• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN WALI BAPTIS TERHADAP HIDUP MENGGEREJA REMAJA KATOLIK PAROKI SANTO IGNATIUS, DANAN, WONOGIRI JAWA TENGAH SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERAN WALI BAPTIS TERHADAP HIDUP MENGGEREJA REMAJA KATOLIK PAROKI SANTO IGNATIUS, DANAN, WONOGIRI JAWA TENGAH SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama K"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP HIDUP MENGGEREJA

REMAJA KATOLIK PAROKI SANTO IGNATIUS, DANAN, WONOGIRI

JAWA TENGAH

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Antonius Dedy Wibowo

NIM: 071124012

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN

KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Skripsi ini dipersembahakan kepada:

Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu menguatkan penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Orang tua, yang selalu memberikan dorongan untuk belajar dengan serius dan

segera menyelesaikan skripsi ini.

Margaretha Widi Astuti, yang memberikan semangat untuk menyelesaikan

(5)

v

“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia

diasinkan? Tidak ada gunanya lagi selain dibuang dan diinjak orang.”

(6)
(7)
(8)

viii

Judul skripsi PERAN WALI BAPTIS TERHADAP HIDUP

MENGGEREJA REMAJA KATOLIK PAROKI SANTO IGNATIUS,

DANAN, WONOGIRI, JAWA TENGAH dipilih berdasarkan pada fakta bahwa

para wali baptis paroki Santo Ignatius Danan, Wonogiri, Jawa Tengah sangat memprihatinkan. Kenyataan menunjukkan bahwa wali baptis ada yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan berhenti setelah proses pembaptisan selesai. Hal ini terjadi karena sebagian besar wali baptis belum memahami tugasnya sebagai seorang wali baptis dan terjadi sikap saling menunggu antara wali baptis dan remaja Katolik. Bertitik tolak pada kenyataan tersebut, maka skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para wali baptis di paroki Santo Ignatius Danan, Wonogiri, Jawa Tengah mendapatkan titik terang mengenai tugas wali baptis yang sesungguhnya sehingga mampu melayani.

Persoalan pokok pada skripsi ini adalah bagaimana para wali baptis dapat menyadari dan menjalankan tugasnya dalam mendampingi anak baptisnya terutama remaja yang saat ini sedang tidak aktif di paroki dan tidak rajin ke gereja. Untuk mengkaji masalah ini diperlukan data yang akurat. Oleh karena itu pemberian kuesioner kepada wali baptis dan remaja sudah dilaksanakan. Studi pustaka juga diperlukan untuk memperoleh pemikiran-pemikiran untuk direfleksikan, sehingga diperoleh gagasan-gagasan yang dapat dipergunakan sebagai sumbangan dalam melaksanakan tugasnya bagi para wali baptis.

(9)

ix

The title of this writing is THE ROLE OF GODFATHER ON THE

CHURCH LIFE OF CATHOLIC ADOLESCENTS AT SAINT IGNATIUS

PARISH, DANAN, WONOGIRI, CENTRAL JAVA. It is chosen based on the

concern that many Godfathers are not so aware of their responsibility. The fact that some Godfathers cannot perform their task well and they think that the task finishes until the baptism ceremony. It happens because most Godfathers do not understand their task. Therefore, the aim of the writing is to help Godfathers at Parish of Saint Ignatius Danan, Wonogiri, Central Java to understand their task so that they are able to perform their task well.

The main problem is how Godfathers are aware of and perform their task in guiding Godchildren, especially the adolescents who do not get involved in church activites or even do not go to the church anymore. It needs accurate data to make research about this problem. Therefore, the questionnaire were distributed to Godfathers and adolescents at the parish. Library research is done to get a theoretical understanding which will become a contribution to Godfather in performing their task.

(10)

x

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus yang menuntun pikiran, hati dan hidup

penulis sampai titik terakhir menyelesaikan skripsi yang berjudul PERAN WALI

BAPTIS TERHADAP HIDUP MENGGEREJA REMAJA KATOLIK

PAROKI SANTO IGNATIUS, DANAN, WONOGIRI, JAWA TENGAH.

Skripsi ini lahir dari suatu keprihatinan yang ada di paroki Santo Ignatius

Danan, Wonogiri, Jawa Tengah di mana para remaja banyak yang tidak aktif

dalam hidup menggereja. Selain itu juga terdapat wali baptis yang hanya

menjalankan tugasnya ketika proses pembabtisan berlangsung. Peran wali baptis

bukan hanya suatu simbol, namun wali baptis adalah orang yang bertugas untuk

membimbing dan mendampingi anak baptisnya dalam hidup menggereja.

Banyak orang telah memberikan dukungan dengan berbagai peran

sehingga menjadi bagian dari skripsi ini. Oleh karena itu dengan penuh rasa

terima kasih perkenankanlah penulis menghadirkan kembali nama-nama yang

sangat berharga berikut ini:

1. Rm. Drs. H. J. Suhardiyanto, S.J. selaku Kaprodi IPPAK Universitas Sanata

Dharma yang senantiasa memberikan dukungan dalam seluruh proses

menyelesaikan skripsi ini.

2. Rm. Dr. B. Agus Rukiyanto, S.J. selaku dosen pembimbing utama yang selalu

mendampingi dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Rm. Drs. M. Sumarno Ds., S.J., M.A. selaku dosen Penguji sekaligus Dosen

Pembimbing Akademik yang telah memberikan banyak perhatian dan

(11)

xi

mendampingi penulis dalam penelitian serta memberikan semangat dalam

menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap Bapak, Ibu, Romo dosen dan seluruh staf karyawan prodi IPPAK

Universitas Sanata Dharma yang secara tidak langsung selalu memberikan

dorongan kepada penulis.

6. Keluarga tercinta: Bapak dan Ibu Stephanus Parino, Gregorius Agung Dwi

Wardoyo, Heronimus Suhardiyanto, Sirilus Hari Prasetya yang selalu

mendoakan dan memberikan dorongan dalam menyelesaikan perkuliahan.

7. Keluarga Bapak dan Ibu Petrus Soeratno yang dengan setia selalu mendukung

penulis, baik moral maupun material.

8. Keluarga Bapak Agustinus Karno yang memberikan bantuan uang kuliah

sehingga penulis dapat kuliah di IPPAK USD dan memperkenankan penulis

untuk tinggal dirumah Bapak Agustinus Karno selama tiga semester.

9. IPPAK USD yang memberikan beasiswa kepada penulis sehingga dapat

meringankan uang kuliah penulis sampai akhirnya bisa selesai.

10.Rm. P. Frans Yosnianto, OFM. Cap. yang memberikan bantuan berupa uang

kuliah kepada penulis sehingga penulis dapat dengan lancar belajar di IPPAK.

11.Ibu Maria Herlina yang mendukung penulis dengan memberikan bantuan

berupa uang saku setiap bulan sehingga penulis merasa terbantu dalam

fotocopy dll.

12.Sr. Sesilia SFD yang senantiasa memberikan dorongan di dalam menghadapi

(12)
(13)

xiii

(14)

xiv

BAB III. METODOLOGI, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN ... 32

A. Sejarah Paroki Santo Ignatius Danan Wonogiri... 32

(15)

xv

   

d. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Proses

Pendampingan Terhadap Anak Baptis ... 65

e. Keterlibatan Wali Baptis di Lingkungan dan dalam Melakukan Pendekatan kepada Anak Baptis ... 67

f. Bentuk Pendampingan Pembinaan yang Diharapkan ... 68

g. Usulan untuk Peningkatan Peran Wali Baptis ... 69

2. Remaja Katolik ... 70

a. Hal Ikwal Wali Baptis ... 70

b. Pandangan Remaja Katolik Terhadap Wali Baptis Berkaitan dengan Tugas Pokok Wali Baptis ... 71

c. Faktor yang Mendukung dan Menghambat Remaja untuk Selalu Terbuka kepada Wali Baptis ... 73

d. Bentuk Pendampingan Pembinaan yang Diharapkan ... 74

BAB IV. USULAN PROGRAM REKOLEKSI WALI BAPTIS PAROKI ST. IGNATIUS DANAN WONOGIRI... 77

A. Usulan Program ... 77

B. Alasan Pemilihan Program ... 78

C. Alasan Pemilihan Tema dan Tujuan ... 79

(16)

xvi

   

(17)

xvii  

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci

Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan

kepada Umat Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka

PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AG : Ad Gentes, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kegiatan Misioner Gereja, 7

Desember 1965.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), (V. Kartosiswoyo,

Lich.Iur.Can. dkk, Penerjemah). Diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus

II pada 25 Januari 1983.Bogor: Grafika Mardi Yuana.

KGK : Katekismus Gereja Katolik, (P. Herman Embuiru, SVD, Penerjemah).

Ende: Percetakan Arnoldus.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja

pada 21 Noveber 1964.

