• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Di Bunken Kendar

Dalam dokumen KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DI BUNKEN KE (Halaman 70-79)

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Di Bunken Kendar

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa bangsa Jepang sebagai penguasa mempunyai hak atas apapun terhadap penduduk daerah jajahan sehingga tidak ada pilihan lain kecuali mengikuti kehendak apa yang diinginkan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Salah satu yang termasuk didalamnya adalah pemaksaan dalam hal sistem budaya kepada masyarakat setempat. Selain itu

kemerosotan ekonomi yang terjadi pada masa itu juga akan selalu dibarengi dengan kemerosotan moral. Hal ini berpengaruh pada kehidupan sosial budaya masyarakat pada masa itu.

Kesusahan hidup rakyat di masa Jepang membuat rakyat seakan menghamba kepada Jepang sekadar untuk memperoleh fasilitas makanan dan pakaian. Jepang juga menerapkan agar masyarakat pada masa itu mengharuskan untuk menundukkan kepala dan memberi hormat bila bertemu dengan tentara- tentara Jepang sehingga nampak pada satu sisi dalam hal bangsa Jepang ingin selalu dihormati, disanjung, dan dipertuan. Masyarakat juga diharuskan untuk selalu menampakkan rasa hormat mereka dalam situasi apapun, sehingga nampak perbedaan sosial antara yang dipertuan dan yang mempertuan.

Disamping itu, masyarakat diharuskan untuk melakukan “Seikeirei” yakni

membungkukkan badan ke arah timur seperti ruku’ dalam shalat agama Islam, untuk memberi hormat kepada Kaisar Tenno Heika, yaitu Kaisar Jepang di Tokyo yang dianggap keturunan dewa oleh orang-orang Jepang. Aturan ini bertentangan dengan prinsip atau ajaran agama Islam yang telah dianut oleh masyarakat yang hanya menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut penuturan Nurdalia, bahwa “yang menyedihkan juga adalah perlakuan Jepang yang mengatur tata pergaulan masyarakat. Bayangkan masyarakat disuruh menghormat dengan cara membungkuk” (Wawancara, 8 maret 2014). Selain itu dituturkan juga oleh Agustina bahwa “Jepang itu sangat menakutkan, sehingga apa yang dia mau harus diikuti, baru main pukul juga” (Wawancara, 1 Juni 2014).

Sementara itu, di Bunken Kendari pengerahan tenaga wanita tidak seperti di Pulau Jawa yang merekrut para wanita sebagai penghibur. Meskipun ada, tetapi di Bunken Kendari jumlahnya tidak banyak. Untuk terhindar dari ancaman ini, pihak keluarga dengan terpaksa mengawinkan anak gadisnya tanpa melalui proses normal sesuai kebiasaan, malah ada pula yang terpaksa mengaku sebagai suami istri sebagai cara untuk melindungi diri. Dalam keadaan seperti ini, maka pengikut-pengikut Jepang kadang-kadang juga ditakuti oleh rakyat, sama dengan ketakutan mereka terhadap Jepang. Dalam wawancara H.Anton menjelasakan “orang-orag kita juga yang memanggil masyarakat ikut Jepang. Dia lakukan itu karena takut” (Wawancara, 16 Maret 2014).

Dalam suasana perang pada masa pendudukan Jepang, juga sangat sulit untuk mengharapkan adanya perkembangan dibidang seni budaya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Burhanuddin, dkk (1986:7-8) bahwa “Seni budaya tradisional kembali mengalami kemunduran karena keprihatinan dalam menghadapi suasana perang yang dibarengi dengan hancurnya sendi-sendi kehidupan masyarakat tradisional sebagai akibat dari kecenderungan kemorosotan moral karena pengaruh kehidupan pada masa pendudukan Jepang”. Menurut Agustina, “tidak ada lagi pesta-pesta waktu itu, tidak ada apa-apa yang bisa dimakan apalagi mau pesta” (Wawancara, 1 Juni 2014).

