yang miskin dan lemah menjadi lebih sanggup untuk bertahan dan

berprakarsa, serta melakukan semuanya itu dengan mendasarkannya pada sikap setia kawan. Bentuk kesetiakawanan juga dapat tercermin dari solidaritas orang yang lebih kuat dalam membantu yang lemah. Bentuk kesetiakawanan ini akan semakin kokoh dan lestari oleh sikap inklusif, baik terhadap jemaat seiman maupun non-Kristiani. Dengan demikian kekuatan hidup menggereja tidak hanya dibatasi oleh keaktifan dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Gereja tetapi lebih pada sikap-sikap unggul untuk memajukan kesejahteraan, ketentraman dan kedamaian sehingga oleh karenanya semua umat manusia memperoleh keselamatan berkat kehadiran Gereja yang solid.

Orang yang sudah dibabtis haruslah mempunyai kedewasaan Rohani karena mereka sudah disatukan dengan Kristus. Tentu saja tugas ini tidaklah mudah karena manusia merupakan pribadi yang lemah yang sering terjerumus kedalam dosa. Peran wali baptis harus muncul terlebih ketika anak baptis mulai lemah dan tidak berdaya. Meski demikian peran wali baptis tidak boleh hanya muncul ketika si anak sudah jatuh tetapi yang terpenting ialah wali baptis harus dengan setia mengamati perkembangan iman anak babtis sehingga tugas dan tanggungjawab wali baptis benar-benar terwujud.

c. Kehidupan Menggereja yang Relevan Masa Kini

Kalau kita berbicara mengenai Gereja yang relevan masa kini adalah Gereja yang menuju ke Indonesia baru yaitu sebuah Indonesia dengan otonomi daerah, civil society, pemekaran dalam relasi sosial, ekologi yang terawat, unsur yang berbeda menjadi kesempatan untuk saling melengkapi, pendidikan yang memanusiakan manusia, kesetaraan gender, iman dan nilai luhur agama yang

memerdekakan manusia, hukum yang berwibawa, ditaati dan membuahkan keadilan (Banawiratma, 2000: 19).

Hidup menggereja yang relevan adalah hidup yang melawan kekerasan dimulai dari batin manusia. Orang menginginkan bahwa bagaimanapun juga rumusan seperti gambaran Tuhan sebagai pemimpin perang itu memerlukan tafsir, tetapi tafsir tidak dengan mudah dibuat. Hendaknya dicari cara baru agar gambaran Tuhan seperti tukang perang ini tidak diartikan secara mentah-mentah (Banawiratma, 2000: 23).

Dunia dewasa ini berada di tengah-tengah proses globalisasi yang tiada hentinya meresapi segala bidang kehidupan. Dalam hidup menggereja semacam ini, diharapkan bahwa semua karisma, baik yang dianugerahkan kepada manusia dapat lebih diterima dan diperkembangkan demi pelayanan bersama (Banawiratma, 2000: 195).

Dokumen terkait