C. Singkatan Lain

FX : Fransiskus Xaverius

(18)

xviii  

KAS : Keuskupan Agung Semarang

Komkat : Komisi Kateketik

KWI : Konfrensi Waligereja Indonesia

LCD : Liquid Crystal Display

MAWI : Majelis Waligereja Indonesia

PWI : Panitia Waligereja Indonesia

Rekat : Remaja Katolik

Rm : Romo

SD : Sekolah Dasar

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SR : Sekolah Rakyat

St : Santo

Tt : Tanpa Tahun

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembaptisan merupakan langkah pertama ke arah kesatuan hidup dan mati

bersama Kristus (KWI, 1996: 418). Sebagai langkah pertama menuju persatuan

dengan Kristus, sakramen baptis menjadi “Gerbang sakramen-sakramen” (KHK,

kan. 849). Menjadi gerbang artinya sakramen babtis menjadi sakramen pertama

yang harus diterima sebelum seseorang menerima sakramen lainnya. Sakramen

merupakan tanda dan sarana keselamatan yang mengungkapkan dan menguatkan

iman, mempersembahkan penghormatan kepada Allah dan menghasilkan

pengudusan manusia (Prasetya, 2011: 18). Dengan menerima sakramen baptis,

umat Katolik dapat menerima sakramen-sakramen lainnya sehingga bersama

dengan Gereja akan memperoleh rahmat tak ternilai dari Allah.

Sakramen baptis merupakan salah satu dari tiga sakramen inisiasi.

Sakramen baptis menginisiasikan, memasukkan, mengantar orang ke dalam

Gereja sebagai anggotanya (KWI, 1996: 418). Umat yang akan menerima

sakramen baptis hendaknya didampingi oleh seorang wali baptis.

Calon baptis sedapat mungkin diberi wali baptis, yang berkewajiban mendampingi calon baptis dewasa dalam inisiasi kristiani, dan bersama orang tua mengajukan calon baptis bayi untuk dibaptis, dan juga wajib berusaha agar yang dibaptis menghayati hidup kristiani yang sesuai dengan baptisnya dan memenuhi dengan setia kewajiban-kewajiban yang melekat pada baptis itu (KHK, kan. 872).

Berdasarkan pengalaman yang terjadi selama ini, baik pengalaman pribadi

(20)

wali baptis dirasa belum berperan sebagaimana yang diamanatkan oleh Gereja.

Penulis menyadari bahwa peran wali baptis selama ini hanya tampak sebagai

formalitas. Seorang wali baptis mempunyai peran yang tak kalah pentingnya

dengan katekis. Keberadaan wali baptis tidak hanya penting pada saat

pembaptisan, tetapi juga bertanggung jawab mendampingi calon baptis secara

terus-menerus (Prasetya, 2011: 49).

Wali baptis bertugas mengingatkan anak baptisnya untuk menerima Komuni

Pertama dan sakramen Penguatan atau Krisma, menegur jika yang didampingi

malas pergi ke gereja atau mengikuti kegiatan hidup menggereja, menegur jika

yang didampingi tergoda meninggalkan imannya, dan lain sebagainya (Prasetya,

2011: 50). Tidaklah bijaksana apabila orang tua memilih wali baptis yang sudah

lanjut usia (meskipun memenuhi persyaratan di atas) karena yang sering terjadi

adalah wali baptis tersebut sakit-sakitan bahkan meninggal dunia saat anak sangat

memerlukan kehadirannya (Prasetya, 2011: 51). Keberadaan wali baptis jangan

dipahami sebatas hal formal belaka, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka

pendampingan terus-menerus bagi anak dalam menatap masa depannya

mengingat masa depan anak masih panjang dengan segala tantangan dan kesulitan

jamannya (Prasetya, 2011: 52).

Seluruh tahap dalam inisiasi kristen merupakan tanggung jawab semua umat

beriman. Di dalam konsili Vatikan II mengenai Karya Misioner Gereja (Ad

Gentes) art. 14 dinyatakan bahwa inisiasi kristen di dalam katekumenat harus

diselenggarakan bukan saja oleh para katekis atau para imam, tetapi oleh seluruh

jemaat beriman, terutama oleh para wali baptis. Wali baptis memiliki peran yang

(21)

dalam mendampingi baptisan baru. Wali baptis perlu memahami bahwa perannya

tidak hanya penting pada saat inisiasi berlangsung tetapi juga setelah proses itu

selesai.

Wali baptis adalah seorang beriman yang dipilih oleh ketua lingkungan,

orang tua, atau katekumen sendiri berdasarkan teladan, keutamaan dan

persahabatannya, dan ia harus disetujui oleh imam dan umat. Tugas wali baptis

adalah mendampingi katekumen pada hari “pemilihan”, dalam perayaan-perayaan

sakramen inisiasi dan pada masa “mistagogi”. Wali baptis diharapkan

menunjukkan jalan kepada katekumen untuk menerapkan injil dalam hidupnya

sendiri dan dalam hubungannya dengan masyarakat. Wali baptis harus menolong

dalam keragu-raguan dan kebimbangan. Wali baptis harus memberi kesaksian dan

menjaga perkembangan hidup kristianinya. Wali baptis melaksanakan tugasnya

secara resmi sejak hari “pemilihan”, yakni waktu memberi kesaksian mengenai

katekumen di muka umat. Tugas wali baptis tersebut berlangsung secara terus

menerus sesudah inisiasi, karena baptisan perlu ditolong supaya tetap setia pada

janji-janji baptisnya (Sumarno Ds., 2011: 12).

Persyaratan wali baptis menurut KHK 1983 kan. 874 adalah: memiliki

kecakapan dan maksud untuk melaksanakan tugasnya, telah berumur genap 16

tahun kecuali Keuskupan atau Paroki menentukan lain, seorang Katolik yang

menerima sakramen Krisma dan Ekaristi dan hidup sesuai dengan iman dan tugas

yang diterimanya, tidak dijatuhi atau dinyatakan ternoda oleh suatu hukuman

kanonik, bukan ayah atau ibu dari calon baptis sendiri.

Pembaptisan bukan menjadi akhir perjalanan dalam Gereja Katolik, yang

(22)

langsung. Pembaptisan merupakan sebuah permulaan, karena meskipun orang

sudah menerima hidup baru dalam Roh Kudus, namun ia tetap wajib

memperbaharui dirinya (Rm 12:2; bdk. Ef 4:23; Kol 3:10), menghayati hidup baru

itu (Rm 6:4) dan hidup menurut Roh (Gal 5:16-18.25; bdk. Rm 8:13-14). Dengan

demikian jelaslah bahwa wali baptis tetap berperan dalam pendampingan

katekumen untuk menuntun menuju hidup baru dalam naungan Roh Kudus.

Keprihatinan yang dialami oleh paroki St. Ignatius Danan, Giriwoyo adalah

kuantitas katekumen setiap tahunnya mengalami penurunan dan juga banyak anak

muda yang pindah agama karena faktor perkawinan serta terseret oleh kemajuan

jaman. Hal ini sangat perlu diperhatikan karena masa depan Gereja ada di tangan

para kaum muda. Setelah melihat uraian di atas, wali baptis sangat mempunyai

peranan yang penting untuk kehidupan rohani umat terutama remaja sehingga

tidak ikut arus jaman yang semakin deras. Tanggung jawab perkembangan iman

umat bukan hanya di tangan romo, suster, katekis namun wali baptis dan orang

tua juga mempunyai tanggung jawab yang besar pula untuk kehidupan beriman

umat.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah penelitian

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana situasi hidup menggereja remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan

Wonogiri?

2. Bagaimana peran para wali baptis di paroki St. Ignatius Danan Wonogiri?

(23)

remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan Wonogiri?

4. Bagaimana pandangan remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan terhadap wali

baptis?

5. Apakah para wali baptis sadar dan mengerti akan tugasnya?

C. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya ranah permasalahan yang dapat dikaji, penulis

membatasi penelitian ini pada Peran Wali Baptis terhadap Kehidupan Menggereja

Remaja Katolik Paroki St. Ignatius, Danan, Wonogiri, Jawa Tengah.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, rumusan

masalah yang menjadi perhatian penulis adalah:

1. Bagaimana realitas peran wali baptis terhadap kehidupan menggereja Remaja

Katolik paroki St Ignatius Danan Wonogiri?

2. Apakah Peran wali baptis berjalan sebagaimana mestinya dalam kehidupan

menggereja Remaja Katolik paroki St Ignatius Danan Wonogiri?

3. Bagaimana meningkatkan Peran wali baptis supaya manfaatnya semakin

nyata bagi Remaja Katolik paroki St Ignatius Danan Wonogiri dalam hidup

menggereja?

E. Tujuan Penulisan

(24)

1. Menemukan realitas peran wali baptis terhadap kehidupan menggereja

Remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan Wonogiri.

2. Mengetahui sejauh mana peran wali baptis sudah berjalan dalam

mendampingi hidup menggereja Remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan

Wonogiri selama ini.

3. Menemukan solusi/cara meningkatkan peran wali baptis supaya semakin

berpengaruh positif secara nyata bagi remaja Katolik paroki St Ignatius

Danan Wonogiri sehingga para remaja Katolik tetap setia terhadap imannya.

F. Manfaat Penulisan

Beberapa manfaat yang dapat dipetik dari penulisan skripsi ini antara lain:

1. Akademis

Setelah memahami peran wali baptis terhadap kehidupan menggereja

remaja Katolik paroki St. Ignatius Danan, Wonogiri, penelitian ini diharapkan

dapat memperluas wawasan, keterampilan dan kemampuan penulis untuk tugas

perutusan sebagai katekis pada masa yang akan datang sehingga dalam

perutusan penulis selalu ingat akan sebuah pentingnya tanggung jawab dalam

hidup menggereja nantinya.

2. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung setiap pelayanan umat

khususnya umat paroki St. Ignatius Danan, Wonogiri, baik yang dibaptis

maupun yang dipercaya menjadi wali baptis, sehingga dalam pelaksanaannya

(25)

seorang wali baptis itu sangat penting dan berperan bagi anak baik remaja

maupun dewasa demi perkembangan Gereja.

