TERHADAP HIDUP MENGGEREJA
REMAJA KATOLIK PAROKI SANTO IGNATIUS, DANAN, WONOGIRI
JAWA TENGAH
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Antonius Dedy Wibowo
NIM: 071124012
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Skripsi ini dipersembahakan kepada:
Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu menguatkan penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Orang tua, yang selalu memberikan dorongan untuk belajar dengan serius dan
segera menyelesaikan skripsi ini.
Margaretha Widi Astuti, yang memberikan semangat untuk menyelesaikan
v
“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia
diasinkan? Tidak ada gunanya lagi selain dibuang dan diinjak orang.”
viii
Judul skripsi PERAN WALI BAPTIS TERHADAP HIDUP
MENGGEREJA REMAJA KATOLIK PAROKI SANTO IGNATIUS,
DANAN, WONOGIRI, JAWA TENGAH dipilih berdasarkan pada fakta bahwa
para wali baptis paroki Santo Ignatius Danan, Wonogiri, Jawa Tengah sangat memprihatinkan. Kenyataan menunjukkan bahwa wali baptis ada yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan berhenti setelah proses pembaptisan selesai. Hal ini terjadi karena sebagian besar wali baptis belum memahami tugasnya sebagai seorang wali baptis dan terjadi sikap saling menunggu antara wali baptis dan remaja Katolik. Bertitik tolak pada kenyataan tersebut, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para wali baptis di paroki Santo Ignatius Danan, Wonogiri, Jawa Tengah mendapatkan titik terang mengenai tugas wali baptis yang sesungguhnya sehingga mampu melayani.
Persoalan pokok pada skripsi ini adalah bagaimana para wali baptis dapat menyadari dan menjalankan tugasnya dalam mendampingi anak baptisnya terutama remaja yang saat ini sedang tidak aktif di paroki dan tidak rajin ke gereja. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Oleh karena itu pemberian kuesioner kepada wali baptis dan remaja sudah dilaksanakan. Studi pustaka juga diperlukan untuk memperoleh pemikiran-pemikiran untuk direfleksikan, sehingga diperoleh gagasan-gagasan yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan dalam melaksanakan tugasnya bagi para wali baptis.
ix
The title of this writing is THE ROLE OF GODFATHER ON THE
CHURCH LIFE OF CATHOLIC ADOLESCENTS AT SAINT IGNATIUS
PARISH, DANAN, WONOGIRI, CENTRAL JAVA. It is chosen based on the
concern that many Godfathers are not so aware of their responsibility. The fact that some Godfathers cannot perform their task well and they think that the task finishes until the baptism ceremony. It happens because most Godfathers do not understand their task. Therefore, the aim of the writing is to help Godfathers at Parish of Saint Ignatius Danan, Wonogiri, Central Java to understand their task so that they are able to perform their task well.
The main problem is how Godfathers are aware of and perform their task in guiding Godchildren, especially the adolescents who do not get involved in church activites or even do not go to the church anymore. It needs accurate data to make research about this problem. Therefore, the questionnaire were distributed to Godfathers and adolescents at the parish. Library research is done to get a theoretical understanding which will become a contribution to Godfather in performing their task.
x
Puji Syukur kepada Tuhan Yesus yang menuntun pikiran, hati dan hidup
penulis sampai titik terakhir menyelesaikan skripsi yang berjudul PERAN WALI
BAPTIS TERHADAP HIDUP MENGGEREJA REMAJA KATOLIK
PAROKI SANTO IGNATIUS, DANAN, WONOGIRI, JAWA TENGAH.
Skripsi ini lahir dari suatu keprihatinan yang ada di paroki Santo Ignatius
Danan, Wonogiri, Jawa Tengah di mana para remaja banyak yang tidak aktif
dalam hidup menggereja. Selain itu juga terdapat wali baptis yang hanya
menjalankan tugasnya ketika proses pembabtisan berlangsung. Peran wali baptis
bukan hanya suatu simbol, namun wali baptis adalah orang yang bertugas untuk
membimbing dan mendampingi anak baptisnya dalam hidup menggereja.
Banyak orang telah memberikan dukungan dengan berbagai peran
sehingga menjadi bagian dari skripsi ini. Oleh karena itu dengan penuh rasa
terima kasih perkenankanlah penulis menghadirkan kembali nama-nama yang
sangat berharga berikut ini:
1. Rm. Drs. H. J. Suhardiyanto, S.J. selaku Kaprodi IPPAK Universitas Sanata
Dharma yang senantiasa memberikan dukungan dalam seluruh proses
menyelesaikan skripsi ini.
2. Rm. Dr. B. Agus Rukiyanto, S.J. selaku dosen pembimbing utama yang selalu
mendampingi dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Rm. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen Penguji sekaligus Dosen
Pembimbing Akademik yang telah memberikan banyak perhatian dan
xi
mendampingi penulis dalam penelitian serta memberikan semangat dalam
menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap Bapak, Ibu, Romo dosen dan seluruh staf karyawan prodi IPPAK
Universitas Sanata Dharma yang secara tidak langsung selalu memberikan
dorongan kepada penulis.
6. Keluarga tercinta: Bapak dan Ibu Stephanus Parino, Gregorius Agung Dwi
Wardoyo, Heronimus Suhardiyanto, Sirilus Hari Prasetya yang selalu
mendoakan dan memberikan dorongan dalam menyelesaikan perkuliahan.
7. Keluarga Bapak dan Ibu Petrus Soeratno yang dengan setia selalu mendukung
penulis, baik moral maupun material.
8. Keluarga Bapak Agustinus Karno yang memberikan bantuan uang kuliah
sehingga penulis dapat kuliah di IPPAK USD dan memperkenankan penulis
untuk tinggal dirumah Bapak Agustinus Karno selama tiga semester.
9. IPPAK USD yang memberikan beasiswa kepada penulis sehingga dapat
meringankan uang kuliah penulis sampai akhirnya bisa selesai.
10.Rm. P. Frans Yosnianto, OFM. Cap. yang memberikan bantuan berupa uang
kuliah kepada penulis sehingga penulis dapat dengan lancar belajar di IPPAK.
11.Ibu Maria Herlina yang mendukung penulis dengan memberikan bantuan
berupa uang saku setiap bulan sehingga penulis merasa terbantu dalam
fotocopy dll.
12.Sr. Sesilia SFD yang senantiasa memberikan dorongan di dalam menghadapi
xiii
xiv
BAB III. METODOLOGI, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 32
A. Sejarah Paroki Santo Ignatius Danan Wonogiri... 32
xv
d. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Proses
Pendampingan Terhadap Anak Baptis ... 65
e. Keterlibatan Wali Baptis di Lingkungan dan dalam Melakukan Pendekatan kepada Anak Baptis ... 67
f. Bentuk Pendampingan Pembinaan yang Diharapkan ... 68
g. Usulan untuk Peningkatan Peran Wali Baptis ... 69
2. Remaja Katolik ... 70
a. Hal Ikwal Wali Baptis ... 70
b. Pandangan Remaja Katolik Terhadap Wali Baptis Berkaitan dengan Tugas Pokok Wali Baptis ... 71
c. Faktor yang Mendukung dan Menghambat Remaja untuk Selalu Terbuka kepada Wali Baptis ... 73
d. Bentuk Pendampingan Pembinaan yang Diharapkan ... 74
BAB IV. USULAN PROGRAM REKOLEKSI WALI BAPTIS PAROKI ST. IGNATIUS DANAN WONOGIRI... 77
A. Usulan Program ... 77
B. Alasan Pemilihan Program ... 78
C. Alasan Pemilihan Tema dan Tujuan ... 79
xvi
xvii
A. Singkatan Kitab Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan
kepada Umat Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka
PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
AG : Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7
Desember 1965.
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), (V. Kartosiswoyo,
Lich.Iur.Can. dkk, Penerjemah). Diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus
II pada 25 Januari 1983.Bogor: Grafika Mardi Yuana.
KGK : Katekismus Gereja Katolik, (P. Herman Embuiru, SVD, Penerjemah).
Ende: Percetakan Arnoldus.
LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja
pada 21 Noveber 1964.
C. Singkatan Lain
FX : Fransiskus Xaverius
xviii
KAS : Keuskupan Agung Semarang
Komkat : Komisi Kateketik
KWI : Konfrensi Waligereja Indonesia
LCD : Liquid Crystal Display
MAWI : Majelis Waligereja Indonesia
PWI : Panitia Waligereja Indonesia
Rekat : Remaja Katolik
Rm : Romo
SD : Sekolah Dasar
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SR : Sekolah Rakyat
St : Santo
Tt : Tanpa Tahun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembaptisan merupakan langkah pertama ke arah kesatuan hidup dan mati
bersama Kristus (KWI, 1996: 418). Sebagai langkah pertama menuju persatuan
dengan Kristus, sakramen baptis menjadi “Gerbang sakramen-sakramen” (KHK,
kan. 849). Menjadi gerbang artinya sakramen babtis menjadi sakramen pertama
yang harus diterima sebelum seseorang menerima sakramen lainnya. Sakramen
merupakan tanda dan sarana keselamatan yang mengungkapkan dan menguatkan
iman, mempersembahkan penghormatan kepada Allah dan menghasilkan
pengudusan manusia (Prasetya, 2011: 18). Dengan menerima sakramen baptis,
umat Katolik dapat menerima sakramen-sakramen lainnya sehingga bersama
dengan Gereja akan memperoleh rahmat tak ternilai dari Allah.