Selain itu menurut H.Anton, “orang-orang diliputi rasa takut, jadi tidak ada kegiatan lain yang jalan” (Wawancara, 16 Maret 2014). Jika ada perkembangan, hanya terjadi pada jiwa dari para pemuda. Nyanyian yang dinyanyikan pada masa pendudukan Jepang adalah nyanyian yang penuh

semangat yang digemari bagi para pemuda. Seni budaya tradisional kembali mengalami kegoncangan karena keprihatinan menghadapi suasana perang yang dibarengi dengan hancurnya sendi-sendi masyarakat tradisional sebagai akibat dari kecenderungan kemorosotal moral karena pengaruh kehidupan masa pendudukan Jepang itu.

Seni tradisional yang merupakan perwujudan dari ketentraman hidup masyarakat hampir tidak muncul dalam kehidupan rakyat yang penuh dengan kesulitan hidup. Pada waktu itu jarang terjadi keramaian atau pesta dimana rakyat dapat memunculkan seni tradisionalnya. Masa pendudukan Jepang dengan cirinya sendiri membawa pengaruh budaya yang khusus pula, walaupun wanita dan jenis pengaruh itu tidak dapat dilihat secara nyata. Pada waktu itu semangat dan keperwiraan kembali dibangkitkan oleh Jepang.

Dengan demikian, seni budaya tradisional yang merupakan perwujudan ketentraman hidup masyarakat hampir tidak muncul dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan kesulitan dan penderitaan. Pada masa pendudukan Jepang jarang dilaksanakan upacara adat atau pesta dimana masyarakat memunculkan seni budaya tradisionalnya. Akibat seni budaya tradisional masyarakat pada masa pendudukan Jepang menjadi tidak berkembang.

Di bidang keagamaan, Jepang terhadap pemuka Islam bersikap mengambil hati. Malahan melalui tokoh-tokoh ini Jepang meminta pemuda untuk dikirim ke Makassar guna melanjutkan pelajaran di sekolah Islam disana. Tindakan Jepang ini sebagai imbalan dari pembubaran semua organisasi yang telah berdiri semenjak zaman Hindia Belanda, umat Islam cenderung untuk anti Belanda, ini

disebabkan karena umat Islam merupakan golongan rakyat mayoritas di Kota Kendari dan Sulawesi Tenggara.

Misalnya organisasi Jamiah Islamiyah untuk kaum Muslimin menyelubungi gerakan perjuangan golongan Islam yang sebelumnya terlihat dalam gerakan PSII dan Muhammadiyah. Dengan adanya Jamiatul Muslimin (Jamiah Islamiyah) potensi perjuangan rakyat (khusus umat Islam) di Kota Kendari pada masa pendudukan Jepang tetap tumbuh walaupun dalam keadaan terselubung sebagai akibat dari pemerintahan militer Jepang yang kejam. Menurut H.Anton, “di Kota Kendari lumayan ada kegiatan yang jalan, misalnya pertemuan-pertemuan kecil, semacam pengajian begitu, tetapi di desa semacam itu tidak ada” (Wawancara, 16 Maret 2014).

Sedangkan terhadap agama Kristen, Jepang bersikap sebaliknya. Hal ini ditandai dengan pembunuhan korban pertama Jepang ketika menduduki Kendari adalah Pendeta Gouwelas. Pada saat itu semua pendeta Zending adalah orang Belanda, sehingga mereka ditangkap oleh Jepang, demikian pula Pastor Katholik di Muna. Dengan ditangkapnya mereka ini maka Agama Nasrani mengalami kemunduran karena ketiadaan pimpinan. Malah mereka ini dianggap pengikut Belanda dan cenderung untuk selalu dicurangi oleh Jepang. Penganut agama Kristen mengalami intimidasi. Kecurigaan Jepang terhadap orang Kristen makin bertambah, mereka dilarang melakukan kebaktian. Hal tersebut diperkuat oleh penuturan Nurdalia, “Jepang juga membeda-bedakan orang. Seperti bangsawan, rakyat jelata, orang kaya dan miskin” (Wawancara, 8 Maret 2014). Hal serupa

juga dipaparkan oleh Agustina, bahwa “begitu dilihat kita miskin atau kita bodoh maka diinjak-injak betul” (Wawancara, 1 Juni 2014).