3. Kateketis

Skripsi ini mampu memberikan sumbangan dalam bentuk pendampingan

yang tepat untuk wali baptis sehingga peran wali baptis sungguh terlaksana

sesuai dengan apa yang dicita-citakan Gereja.

G. Relevansi Penulisan

Penelitian tentang Peran Wali Baptis terhadap remaja Katolik belum pernah

ada. Terlebih penelitian ini relevan untuk membantu umat meningkatkan dan

mengetahui peran wali baptis sehingga mengembangkan kehidupan rohani remaja

Katolik paroki setempat. Selain itu dengan penulisan ini juga diharapkan

menyadarkan betapa pentingnya kerja sama antar komponen umat sehingga

Gereja akan tetap kokoh. Menurut penulis penelitian ini sangat relevan demi

kemajuan bersama serta dapat menyadarkan bahwa sangatlah penting tugas atau

peran wali baptis dalam kehidupan menggereja terutama dalam mendampingi

remaja yang sedang dalam masa pencarian jati diri sehingga mereka bisa merasa

dibimbing dan mendapat perhatian dari Gereja.

H. Sistematika Penulisan

Penulis memilih judul skripsi Peran Wali Baptis terhadap Kehidupan

(26)

Maka penulis akan menguraikan penulisan tersebut dengan memaparkan lima bab

sebagai berikut:

Pemaparan bab I berisikan latar belakang, identifikasi masalah,

pembatasan masalah, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat

penelitian, relevansi penulisan, dan sistematika penulisan. Pemaparan ini

bertujuan memberikan gambaran umum tentang hal-hal informatif maupun

persoalan teknik yang akan penulis gunakan lebih lanjut dalam penulisan skripsi

ini.

Bab II berisi kajian teori yang menyajikan teori-teori dari berbagai buku

dan literatur untuk melandasi pemikiran dan gagasan tentang peran wali baptis

terhadap hidup menggereja paroki St. Ignatius Danan, wonogiri. Kajian teori juga

menyajikan hasil dari berbagai studi terdahulu dalam konteks kajian masalah yang

sama atau serupa. Kajian teori meliputi: sejarah sakramen baptis, peran wali

baptis; wali baptis, pembaptisan dalam Gereja Katolik, urgensi wali baptis,

kualifikasi wali baptis, selanjutnya penulis juga memaparkan mengenai kehidupan

menggereja; pengertian kehidupan rohani, paroki desa, Gereja lokal sebagai

persekutuan hidup menggereja.

Bab III adalah metodologi, hasil dan pembahasan penelitian yang

mencakup latar belakang penelitian; metodologi penelitian yang mencakup tujuan

penelitian, metode penelitian, tempat dan waktu penelitian, responden penelitian,

instrumen penelitian, variabel penelitian. Tahap berikutnya penulis akan mengkaji

hasil penelitian dan membahas hasil penelitian. Kajian terhadap hasil penelitian

(27)

penelitian dilakukan dengan interpretasi pengujian hipotesis dan penarikan

kesimpulan relevan.

Pada bab IV ini penulis akan mencoba membuat usulan program yang

cocok berdasarkan hasil penelitian, sehingga nanti akan berkesinambungan tidak

hanya berhenti pada penelitian saja.

Penulisan tahap akhir yakni bab V penulis akan membuat kesimpulan

umum dan saran sebagai penutup. Demikianlah rancangan sistematika penulisan

skripsi yang akan segera penulis kerjakan.

(28)

BAB II

WALI BAPTIS DAN REMAJA KATOLIK DALAM HIDUP

MENGGEREJA

Pada bab II ini, penulis akan membahas mengenai wali baptis dan remaja

yang diperkuat dengan pandangan para ahli dari berbagai sumber. Pendapat para

ahli tersebut penulis rangkum sehingga memperkuat apa yang hendak diteliti.

Selain itu pendapat para ahli ini berfungsi sebagai pendukung berbagai gagasan

penulis, baik gagasan yang telah dituangkan dalam bab I maupun pada bab-bab

berikutnya. Pada bab II ini memiliki dua variabel. Variabel pertama adalah wali

baptis yang mencakup: sejarah sakramen baptis, pembaptisan dalam Gereja

Katolik, pengertian wali baptis, kualifikasi wali baptis, peran wali baptis, urgensi

wali baptis. Variabel kedua mengenai kehidupan menggereja remaja: pertama

mengenai kehidupan menggereja yang mencakup pengertian kehidupan

menggereja, yang ke dua membahas mengenai remaja yang mencakup pengertian

remaja, ciri khas remaja, kehidupan menggereja remaja.

A.Wali Baptis

Pada bagian ini penulis akan memaparkan mengenai pokok-pokok penting

Wali Baptis. Penulis akan mengajak melihat kembali mengenai pendapat para ahli

mengenai wali baptis. Pada bagian awal ini penulis akan membahas mengenai

sejarah sakramen baptis, pembaptisan dalam Gereja Katolik, pengertian wali

baptis, kualifikasi wali baptis, peran wali baptis dan urgensi wali baptis. Berikut

(29)

1. Sejarah Sakramen Baptis

Pembaptisan berasal dari bahasa Yunani dari kata batizwin, baptismos=

yang artinya mencelupkan ke dalam air atau membasuh dengan air (Banawiratma,

1989: 79). Sakramen baptis merupakan pintu gerbang bagi sakramen-sakramen

lain (Prasetya, 2011: 7). Pernyataan tersebut didukung oleh KHK kan. 849 yang

mengatakan bahwa “baptis merupakan pintu gerbang sakramen-sakramen”.

Pembaptisan merupakan sakramen pertama dan utama dalam Perjanjian

Baru sekaligus merupakan pintu kehidupan kekal dari kerajaan Allah. Hal ini

selaras dengan kehendak Kristus, bahwa semua orang yang dibaptis memiliki

kehidupan kekal (Yoh 3:5). Seorang yang menjadi Kristiani berarti

menggabungkan diri atau menjadi anggota Gereja. Untuk menjadi anggota Gereja,

para calon anggota harus menjalani suatu masa perkenalan dan masa latihan yang

biasa disebut dengan inisiasi. Inisiasi Kristiani itu merupakan perkembangan yang

berlangsung cukup lama mengikuti suatu pola yang kurang lebih sama. Pola

tersebut dapat dibedakan dalam tiga tahap empat masa. Tiga tahap tersebut antara

lain: tahap pertama pelantikan katekumen, tahap kedua pemilihan calon baptis dan

tahap ketiga sakramen-sakramen inisiasi. Adapun empat masanya yakni masa

prakatekumenat, masa katekumenat, masa photizomenat dan masa mistagogi

(Komkat KAS, 1997: 19).

Inisiasi bermula sejak awal kehidupan umat Kristiani. Sejak semula, jemaat

perdana telah memandang perlu adanya inisiasi untuk menjadi anggota penuh

jemaat Kristiani, inisiasi tersebut berkedudukan sebagai syarat mutlak. Menurut

(30)

inisiasi (Groenen, 1992: 25). Menurut Perjanjian Baru, baptis sungguh terjadi

dengan membenamkan orang ke dalam air. Hal tersebut selaras dengan

pembaptisan yang dilakukan oleh Yohanes Pembabtis di sungai Yordan (Prasetya,

2011: 13). Menurut Banawiratma (1989: 81), baptisan yang ada sekarang ini

bukan murni kebiasaan orang Kristiani. Baptisan ini sudah dikenal di kalangan

Yahudi, yakni baptisan proselit (suatu ritus pentahiran di samping sunat bagi

laki-laki). Secara historis pembaptisan yang ada sekarang merupakan pembaptisan

yang dilakukan dalam rangka melanjutkan pembaptisan Yohanes Pembaptis

(Groenen, 1992: 28).

Sejarah wali baptis bermula dari adanya penjamin dalam tradisi

pembaptisan Gereja purba. Sebelum menjadi wali para penjamin saat upacara

pelantikan katekumen disebut sebagai penobat (Komisi Liturgi MAWI, 1986: 48).

Sebagai penobat, penjamin bertindak sebagai saksi bagi para calon baptis. Setelah

upacara pelantikan, para penjamin dapat saja menjadi wali baptis. Mereka dapat

bertindak sebagai wali baptis terutama mereka telah menjadi saksi untuk Gereja

dan untuk Kristus di hadapan manusia.

2. Pembaptisan dalam Gereja Katolik

Menjadi orang Kristiani merupakan suatu proses (KWI, 1996: 419). Proses

menuju pembaptisan dalam Gereja Katolik perlu melalui tiga pola inisiasi. Pola

tersebut dapat dibedakan dalam tahap-tahap berikut: tahap pertama, orang dalam

status simpatisan diangkat menjadi katekumen. Seorang katekumen perlu

mengikuti katekumenat yakni masa persiapan dengan pelajaran-pelajaran dan

(31)

katekumen diangkat menjadi calon baptis. Tahap ketiga, calon baptis menjadi

baptisan baru melalui pembaptisan yang diterimanya. Manusia dibabtis berarti

menerima sakramen, yaitu tanda dan sarana rahmat/keselamatan (Banawiratma,

1989: 12).

Dibaptis berarti umat Kristiani sudah membentuk perjanjian. Perjanjian itu

dijalin Allah melalui Yesus Kristus yang taat sampai mati, dibangkitkan oleh

Allah dan masuk ke dalam keselamatan yang sempurna (Ardhi Wibowo, 1993: 7).