Sakramen baptis merupakan salah satu dari tiga sakramen inisiasi.
Sakramen baptis menginisiasikan, memasukkan, mengantar orang ke dalam
Gereja sebagai anggotanya (KWI, 1996: 418). Umat yang akan menerima
sakramen baptis hendaknya didampingi oleh seorang wali baptis.
Calon baptis sedapat mungkin diberi wali baptis, yang berkewajiban mendampingi calon baptis dewasa dalam inisiasi kristiani, dan bersama orang tua mengajukan calon baptis bayi untuk dibaptis, dan juga wajib berusaha agar yang dibaptis menghayati hidup kristiani yang sesuai dengan baptisnya dan memenuhi dengan setia kewajiban-kewajiban yang melekat pada baptis itu (KHK, kan. 872).
Berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, baik pengalaman pribadi
wali baptis dirasa belum berperan sebagaimana yang diamanatkan oleh Gereja.
Penulis menyadari bahwa peran wali baptis selama ini hanya tampak sebagai
formalitas. Seorang wali baptis mempunyai peran yang tak kalah pentingnya
dengan katekis. Keberadaan wali baptis tidak hanya penting pada saat
pembaptisan, tetapi juga bertanggung jawab mendampingi calon baptis secara
terus-menerus (Prasetya, 2011: 49).
Wali baptis bertugas mengingatkan anak baptisnya untuk menerima Komuni
Pertama dan sakramen Penguatan atau Krisma, menegur jika yang didampingi
malas pergi ke gereja atau mengikuti kegiatan hidup menggereja, menegur jika
yang didampingi tergoda meninggalkan imannya, dan lain sebagainya (Prasetya,
2011: 50). Tidaklah bijaksana apabila orang tua memilih wali baptis yang sudah
lanjut usia (meskipun memenuhi persyaratan di atas) karena yang sering terjadi
adalah wali baptis tersebut sakit-sakitan bahkan meninggal dunia saat anak sangat
memerlukan kehadirannya (Prasetya, 2011: 51). Keberadaan wali baptis jangan
dipahami sebatas hal formal belaka, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka
pendampingan terus-menerus bagi anak dalam menatap masa depannya
mengingat masa depan anak masih panjang dengan segala tantangan dan kesulitan
jamannya (Prasetya, 2011: 52).
Seluruh tahap dalam inisiasi kristen merupakan tanggung jawab semua umat
beriman. Di dalam konsili Vatikan II mengenai Karya Misioner Gereja (Ad
Gentes) art. 14 dinyatakan bahwa inisiasi kristen di dalam katekumenat harus
diselenggarakan bukan saja oleh para katekis atau para imam, tetapi oleh seluruh
jemaat beriman, terutama oleh para wali baptis. Wali baptis memiliki peran yang
dalam mendampingi baptisan baru. Wali baptis perlu memahami bahwa perannya
tidak hanya penting pada saat inisiasi berlangsung tetapi juga setelah proses itu
selesai.
Wali baptis adalah seorang beriman yang dipilih oleh ketua lingkungan,
orang tua, atau katekumen sendiri berdasarkan teladan, keutamaan dan
persahabatannya, dan ia harus disetujui oleh imam dan umat. Tugas wali baptis
adalah mendampingi katekumen pada hari “pemilihan”, dalam perayaan-perayaan
sakramen inisiasi dan pada masa “mistagogi”. Wali baptis diharapkan
menunjukkan jalan kepada katekumen untuk menerapkan injil dalam hidupnya
sendiri dan dalam hubungannya dengan masyarakat. Wali baptis harus menolong
dalam keragu-raguan dan kebimbangan. Wali baptis harus memberi kesaksian dan
menjaga perkembangan hidup kristianinya. Wali baptis melaksanakan tugasnya
secara resmi sejak hari “pemilihan”, yakni waktu memberi kesaksian mengenai
katekumen di muka umat. Tugas wali baptis tersebut berlangsung secara terus
menerus sesudah inisiasi, karena baptisan perlu ditolong supaya tetap setia pada
janji-janji baptisnya (Sumarno Ds., 2011: 12).
Persyaratan wali baptis menurut KHK 1983 kan. 874 adalah: memiliki
kecakapan dan maksud untuk melaksanakan tugasnya, telah berumur genap 16
tahun kecuali Keuskupan atau Paroki menentukan lain, seorang Katolik yang
menerima sakramen Krisma dan Ekaristi dan hidup sesuai dengan iman dan tugas
yang diterimanya, tidak dijatuhi atau dinyatakan ternoda oleh suatu hukuman
kanonik, bukan ayah atau ibu dari calon baptis sendiri.
Pembaptisan bukan menjadi akhir perjalanan dalam Gereja Katolik, yang
langsung. Pembaptisan merupakan sebuah permulaan, karena meskipun orang
sudah menerima hidup baru dalam Roh Kudus, namun ia tetap wajib
memperbaharui dirinya (Rm 12:2; bdk. Ef 4:23; Kol 3:10), menghayati hidup baru
itu (Rm 6:4) dan hidup menurut Roh (Gal 5:16-18.25; bdk. Rm 8:13-14). Dengan
demikian jelaslah bahwa wali baptis tetap berperan dalam pendampingan
katekumen untuk menuntun menuju hidup baru dalam naungan Roh Kudus.
Keprihatinan yang dialami oleh paroki St. Ignatius Danan, Giriwoyo adalah
kuantitas katekumen setiap tahunnya mengalami penurunan dan juga banyak anak
muda yang pindah agama karena faktor perkawinan serta terseret oleh kemajuan
jaman. Hal ini sangat perlu diperhatikan karena masa depan Gereja ada di tangan
para kaum muda. Setelah melihat uraian di atas, wali baptis sangat mempunyai
peranan yang penting untuk kehidupan rohani umat terutama remaja sehingga
tidak ikut arus jaman yang semakin deras. Tanggung jawab perkembangan iman
umat bukan hanya di tangan romo, suster, katekis namun wali baptis dan orang
tua juga mempunyai tanggung jawab yang besar pula untuk kehidupan beriman
umat.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah penelitian
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana situasi hidup menggereja remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan
Wonogiri?
2. Bagaimana peran para wali baptis di paroki St. Ignatius Danan Wonogiri?
remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan Wonogiri?
4. Bagaimana pandangan remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan terhadap wali
baptis?
5. Apakah para wali baptis sadar dan mengerti akan tugasnya?
C. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya ranah permasalahan yang dapat dikaji, penulis
membatasi penelitian ini pada Peran Wali Baptis terhadap Kehidupan Menggereja
Remaja Katolik Paroki St. Ignatius, Danan, Wonogiri, Jawa Tengah.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, rumusan
masalah yang menjadi perhatian penulis adalah:
1. Bagaimana realitas peran wali baptis terhadap kehidupan menggereja Remaja
Katolik paroki St Ignatius Danan Wonogiri?
2. Apakah Peran wali baptis berjalan sebagaimana mestinya dalam kehidupan
menggereja Remaja Katolik paroki St Ignatius Danan Wonogiri?
3. Bagaimana meningkatkan Peran wali baptis supaya manfaatnya semakin
nyata bagi Remaja Katolik paroki St Ignatius Danan Wonogiri dalam hidup
menggereja?
E. Tujuan Penulisan
1. Menemukan realitas peran wali baptis terhadap kehidupan menggereja
Remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan Wonogiri.
2. Mengetahui sejauh mana peran wali baptis sudah berjalan dalam
mendampingi hidup menggereja Remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan
Wonogiri selama ini.
3. Menemukan solusi/cara meningkatkan peran wali baptis supaya semakin
berpengaruh positif secara nyata bagi remaja Katolik paroki St Ignatius
Danan Wonogiri sehingga para remaja Katolik tetap setia terhadap imannya.
F. Manfaat Penulisan
Beberapa manfaat yang dapat dipetik dari penulisan skripsi ini antara lain:
1. Akademis
Setelah memahami peran wali baptis terhadap kehidupan menggereja
remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan, Wonogiri, penelitian ini diharapkan
dapat memperluas wawasan, keterampilan dan kemampuan penulis untuk tugas
perutusan sebagai katekis pada masa yang akan datang sehingga dalam
perutusan penulis selalu ingat akan sebuah pentingnya tanggung jawab dalam
hidup menggereja nantinya.
2. Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung setiap pelayanan umat
khususnya umat paroki St. Ignatius Danan, Wonogiri, baik yang dibaptis
maupun yang dipercaya menjadi wali baptis, sehingga dalam pelaksanaannya
seorang wali baptis itu sangat penting dan berperan bagi anak baik remaja
maupun dewasa demi perkembangan Gereja.