Adapun dibidang pendidikan, Jepang menaruh perhatian lebih dengan mengutamakan pendidikan. Hal ini diwujudkan dengan penambahan sekolah yang telah ditetapkan semula oleh Pemerintahan Belanda lebih banyak lagi. Pada masa pendudukan Jepang, di tiap Distrik atau Onderdistrik telah berdiri Sekolah Desa (Volkschool) yang lama belajarnya 3 tahun. Bahkan dibeberapa distrik terdapat 2 atau 3 Sekolah Desa. Sekolah Sambungan (Vervolkschool) yang lama belajarnya 5 tahun hanya terdapat di Kendari dan Wawotobi. Pada masa pendudukan Jepang jumlah sekolah dikembangkan sehingga hampir semua kampung mempunyai SD 3 tahun dan Sekolah Sambungan sampai kelas 6 juga jumlahnya bertambah. Sekolah-sekolah swasta diambil alih oleh Jepang dan dijadikan sekolah negeri.

Peningkatan jumlah Sekolah Rakyat (SD) pada masa pendudukan karena sekolah-sekolah yang dibentuk oleh Belanda kemudian diambil alih oleh Jepang. Isi pendidikan pada masa pendudukan Jepang hampir sama dengan isi pendidikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kecuali bahasa Jepang diajarkan sejak dari kelas I SD. Penggunaan bahasa Jepang di sekolah diperkuat dengan pemaparan H.Anton, bahwa “kita disuruh sekolah pake bahasa Jepang tetapi tidak lama” (Wawancara, 16 Maret 2014).

Pelajaran menyanyi banyak diisi dengan mars perang Jepang yang kelihatannya amat digemari oleh anak-anak sekolah. Pada masa pendudukan Jepang sekolah-sekolah diperkenalkan dengan Taiso (senam pagi) sebelum pelajaran dimulai. Pelajaran bercerita banyak diambil dari tokoh-tokoh

legendaries-mitologis Jepang yang menonjolkan kewiraan dan kepahlawanan. Guru amat dihormati di zaman Jepang dan ini dicontohkan sendiri oleh tentara Jepang.

Pada masa pendudukan Jepang, para pemuda juga digembleng dengan didikan semangat yang tinggi serta diberikan latihan baris-berbaris atau latihan kemiliteran. Para pemuda sangat mengagumi keberanian dan keperwiraan atau kepahlawanan tentara Jepang. Sejak saat itu pula pemuda mendapat pendidikan kemiliteran dan pengenalan secara langsung terhadap alat-alat persenjataan yang modern yang sebelumnya merupakan alat yang sangat ditakuti. Akibatnya banyak pemuda yang mengikuti pendidikan dan latihan kemiliteran telah memiliki semangat kepatriotan dan kepahlawanan.

Walaupun semua dilakukan Jepang untuk memenuhi kebutuhan mereka selama menjajah, bukan berarti masa pendudukan Jepang di Kendari tidak memiliki dampak yang positif bagi masyarakat. Dampak positif dapat dilihat dari diadakannya penyuluhan-penyuluhan terhadap masyarakat agar masyarakat setempat memiliki pengetahuan tentang cara-cara bertani yang baik, sehingga dapat meningkatkan hasil pertanian. Selain itu, pemerintah Jepang juga memberikan jenis bibit baru sehingga masyarakat mengenal jenis tanaman baru, seperti tanaman jarak, terong, sawi dan jenis-jenis bibit lainnya.