Dengan dibabtis orang diikutsertakan dalam wafat dan kebangkitan Kristus (Rm

6:3-6; bdk. Kol 2:1), mati bagi dosa dan hidup baru dalam Kristus. Perikop

tersebut menyatakan bahwa dengan dibaptis umat Kristiani juga bertobat dari

dosa-dosa dan Umat pun beroleh keselamatan dari Allah. Penyelamatan berarti

Allah melalui Yesus Kristus membebaskan manusia dari situasi malang yang

disebabkan oleh dosa manusia, yang menolak cintakasih Allah (Ardhi Wibowo,

1993: 7).

Menerima sakramen baptis berarti orang dimasukkan ke dalam paguyuban

umat beriman Katolik yang disebut Gereja, dengan segala hak dan kewajibannya

sebagai anggota Gereja Katolik. Orang tersebut mempunyai kewajiban untuk

mengambil bagian dalam panggilan imamat, kenabian, dan rajawi Kristus.

Jadi, kaum beriman Kristiani, yang berkat Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus, terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap umat Kristiani dalam Gereja dan di dunia (LG 31).

Tidak hanya kewajiban, orang tersebut juga mempunyai hak sebagai

anggota Gereja Katolik (Prasetya, 2011: 23). Hak tersebut antara lain “hak untuk

(32)

bantuan rohani Gereja lainnya” (KGK 1269). Menerima sakramen baptis berarti

orang dibebaskan dari dosa.

Oleh pembaptisan, diampunilah semua dosa, dosa asal, dan semua dosa pribadi serta siksa –siksa dosa. Didalam mereka yang dilahirkan kembali, tidak tersisa apapun yang dapat menghalang-halangi mereka untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Baik dosa Adam maupun dosa pribadi demikian pula akibat-akibat dosa, yang terparah darinya adalah pemisahan dari Allah, semuanya tidak ada lagi dan dilahirkan kembali menjadi anak Allah (KGK 1263).

Menerima sakramen baptis berarti orang diharapkan membangun sikap dan

semangat pertobatan, yaitu meninggalkan dunia yang lama atau cara hidup yang

lama untuk hidup dalam dunia yang baru dan cara hidup baru. Melalui tindakan

pertobatan ini, orang tersebut diharapkan mengalami kedekatan hidup dengan

pribadi Allah Tritunggal Mahakudus.

Allah menganugerahkan rahmat pengudusan, rahmat pembenaran, yang menyanggupkan dia oleh kebajikan-kebajikan ilahi supaya percaya kepada Allah, berharap kepada-Nya dan mencintai-Nya; menyanggupkan dia oleh anugrah-anugrah Roh Kudus, supaya hidup dan bekerja di bawah dorongan Roh Kudus; menyanggupkan dia oleh kebajikan-kebajikan susila supaya bertumbuh dalam kebaikan (KGK 1266).

Menerima sakramen baptis berarti orang menerima dan mengenangkan

Kristus dalam hidupnya sehari-hari, dimana manusia tinggal dalam aneka

perbedaan sebagai anggota Gereja Katolik, baik perbedaan suku, status sosial,

pendidikan, jenis kelamin, dan sebagainya, seperti yang dikatakan santo Paulus.

“Dalam hal ini, tidak ada orang Yahudi dan orang Yunani, tidak ada hamba atau

orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan karena kamu semua adalah

satu didalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Dengan demikian, di hadapan Yesus

Kristus, semua anggota Gereja Katolik adalah satu dan sama, tidak ada

(33)

3. Pengertian Wali Baptis

Wali baptis adalah seorang beriman Katolik, baik ia laki-laki maupun

perempuan, yang sudah dewasa usia dan imannya yang ditunjuk untuk

mendampingi proses perkembangan iman orang yang dibaptis, baik kanak-kanak

maupun orang dewasa (Prasetya, 2011: 49).

Menurut Crichton (1990: 62), wali baptis adalah orang yang membantu

orang tua memenuhi kewajiban-kewajiban mereka, di mana orang tersebut tidak

memiliki hubungan darah dengan si anak.

Wali baptis oleh Yohanes Chrysostomus yang dikutip dalam buku bina

liturgia 5 juga disebut “bapa rohani” hal ini mau menunjukkan sifat kemesraan

seorang ayah yang mendidik ‘anak-anak’nya dalam hal-hal rohani dan mendorong

mereka kepada kebajikan (Komisi Liturgi MAWI, 1986: 49).

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, wali baptis dapat didefinisikan

sebagai orang yang sungguh mempunyai kewajiban penting untuk menjaga,

mendampingi dan membantu orang tua dalam mendampingi anak sehingga

semakin hari anak semakin memiliki iman yang kokoh sehingga tidak mudah

untuk mengikuti arus jaman yang semakin deras serta smakin hari semakin aktif

dalam mengikuti kegiatan menggereja.

4. Kualifikasi Wali Baptis

Tugas wali baptis sangat penting dan akan menentukan keberlangsungan

iman anak baptisnya (Prasetya, 2011: 50). Untuk itu perlu kaidah yang tepat untuk

pemilihan wali baptis. Berikut ini kualifikasi wali baptis berdasarkan KHK kan.

(34)

• Ditunjuk oleh wali baptis sendiri atau oleh orangtuanya atau oleh orang yang

mewakili mereka atau, jika mereka itu tidak ada, oleh pastor paroki atau

pelayan baptis, selain itu ia cakap dan mau melaksanakan tugas itu;

• Telah berumur genap enam belas tahun;

• Seorang Katolik yang telah menerima penguatan dan sakramen Mahakudus,

lagi pula hidup sesuai dengan iman dan tugas yang diterimanya;

• Tidak terkena suatu hukuman kanonik yang dijatuhkan atau dinyatakan secara

legitim;

• Bukan ayah atau ibu dari calon baptis.

Dengan demikian pencarian wali baptis hendaknya dilakukan dengan upaya

yang bijaksana terutama harus sesuai dengan syarat-syarat yang memenuhi

kualifikasi di atas.

5. Peran Wali Baptis

Setiap calon baptis hendaknya mempunyai wali baptis namun bukan demi

sahnya pembaptisan karena tanpa wali baptis, pembaptisan tetap sah. Hal ini

ditujukan untuk orang yang dalam kondisi sakratul maut dan sangat terdesak.

Wali Baptis memiliki dua peran utama, peran pertama sebagai saksi upacara

pembaptisan: dalam pembaptisan, wali baptis bertindak sebagai wakil

umat/jemaat. Oleh karena itu, biasanya ada beberapa persyaratan yang bersifat

umum yang ditetapkan oleh Gereja setempat untuk para wali baptis ini. Peran

kedua melindungi anak baptis. Peran kedua ini membutuhkan jauh lebih banyak

(35)

bahwa terkadang umat menginginkan seorang teman atau sanak-saudara yang

tinggal jauh untuk menjadi wali baptis, tetapi lebih bijak sana apabila memilih

wali baptis yang dapat bertemu dengan anak secara teratur.

Wali baptis adalah orang yang dianggap tepat untuk menjadi penjamin pada

Sakramen Penguatan ketika anak sudah cukup besar untuk menerimanya. Apabila

terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau sesuatu yang menghalangi orang tua

untuk membesarkan anaknya dalam iman Katolik, wali baptis mempunyai

tanggung jawab untuk memastikan bahwa anak memperoleh pendidikan iman

yang diperlukan (Prasetya, 2011: 50).

Keberadaan dan tugas wali baptis tidak hanya penting pada saat

pembaptisan, tetapi juga bertugas untuk mendampingi calon baptis terus menerus

sampai dapat hidup secara kristiani dan setia melaksanakan

kewajiban-kewajibannya sesuai dengan baptisan yang telah diterimanya (Prasetya, 2011: 49).

Calon baptis sedapat mungkin diberi wali baptis, yang berkewajiban mendampingi calon baptis dewasa dalam inisiasi kristiani, dan bersama orang tua mengajukan calon baptis bayi untuk dibaptis dan juga wajib berusaha agar yang dibaptis menghayati hidup kristiani yang sesuai dengan baptisannya dan memenuhi dengan setia kewajiban yang melekat pada baptis itu (KHK, kan. 872).

Kongkretnya adalah wali baptis harus mengingatkan anak baptisnya untuk

menerima Komuni Pertama dan sakramen Penguatan atau Krisma, menegur jika

yang didampingi malas pergi ke Gereja atau mengikuti kegiatan Gerejawi,

menegur jika yang didampingi tergoda meninggalkan imannya, dan lain

sebagainya, dengan demikian keberadaan wali baptis tersebut akan berlangsung

terus, selama hidupnya. Oleh karena itu hendaknya dalam memilih wali baptis,

(36)

terlalu tua karena demi kelangsungan tugasnya yang berlangsung terus menerus

(Prasetya, 2011: 50).

Peranan wali baptis adalah mendampingi katekumen pada hari ‘pemilihan’,

dalam perayaan sakramen-sakramen inisiasi dan pada masa ‘mistagogi’. Artinya

wali baptis menunjukan jalan kepada katekumen supaya menerapkan injil dalam

kehidupannya sendiri dan dalam hubungannya dengan masyarakat. Wali baptis

harus menolong anak baptis dalam keragu-raguan dan kebimbangannya. Wali

baptis pun harus memberi kesaksian dan menjaga perkembangan hidup

kristianinya (KWI, 1996: 426).