3. Kateketis
Skripsi ini mampu memberikan sumbangan dalam bentuk pendampingan
yang tepat untuk wali baptis sehingga peran wali baptis sungguh terlaksana
sesuai dengan apa yang dicita-citakan Gereja.
G. Relevansi Penulisan
Penelitian tentang Peran Wali Baptis terhadap remaja Katolik belum pernah
ada. Terlebih penelitian ini relevan untuk membantu umat meningkatkan dan
mengetahui peran wali baptis sehingga mengembangkan kehidupan rohani remaja
Katolik paroki setempat. Selain itu dengan penulisan ini juga diharapkan
menyadarkan betapa pentingnya kerja sama antar komponen umat sehingga
Gereja akan tetap kokoh. Menurut penulis penelitian ini sangat relevan demi
kemajuan bersama serta dapat menyadarkan bahwa sangatlah penting tugas atau
peran wali baptis dalam kehidupan menggereja terutama dalam mendampingi
remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri sehingga mereka bisa merasa
dibimbing dan mendapat perhatian dari Gereja.
H. Sistematika Penulisan
Penulis memilih judul skripsi Peran Wali Baptis terhadap Kehidupan
Maka penulis akan menguraikan penulisan tersebut dengan memaparkan lima bab
sebagai berikut:
Pemaparan bab I berisikan latar belakang, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat
penelitian, relevansi penulisan, dan sistematika penulisan. Pemaparan ini
bertujuan memberikan gambaran umum tentang hal-hal informatif maupun
persoalan teknik yang akan penulis gunakan lebih lanjut dalam penulisan skripsi
ini.
Bab II berisi kajian teori yang menyajikan teori-teori dari berbagai buku
dan literatur untuk melandasi pemikiran dan gagasan tentang peran wali baptis
terhadap hidup menggereja paroki St. Ignatius Danan, wonogiri. Kajian teori juga
menyajikan hasil dari berbagai studi terdahulu dalam konteks kajian masalah yang
sama atau serupa. Kajian teori meliputi: sejarah sakramen baptis, peran wali
baptis; wali baptis, pembaptisan dalam Gereja Katolik, urgensi wali baptis,
kualifikasi wali baptis, selanjutnya penulis juga memaparkan mengenai kehidupan
menggereja; pengertian kehidupan rohani, paroki desa, Gereja lokal sebagai
persekutuan hidup menggereja.
Bab III adalah metodologi, hasil dan pembahasan penelitian yang
mencakup latar belakang penelitian; metodologi penelitian yang mencakup tujuan
penelitian, metode penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian,
instrumen penelitian, variabel penelitian. Tahap berikutnya penulis akan mengkaji
hasil penelitian dan membahas hasil penelitian. Kajian terhadap hasil penelitian
penelitian dilakukan dengan interpretasi pengujian hipotesis dan penarikan
kesimpulan relevan.
Pada bab IV ini penulis akan mencoba membuat usulan program yang
cocok berdasarkan hasil penelitian, sehingga nanti akan berkesinambungan tidak
hanya berhenti pada penelitian saja.
Penulisan tahap akhir yakni bab V penulis akan membuat kesimpulan
umum dan saran sebagai penutup. Demikianlah rancangan sistematika penulisan
skripsi yang akan segera penulis kerjakan.
BAB II
WALI BAPTIS DAN REMAJA KATOLIK DALAM HIDUP
MENGGEREJA
Pada bab II ini, penulis akan membahas mengenai wali baptis dan remaja
yang diperkuat dengan pandangan para ahli dari berbagai sumber. Pendapat para
ahli tersebut penulis rangkum sehingga memperkuat apa yang hendak diteliti.
Selain itu pendapat para ahli ini berfungsi sebagai pendukung berbagai gagasan
penulis, baik gagasan yang telah dituangkan dalam bab I maupun pada bab-bab
berikutnya. Pada bab II ini memiliki dua variabel. Variabel pertama adalah wali
baptis yang mencakup: sejarah sakramen baptis, pembaptisan dalam Gereja
Katolik, pengertian wali baptis, kualifikasi wali baptis, peran wali baptis, urgensi
wali baptis. Variabel kedua mengenai kehidupan menggereja remaja: pertama
mengenai kehidupan menggereja yang mencakup pengertian kehidupan
menggereja, yang ke dua membahas mengenai remaja yang mencakup pengertian
remaja, ciri khas remaja, kehidupan menggereja remaja.
A.Wali Baptis
Pada bagian ini penulis akan memaparkan mengenai pokok-pokok penting
Wali Baptis. Penulis akan mengajak melihat kembali mengenai pendapat para ahli
mengenai wali baptis. Pada bagian awal ini penulis akan membahas mengenai
sejarah sakramen baptis, pembaptisan dalam Gereja Katolik, pengertian wali
baptis, kualifikasi wali baptis, peran wali baptis dan urgensi wali baptis. Berikut
1. Sejarah Sakramen Baptis
Pembaptisan berasal dari bahasa Yunani dari kata batizwin, baptismos=
yang artinya mencelupkan ke dalam air atau membasuh dengan air (Banawiratma,
1989: 79). Sakramen baptis merupakan pintu gerbang bagi sakramen-sakramen
lain (Prasetya, 2011: 7). Pernyataan tersebut didukung oleh KHK kan. 849 yang
mengatakan bahwa “baptis merupakan pintu gerbang sakramen-sakramen”.
Pembaptisan merupakan sakramen pertama dan utama dalam Perjanjian
Baru sekaligus merupakan pintu kehidupan kekal dari kerajaan Allah. Hal ini
selaras dengan kehendak Kristus, bahwa semua orang yang dibaptis memiliki
kehidupan kekal (Yoh 3:5). Seorang yang menjadi Kristiani berarti
menggabungkan diri atau menjadi anggota Gereja. Untuk menjadi anggota Gereja,
para calon anggota harus menjalani suatu masa perkenalan dan masa latihan yang
biasa disebut dengan inisiasi. Inisiasi Kristiani itu merupakan perkembangan yang
berlangsung cukup lama mengikuti suatu pola yang kurang lebih sama. Pola
tersebut dapat dibedakan dalam tiga tahap empat masa. Tiga tahap tersebut antara
lain: tahap pertama pelantikan katekumen, tahap kedua pemilihan calon baptis dan
tahap ketiga sakramen-sakramen inisiasi. Adapun empat masanya yakni masa
prakatekumenat, masa katekumenat, masa photizomenat dan masa mistagogi
(Komkat KAS, 1997: 19).
Inisiasi bermula sejak awal kehidupan umat Kristiani. Sejak semula, jemaat
perdana telah memandang perlu adanya inisiasi untuk menjadi anggota penuh
jemaat Kristiani, inisiasi tersebut berkedudukan sebagai syarat mutlak. Menurut
inisiasi (Groenen, 1992: 25). Menurut Perjanjian Baru, baptis sungguh terjadi
dengan membenamkan orang ke dalam air. Hal tersebut selaras dengan
pembaptisan yang dilakukan oleh Yohanes Pembabtis di sungai Yordan (Prasetya,
2011: 13). Menurut Banawiratma (1989: 81), baptisan yang ada sekarang ini
bukan murni kebiasaan orang Kristiani. Baptisan ini sudah dikenal di kalangan
Yahudi, yakni baptisan proselit (suatu ritus pentahiran di samping sunat bagi
laki-laki). Secara historis pembaptisan yang ada sekarang merupakan pembaptisan
yang dilakukan dalam rangka melanjutkan pembaptisan Yohanes Pembaptis
(Groenen, 1992: 28).
Sejarah wali baptis bermula dari adanya penjamin dalam tradisi
pembaptisan Gereja purba. Sebelum menjadi wali para penjamin saat upacara
pelantikan katekumen disebut sebagai penobat (Komisi Liturgi MAWI, 1986: 48).
Sebagai penobat, penjamin bertindak sebagai saksi bagi para calon baptis. Setelah
upacara pelantikan, para penjamin dapat saja menjadi wali baptis. Mereka dapat
bertindak sebagai wali baptis terutama mereka telah menjadi saksi untuk Gereja
dan untuk Kristus di hadapan manusia.
2. Pembaptisan dalam Gereja Katolik
Menjadi orang Kristiani merupakan suatu proses (KWI, 1996: 419). Proses
menuju pembaptisan dalam Gereja Katolik perlu melalui tiga pola inisiasi. Pola
tersebut dapat dibedakan dalam tahap-tahap berikut: tahap pertama, orang dalam
status simpatisan diangkat menjadi katekumen. Seorang katekumen perlu
mengikuti katekumenat yakni masa persiapan dengan pelajaran-pelajaran dan
katekumen diangkat menjadi calon baptis. Tahap ketiga, calon baptis menjadi
baptisan baru melalui pembaptisan yang diterimanya. Manusia dibabtis berarti
menerima sakramen, yaitu tanda dan sarana rahmat/keselamatan (Banawiratma,
1989: 12).
Dibaptis berarti umat Kristiani sudah membentuk perjanjian. Perjanjian itu
dijalin Allah melalui Yesus Kristus yang taat sampai mati, dibangkitkan oleh
Allah dan masuk ke dalam keselamatan yang sempurna (Ardhi Wibowo, 1993: 7).
Dengan dibabtis orang diikutsertakan dalam wafat dan kebangkitan Kristus (Rm
6:3-6; bdk. Kol 2:1), mati bagi dosa dan hidup baru dalam Kristus. Perikop
tersebut menyatakan bahwa dengan dibaptis umat Kristiani juga bertobat dari
dosa-dosa dan Umat pun beroleh keselamatan dari Allah. Penyelamatan berarti
Allah melalui Yesus Kristus membebaskan manusia dari situasi malang yang
disebabkan oleh dosa manusia, yang menolak cintakasih Allah (Ardhi Wibowo,
1993: 7).
Menerima sakramen baptis berarti orang dimasukkan ke dalam paguyuban
umat beriman Katolik yang disebut Gereja, dengan segala hak dan kewajibannya
sebagai anggota Gereja Katolik. Orang tersebut mempunyai kewajiban untuk
mengambil bagian dalam panggilan imamat, kenabian, dan rajawi Kristus.
Jadi, kaum beriman Kristiani, yang berkat Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap umat Kristiani dalam Gereja dan di dunia (LG 31).
Tidak hanya kewajiban, orang tersebut juga mempunyai hak sebagai
anggota Gereja Katolik (Prasetya, 2011: 23). Hak tersebut antara lain “hak untuk
bantuan rohani Gereja lainnya” (KGK 1269). Menerima sakramen baptis berarti
orang dibebaskan dari dosa.
Oleh pembaptisan, diampunilah semua dosa, dosa asal, dan semua dosa pribadi serta siksa –siksa dosa. Didalam mereka yang dilahirkan kembali, tidak tersisa apapun yang dapat menghalang-halangi mereka untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Baik dosa Adam maupun dosa pribadi demikian pula akibat-akibat dosa, yang terparah darinya adalah pemisahan dari Allah, semuanya tidak ada lagi dan dilahirkan kembali menjadi anak Allah (KGK 1263).
Menerima sakramen baptis berarti orang diharapkan membangun sikap dan
semangat pertobatan, yaitu meninggalkan dunia yang lama atau cara hidup yang
lama untuk hidup dalam dunia yang baru dan cara hidup baru. Melalui tindakan
pertobatan ini, orang tersebut diharapkan mengalami kedekatan hidup dengan
pribadi Allah Tritunggal Mahakudus.
Allah menganugerahkan rahmat pengudusan, rahmat pembenaran, yang menyanggupkan dia oleh kebajikan-kebajikan ilahi supaya percaya kepada Allah, berharap kepada-Nya dan mencintai-Nya; menyanggupkan dia oleh anugrah-anugrah Roh Kudus, supaya hidup dan bekerja di bawah dorongan Roh Kudus; menyanggupkan dia oleh kebajikan-kebajikan susila supaya bertumbuh dalam kebaikan (KGK 1266).
Menerima sakramen baptis berarti orang menerima dan mengenangkan
Kristus dalam hidupnya sehari-hari, dimana manusia tinggal dalam aneka
perbedaan sebagai anggota Gereja Katolik, baik perbedaan suku, status sosial,
pendidikan, jenis kelamin, dan sebagainya, seperti yang dikatakan santo Paulus.
“Dalam hal ini, tidak ada orang Yahudi dan orang Yunani, tidak ada hamba atau
orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan karena kamu semua adalah
satu didalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Dengan demikian, di hadapan Yesus
Kristus, semua anggota Gereja Katolik adalah satu dan sama, tidak ada
3. Pengertian Wali Baptis
Wali baptis adalah seorang beriman Katolik, baik ia laki-laki maupun
perempuan, yang sudah dewasa usia dan imannya yang ditunjuk untuk
mendampingi proses perkembangan iman orang yang dibaptis, baik kanak-kanak
maupun orang dewasa (Prasetya, 2011: 49).
Menurut Crichton (1990: 62), wali baptis adalah orang yang membantu
orang tua memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, di mana orang tersebut tidak
memiliki hubungan darah dengan si anak.
Wali baptis oleh Yohanes Chrysostomus yang dikutip dalam buku bina
liturgia 5 juga disebut “bapa rohani” hal ini mau menunjukkan sifat kemesraan
seorang ayah yang mendidik ‘anak-anak’nya dalam hal-hal rohani dan mendorong
mereka kepada kebajikan (Komisi Liturgi MAWI, 1986: 49).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, wali baptis dapat didefinisikan
sebagai orang yang sungguh mempunyai kewajiban penting untuk menjaga,
mendampingi dan membantu orang tua dalam mendampingi anak sehingga
semakin hari anak semakin memiliki iman yang kokoh sehingga tidak mudah
untuk mengikuti arus jaman yang semakin deras serta smakin hari semakin aktif
dalam mengikuti kegiatan menggereja.
4. Kualifikasi Wali Baptis
Tugas wali baptis sangat penting dan akan menentukan keberlangsungan
iman anak baptisnya (Prasetya, 2011: 50). Untuk itu perlu kaidah yang tepat untuk
pemilihan wali baptis. Berikut ini kualifikasi wali baptis berdasarkan KHK kan.
• Ditunjuk oleh wali baptis sendiri atau oleh orangtuanya atau oleh orang yang
mewakili mereka atau, jika mereka itu tidak ada, oleh pastor paroki atau
pelayan baptis, selain itu ia cakap dan mau melaksanakan tugas itu;
• Telah berumur genap enam belas tahun;
• Seorang Katolik yang telah menerima penguatan dan sakramen Mahakudus,
lagi pula hidup sesuai dengan iman dan tugas yang diterimanya;
• Tidak terkena suatu hukuman kanonik yang dijatuhkan atau dinyatakan secara
legitim;
• Bukan ayah atau ibu dari calon baptis.
Dengan demikian pencarian wali baptis hendaknya dilakukan dengan upaya
yang bijaksana terutama harus sesuai dengan syarat-syarat yang memenuhi
kualifikasi di atas.
5. Peran Wali Baptis
Setiap calon baptis hendaknya mempunyai wali baptis namun bukan demi
sahnya pembaptisan karena tanpa wali baptis, pembaptisan tetap sah. Hal ini
ditujukan untuk orang yang dalam kondisi sakratul maut dan sangat terdesak.
Wali Baptis memiliki dua peran utama, peran pertama sebagai saksi upacara
pembaptisan: dalam pembaptisan, wali baptis bertindak sebagai wakil
umat/jemaat. Oleh karena itu, biasanya ada beberapa persyaratan yang bersifat
umum yang ditetapkan oleh Gereja setempat untuk para wali baptis ini. Peran
kedua melindungi anak baptis. Peran kedua ini membutuhkan jauh lebih banyak
bahwa terkadang umat menginginkan seorang teman atau sanak-saudara yang
tinggal jauh untuk menjadi wali baptis, tetapi lebih bijak sana apabila memilih
wali baptis yang dapat bertemu dengan anak secara teratur.
Wali baptis adalah orang yang dianggap tepat untuk menjadi penjamin pada
Sakramen Penguatan ketika anak sudah cukup besar untuk menerimanya. Apabila
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau sesuatu yang menghalangi orang tua
untuk membesarkan anaknya dalam iman Katolik, wali baptis mempunyai
tanggung jawab untuk memastikan bahwa anak memperoleh pendidikan iman
yang diperlukan (Prasetya, 2011: 50).
Keberadaan dan tugas wali baptis tidak hanya penting pada saat
pembaptisan, tetapi juga bertugas untuk mendampingi calon baptis terus menerus
sampai dapat hidup secara kristiani dan setia melaksanakan
kewajiban-kewajibannya sesuai dengan baptisan yang telah diterimanya (Prasetya, 2011: 49).
Calon baptis sedapat mungkin diberi wali baptis, yang berkewajiban mendampingi calon baptis dewasa dalam inisiasi kristiani, dan bersama orang tua mengajukan calon baptis bayi untuk dibaptis dan juga wajib berusaha agar yang dibaptis menghayati hidup kristiani yang sesuai dengan baptisannya dan memenuhi dengan setia kewajiban yang melekat pada baptis itu (KHK, kan. 872).
Kongkretnya adalah wali baptis harus mengingatkan anak baptisnya untuk
menerima Komuni Pertama dan sakramen Penguatan atau Krisma, menegur jika
yang didampingi malas pergi ke Gereja atau mengikuti kegiatan Gerejawi,
menegur jika yang didampingi tergoda meninggalkan imannya, dan lain
sebagainya, dengan demikian keberadaan wali baptis tersebut akan berlangsung
terus, selama hidupnya. Oleh karena itu hendaknya dalam memilih wali baptis,
terlalu tua karena demi kelangsungan tugasnya yang berlangsung terus menerus
(Prasetya, 2011: 50).
Peranan wali baptis adalah mendampingi katekumen pada hari ‘pemilihan’,
dalam perayaan sakramen-sakramen inisiasi dan pada masa ‘mistagogi’. Artinya
wali baptis menunjukan jalan kepada katekumen supaya menerapkan injil dalam
kehidupannya sendiri dan dalam hubungannya dengan masyarakat. Wali baptis
harus menolong anak baptis dalam keragu-raguan dan kebimbangannya. Wali
baptis pun harus memberi kesaksian dan menjaga perkembangan hidup
kristianinya (KWI, 1996: 426).
6. Urgensi Wali Baptis
Urgensi wali baptis terletak pada sebuah kepentingan bahwa seorang
katekumen hanya boleh dibaptis apabila didampingi oleh seorang beriman yang
menjadi wali baptisnya (Sumarno Ds., 2011: 12). Wali baptis merupakan seorang
beriman yang dipilih oleh katekumen berdasarkan teladan, keutamaan dan
persahabatannya. Wali baptis mendampingi katekumen pada hari pemilihan,
dalam perayaan sakramen-sakramen inisiasi dan masa mistagogi. Wali baptis
diharapkan dapat menunjukkan jalan kepada katekumen untuk mewujudkan
(menerapkan) Injil dalam hidupnya sendiri dan dalam hubungannya dengan
masyarakat. Wali baptis diharapkan dapat mendampingi dalam keragu-raguan dan
kebimbangan, memberi kesaksian dan menjaga perkembangan hidup Kristiani
para baptisan baru agar tetap setia pada janji baptis. Dengan melihat begitu
dari tanggungjawabnya karena hal ini sangat berpengaruh bagi perkembangan
iman anak baptis (KHK, kan. 872).
Menanggapi keberadaan wali baptis yang perannya berlangsung seumur
hidup ini, sebaiknya dalam upaya pencarian wali baptis perlu diusahakan secara
bijaksana, jangan asal-asalan dan harus sesuai dengan syarat atau kriteria wali
baptis. Khusus untuk baptis kanak-kanak, misalnya tidaklah bijaksana jika orang
tua memilih wali baptis yang sudah lanjut usianya (meskipun memenuhi
persyaratan) karena yang sering terjadi adalah wali baptis tersebut sakit-sakitan
bahkan meninggal dunia, pada saat anak sangat-sangat membutuhkan
kehadirannya. Itulah sebabnya keberadaan wali baptis jangan dipahami sebatas
formalitas belaka, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka pendampingan terus
menerus bagi anak dalam menatap masa depannya yang masih panjang, dengan
segala tantangan dan kesulitan zamannya (Prasetya, 2011: 51).
Wali baptis mempunyai kewajiban untuk mendampingi katekumen dalam
inisiasi Kristiani dan berusaha agar yang dibaptis hidup sesuai dengan janji
baptisnya serta memenuhi dengan setia kewajiban-kewajiban yang melekat pada
baptis itu. Tanggung jawab ini mengandaikan suatu proses sementara di lain pihak
wali baptis mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam berbagai hal.
Keterbatasan atau kendala ini membawa pengaruh bagi proses pendampingan
kepada calon baptis. Sangatlah penting peran seorang wali baptis ini karena
mendampingi katekumen berarti menghantar masuk ke dalam kehidupan satu
keluarga besar, yaitu Gereja. Keterlibatan wali baptis dalam kehidupan dan
kegiatan menggereja menjadi faktor penentu keteladanan bagi katekumen untuk
B.Kehidupan Menggereja Remaja
Pada bagian pertama sudah dibahas mengenai wali baptis, sekarang penulis
akan memaparkan mengenai kehidupan menggereja remaja. Pada bagian pertama
ini akan dibahas mengenai kehidupan menggereja mencakup beberapa hal
diantaranya adalah paroki desa, Gereja Lokal sebagai persekutuan hidup
menggereja dan kehidupan menggereja yang relevan masa kini. Pada bagian
kedua akan dibahas mengenai remaja yang mencakup pengertian remaja, ciri khas
remaja, dan kehidupan menggereja remaja. Pada bagian terakhir akan dipaparkan
mengenai sejarah paroki St. Ignatius, Danan, Wonogiri.
1. Kehidupan Menggereja
Anggota Gereja adalah anggota masyarakat modern (Banawiratma, 2000:
35). Saat ini umat Kristiani telah berada dalam kehidupan yang terus mengalami
pembaruan. Kemajuan jaman telah ikut mengubah kepribadian manusia. Hal ini
menuntun umat Kristiani untuk semakin kontekstual dalam menjalani hidup
menggereja. Umat Kristiani dipanggil untuk menajamkan kesadaran dan
kemudian melakukan gerakan, mengamati secara cermat dan
menimbang-nimbang di hadapan Tuhan dan pada akhirnya hal tersebut perlu diwujudkan
dalam tindakan kongkrit (Banawiratma, 2000: 26).
Dalam praksis hidup menggereja, ada kecenderungan pembagian tipe umat
dalam dua golongan yakni umat yang aktif dan umat yang tidak aktif. Umat aktif
dapat diartikan sebagai umat yang rajin mengikuti misa, terutama misa harian.
Keaktifan itu juga dapat berarti umat ikut aktif dalam kegiatan organisasi Gereja,
menggereja lainya. Merupakan hiburan besar bagi para pastor kalau melihat
umatnya aktif dalam hidup menggereja, makin banyak makin baik. Sebaliknya
para pastor akan mempersoalkan mereka yang tidak aktif (Banawiratma, 2000:
35). Dalam kehidupan menggereja ada lingkup-lingkup yang perlu diketahui di
antaranya adalah paroki desa, Gereja lokal sebagai persekutuan hidup menggereja,
dan kehidupan menggereja yang relevan masa kini.
a. Paroki Desa
Situasi desa pasti berbeda dengan situasi kota tetapi sulit untuk mengatakan
bahwa desa terisolasi dari proses globalisasi. Walaupun situasi desa tidak
sedemikian terekspos seperti di kota tetapi warganya (petani) pasti juga
mendengarkan siaran radio dan menonton acara-acara televisi. Oleh karenanya,
studi mutakir memperlihatkan bahwa kaum tani tidak “sebodoh” yang sering
disangka (Banawiratma, 2000: 36). Dalam rangka menangkal berbagai pengaruh
kemajuan jaman, umat akan membuat suatu benteng pertahanan atau cara
bertahan yang salah satunya ialah melalui hidup menggereja. Kegiatan hidup
menggereja menyediakan semangat Kristiani dan
nilai-nilai/keutamaan-keutamaan rohani yang pantas ditimba oleh umat sehingga memberi kekuatan
untuk lepas bebas dari arus jaman. Meski demikian Gereja hanya salah satu dari
banyak fasilitas yang ada dalam masyarakat yang dapat mereka gunakan untuk
menolong diri sendiri.
Pemimpin Gereja belum boleh merasa puas jika terdapat 100-300 umatnya
termasuk orang aktif dalam hidup menggereja (Banawiratma, 2000: 36).
umat tidak aktif yang menduduki jumlah mayoritas. Sangat menarik mengkaji
mengapa jumlah umat yang tidak aktif dalam hidup menggereja jumlahnya lebih
banyak karena pada dasarnya mereka mencari sesuatu “yang baru” tetapi Gereja
Katolik sepertinya tidak mampu memberikannya, misalnya: liturgi Gereja yang
lembek dan khotbah yang tidak mudah diikuti. Kiranya inilah yang menjadi ranah
jawaban mengapa sebagian umat tidak aktif dalam hidup menggereja malah aktif
dalam berbagai kegiatan atau organisasi lain. Gereja memang dipaksa untuk
bersaing dengan organisasi-organisasi dalam masyarakat (Banawiratma, 2000:
36-37).
b. Gereja Lokal Sebagai Persekutuan Hidup Menggereja
Manusia adalah titik pangkal dan tujuan segala pembangunan
(Banawiratma, 2000: 49). Pembangunan jemaat Katolik perlu dimulai dari bawah,
artinya dimulai dari jemaat lokal yakni kehidupan menggereja umat setempat.
Urgensinya ialah kehidupan menggereja yang dilakukan oleh umat dalam Gereja
setempat dapat menjadi basis dalam menangkal, mengatasi maupun mengkritisi
kehidupan yang serba modern ini. Kekuatan ini membenarkan sebuah keyakinan
bahwa semua yang global dan serba modern belum tentu selalu lebih unggul
daripada yang lokal (Banawiratma, 2000: 47). Oleh karena itu, kehidupan
menggereja yang kuat pada tingkat Gereja lokal mutlak diperlukan.
Kaidah Gereja lokal sebagai persekutuan hidup menggereja hendaknya
membahana dalam kehidupan setiap anggotanya. Kongkretnya, setiap anggota
dapat saling memperhatikan satu sama lain terutama dalam membantu dan
berprakarsa, serta melakukan semuanya itu dengan mendasarkannya pada sikap
setia kawan. Bentuk kesetiakawanan juga dapat tercermin dari solidaritas orang
yang lebih kuat dalam membantu yang lemah. Bentuk kesetiakawanan ini akan
semakin kokoh dan lestari oleh sikap inklusif, baik terhadap jemaat seiman
maupun non-Kristiani. Dengan demikian kekuatan hidup menggereja tidak hanya
dibatasi oleh keaktifan dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Gereja
tetapi lebih pada sikap-sikap unggul untuk memajukan kesejahteraan, ketentraman
dan kedamaian sehingga oleh karenanya semua umat manusia memperoleh
keselamatan berkat kehadiran Gereja yang solid.
Orang yang sudah dibabtis haruslah mempunyai kedewasaan Rohani karena
mereka sudah disatukan dengan Kristus. Tentu saja tugas ini tidaklah mudah
karena manusia merupakan pribadi yang lemah yang sering terjerumus kedalam
dosa. Peran wali baptis harus muncul terlebih ketika anak baptis mulai lemah dan
tidak berdaya. Meski demikian peran wali baptis tidak boleh hanya muncul ketika
si anak sudah jatuh tetapi yang terpenting ialah wali baptis harus dengan setia
mengamati perkembangan iman anak babtis sehingga tugas dan tanggungjawab
wali baptis benar-benar terwujud.
c. Kehidupan Menggereja yang Relevan Masa Kini
Kalau kita berbicara mengenai Gereja yang relevan masa kini adalah Gereja
yang menuju ke Indonesia baru yaitu sebuah Indonesia dengan otonomi daerah,
civil society, pemekaran dalam relasi sosial, ekologi yang terawat, unsur yang
berbeda menjadi kesempatan untuk saling melengkapi, pendidikan yang
memerdekakan manusia, hukum yang berwibawa, ditaati dan membuahkan
keadilan (Banawiratma, 2000: 19).
Hidup menggereja yang relevan adalah hidup yang melawan kekerasan
dimulai dari batin manusia. Orang menginginkan bahwa bagaimanapun juga
rumusan seperti gambaran Tuhan sebagai pemimpin perang itu memerlukan tafsir,
tetapi tafsir tidak dengan mudah dibuat. Hendaknya dicari cara baru agar
gambaran Tuhan seperti tukang perang ini tidak diartikan secara mentah-mentah
(Banawiratma, 2000: 23).
Dunia dewasa ini berada di tengah-tengah proses globalisasi yang tiada
hentinya meresapi segala bidang kehidupan. Dalam hidup menggereja semacam
ini, diharapkan bahwa semua karisma, baik yang dianugerahkan kepada manusia
dapat lebih diterima dan diperkembangkan demi pelayanan bersama
(Banawiratma, 2000: 195).
2. Remaja
Pada bagian sebelumnya sudah dipaparkan mengenai hidup menggereja kini
penulis mencoba memaparkan mengenai remaja dan hubungannya dalam hidup
menggereja. Pada bagian ini meliputi pengertian remaja, ciri khas remaja dan
kehidupan menggereja remaja.
a. Pengertian Remaja
Istilah remaja berasal dari kata latin adolescere (adolescentia yang berarti
remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1990:
Menurut Oemar Hamalik (1995: 2) remaja merupakan suatu masa, di mana
individu berjuang untuk tumbuh dan menjadi orang mampu diterima dalam
masyarakat pada umumnya, menggali serta memahami arti dan makna dari
panggilan yang ada. Sekalipun mereka didampingi oleh para pendidik atau
pembimbing yang memberikan petunjuk-petunjuk serta bimbingan yang
diperlukan, dalam pelaksanaannyalah mereka yang paling berat, karena mereka
adalah yang paling terlibat dan paling berkepentingan. Merekalah yang harus
berjuang dengan keras untuk merealisasikan dirinya, menemukan dirinya,
siapakah mereka itu sebenarnya dan akan menjadi apakah mereka kelah
dikemudian hari. Oleh karena itu tugas atau beban mereka benar-benar berat,
sehingga sering mengalami kesulitan-kesulitan.
Menurut Oemar Hamalik (1995: 3) remaja diartikan sebagai masa di dalam
perkembangan yang menantang anak dengan banyak persoalan di bidang
pemahaman diri, dan di dalam penyesuaian terhadap hidup dan lingkungannya.
Dengan mengenal persoalan-persoalan tersebut, para pendidik dan pembimbing
di dalam memahami pergumulan yang sering dihadapi anak remaja di mana
tingkah lakunya sering memusingkan orang dewasa.
Setelah menyimak pandangan dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan
mengenai pengertian remaja yaitu suatu masa transisi di mana seseorang tidak
bisa disebut lagi sebagai anak-anak namun juga tidak bisa disebut sebagai dewasa.
Pada masa ini, remaja memerlukan orang tua atau orang dewasa untuk mengawasi
dan selalu mau mengerti anak. Sikap Saling merengerti sangatlah penting karena
seorang anak ini sedang mencari jati diri. Remaja membutuhkan pengertian untuk
b. Ciri Khas Remaja
Masa remaja lazimnya dimulai pada saat anak secara seksual menjadi
matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Awal masa
remaja berlangsung kurang lebih pada usia tiga belas tahun sampai enam belas
tahun atau tujuh belas tahun dan akhir masa remaja bermula dari 16 atau 17 tahun
sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1990: 206).
Menurut Witherington yang dikutip oleh Oemar Hamalik masa remaja
dibedakan menjadi dua masa yaitu masa remaja awal (pre adolesence) yang
berkisar 12-15 tahun dan masa remaja akhir (late adolesence) yaitu antara usia
15-18 tahun. Sedangkan menurut Gilmer yang dikutip oleh Oemar Hamalik masa
remaja dibedakan antara yang perempuan dan laki laki karena perempuan
mencapai kematangan lebih cepat dari pada laki-laki. Untuk masa adolesen awal
yaitu anatara usia 13-17 tahun dan untuk masa adolesen akhir dari usia 18-21
tahun hal ini berlaku untuk laki-laki sedangkan untuk perempuan masa adolesen
awal antara 12-16 tahun dan masa adolesen akhir antara 17-21 tahun (Oemar
Hamalik, 1995: 3).
Ciri-ciri masa remaja adalah sebagai periode yang penting, masa remaja
sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode perubahan, masa remaja
sebagai usia bermasalah, masa remaja sebagai masa mencari identitas, masa
remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, masa remaja sebagai masa
yang tidak realistik, masa remaja sebagai ambang masa dewasa (Hurlock, 1990:
208). Masa remaja merupakan suatu periode penting, meskipun semua periode
dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya
Ada beberapa periode yang lebih penting daripada periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku dan yang penting karena akibat-akibat jangka panjangnya. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 1990: 207).
Masa remaja sebagai periode peralihan bukan berarti terputus dengan atau
berubah dari apa yang terjadi sebelumnya, melainkan sebuah peralihan dari tahap
perkembangan ke tahap berikutnya (Oemar Hamalik, 1995: 1). Dalam setiap
periode peralihan status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran
yang harus dilakukan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga
bukan orang dewasa. Apabila remaja bertindak seperti anak-anak, ia akan diajar
bertindak sesuai dengan umurnya, kalau remaja bertindak seperti orang dewasa ia
sering kali dituduh. Contoh seorang remaja memakai celana yang terlalu besar
untuk usianya dan ia dimarahi karena bertindak seperti orang dewasa (Hurlock,
1990: 207).
Masa remaja sebagai periode perubahan yaitu tingkat perubahan dalam
sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.
Ada lima perubahan yang sama yang hampir bersifat universal yaitu meningginya
emosi, perubahan tubuh, adanya masalah-masalah baru dalam hidup, perubahan
minat dan pola perilaku yang mengakibatkan perubahan nilai-nilai, bersikap
ambivalen atau menginginkan kebebasan (Hurlock, 1990: 207).
Masa remaja sebagai usia bermasalah yaitu masa remaja merupakan masa
yang sulit untuk mengatasi masalah karena pada masa kanak-kanak ketika
menghadapi masalah sering diselesaikan oleh orang tua atau guru sehingga anak
remaja, mereka merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya
sendiri dan menolak bantuan orang tua dan guru (Hurlock, 1990: 208). Masa
remaja juga diliputi masalah perasaan rendah diri, melamun, masalah seks,
melepaskan diri dari orang lain, agama dan banyak lagi masalah yang remaja
hadapi. Mereka beralih menjadi manusia yang ingin menjadi dirinya sendiri maka
penuh dengan pergolakan dalam dirinya (Landis, Tt: 3).
Masa remaja sebagai masa mencari identitas yaitu sepanjang usia geng pada
akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok adalah jauh
lebih penting bagi anak yang lebih besar dari pada individualitas. Salah satu cara
untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan
menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian dan kepemilikan
barang-barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara ini, remaja menarik
perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagi individu. Sementara itu
pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok
sebaya (Hurlock, 1990: 208).
Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, seperti ditunjukkan
oleh Majeres dalam buku yang dikutip Hurlock (1990: 208), “banyak anggapan
populer tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak
di antaranya yang bersifat negatif”. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja
adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung
merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus
membimbing dan mengawasi kehidupan remaja mudah takut bertanggung jawab
dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Hal ini
menjadikan jarak antara orang tua dan anak sehingga menghalangi anak untuk
meminta bantuan kepada orang tua untuk mengatasi berbagai masalahnya.
Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik di mana remaja cenderung
memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu yaitu melihat dirinya
sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan terlebih dalam hal cita-cita.
Cita-cita yang tidak realistik ini tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi
keluarga dan teman-temannya. Hal ini menyebabkan meningginya emosi yang
merupakan ciri dari awal masa remaja. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila
orang lain mengecewakannya atau kalau tidak berhasil mencapai tujuan yang
ditetapkan sendiri (Hurlock, 1990: 208).
Masa remaja merupakan masa pencarian yang sering membuat remaja
kehilangan arah. Setelah melihat ciri-ciri masa remaja, dapat disimpulkan bahwa
masa remaja merupakan masa yang penting dan membutuhkan pendampingan
yang serius terutama dalam menemukan jati dirinya. Dikaitkan dengan wali
baptis, remaja sangat membutuhkan pendampingan sementara wali baptis
merupakan orang yang ikut bertanggung jawab untuk membantu orang tua
mengarahkan anaknya sehingga perlulah wali baptis juga ikut bertanggung jawab
terutama dalam hidup menggereja.
c. Kehidupan Menggereja Remaja
Agama merupakan jawaban terhadap kehausan akan kepastian, jaminan, dan
keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang
harapan-harapannya (Oemar Hamalik, 1995: 107). Agama menjadi masalah yang penting
muda. Mereka memperdebatkan masalah-masalah yang berhubungan dengan
Allah, surga, neraka, kehidupan sesudah mati, tentang manusia diciptakan dan
tentang mengapa manusia berada di dunia ini! Remaja mengharapkan mendaptkan
jawaban cepat tentang segala pertanyaan dan keragu-raguannya itu. Padahal di
antara pertanyaan tersebut jawabannya membutuhkan permenungan sepanjang
hidup. Untuk itu agama merupakan sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya
(Landis, Tt: 4).
Menurut Wagner dalam buku yang dikutip Hurlock banyak remaja yang
mengalami keraguan religius. Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu
sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingin
mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin begitu saja
menerimanya. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi agnostik
atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima agama sebagai sesuatu yang
bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas dalam
menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri (Hurlock, 1990: 222).
Dalam banyak agama, masa remaja dipandang sebagai periode yang sangat
penting. Beberapa kelompok keagamaan memandang masa remaja sebagai saat
penyadaran, artinya saat di mana keimanan yang tadinya bersifat pinjaman, kini
menjadi miliknya sendiri. Masa remaja adalah suatu masa di mana remaja telah
matang untuk bertobat atau siap untuk menceburkan dirinya ke dalam agama
dengan lebih pasti (Oemar Hamalik, 1995: 108).
Selain mengalami masa penyadaran, mereka juga mengalami kesulitan
dalam mempersatukan ilmu pengetahuan (sains) dan agama. Konflik tersebut
memasuki akhir masa remaja. Pada masa itu mereka mempunyai pandangan
bahwa mereka harus memilih agama atau akal/fikiran, agama atau sains, tetapi
tidak dapat memilih kedua-duanya. Pandangan remaja tentang agama akan
semakin positif apabila remaja dibantu menyadari bahwa lebih ilmiah seorang,
atau lebih mendalam rasa keagamaannya, maka ia akan semakin menjadi pencari
kebenaran yang sungguh-sungguh (Oemar Hamalik, 1995: 112).
Di dalam Gereja Katolik, remaja sekarang ini lebih sedikit mengunjungi
Gereja, mengikuti sekolah minggu dan mengikuti kegiatan-kegiatan sosial Gereja
dibandingkan dengan para remaja generasi sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa
banyak remaja yang kecewa dengan agama yang terorganisasi, bukanya tidak
berminat pada agama itu sendiri. Dalam buku yang dikutip Hurlock Jones
menerangkan ”terjadi lebih banyak penurunan dalam kegairahan dan perasaan
positif terhadap Gereja dari pada peningkatan dan menentang Gereja”. Adanya
perubahan minat akan agama pada remaja tidak mencerminkan kurangnya
keyakinan, melainkan suatu kekecewaan terhadap pembentukan Gereja dan
penggunaan keyakinan dan khotbah dalam penyelesaian masalah sosial, politik
dan ekonomi (Hurlock, 1990: 222).
Setelah melihat berbagai kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa masa
remaja merupakan saat yang penting di mana mereka mendapatkan pendampingan
yang lebih intensif sehingga pola pikir mereka yang kurang benar dapat
diluruskan. Begitu pula dengan agama yang sangat susah untuk dipikirkan dan
dicari kenyataannya, penting bagi wali baptis untuk turut mendampingi mereka
sehingga secara bersama-sama mereka ditopang dalam pencarian jati diri sehingga
BAB III
METODOLOGI, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Pada bab III ini penulis akan mengadakan penelitian mengenai peran wali
baptis terhadap kehidupan menggereja remaja Katolik paroki St. Ignatius, Danan,
Wonogiri, Jawa Tengah. Penelitian ini penting dilakukan untuk memperoleh data
di lapangan. Segenap data yang diperoleh akan menjadi pembanding sekaligus
pendukung landasan teori sehingga penelitian ini menghasilkan data yang akurat.
Penulis akan membahas bab III secara lengkap sebagai berikut:
A. Sejarah Paroki St. Ignatius Danan, Wonogiri, Jawa Tengah
Mardi Santosa dalam sebuah website http://historiadomus
multiply.com/jurnal/item/97 menuliskan tentang sejarah paroki St. Ignatius,
Danan, Wonogiri sebagai berikut:
Paroki Danan terletak di sebelah Selatan Kabupaten Wonogiri tepatnya di
Dusun Danan, Kelurahan Sendang Agung, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah. Berdirinya paroki Danan tidak terlepas dari peran
guru-guru yang bertugas di SD Kanisius Serenan dan Watu Agung. Yayasan Kanisius
ketika itu hanya membuka sampai kelas tiga dan baru pada tahun 1942 membuka
sampai kelas enam SD.
Tahun 1937 Suwarno dengan murid-murid sekolah desa (VS Kanisius
Danan) diajak Pak Haryatmojo ke Baturetno (dari NS 1932) untuk mengikuti
Perayaan Ekaristi di Stasi Pathuk Baturetno. Para guru dan murid dari pak
sekaligus membawa misi pewartaan. Dari pewartaan Bapak Haryatmojo ini
akhirnya menghasilkan baptisan satu orang yakni Maria Pathi (nenek Bp.
Suwarno) pada tahun 1938 karena sakit sehingga dibaptis darurat (Mardisantosa,
2011: 84).
Pada tahun 1938 pewartaan Bapak Haryatmoj digantikan oleh Bapak
Harjoyuwono yaitu seorang kepala sekolah SR Danan. Selain pintar
memasyarakat, Pak Harjoyuwono ini juga seorang dukun pijat yang aktif memberi
pelajaran agama di luar sekolah kepada murid-muridnya. Anak-anak dipanggil di
rumahnya (Danan) untuk diajar agama di luar sekolah dengan belajar berdoa.
Kegiatan pengajaran ini hanya berjalan sampai pada tahun 1942 karena pak
Harjoyuwono mendapat pukulan keras dalam hal ekonomi. Sebagai seorang guru,
tidak ada gaji yang cukup untuk hidup, maka guru yang bertugas di Danan
kemudian pulang ke tempatnya masing-masing atau pindah ke sekolah negeri
(Mardisantosa, 2011: 85).
Oleh karena hal itu, perkembangan agama di Danan seret sampai tahun
1942. Namun pada tahun 1942, YB. Suwardi yang tak lain adalah tokoh paroki
dan katekis datang ke Baturetno waktu itu Baturetno masih menjadi stasi dari
Paroki Purbayan Solo. YB. Suwardi kemudian ditugaskan di paroki Baturetno
untuk mengembangkan umat di sektor selatan yang berpusat di Danan. Dari
tangan YB. Suwardi, pada 22 Desember 1944 sebanyak tujuh orang dibaptis di
kapel Nguntoronadi Baturetno oleh Rm. Puspasuparta, SJ. Salah satu dari ketujuh
orang tersebut adalah Suherman, satu-satunya orang Katolik di Platarejo
(Mardisantosa, 2011: 85).
semakin berkembang pesat dan menyebar ke daerah Giritontro dan Paranggupito.
Karena para guru ingin diangkat menjadi pegawai tetap yayasan, maka beberapa
tokoh dan guru diutus untuk memekarkan iman Katolik ke beberapa daerah. Di
antaranya Pak Miyo diutus ke Paranggupito, Bp. Sumarna ditugaskan ke daerah
Pracimantoro dan Pak. Suherman diutus di Danan dan sekitarnya. Pada tahun
1970 berdirilah wilayah-wilayah/kring di stasi Danan antara lain Jepurun,
Ngampohan, Selorejo, Dringo, Wonokriyo, Pendem, Watuireng, Gedongrejo,
Tirtosuworo, Paranggupito, Pracimantoro (Sedayu) dan Jatisawit (Mardisantosa,
2011: 87).
Perkembangan umat cukup pesat di Danan, maka mulai dirintis menjadi
paroki. Peribadatan setiap lima hari sekali yang sebelumnya dilaksanakan di
rumah Ibu Noto/Bapak Suwardi oleh seorang Pastor, akhirnya tidak bisa
menampung umat. Kemudia timbulah pemikiran Bapak Suwardi (dengan restu
romo) mencari rumah khusus untuk beribadat. Atas inisatif Bapak Suwardi pula,
lalu dibeli rumah joglo dan rumah limasan dengan uang dari umat dan paroki.
Rumah joglo kemudian dibangun, dibentuk dan dibuat menjadi gereja (panti) dan
gedung sekolah SD dan SMP. Ketika itu Rm. Th. Poespasoeganda Pr menjadi
Pastor Kepala Paroki Baturetno (1962-1972) (Mardisantosa, 2011: 87).
Ketika Rm. Storemmsand SJ menjadi pastor kepala Paroki Baturetno
(1980-1994), beliau ditugaskan mengembangkan umat di stasi Danan. Rm
Storemmesand SJ kemudian melanjutkan pembangunan dengan menambah lantai
dari tegel di panti dan pastoran yang pada akhirnya mendirikan gedung gereja
baru di sebelah panti (gedung gereja yang sekarang). Partisipasi umat dalam
bangunan fisik Gereja Danan berdiri dan mulai dipersiapkan untuk menjadi paroki
(Mardisantosa, 2011: 88).
Stasi Danan menjadi paroki administratif pada 1 April 1997 yang ditandai
dengan peresmian stasi Danan menjadi Paroki Adminstratif oleh Pastor Vikep
Surakarta, Rm. Alb. Priyambono Pr. Peresmian ini dibarengi dengan pemberkatan
gedung gereja Santo Ignatius Danan yang baru. Pada 31 Juli 1998 Paroki
adminsitratif Danan resmi menjadi paroki. Peresmian dilaksanakan oleh Uskup
Agung Semarang, Mgr. Ignatius Suharyo pada 24 Agustus 1998 (Mardisantosa,
2011: 88).
Sebagai pastor kepala paroki pertama adalah Rm. HP. Bratasudarma, SJ
(1998-2000) yang menggembalakan umat lebih dari 2000 orang. Tahun 2000 Rm.
FX. Arko Sudiono, SJ menggantikan Rm. HP. Bratasudarma menjadi pastor
paroki Danan (2000-2003) dan sejak 2003 Rm. FX. Arko Sudiono, SJ digantikan
oleh Rm Alb. Mardi Santosa, SJ (2003– 2007), Rm Alb. Mardi Santosa, SJ
digantikan oleh Rm T. Puspodianto SJ (2007-2010), Rm T. Puspodianto SJ
digantikan oleh Rm. P. Pramudyarkara SJ (2010-saat ini) (Mardisantosa, 2011:
88).
Tahun 2001 Paroki Danan dibagi menjadi lima wilayah dan dua lingkungan
jauh yang terdiri dari 19 lingkungan yakni wilayah Danan: Meliputi lingkungan
Danan, Dringo, Jatiharjo. Wilayah Jepurun: Meliputi lingkungan Jepurun Lor,
Jepurun Kidul, Platar, Selorejo, Jatisawit. Wilayah Ngampohan: Meliputi
lingkungan Ngampohan, Pendem, Longsoran, Watuireng. Wilayah Pracimantoro:
Meliputi lingkungan Pracimantoro, Wonoharjo, Sedayu. Wilayah Paranggupito:
Gedongrejo dan Tirtasuworo (Mardisantosa, 2011: 88-89).
Paroki Danan memiliki 9 kapel yaitu: Kapel St. Yohanes Rasul Sendang Ratu
Kenya, Kapel St. Yohanes Rasul Sendang Ratu Kenya, Kapel St. Mateus Dringo,
Kapel St. Yakobus Jatiharjo, Kapel St. Maria Jepurun, Kapel Tirtosworo, Kapel
St. Petrus Gedongrejo, Kapel St. Petrus Pracimantoro, Kapel St. Fransiskus
Xaverius Paranggupito, Kapel St. Yohanes De Britto Songbledheg. Serta satu
gedung gereja yaitu gereja St. Ignatius Danan (Mardisantosa, 2011: 89).
B.Kehidupan Menggereja Remaja Paroki Santo Ignatius Danan, Wonogiri,
Jawa tengah
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Albertus Patmo sebagai
pendamping remaja Paoki St. Ignatius Danan, dapat diketahui situasi remaja
katolik paroki St. Ignatius, Danan sebagai berikut:
Remaja Katolik Paroki St. Ignatius Danan pada tahun 2002-2007 sangat
aktif dan sering mengadakan kegiatan bahkan sangat terkenal di kevikepan
Surakarta. Sebagai paroki muda yang baru berkembang bisa dikatakan anak
mudanya gaul meskipun terletak di desa. Kaum muda sangatlah diberdayakan dan
mendapat posisi paling depan dalam kegiatan menggereja, bahkan banyak orang
yang terpanggil menjadi biarawan-biarawati {Lampiran 3: (3)}.
Kehidupan menggereja di paroki Danan sangat kental dengan kerukunan
dan kebersamaan. Romo paroki sangat antusias dalam kegiatan menggereja
anak-anak muda termasuk remaja Katolik. Bahkan untuk kebersihan Gereja romo
paroki awalnya mempercayakan kepada anak muda yang nantinya dibantu dalam
mendapatkan posisi terdepan dalam kegiatan menggereja dan didampingi oleh
para senior sehingga mereka saling bekerja sama. Kini kaum muda dan remaja
Karolik di Paroki Danan sudah tidak aktif sama sekali. Bahkan dalam kegiatan
menggereja yang dilibatkan hanya orang tua karena remajanya tenggelam atau
tidak aktif sama sekali {Lampiran 3: (3)}.
Gereja merupakan wadah kaum muda untuk semakin kreatif dan mampu
mengembangkan iman. Selain itu masa remaja merupakan masa yang sangat
membutuhkan bimbingan. Penulis merasa tertarik dengan hal ini, berawal dari
keprihatinan yang ada maka penulis mencoba menggali lagi peran para wali baptis
sehingga semua orang dan komponen Gereja semakin ikut ambil bagian untuk
memperkembangkan dan selalu membimbing remaja dalam masa pencariannya
sehingga Gereja ini tetaplah utuh.
C. Latar Belakang Penelitian
Berawal dari suatu persoalan yang ada yaitu banyak sekali anak muda yang
sudah mulai “loyo” tidak bergairah lagi dalam mengikuti kegiatan menggereja
bahkan meninggalkan imannya. Remaja yang tiga tahun lalu sangat aktif dalam
kegiatan menggereja bahkan sampai tingkat kevikepan sering mengikuti moment
penting, saat ini mengalami keprihatinan dimana remaja sangat susah untuk terlibat
dalam hidup menggereja bahkan sulit sekali untuk mengadakan kegiatan dalam
paroki saja seperti pertemuan rutin. Di saat-saat seperti ini banyak sekali yang
disalahkan mulai dari katekis, orang tua, bahkan romo paroki yang tidak bisa
merangkul.
hidup menggereja dapat berlangsung dengan baik. Tanggung jawab untuk
membina iman katekumen tidak hanya bergantung pada pastor paroki atau
lebih-lebih guru agama tetapi menjadi tanggung jawab seluruh umat, terutama wali
baptis yang mendampingi katekumen secara pribadi. Di dalam Ad Gentes artikel
14 dinyatakan bahwa inisiasi Kristen didalam katekumenat harus diselenggarakan
bukan saja oleh katekis atau imam, tetapi oleh seluruh jemaat beriman terutama
wali baptis sehingga dari awal para katekumen merasa dirinya tergabung kedalam
umat Allah.
Penelitian ini akan dilakukan untuk wali baptis dan remaja katolik. Wali
baptis perlu diteliti untuk mengetahui seberapa jauh mereka sadar akan tugas
sebagai wali baptis dan apakah mereka sudah menjalankan tugasnya untuk anak
baptisnya. Sedangkan penelitian untuk remaja dilakukan untuk membuktikan
pernyataan wali baptis dan juga untuk mengetahui apakah remaja membutuhkan
bapa rohani dalam hidupnya. Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu
data yang dapat membuktikan bahwa wali baptis berperan untuk anak baptis
terutama remaja sehingga akan menghasilkan suatu pendampingan khusus bagi
kaum muda terutama remaja untuk dapat memilih jalan hidup yang berkualitas
dan dapat lebih aktif kembali dalam mengikuti kegiatan menggereja serta dapat
membuktikan bahwa wali baptis mempunyai peran yang penting untuk
perkembangan iman anak baptis dan kehidupan menggereja anak baptis.
D. Metodologi Penelitian