Sejak menduduki wilayah Indonesia, Jepang telah mempunyai dan memiliki program tertentu untuk Indonesia. Tujuan utama Jepang adalah untuk menyusun dan mengarahkan kembali perekonomian Indonesia dalam rangka menopang upaya perang Jepang. Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa

perang terbuka di Pasifik yang dimulai oleh Jepang telah mengakibatkan rusaknya sendi-sendi perekonomian dan setelah berhasil menduduki dan menguasai Indonesia, Jepang kembali berusaha untuk memulihkan kegiatan perekonomian tersebut.

Begitu pula para romusha, untuk membalas jasa para tentaranya, tentara Jepang membagikan kain sepanjang 4 meter/orang untuk keperluan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa tentara Jepang memerintah dengan sangat kejam tapi tetap mengerti kebutuhan para pekerjanya yaitu kebutuhan akan kain untuk menghangatkan badan pada malam hari. Selain itu, sikap Jepang memperkerjakan masyarakat pada romusha dengan mengadakan pengawasan dan disiplin kerja yang sangat ketat sehingga mengakibatkan penderitaan fisik maupun mental bagi para romusha.

Pada masa pendudukan Jepang para romusha harus bangun subuh karena jam lima pagi harus apel di depan asrama sebelum berangkat ke tempat kerja, dan siapa pun yang terlambat bangun maka ia akan merasakan pukulan atau tendangan tentara Jepang. Kalau waktu kerja maka mereka harus betul-betul bekerja, begitu pula pada waktu istirahat harus istirahat. Namun dibalik penderitaan tersebut, tanpa disadari pada diri masyarakat terutama para romusha telah tertanam sikap disiplin dan menambah pengetahuan mereka mengenai teknik dalam membuat bangunan pertahanan.

Mereka yang bekerja menjadi romusha tanpa disadari dapat mengetahui cara membuat jalan, parit, pertahanan, perlindungan bawah tanah (bungker), dan memperbaiki serta memperluas landasan lapangan terbang Kendari Dua

(Ambaipua) dengan berbagai teknik yang telah diajarkan oleh tentara Jepang. Hal ini menjadikan masyarakat tahan akan penderitaan. Demikian pula halnya dengan jalan-jalan yang dibuat dan dirintis pada masa pendudukan Jepang, pada akhirnya dapat dinikmati oleh masyarakat hingga saat ini.

Melalui latihan kemiliteran, seperti seinendan, keibodan, dan heiho, masyarakat memperoleh pengalaman dalam hal kedisiplinan, pengetahuan dasar militer, cara-cara menggunakan alat-alat persenjataan dan yang lebih penting adalah semangat untuk berjuang dalam mencapai kemenangan. Semangat inilah yang menjadi ujung tombak dalam mencapai kemerdekaan Indonesia.

Dampak positif lainnya yaitu masyarakat banyak mendapatkan tempaan baru dalam hal semangat dan etos kerja dan harga diri yang tinggi, yang kelak dapat dijadikan salah satu modal dalam melakukan berbagai aktivitas setelah berakhirnya mobilisasi romusha. Kebudayaan banyak yang diajarkan kepada masyarakat, demikian pula dengan senam (taiso), nyanyian dan music Jepang yang juga diajarkan di sekolah-sekolah.

Pada masa pendudukan Jepang, ada juga pemimpin-pemimpin baru dalam masyarakat yang merupakan masyarakat setempat yang diberikan kesempatan oleh Jepang yang mau diajak kerjasama untuk memegang jabatan-jabatan penting. Mereka pada umumnya merupakan orang-orang terpelajar yang telah mendapatkan pendidikan dan latihan militer sehingga memiliki kecakapan dan keterampilan yang dapat dimanfaatkan oleh tentara Jepang. Orang-orang yang bekerja pada pemerintahan pendudukan Jepang sangat dihormati dan dihargai oleh masyarakat.

BAB VI

Dalam dokumen KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DI BUNKEN KE (Halaman 70-79)

Dokumen terkait