6. Urgensi Wali Baptis

Urgensi wali baptis terletak pada sebuah kepentingan bahwa seorang

katekumen hanya boleh dibaptis apabila didampingi oleh seorang beriman yang

menjadi wali baptisnya (Sumarno Ds., 2011: 12). Wali baptis merupakan seorang

beriman yang dipilih oleh katekumen berdasarkan teladan, keutamaan dan

persahabatannya. Wali baptis mendampingi katekumen pada hari pemilihan,

dalam perayaan sakramen-sakramen inisiasi dan masa mistagogi. Wali baptis

diharapkan dapat menunjukkan jalan kepada katekumen untuk mewujudkan

(menerapkan) Injil dalam hidupnya sendiri dan dalam hubungannya dengan

masyarakat. Wali baptis diharapkan dapat mendampingi dalam keragu-raguan dan

kebimbangan, memberi kesaksian dan menjaga perkembangan hidup Kristiani

para baptisan baru agar tetap setia pada janji baptis. Dengan melihat begitu

(37)

dari tanggungjawabnya karena hal ini sangat berpengaruh bagi perkembangan

iman anak baptis (KHK, kan. 872).

Menanggapi keberadaan wali baptis yang perannya berlangsung seumur

hidup ini, sebaiknya dalam upaya pencarian wali baptis perlu diusahakan secara

bijaksana, jangan asal-asalan dan harus sesuai dengan syarat atau kriteria wali

baptis. Khusus untuk baptis kanak-kanak, misalnya tidaklah bijaksana jika orang

tua memilih wali baptis yang sudah lanjut usianya (meskipun memenuhi

persyaratan) karena yang sering terjadi adalah wali baptis tersebut sakit-sakitan

bahkan meninggal dunia, pada saat anak sangat-sangat membutuhkan

kehadirannya. Itulah sebabnya keberadaan wali baptis jangan dipahami sebatas

formalitas belaka, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka pendampingan terus

menerus bagi anak dalam menatap masa depannya yang masih panjang, dengan

segala tantangan dan kesulitan zamannya (Prasetya, 2011: 51).

Wali baptis mempunyai kewajiban untuk mendampingi katekumen dalam

inisiasi Kristiani dan berusaha agar yang dibaptis hidup sesuai dengan janji

baptisnya serta memenuhi dengan setia kewajiban-kewajiban yang melekat pada

baptis itu. Tanggung jawab ini mengandaikan suatu proses sementara di lain pihak

wali baptis mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam berbagai hal.

Keterbatasan atau kendala ini membawa pengaruh bagi proses pendampingan

kepada calon baptis. Sangatlah penting peran seorang wali baptis ini karena

mendampingi katekumen berarti menghantar masuk ke dalam kehidupan satu

keluarga besar, yaitu Gereja. Keterlibatan wali baptis dalam kehidupan dan

kegiatan menggereja menjadi faktor penentu keteladanan bagi katekumen untuk

(38)

B.Kehidupan Menggereja Remaja

Pada bagian pertama sudah dibahas mengenai wali baptis, sekarang penulis

akan memaparkan mengenai kehidupan menggereja remaja. Pada bagian pertama

ini akan dibahas mengenai kehidupan menggereja mencakup beberapa hal

diantaranya adalah paroki desa, Gereja Lokal sebagai persekutuan hidup

menggereja dan kehidupan menggereja yang relevan masa kini. Pada bagian

kedua akan dibahas mengenai remaja yang mencakup pengertian remaja, ciri khas

remaja, dan kehidupan menggereja remaja. Pada bagian terakhir akan dipaparkan

mengenai sejarah paroki St. Ignatius, Danan, Wonogiri.

1. Kehidupan Menggereja

Anggota Gereja adalah anggota masyarakat modern (Banawiratma, 2000:

35). Saat ini umat Kristiani telah berada dalam kehidupan yang terus mengalami

pembaruan. Kemajuan jaman telah ikut mengubah kepribadian manusia. Hal ini

menuntun umat Kristiani untuk semakin kontekstual dalam menjalani hidup

menggereja. Umat Kristiani dipanggil untuk menajamkan kesadaran dan

kemudian melakukan gerakan, mengamati secara cermat dan

menimbang-nimbang di hadapan Tuhan dan pada akhirnya hal tersebut perlu diwujudkan

dalam tindakan kongkrit (Banawiratma, 2000: 26).

Dalam praksis hidup menggereja, ada kecenderungan pembagian tipe umat

dalam dua golongan yakni umat yang aktif dan umat yang tidak aktif. Umat aktif

dapat diartikan sebagai umat yang rajin mengikuti misa, terutama misa harian.

Keaktifan itu juga dapat berarti umat ikut aktif dalam kegiatan organisasi Gereja,

(39)

menggereja lainya. Merupakan hiburan besar bagi para pastor kalau melihat

umatnya aktif dalam hidup menggereja, makin banyak makin baik. Sebaliknya

para pastor akan mempersoalkan mereka yang tidak aktif (Banawiratma, 2000:

35). Dalam kehidupan menggereja ada lingkup-lingkup yang perlu diketahui di

antaranya adalah paroki desa, Gereja lokal sebagai persekutuan hidup menggereja,

dan kehidupan menggereja yang relevan masa kini.

a. Paroki Desa

Situasi desa pasti berbeda dengan situasi kota tetapi sulit untuk mengatakan

bahwa desa terisolasi dari proses globalisasi. Walaupun situasi desa tidak

sedemikian terekspos seperti di kota tetapi warganya (petani) pasti juga

mendengarkan siaran radio dan menonton acara-acara televisi. Oleh karenanya,

studi mutakir memperlihatkan bahwa kaum tani tidak “sebodoh” yang sering

disangka (Banawiratma, 2000: 36). Dalam rangka menangkal berbagai pengaruh

kemajuan jaman, umat akan membuat suatu benteng pertahanan atau cara

bertahan yang salah satunya ialah melalui hidup menggereja. Kegiatan hidup

menggereja menyediakan semangat Kristiani dan

nilai-nilai/keutamaan-keutamaan rohani yang pantas ditimba oleh umat sehingga memberi kekuatan

untuk lepas bebas dari arus jaman. Meski demikian Gereja hanya salah satu dari

banyak fasilitas yang ada dalam masyarakat yang dapat mereka gunakan untuk

menolong diri sendiri.

Pemimpin Gereja belum boleh merasa puas jika terdapat 100-300 umatnya

termasuk orang aktif dalam hidup menggereja (Banawiratma, 2000: 36).

(40)

umat tidak aktif yang menduduki jumlah mayoritas. Sangat menarik mengkaji

mengapa jumlah umat yang tidak aktif dalam hidup menggereja jumlahnya lebih

banyak karena pada dasarnya mereka mencari sesuatu “yang baru” tetapi Gereja

Katolik sepertinya tidak mampu memberikannya, misalnya: liturgi Gereja yang

lembek dan khotbah yang tidak mudah diikuti. Kiranya inilah yang menjadi ranah

jawaban mengapa sebagian umat tidak aktif dalam hidup menggereja malah aktif

dalam berbagai kegiatan atau organisasi lain. Gereja memang dipaksa untuk

bersaing dengan organisasi-organisasi dalam masyarakat (Banawiratma, 2000:

36-37).

b. Gereja Lokal Sebagai Persekutuan Hidup Menggereja

Manusia adalah titik pangkal dan tujuan segala pembangunan

(Banawiratma, 2000: 49). Pembangunan jemaat Katolik perlu dimulai dari bawah,

artinya dimulai dari jemaat lokal yakni kehidupan menggereja umat setempat.

Urgensinya ialah kehidupan menggereja yang dilakukan oleh umat dalam Gereja

setempat dapat menjadi basis dalam menangkal, mengatasi maupun mengkritisi

kehidupan yang serba modern ini. Kekuatan ini membenarkan sebuah keyakinan

bahwa semua yang global dan serba modern belum tentu selalu lebih unggul

daripada yang lokal (Banawiratma, 2000: 47). Oleh karena itu, kehidupan

menggereja yang kuat pada tingkat Gereja lokal mutlak diperlukan.

Kaidah Gereja lokal sebagai persekutuan hidup menggereja hendaknya

membahana dalam kehidupan setiap anggotanya. Kongkretnya, setiap anggota

dapat saling memperhatikan satu sama lain terutama dalam membantu dan

(41)

berprakarsa, serta melakukan semuanya itu dengan mendasarkannya pada sikap

setia kawan. Bentuk kesetiakawanan juga dapat tercermin dari solidaritas orang

yang lebih kuat dalam membantu yang lemah. Bentuk kesetiakawanan ini akan

semakin kokoh dan lestari oleh sikap inklusif, baik terhadap jemaat seiman

maupun non-Kristiani. Dengan demikian kekuatan hidup menggereja tidak hanya

dibatasi oleh keaktifan dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh Gereja

tetapi lebih pada sikap-sikap unggul untuk memajukan kesejahteraan, ketentraman

dan kedamaian sehingga oleh karenanya semua umat manusia memperoleh

keselamatan berkat kehadiran Gereja yang solid.

Orang yang sudah dibabtis haruslah mempunyai kedewasaan Rohani karena

mereka sudah disatukan dengan Kristus. Tentu saja tugas ini tidaklah mudah

karena manusia merupakan pribadi yang lemah yang sering terjerumus kedalam

dosa. Peran wali baptis harus muncul terlebih ketika anak baptis mulai lemah dan

tidak berdaya. Meski demikian peran wali baptis tidak boleh hanya muncul ketika

si anak sudah jatuh tetapi yang terpenting ialah wali baptis harus dengan setia

mengamati perkembangan iman anak babtis sehingga tugas dan tanggungjawab

wali baptis benar-benar terwujud.

c. Kehidupan Menggereja yang Relevan Masa Kini

Kalau kita berbicara mengenai Gereja yang relevan masa kini adalah Gereja

yang menuju ke Indonesia baru yaitu sebuah Indonesia dengan otonomi daerah,

civil society, pemekaran dalam relasi sosial, ekologi yang terawat, unsur yang

berbeda menjadi kesempatan untuk saling melengkapi, pendidikan yang

(42)

memerdekakan manusia, hukum yang berwibawa, ditaati dan membuahkan

keadilan (Banawiratma, 2000: 19).

Hidup menggereja yang relevan adalah hidup yang melawan kekerasan

dimulai dari batin manusia. Orang menginginkan bahwa bagaimanapun juga

rumusan seperti gambaran Tuhan sebagai pemimpin perang itu memerlukan tafsir,

tetapi tafsir tidak dengan mudah dibuat. Hendaknya dicari cara baru agar

gambaran Tuhan seperti tukang perang ini tidak diartikan secara mentah-mentah

(Banawiratma, 2000: 23).

Dunia dewasa ini berada di tengah-tengah proses globalisasi yang tiada

hentinya meresapi segala bidang kehidupan. Dalam hidup menggereja semacam

ini, diharapkan bahwa semua karisma, baik yang dianugerahkan kepada manusia

dapat lebih diterima dan diperkembangkan demi pelayanan bersama

(Banawiratma, 2000: 195).

2. Remaja

Pada bagian sebelumnya sudah dipaparkan mengenai hidup menggereja kini

penulis mencoba memaparkan mengenai remaja dan hubungannya dalam hidup

menggereja. Pada bagian ini meliputi pengertian remaja, ciri khas remaja dan

kehidupan menggereja remaja.

a. Pengertian Remaja

Istilah remaja berasal dari kata latin adolescere (adolescentia yang berarti

remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 1990:

(43)

Menurut Oemar Hamalik (1995: 2) remaja merupakan suatu masa, di mana

individu berjuang untuk tumbuh dan menjadi orang mampu diterima dalam

masyarakat pada umumnya, menggali serta memahami arti dan makna dari

panggilan yang ada. Sekalipun mereka didampingi oleh para pendidik atau

pembimbing yang memberikan petunjuk-petunjuk serta bimbingan yang

diperlukan, dalam pelaksanaannyalah mereka yang paling berat, karena mereka

adalah yang paling terlibat dan paling berkepentingan. Merekalah yang harus

berjuang dengan keras untuk merealisasikan dirinya, menemukan dirinya,

siapakah mereka itu sebenarnya dan akan menjadi apakah mereka kelah

dikemudian hari. Oleh karena itu tugas atau beban mereka benar-benar berat,

sehingga sering mengalami kesulitan-kesulitan.

Menurut Oemar Hamalik (1995: 3) remaja diartikan sebagai masa di dalam

perkembangan yang menantang anak dengan banyak persoalan di bidang

pemahaman diri, dan di dalam penyesuaian terhadap hidup dan lingkungannya.

Dengan mengenal persoalan-persoalan tersebut, para pendidik dan pembimbing

di dalam memahami pergumulan yang sering dihadapi anak remaja di mana

tingkah lakunya sering memusingkan orang dewasa.

Setelah menyimak pandangan dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan

mengenai pengertian remaja yaitu suatu masa transisi di mana seseorang tidak

bisa disebut lagi sebagai anak-anak namun juga tidak bisa disebut sebagai dewasa.

Pada masa ini, remaja memerlukan orang tua atau orang dewasa untuk mengawasi

dan selalu mau mengerti anak. Sikap Saling merengerti sangatlah penting karena

seorang anak ini sedang mencari jati diri. Remaja membutuhkan pengertian untuk

(44)

b. Ciri Khas Remaja

Masa remaja lazimnya dimulai pada saat anak secara seksual menjadi

matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Awal masa

remaja berlangsung kurang lebih pada usia tiga belas tahun sampai enam belas

tahun atau tujuh belas tahun dan akhir masa remaja bermula dari 16 atau 17 tahun

sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum (Hurlock, 1990: 206).

Menurut Witherington yang dikutip oleh Oemar Hamalik masa remaja

dibedakan menjadi dua masa yaitu masa remaja awal (pre adolesence) yang

berkisar 12-15 tahun dan masa remaja akhir (late adolesence) yaitu antara usia

15-18 tahun. Sedangkan menurut Gilmer yang dikutip oleh Oemar Hamalik masa

remaja dibedakan antara yang perempuan dan laki laki karena perempuan

mencapai kematangan lebih cepat dari pada laki-laki. Untuk masa adolesen awal

yaitu anatara usia 13-17 tahun dan untuk masa adolesen akhir dari usia 18-21

tahun hal ini berlaku untuk laki-laki sedangkan untuk perempuan masa adolesen

awal antara 12-16 tahun dan masa adolesen akhir antara 17-21 tahun (Oemar

Hamalik, 1995: 3).

Ciri-ciri masa remaja adalah sebagai periode yang penting, masa remaja

sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode perubahan, masa remaja

sebagai usia bermasalah, masa remaja sebagai masa mencari identitas, masa

remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, masa remaja sebagai masa

yang tidak realistik, masa remaja sebagai ambang masa dewasa (Hurlock, 1990:

208). Masa remaja merupakan suatu periode penting, meskipun semua periode

dalam rentang kehidupan adalah penting, namun kadar kepentingannya

(45)

Ada beberapa periode yang lebih penting daripada periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku dan yang penting karena akibat-akibat jangka panjangnya. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 1990: 207).

Masa remaja sebagai periode peralihan bukan berarti terputus dengan atau

berubah dari apa yang terjadi sebelumnya, melainkan sebuah peralihan dari tahap

perkembangan ke tahap berikutnya (Oemar Hamalik, 1995: 1). Dalam setiap

periode peralihan status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran

yang harus dilakukan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga

bukan orang dewasa. Apabila remaja bertindak seperti anak-anak, ia akan diajar

bertindak sesuai dengan umurnya, kalau remaja bertindak seperti orang dewasa ia

sering kali dituduh. Contoh seorang remaja memakai celana yang terlalu besar

untuk usianya dan ia dimarahi karena bertindak seperti orang dewasa (Hurlock,

1990: 207).

Masa remaja sebagai periode perubahan yaitu tingkat perubahan dalam

sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.

Ada lima perubahan yang sama yang hampir bersifat universal yaitu meningginya

emosi, perubahan tubuh, adanya masalah-masalah baru dalam hidup, perubahan

minat dan pola perilaku yang mengakibatkan perubahan nilai-nilai, bersikap

ambivalen atau menginginkan kebebasan (Hurlock, 1990: 207).

Masa remaja sebagai usia bermasalah yaitu masa remaja merupakan masa

yang sulit untuk mengatasi masalah karena pada masa kanak-kanak ketika

menghadapi masalah sering diselesaikan oleh orang tua atau guru sehingga anak

(46)

remaja, mereka merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya

sendiri dan menolak bantuan orang tua dan guru (Hurlock, 1990: 208). Masa

remaja juga diliputi masalah perasaan rendah diri, melamun, masalah seks,

melepaskan diri dari orang lain, agama dan banyak lagi masalah yang remaja

hadapi. Mereka beralih menjadi manusia yang ingin menjadi dirinya sendiri maka

penuh dengan pergolakan dalam dirinya (Landis, Tt: 3).

Masa remaja sebagai masa mencari identitas yaitu sepanjang usia geng pada

akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok adalah jauh

lebih penting bagi anak yang lebih besar dari pada individualitas. Salah satu cara

untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan

menggunakan simbol status dalam bentuk mobil, pakaian dan kepemilikan

barang-barang lain yang mudah terlihat. Dengan cara ini, remaja menarik

perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagi individu. Sementara itu

pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok

sebaya (Hurlock, 1990: 208).

Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan, seperti ditunjukkan

oleh Majeres dalam buku yang dikutip Hurlock (1990: 208), “banyak anggapan

populer tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, dan sayangnya banyak

di antaranya yang bersifat negatif”. Anggapan stereotip budaya bahwa remaja

adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung

merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus

membimbing dan mengawasi kehidupan remaja mudah takut bertanggung jawab

dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal. Hal ini

(47)

menjadikan jarak antara orang tua dan anak sehingga menghalangi anak untuk

meminta bantuan kepada orang tua untuk mengatasi berbagai masalahnya.

Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik di mana remaja cenderung

memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu yaitu melihat dirinya

sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan terlebih dalam hal cita-cita.

Cita-cita yang tidak realistik ini tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi

keluarga dan teman-temannya. Hal ini menyebabkan meningginya emosi yang

merupakan ciri dari awal masa remaja. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila

orang lain mengecewakannya atau kalau tidak berhasil mencapai tujuan yang

ditetapkan sendiri (Hurlock, 1990: 208).

Masa remaja merupakan masa pencarian yang sering membuat remaja

kehilangan arah. Setelah melihat ciri-ciri masa remaja, dapat disimpulkan bahwa

masa remaja merupakan masa yang penting dan membutuhkan pendampingan

yang serius terutama dalam menemukan jati dirinya. Dikaitkan dengan wali

baptis, remaja sangat membutuhkan pendampingan sementara wali baptis

merupakan orang yang ikut bertanggung jawab untuk membantu orang tua

mengarahkan anaknya sehingga perlulah wali baptis juga ikut bertanggung jawab

terutama dalam hidup menggereja.

c. Kehidupan Menggereja Remaja

Agama merupakan jawaban terhadap kehausan akan kepastian, jaminan, dan

keyakinan tempat mereka melekatkan dirinya dan untuk menopang

harapan-harapannya (Oemar Hamalik, 1995: 107). Agama menjadi masalah yang penting

(48)

muda. Mereka memperdebatkan masalah-masalah yang berhubungan dengan

Allah, surga, neraka, kehidupan sesudah mati, tentang manusia diciptakan dan

tentang mengapa manusia berada di dunia ini! Remaja mengharapkan mendaptkan

jawaban cepat tentang segala pertanyaan dan keragu-raguannya itu. Padahal di

antara pertanyaan tersebut jawabannya membutuhkan permenungan sepanjang

hidup. Untuk itu agama merupakan sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya

(Landis, Tt: 4).

Menurut Wagner dalam buku yang dikutip Hurlock banyak remaja yang

mengalami keraguan religius. Banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu

sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingin

mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin begitu saja

menerimanya. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi agnostik

atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima agama sebagai sesuatu yang

bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas dalam

menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri (Hurlock, 1990: 222).

Dalam banyak agama, masa remaja dipandang sebagai periode yang sangat

penting. Beberapa kelompok keagamaan memandang masa remaja sebagai saat

penyadaran, artinya saat di mana keimanan yang tadinya bersifat pinjaman, kini

menjadi miliknya sendiri. Masa remaja adalah suatu masa di mana remaja telah

matang untuk bertobat atau siap untuk menceburkan dirinya ke dalam agama

dengan lebih pasti (Oemar Hamalik, 1995: 108).

Selain mengalami masa penyadaran, mereka juga mengalami kesulitan

dalam mempersatukan ilmu pengetahuan (sains) dan agama. Konflik tersebut

(49)

memasuki akhir masa remaja. Pada masa itu mereka mempunyai pandangan

bahwa mereka harus memilih agama atau akal/fikiran, agama atau sains, tetapi

tidak dapat memilih kedua-duanya. Pandangan remaja tentang agama akan

semakin positif apabila remaja dibantu menyadari bahwa lebih ilmiah seorang,

atau lebih mendalam rasa keagamaannya, maka ia akan semakin menjadi pencari

kebenaran yang sungguh-sungguh (Oemar Hamalik, 1995: 112).

Di dalam Gereja Katolik, remaja sekarang ini lebih sedikit mengunjungi

Gereja, mengikuti sekolah minggu dan mengikuti kegiatan-kegiatan sosial Gereja

dibandingkan dengan para remaja generasi sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa

banyak remaja yang kecewa dengan agama yang terorganisasi, bukanya tidak

berminat pada agama itu sendiri. Dalam buku yang dikutip Hurlock Jones

menerangkan ”terjadi lebih banyak penurunan dalam kegairahan dan perasaan

positif terhadap Gereja dari pada peningkatan dan menentang Gereja”. Adanya

perubahan minat akan agama pada remaja tidak mencerminkan kurangnya

keyakinan, melainkan suatu kekecewaan terhadap pembentukan Gereja dan

penggunaan keyakinan dan khotbah dalam penyelesaian masalah sosial, politik

dan ekonomi (Hurlock, 1990: 222).

Setelah melihat berbagai kenyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa masa

remaja merupakan saat yang penting di mana mereka mendapatkan pendampingan

yang lebih intensif sehingga pola pikir mereka yang kurang benar dapat

diluruskan. Begitu pula dengan agama yang sangat susah untuk dipikirkan dan

dicari kenyataannya, penting bagi wali baptis untuk turut mendampingi mereka

sehingga secara bersama-sama mereka ditopang dalam pencarian jati diri sehingga

(50)

BAB III

METODOLOGI, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Pada bab III ini penulis akan mengadakan penelitian mengenai peran wali

baptis terhadap kehidupan menggereja remaja Katolik paroki St. Ignatius, Danan,

Wonogiri, Jawa Tengah. Penelitian ini penting dilakukan untuk memperoleh data

di lapangan. Segenap data yang diperoleh akan menjadi pembanding sekaligus

pendukung landasan teori sehingga penelitian ini menghasilkan data yang akurat.

Penulis akan membahas bab III secara lengkap sebagai berikut:

A. Sejarah Paroki St. Ignatius Danan, Wonogiri, Jawa Tengah

Mardi Santosa dalam sebuah website http://historiadomus

multiply.com/jurnal/item/97 menuliskan tentang sejarah paroki St. Ignatius,

Danan, Wonogiri sebagai berikut:

Paroki Danan terletak di sebelah Selatan Kabupaten Wonogiri tepatnya di

Dusun Danan, Kelurahan Sendang Agung, Kecamatan Giriwoyo, Kabupaten

Wonogiri, Jawa Tengah. Berdirinya paroki Danan tidak terlepas dari peran

guru-guru yang bertugas di SD Kanisius Serenan dan Watu Agung. Yayasan Kanisius

ketika itu hanya membuka sampai kelas tiga dan baru pada tahun 1942 membuka

sampai kelas enam SD.

Tahun 1937 Suwarno dengan murid-murid sekolah desa (VS Kanisius

Danan) diajak Pak Haryatmojo ke Baturetno (dari NS 1932) untuk mengikuti

Perayaan Ekaristi di Stasi Pathuk Baturetno. Para guru dan murid dari pak

(51)

sekaligus membawa misi pewartaan. Dari pewartaan Bapak Haryatmojo ini

akhirnya menghasilkan baptisan satu orang yakni Maria Pathi (nenek Bp.

Suwarno) pada tahun 1938 karena sakit sehingga dibaptis darurat (Mardisantosa,

2011: 84).

Pada tahun 1938 pewartaan Bapak Haryatmoj digantikan oleh Bapak

Harjoyuwono yaitu seorang kepala sekolah SR Danan. Selain pintar

memasyarakat, Pak Harjoyuwono ini juga seorang dukun pijat yang aktif memberi

pelajaran agama di luar sekolah kepada murid-muridnya. Anak-anak dipanggil di

rumahnya (Danan) untuk diajar agama di luar sekolah dengan belajar berdoa.

Kegiatan pengajaran ini hanya berjalan sampai pada tahun 1942 karena pak

Harjoyuwono mendapat pukulan keras dalam hal ekonomi. Sebagai seorang guru,

tidak ada gaji yang cukup untuk hidup, maka guru yang bertugas di Danan

kemudian pulang ke tempatnya masing-masing atau pindah ke sekolah negeri

(Mardisantosa, 2011: 85).

Oleh karena hal itu, perkembangan agama di Danan seret sampai tahun

1942. Namun pada tahun 1942, YB. Suwardi yang tak lain adalah tokoh paroki

dan katekis datang ke Baturetno waktu itu Baturetno masih menjadi stasi dari

Paroki Purbayan Solo. YB. Suwardi kemudian ditugaskan di paroki Baturetno

untuk mengembangkan umat di sektor selatan yang berpusat di Danan. Dari

tangan YB. Suwardi, pada 22 Desember 1944 sebanyak tujuh orang dibaptis di

kapel Nguntoronadi Baturetno oleh Rm. Puspasuparta, SJ. Salah satu dari ketujuh

orang tersebut adalah Suherman, satu-satunya orang Katolik di Platarejo

(Mardisantosa, 2011: 85).

(52)

semakin berkembang pesat dan menyebar ke daerah Giritontro dan Paranggupito.

Karena para guru ingin diangkat menjadi pegawai tetap yayasan, maka beberapa

tokoh dan guru diutus untuk memekarkan iman Katolik ke beberapa daerah. Di

antaranya Pak Miyo diutus ke Paranggupito, Bp. Sumarna ditugaskan ke daerah

Pracimantoro dan Pak. Suherman diutus di Danan dan sekitarnya. Pada tahun

1970 berdirilah wilayah-wilayah/kring di stasi Danan antara lain Jepurun,

Ngampohan, Selorejo, Dringo, Wonokriyo, Pendem, Watuireng, Gedongrejo,

Tirtosuworo, Paranggupito, Pracimantoro (Sedayu) dan Jatisawit (Mardisantosa,

2011: 87).

Perkembangan umat cukup pesat di Danan, maka mulai dirintis menjadi

paroki. Peribadatan setiap lima hari sekali yang sebelumnya dilaksanakan di

rumah Ibu Noto/Bapak Suwardi oleh seorang Pastor, akhirnya tidak bisa

menampung umat. Kemudia timbulah pemikiran Bapak Suwardi (dengan restu

romo) mencari rumah khusus untuk beribadat. Atas inisatif Bapak Suwardi pula,

lalu dibeli rumah joglo dan rumah limasan dengan uang dari umat dan paroki.

Rumah joglo kemudian dibangun, dibentuk dan dibuat menjadi gereja (panti) dan

gedung sekolah SD dan SMP. Ketika itu Rm. Th. Poespasoeganda Pr menjadi

Pastor Kepala Paroki Baturetno (1962-1972) (Mardisantosa, 2011: 87).

Ketika Rm. Storemmsand SJ menjadi pastor kepala Paroki Baturetno

(1980-1994), beliau ditugaskan mengembangkan umat di stasi Danan. Rm

Storemmesand SJ kemudian melanjutkan pembangunan dengan menambah lantai

dari tegel di panti dan pastoran yang pada akhirnya mendirikan gedung gereja

baru di sebelah panti (gedung gereja yang sekarang). Partisipasi umat dalam

(53)

bangunan fisik Gereja Danan berdiri dan mulai dipersiapkan untuk menjadi paroki

(Mardisantosa, 2011: 88).

Stasi Danan menjadi paroki administratif pada 1 April 1997 yang ditandai

dengan peresmian stasi Danan menjadi Paroki Adminstratif oleh Pastor Vikep

Surakarta, Rm. Alb. Priyambono Pr. Peresmian ini dibarengi dengan pemberkatan

gedung gereja Santo Ignatius Danan yang baru. Pada 31 Juli 1998 Paroki

adminsitratif Danan resmi menjadi paroki. Peresmian dilaksanakan oleh Uskup

Agung Semarang, Mgr. Ignatius Suharyo pada 24 Agustus 1998 (Mardisantosa,

2011: 88).

Sebagai pastor kepala paroki pertama adalah Rm. HP. Bratasudarma, SJ

(1998-2000) yang menggembalakan umat lebih dari 2000 orang. Tahun 2000 Rm.

FX. Arko Sudiono, SJ menggantikan Rm. HP. Bratasudarma menjadi pastor

paroki Danan (2000-2003) dan sejak 2003 Rm. FX. Arko Sudiono, SJ digantikan

oleh Rm Alb. Mardi Santosa, SJ (2003– 2007), Rm Alb. Mardi Santosa, SJ

digantikan oleh Rm T. Puspodianto SJ (2007-2010), Rm T. Puspodianto SJ

digantikan oleh Rm. P. Pramudyarkara SJ (2010-saat ini) (Mardisantosa, 2011:

88).

Tahun 2001 Paroki Danan dibagi menjadi lima wilayah dan dua lingkungan

jauh yang terdiri dari 19 lingkungan yakni wilayah Danan: Meliputi lingkungan

Danan, Dringo, Jatiharjo. Wilayah Jepurun: Meliputi lingkungan Jepurun Lor,

Jepurun Kidul, Platar, Selorejo, Jatisawit. Wilayah Ngampohan: Meliputi

lingkungan Ngampohan, Pendem, Longsoran, Watuireng. Wilayah Pracimantoro:

Meliputi lingkungan Pracimantoro, Wonoharjo, Sedayu. Wilayah Paranggupito:

(54)

Gedongrejo dan Tirtasuworo (Mardisantosa, 2011: 88-89).

Paroki Danan memiliki 9 kapel yaitu: Kapel St. Yohanes Rasul Sendang Ratu

Kenya, Kapel St. Yohanes Rasul Sendang Ratu Kenya, Kapel St. Mateus Dringo,

Kapel St. Yakobus Jatiharjo, Kapel St. Maria Jepurun, Kapel Tirtosworo, Kapel

St. Petrus Gedongrejo, Kapel St. Petrus Pracimantoro, Kapel St. Fransiskus

Xaverius Paranggupito, Kapel St. Yohanes De Britto Songbledheg. Serta satu

gedung gereja yaitu gereja St. Ignatius Danan (Mardisantosa, 2011: 89).

B.Kehidupan Menggereja Remaja Paroki Santo Ignatius Danan, Wonogiri,

Jawa tengah

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Albertus Patmo sebagai

pendamping remaja Paoki St. Ignatius Danan, dapat diketahui situasi remaja

katolik paroki St. Ignatius, Danan sebagai berikut:

Remaja Katolik Paroki St. Ignatius Danan pada tahun 2002-2007 sangat

aktif dan sering mengadakan kegiatan bahkan sangat terkenal di kevikepan

Surakarta. Sebagai paroki muda yang baru berkembang bisa dikatakan anak

mudanya gaul meskipun terletak di desa. Kaum muda sangatlah diberdayakan dan

mendapat posisi paling depan dalam kegiatan menggereja, bahkan banyak orang

yang terpanggil menjadi biarawan-biarawati {Lampiran 3: (3)}.

Kehidupan menggereja di paroki Danan sangat kental dengan kerukunan

dan kebersamaan. Romo paroki sangat antusias dalam kegiatan menggereja

anak-anak muda termasuk remaja Katolik. Bahkan untuk kebersihan Gereja romo

paroki awalnya mempercayakan kepada anak muda yang nantinya dibantu dalam

(55)

mendapatkan posisi terdepan dalam kegiatan menggereja dan didampingi oleh

para senior sehingga mereka saling bekerja sama. Kini kaum muda dan remaja

Karolik di Paroki Danan sudah tidak aktif sama sekali. Bahkan dalam kegiatan

menggereja yang dilibatkan hanya orang tua karena remajanya tenggelam atau

tidak aktif sama sekali {Lampiran 3: (3)}.

Gereja merupakan wadah kaum muda untuk semakin kreatif dan mampu

mengembangkan iman. Selain itu masa remaja merupakan masa yang sangat

membutuhkan bimbingan. Penulis merasa tertarik dengan hal ini, berawal dari

keprihatinan yang ada maka penulis mencoba menggali lagi peran para wali baptis

sehingga semua orang dan komponen Gereja semakin ikut ambil bagian untuk

memperkembangkan dan selalu membimbing remaja dalam masa pencariannya

sehingga Gereja ini tetaplah utuh.

C. Latar Belakang Penelitian

Berawal dari suatu persoalan yang ada yaitu banyak sekali anak muda yang

sudah mulai “loyo” tidak bergairah lagi dalam mengikuti kegiatan menggereja

bahkan meninggalkan imannya. Remaja yang tiga tahun lalu sangat aktif dalam

kegiatan menggereja bahkan sampai tingkat kevikepan sering mengikuti moment

penting, saat ini mengalami keprihatinan dimana remaja sangat susah untuk terlibat

dalam hidup menggereja bahkan sulit sekali untuk mengadakan kegiatan dalam

paroki saja seperti pertemuan rutin. Di saat-saat seperti ini banyak sekali yang

disalahkan mulai dari katekis, orang tua, bahkan romo paroki yang tidak bisa

merangkul.

(56)

hidup menggereja dapat berlangsung dengan baik. Tanggung jawab untuk

membina iman katekumen tidak hanya bergantung pada pastor paroki atau

lebih-lebih guru agama tetapi menjadi tanggung jawab seluruh umat, terutama wali

baptis yang mendampingi katekumen secara pribadi. Di dalam Ad Gentes artikel

14 dinyatakan bahwa inisiasi Kristen didalam katekumenat harus diselenggarakan

bukan saja oleh katekis atau imam, tetapi oleh seluruh jemaat beriman terutama

wali baptis sehingga dari awal para katekumen merasa dirinya tergabung kedalam

umat Allah.

Penelitian ini akan dilakukan untuk wali baptis dan remaja katolik. Wali

baptis perlu diteliti untuk mengetahui seberapa jauh mereka sadar akan tugas

sebagai wali baptis dan apakah mereka sudah menjalankan tugasnya untuk anak

baptisnya. Sedangkan penelitian untuk remaja dilakukan untuk membuktikan

pernyataan wali baptis dan juga untuk mengetahui apakah remaja membutuhkan

bapa rohani dalam hidupnya. Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu

data yang dapat membuktikan bahwa wali baptis berperan untuk anak baptis

terutama remaja sehingga akan menghasilkan suatu pendampingan khusus bagi

kaum muda terutama remaja untuk dapat memilih jalan hidup yang berkualitas

dan dapat lebih aktif kembali dalam mengikuti kegiatan menggereja serta dapat

membuktikan bahwa wali baptis mempunyai peran yang penting untuk

perkembangan iman anak baptis dan kehidupan menggereja anak baptis.

D. Metodologi Penelitian

Gambar

Tabel 1:  Identitas Responden
Tabel 2:  Peran Wali Baptis Terhadap Kehidupan Menggereja Remaja
Tabel 3:  Motivasi Menjadi Wali Baptis
Tabel 4:  Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Proses Pendampingan
+7

Referensi

Dokumen terkait

14 Rizka Putri Adriani SMAN 34 JKT JAKARTA SELATAN. 15 Mujahidin Yusuf SMAN 47 JKT

Bagi para pelatih dalam proses latihan agar mencoba latihan ladder drill. sebagia varian latihan untuk meningkatkan kemampuan kelincahan

Kesimpulan ini akan mencakup (a) Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren Modern Mathla’ul Huda Bandung; (b) Perencanaan program pendidikan karakter kedisiplinan di Pondok

Apabila teman-teman bertanya kepada saya : “Mengapa kita harus berbakti kepada orang tua ?”.. Kata pak ustadz, kita harus berbakti kepada orang tua karena Allah

Burung kolibri memiliki bent uk paruh yang kecil, runcing, panjang, dan melengkung dengan t ujuan memudahkan mengisap nekt ar pada bunga. Sedangkan bagian t umbuhan

[r]

mengungkapkan / operasi pasar yang dilakukan disesuaikan dengan hari pasaran / sehingga masyarakat dapat langsung membeli beras dari bulog tersebut // Dari data bulog menurut Murino

STUDI EKSPLORASI KETERSERAPAN LULUSAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI DI KOTA BANDUNG PADA INDUSTRI OTOMOTIF.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu