• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DI BUNKEN KE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DI BUNKEN KE"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DI

BUNKEN

KENDARI

PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

(1942-1945)

SKRIPSI

Diajukan Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Kependidikan (S1) Pada Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

OLEH

DYAH WIJAYANTI A1A209108

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, pemelihara seluruh alam raya, karena atas segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya, telah memberikan kesehatan dan hikmat kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas. Terselesaikannya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari dorongan dan uluran tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, tidak salah kiranya bila penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap beberapa pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof.Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S. sebagai Rektor Universitas Halu Oleo 2. Prof. Dr. La Iru, SH., M.Si. sebagai Dekan Fakultas Kegururan Dan Ilmu

Pendidikan Universitas Halu Oleo

3. Dra. Aswati M., M.Hum selaku pembimbing I dan Drs. Hayari, M.Hum selaku pembimbing II sekaligus Penasihat Akademik (PA) penulis, telah banyak membantu penulis untuk arahan dan masukan selama proses penulisan ini berlangsung.

(5)

5. Para informan atau nara sumber, yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan informasi atau data tentang penelitian yang penulis lakukan.

6. Teman-teman seangkatan program studi pendidikan sejarah UNM 2009 yang selama ini telah banyak memberikan penulis pengalaman, candaan serta kebersamaan selama masa perkuliahan dan di luar kampus. Teruntuk Ermi Apriliani, S.Pd, Enda Kusuma wardani, S.Pd, Mirnawati, S.Pd, Rahmawati, S.Pd, Dian Meutiah, S.Pd, Syahrul dan Helmy, serta teman_teman seangkatan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya. Serta teman-teman Makhluk Manis UKM Seni UNM yang banyak memberikan inspirasi dan semangat buat penulis.

7. Sahabat-sahabat penulis D’Saykow teruntuk Nurasia, Wahyuni, S.H, Evi Nur Qalby, S.Pd, Rizky Ulandari, Sumarni, Andi Rezky Amelia, Hardy Arfandi dan Muh Jamil. Terima kasih banyak untuk kalian semua yang telah banyak memberikan penulis ilmu tentang kehidupan, arti persahabatan dan tidak henti-hentinya memarahi penulis agar menyelesaikan kuliah secepatnya.

(6)

9. Terutama penulis ucapkan terima kasih, teruntuk Ayahanda Dr. Zainuddin Saenong, S.E.,M.S., serta ibunda Suryani Hafid tercinta yang telah mendidik dan membesarkan penulis hingga sekarang dengan penuh kasih sayang sehingga penulis tidak pernah merasakan kekurangan sedikit pun. Serta kakak Sasadara Hayunira, S.S yang banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi penulis dan adik Puspa Dewangga tersayang. Mereka banyak memberikan penulis semangat dan candaan selama ini. Penulis sangat bangga memiliki saudara seperti kalian.

Permohonan maaf menjadi penutup dalam prakata ini. Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam menyelesaikan skripsi ini, namun penulis menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi maupun tata bahasa. Selain itu hasil kerja ini masih mengandung banyak celah yang membutuhkan penyempurnaan pikir dari ide-ide segar selanjutnya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sebagai bagian dari proses belajar, yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu sejarah, serta dapat dijadikan sebagai salah satu sumber referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat meneliti hal yang sama. Shalawat serta salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, kebahagiaan dan karunia yang telah diberikan kepada penulis selama ini.

Kendari, Juli 2014 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian……….. 31

C. Sumber Data Penelitian………... 32

D. Metode Penelitian……… 32

BAB IV GAMBARAN UMUM BUNKEN KENDARI PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG A. Keadaan Geografis………... 36

B. Keadaan Demografis……… 38

C. Sejarah Masuknya Jepang di Kendari……….. 43

D. Jepang dan Tinggalan Bangunannya di Kendari………. 49

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat di Bunken Kendari Pada Masa Pendudukan Jepang…... 58

B. Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Di Bunken Kendari Pada Masa Pendudukan Jepang……... 62

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan……….. 71

B. Saran-Saran……….. 72

C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran di Sekolah... 73

DAFTAR PUSTAKA……… 76

DAFTAR INFORMAN……… 79

(8)

ABSTRAK

DYAH WIJAYANTI. “Kehidupan Sosial Masyarakat di Bunken Kendari Pada

Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)”, dibimbing oleh Dra. Aswati M., M.Hum. dan Drs. Hayari, M.Hum, selaku pembimbing I dan pembimbing II.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Bunken Kendari pada masa pendudukan Jepang, dan 2) Bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat di Bunken Kendari pada masa pendudukan Jepang.

Penelitian ini menggunakan konsep pendudukan, konsep mobilisasi dan

romusha, konsep sosial ekonomi dan konsep sosial budaya dalam membantu menjawab pertanyaan penelitian. Data utama dalam penelitian adalah data kesejarahan masa pendudukan Jepang yang ditunjang dengan informasi dari beberapa informan. Peneliti menggunakan metode sejarah menurut Helius Syamsuddin, yaitu heuristik, kritik sumber dan historiografi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Akibat adanya pekerja romusha

mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat : 1) Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di daerah Teluk Kendari yang merupakan daerah perdagangan, keluar dan masuknya hasil dagangan ke wilayah luar dan dalam Kendari menjadi merosot. Barang-barang di pasar sangat sulit untuk ditemukan, walaupun ingin dibayar dengan harga mahal. Selain itu bahan makanan juga ikut merosot. Kesemua ini diakibatkan karena tidak adanya tenaga yang bekerja di pasar dan ladang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena banyak yang dikerahkan untuk kebutuhan perang. 2) Kehidupan sosial budaya masyarakat di

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam melimpah. Sebagai negara kepulauan, Indonesia termasuk negara yang subur dengan sumber daya alam yang dimilikinya, baik hasil bumi dan pertambangan. Kekayaan alam yang dimiliki mengundang banyak ancaman dari luar karena terdesaknya kebutuhan. Sumber daya manusia yang terus meningkat membuat kebutuhan semakin meningkat, namun tidak didukung oleh lingkungan yang memadai. Hal inilah yang mendorong negara luar untuk menguasai Indonesia.

Penguasaan wilayah Indonesia sangat terlihat dari kesejarahan yang telah terjadi yaitu sejak Belanda menguasai Indonesia, hingga Jepang sebagai negara tetangga. Penguasaan Jepang atas wilayah Indonesia merupakan masa pendudukan Jepang atas wilayah Indonesia yang terjadi pada saat Perang Dunia II yaitu pada tahun 1942-1945. Perang dunia II mulai berkecamuk sejak tanggal 1 September 1939 yaitu pada saat pendudukan Jerman di Polandia, hingga tanggal 14 Agustus 1945 yaitu pada saat Jepang menyerah kepada tentara Amerika Serikat.

(10)

oleh adanya keinginan menguasai hasil sumber daya alam dan pertambangan. Penguasaan ini sangat jelas terlihat dengan pendudukan Jepang pertama kali di Indonesia yaitu dengan menduduki wilayah yang memiliki hasil pertambangan, seperti di Kalimantan dan di daerah tenggara Sulawesi yaitu Kendari.

Persediaan sumber daya alam yang melimpah mendorong kehadiran Jepang di Indonesia yang pada awalnya mendapat sambutan yang cukup simpatik dari tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno, Muhammad Hatta dan Sjahrir. Hal ini sebagai akibat dari semboyan yang dikeluarkan oleh Jepang yang dikenal dengan semboyan gerakan tiga A, yakni Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, dan Jepang Pelindung Asia.

Dalam penguasaannya untuk menguasai, Jepang mengerahkan angkatan darat (rikugun) dan angkatan laut (kaigun) untuk menguasai kepulauan Indonesia. Penyerangan Jepang atas Indonesia pada mulanya menyerang daerah pertambangan yang terdapat di Kalimantan melalui Selat Makassar. Selain itu jalur Laut Maluku, Jepang menganggap penting dalam perhitungan strategis perang jangka panjang, dan Jepang memusatkan perhatiannya pada Morotai dan Kendari. Dalam strategi perang Jepang, Kendari mempunyai posisi yang amat penting.

(11)

markas pada masa pendudukan Jepang untuk menguasai daerah Indonesia bagian timur dan kekayaan alam yang dimiliki Kendari.

Kendari sebagai wilayah yang saat Jepang datang di Indonesia masih dalam penjajahan Belanda, menyambut baik kedatangan Jepang karena dianggap akan membebaskan penjajahan yang terjadi. Namun bagi Jepang, Kendari sebagai daerah yang kecil namun memiliki banyak hasil bumi dan pertambangan, namun menjadi daerah yang tidak terlalu penting bagi Belanda saat itu, sehingga membuat Jepang memusatkan perhatiannya untuk daerah ini.

Kedatangan Jepang di Kendari mendapat serangan oleh Belanda yang masih berada di Kendari. Namun perebutan kekuasaan dari tangan Belanda dengan mudah dilakukan oleh Jepang. Belanda yang sudah lama menguasai wilayah Kendari mengalami kekalahan menghadapi serangan militer Jepang yang agresif. Kekalahan Belanda ditandai dengan upacara penyerahan kekuasaan Belanda ke Jepang atas wilayah Kendari pada tanggal 26 Januari 1942 di Lapangan udara Kendari dua. Sejak saat itulah kekuasaan atas wilayah Kendari dipegang penuh oleh Jepang.

(12)

Timur, atas kepentingan tersebut maka Jepang membangun fasilitas militer seperti perbaikan dermaga, pelabuhan udara dan kubu-kubu pertahanan militer.

Dibidang pemerintahan umum, Jepang tidak melakukan perubahan dan tetap mempertahankan dan memakai system pemerintahan dualism Belanda dan pemerintahan Swapraja, dan disesuaikan dengan pemerintahan pendudukan militer Jepang. Perubahan sedikit terjadi pada Swapraja Laiwoi (Kendari), dimana Kapita yang merupakan pembesar kerajaan Laiwoi dijadikan Raja II sedangkan Raja Laiwoi menjadi Raja I. Pembagian wilayah bawahan tidak mengalami perubahan, yang diubah hanya nama kesatuan wilayah dan pejabat pemerintahan sipil. Afdeling menjadi Ken dengan Kepala Kenkanrikan. Onderafdeling menjadi

Bunken dengan Kepala Bunken Kenkanrikan. Distrik/Onderdistrik menjadi Gun

dengan Kepala Gunco, Kampung menjadi Son yang dikepalai Sonco. Walaupun Jepang mengatur pemerintahan sipil di Sulawesi Tenggara, jabatan Ken Kenkarikan dan Bunken Karikan dijabat oleh orang Jepang sedangkan Gunco dan

Sonco dijabat oleh orang Indonesia, akan tetapi yang menonjol pada rakyat dalam system pemerintahan Jepang adalah kekuasaan dan kekerasan militer.

(13)

memegang peranan penting sebagai tempat pertahanan Jepang yang diperkuat kubu-kubu pertahanan. Kubu-kubu pertahanan yang digali oleh penduduk setempat yang dikerahkan paksa oleh Jepang membuat rakyat menderita. Hal demikian dilakukan karena diberbagai medan perang Jepang mulai terancam eksistensinya termasuk di Kendari. Sehingga dengan berbagai cara militer Jepang mengerahkan kekuatannya untuk menghadapi Sekutu.

Adapun kegiatan yang menonjol dalam pemerintahan Jepang adalah pengerahan tenaga rakyat dengan cuma-cuma untuk kepentingan perang Jepang. Rakyat dikerahkan untuk membuat kubu-kubu pertahanan, pembuatan lapangan terbang, pertanian produksi, bekerja di pertambangan, mengangkut keperluan perang Jepang, dan lain-lain. Jepang telah memperlihatkan bagaimana usaha untuk melawan Sekutu dengan mengerahkan tenaga rakyat setempat. Berdasarkan kenyataan ini jelaslah bahwa intensitas pendudukan Jepang di seluruh Nusantara dirasakan berbeda-beda, demikian penetrasi kekuasaan dan kebudayaan Jepang tidak merata, daerah periferi yang masuk dalam wilayah front pertempuran sudah jelas mengalami kekejaman suasana peperangan daripada daerah yang relatif tenteram.

(14)

Jepang untuk menjaga wilayah Kendari dan perlawanan terhadap serangan Sekutu yang mengancam.

Selain itu masyarakat juga dijadikan pekerja paksa di perkebunan untuk menghasilkan ekonomi yang meningkat. Dengan kondisi tersebut tentu mempengaruhi kondisi sosial masyarakat setempat, kehidupan masyarakat tentu mengalami tekanan-tekanan akibat perbuatan militer Jepang.

Setiap tempat yang dikuasai oleh militer Jepang dipandang penting untuk diungkapkan kembali, termasuk Kendari. Hal ini tentu merupakan usaha untuk mendeskripsikan bagaimana militer Jepang memperlakukan orang-orang yang mereka kerahkan untuk membantunya di medan perang. Keberadaan kubu-kubu pertahanan Jepang di Kendari yang sampai hari ini masih bisa dilihat, membuktikan bahwa wilayah ini pernah menjadi bagian dari kekuasaan militer Jepang yang tidak bisa diabaikan begitu saja dalam penceritaan sejarah.

Pengungkapan ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pendudukan Jepang atas masyarakat di Kendari. Dengan menceritakan kembali dinamika pendudukan Jepang di Kendari, dapat menambah informasi bagi para pemerhati sejarah Jepang di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Kendari.

(15)

Pengapresiasian seperti ini dapat diwujudkan dengan sebuah karya ilmiah seperti yang penulis akan ungkapkan dengan judul: “Kehidupan Sosial

Masyarakat di Bunken Kendari Pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)”.

Tulisan ini juga merupakan bagian dari usaha untuk mengungkapkan kembali apa yang pernah dirasakan oleh masyarakat Kendari pada masa pendudukan Jepang. Berbagai perlakuan militer Jepang hanya bisa diketahui dari mereka yang merasakannya.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, penelitian ini dititik beratkan pada tulisan tentang kehidupan sosial masyarakat pada masa pendudukan Jepang di

Bunken Kendari pada tahun 1942-1945. Dalam hal ini sebagai batasan penelitian penulis menjelaskan terlebih dahulu tentang kondisi alam dan lingkungan daerah Kendari. Selain itu akan memaparkan beberapa tinggalan bangunan Jepang yang masih dapat ditemukan dibeberapa wilayah Kendari. Selanjutnya penelitian ini tidak memaparkan tentang peranan tokoh tertentu, akan tetapi lebih menjelaskan kondisi sosial masyarakat Kendari selama masa pendudukan militer Jepang berlangsung.

Langkah-langkah yang diambil untuk merumuskan berbagai hal yang dianggap urgen yang berhubungan dengan fokus penelitian penulis yakni:

(16)

2. Bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat di Bunken Kendari pada masa pendudukan Jepang?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Bunken Kendari pada masa pendudukan Jepang.

2. Untuk mengetahui kehidupan sosial budaya masyarakat di Bunken Kendari pada masa pendudukan Jepang.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang keilmuan dan dapat pula memberikan sumbangsih pemikiran kepada pemerintah, serta dapat memberikan kontribusi terhadap proses pemahaman akan sejarah bagi masyarakat luas. Adapun manfaat dalam bidang keilmuan khususnya sejarah dan ilmu lainnya, yaitu:

1. Penelitian ini dapat menambah data dan memperkuat sejarah yang pernah terjadi.

2. Dapat menyelamatkan data sejarah khususnya masa pendudukan Jepang di Bunken Kendari dan Indonesia pada umumnya.

(17)

Manfaat lain yang ingin dicapai bagi pemerintah dan masyarakat dari penelitian ini, yaitu:

1. Menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Kendari dalam menetapkan kebijakan pembangunan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Kota Kendari.

(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Pendudukan

Ketika menguasai Indonesia, kekuasaan Jepang atas wilayah Indonesia dikenal dengan istilah pendudukan Jepang. Istilah pendudukan Jepang berdasarkan atas kenyataan yang dialami penduduk Indonesia. Dimana Jepang merupakan salah satu negara yang ada di Asia Timur dan satu-satunya negara Asia yang pernah berkuasa di Indonesia. Untuk menguasai Indonesia, Jepang mengerahkan balatentaranya sehingga masa kekuasaan Jepang di Indonesia disebut dengan Pendudukan Jepang di Indonesia.

Istilah pendudukan dan penjajahan merupakan dua kata yang berbeda, namun dalam menjalankan politik tersebut memiliki kesamaan, yaitu sama-sama berusaha menguasai daerah lain dengan menggunakan berbagai cara dan taktik. Penjajahan adalah suatu sistem pemerintahan suatu negara terhadap negara lain. Secara sederhana, perbedaan penjajahan dan pendudukan dapat dilihat dari cara pelaksanaannya. Penjajahan dilakukan dengan jalan membentuk pemerintahan jajahan atau dengan menanamkan pengaruh dalam semua bidang kehidupan daerah yang dijajah (Masheriyo, 2007:1). Sedangkan pendudukan adalah suatu daerah yang dikuasai oleh daerah lain dengan cara menggunakan kekuatan militer. Dalam artikata blog disebutkan dua pengertian Pendudukan yaitu: 1) proses, cara, perbuatan suatu daerah atau Negara menduduki (merebut dan menguasai) suatu daerah lain; 2) suatu daerah atau wilayah yang diduduki (direbut dan

(19)

dikuasai) oleh tentara asing. Dengan demikian, pendudukan adalah suatu usaha yang dilakukan suatu negara untuk menguasai wilayah lainnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata. Senada dengan pengertian tersebut diatas, Ogah (2001:1) mengatakan bahwa pendudukan juga merupakan penjajahan yang dilakukan oleh suatu Negara atau pemerintahan dengan menggunakan kekuatan bersenjata terhadap negara lainnya yang dijajah.

Dapat disimpulkan bahwa ketika berkuasa di Indonesia, Jepang menganut sistem pendudukan. Pendudukan merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh suatu daerah atau negara untuk menguasai dan merebut daerah atau negara lain dengan menggunakan kekuatan tentara militer. Pernyataan tersebut sesuai dengan tulisan Sutrisno (1976/1977:271-272 dalam Abidin, 2013:10), bahwa setelah Jepang mulai berkuasa di Indonesia, ditetapkan UU No.1 tentang pemerintahan balatentara yang berbunyi bahwa balatentara Jepang untuk sementara melangsungkan pemerintahan militer di daerah yang telah diduduki. Dengan demikian pada masa kekuasaan Jepang di Indonesia, pemerintahan dipegang oleh balatentara militer Jepang.

Adapun konsep pendudukan yang diterapkan Jepang selama masa kekuasaannya menunjukkan bentuk Militerisme. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No.1 tanggal 7 Maret 1942 yang dikeluarkan oleh Letnan Jendral Hitoshi Himamura yang isinya antara lain: “balatentara Nippon melangsungkan

pemerintahan militer untuk sementara waktu di daerah yang ditempatinya agar mendatangkan keamanan yang sentosa dengan segera (Tamburaka, 2005:323)”.

(20)

militer dan mengakui undang-undang yang telah berlaku sebelumnya asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer.

Kata militerisme berasal dari kata dasar militer yang berarti tentara, yaitu sebuah organisasi dalam suatu negara yang menjadi alat bagi pemerintahan untuk menjaga ketahanan sebuah negara dari serangan asing. Menurut Dahlan (2011:175 dalam Abidin, 2013:11) bahwa militerisme yaitu penguasaan dan pengaruh golongan militer yang teramat besar sampai mendesak dan menjepit rakyat umum, paham yang menghendaki supaya kaum militer berkuasa. Militer merupakan organisasi bentukan negara untuk menjaga keamanan dan stabilitas suatu Negara dengan berbagai cara, termasuk tindak kekerasan jika diperlukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusni Sulang (2010:1 dalam Abidin, 2013:11), militer merupakan alat negara atau aparat diadakan untuk menindas segala gangguan yang dipandang mengganggu bahkan mengancam kelangsungan penyelenggaraan negara.

(21)

jika sewaktu-waktu diperlukan dalam medan perang melawan Belanda dan sekutu-sekutunya. Untuk mendukung kebijakan tersebut, maka Jepang memasok senjata-senjata perang dan modern dari barat untuk mempersenjatai tentaranya.

Berdasarkan beberapa sebabdi atas, dapat dilihat pada praktek pendudukan Jepang di Indonesia dalam rangka menguasai seluruh wilayah nusantara, meliputi beberapa aspek penting seperti: menguasai perdagangan, menguasai sumber kekayaan alam, pembangunan kekuatan militer dan perasaan sebagai bangsa istimewa. Menguasai perdagangan termasuk perdagangan di Sulawesi Tenggara. Keinginan membangun kekuatan militer dibeberapa daerah, antara lain telah dibangun sarana dan prasarana militer, seperti pangkalan udara, benteng dan lain-lain. Dari semua tindakan tersebut, hal lainnya didorong oleh semboyan Hakko Ichiu. Semboyan ini merupakan perasaan sebagai bangsa istimewa sehingga mempunyai hasrat untuk mengusai bangsa lain, termasuk menyebarkan kekuasaan Jepang di Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Tenggara pada khususnya.

B. Konsep Mobilisasi dan Romusha 1. Mobilisasi

(22)

Menurut Fukutake (1989:19), bahwa “dalam suasana perang, konsep

mobilisasi biasanya diarahkan pada kegiatan pengerahan orang untuk dijadikan tentara”. Dalam hal ini, pengerahan tentara biasanya dimaksudkan untuk

meningkatkan sistem pertahanan dari suatu angkatan bersenjata yang dikendalikan oleh suatu kekuatan politik. Mobilisasi orang atau pekerja untuk tujuan perang biasanya berlangsung relatif cepat. Dengan kata lain, mobilisasi dilakukan untuk mempertahankan suatu pekerjaan.

Upaya mobilisasi disini lebih dimaksudkan untuk memperkuat pertahanan dan daya serang tentara Jepang dalam menghadapi tentara sekutu. Upaya mobilisasi tersebut juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tentara Jepang selama berada di Indonesia. Adapun penerapan konsep mobilisasi romusha oleh tentara Jepang sebagaimana yang dikemukakan oleh Fukutake (1989:114), bahwa tenaga manusia direkrut untuk bekerja bagi negara di bawah sebutan romusha. Dalam rangka mempermudah tercapainya tujuan-tujuan ekonomi mereka, Jepang dengan berbagai macam cara berusaha menarik masyarakat pedesaan kearah kerjasama yang lebih positif. Usaha yang paling nyata tampak dalam bidang propaganda, pendidikan dan mobilisasi massa.

(23)

Dalam mobilisasi romusha, ada beberapa pertimbangan yang diambil oleh tentara Jepang sekaligus membagi sistem mobilisasi itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan Kurasawa (1993:126), bahwa dalam mengatur romusha, pemerintah Jepang melakukan perbedaan yang jelas antara mereka, yang dikirim jauh dari rumah mereka dengan kontrak yang relatif berjangka waktu panjang dan mereka yang ditempatkan untuk bekerja diwilayah yang berdekatan selama jangka waktu yang relatif pendek.

Mobilisasi yang dijalankan oleh tentara pendudukan Jepang sebagaimana yang dikemukakan oleh Aiko Kurasawa bahwa antara pekerja yang dipekerjakan jauh dengan yang dipekerjakan di wilayahnya sendiri tetaplah dapat dipisahkan. Artinya bahwa keduanya tetaplah disebut mobilisasi romusha yang pada awalnya mereka bekerja pada industri-industri Jepang, walaupun dengan gaji yang sedikit. Namun dalam perkembangan selanjutnya, dengan mempertimbangkan bahwa banyaknya kebutuhan Jepang akan tenaga kerja dan semakin terdesaknya kedudukan Jepang dalam perang pasifik, sehingga para romusha dikerahkan tenaganya untuk bekerja mati-matian tanpa menerima imbalan gaji.

2. Romusha

(24)

tujuannya untuk membuka hutan baru untuk dijadikan lahan pertanian demi kemakmuran perang Asia Timur Raya (Taufik, 2001:13).

Sebagai akibat terdesaknya Jepang di setiap daerah pendudukannya, maka perekrutan romusha semakin meningkat pula. Hal ini mendorong pemerintah militer Jepang berusaha untuk mendapatkan tenaga-tenaga yang lebih dari sebelumnya. Dalam usaha untuk mendapatkan tenaga-tenaga yang lebih dari sebelumnya. Dalam usaha untuk mendapatkan tenaga romusha tersebut, maka Jepang menghadapi masalah yang cukup berat, yakni rasa benci masyarakat terhadap sistem romusha. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sagimun (1989:51) bahwa tentara Jepang membutuhkan tenaga kasar yang membuat lubang-lubang parit dan goa-goa pertahanan. Namun tenaga tersebut sudah sukar untuk didapatkan karena rakyat merasa takut untuk menjadi romusha.

Untuk mengatasi semakin sulitnya tentara Jepang memperoleh tenaga kerja, maka sejak tahun 1943, Jepang mulai melancarkan propagandanya. Dimana dalam setiap kampanyenya, romusha mendapat bermacam-macam pengertian seperti prajurit atau pahlawan bekerja yang digambarkan pula sebagai orang-orang yang sedang menunaikan tugasnya untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Oleh Jepang disebut sebagai tugas suci untuk membela bangsa-bangsa di Asia dari orang-orang kulit putih (Notosusanto, 1984:39).

(25)

memberatkan rakyat Indonesia. Namun lama kelamaan kebutuhan Jepang akan tenaga kerja semakin meningkat sehingga rakyat telah dipaksa untuk bekerja demi untuk kepentingan tentara Jepang.

Selain itu pada masa pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah militer Jepang telah memobilisasi atau mengerahkan tenaga para pemuda untuk dijadikan sebagai tenaga kerja dalam memenuhi ambisi tentara pendudukan Jepang untuk memenangkan perang Asia Timur Raya. Hasil-hasil kekayaan alam Indonesia yang melimpah, jumlah penduduk Indonesia yang banyak serta memiliki etos kerja dan sikap ramah. Tentunya sangat dibutuhkan oleh pemerintah militer Jepang dalam rangka memperluas wilayah kekuasaannya.

C. Konsep Sosial Ekonomi

Dalam membahas mengenai sosial ekonomi tidak terlepas dari masalah kemasyarakatan, sebab masyarakat merupakan objek struktur sosial ekonomi. Sosial mempunyai pengertian yaitu yang berkenaan atau berhubungan dengan manusia baik secara individu antara yang satu dengan yang lainnya (masyarakat). Secara epistemology kata ekonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos dan

nomos yang berarti “aturan” dalam rumah tangga (Sukirno, 1989:17). Rumah

(26)

Sedangkan aturan yang dimaksud dalam ekonomi adalah dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Poerwadarminta (1987:855), yaitu yang menyangkut produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan atau pemanfaatan uang, tenaga, waktu dan sebagainya yang berharga.

Berdasarkan dari pengertian di atas baik pengertian tentang sosial maupun tentang ekonomi apabila melihat objek pengenaan antara sosial dan ekonomi yang saling berkaitan. Mengkaji tentang masalah sosial sesungguhnya telah termasuk didalamnya kajian tentang aspek-aspek ekonomi masyarakat bersangkutan. Hal ini dapat juga ditafsirkan bahwa kajian tentang keadaan sosial dan ekonomi adalah dua sisi kajian yang sulit dipisahkan. Hal tersebut dikemukakan secara tegas oleh Sukirno (1989 : 48). Pemisahan antara fenomena ekonomi dan non ekonomi merupakan hal yang tidak mungkin apabila berhadapan dengan problem-problem pembangunan yang erat.

Sebagian besar ahli ekonomi mula-mula mengira bahwa suatu masyarakat akan dapat membangun ekonominya dengan cepat, apabila telah dicukupi dan dipenuhi syarat-syarat yang khusus diperlukan dalam bidang ekonomi. Akan tetapi pengalaman mereka yang berniat untuk mengadakan pembangunan ekonomi dalam masyarakat-masyarakat yang baru, mulai dengan pembangunan, terbukti bahwa syarat-syarat ekonomis saja tidak cukup untuk melancarkan pembangunan (Soekanto, 1990:334).

(27)

pembangunan tersebut. Sebaliknya, perlu diketahui terlebih dahulu perubahan-perubahan di bidang mana yang akan terjadi, sebagai akibat dari pembangunan ekonomi dalam masyarakat.

Perubahan sosial ekonomi masyarakat terjadi sesuai dengan pengertian dari sistem ekonomi. Dimana sistem ekonomi merupakan cara individu atau masyarakat untuk memilih dari berbagai alternatif dalam memenuhi hidupnya dengan menggunakan berbagai sumber daya alam untuk diproduksi, yang jumlahnya terbatas, untuk memproduksi berbagai macam jenis barang serta berbagai golongan penduduk. Winardi (1996:177) mengemukakan bahwa ekonomi merupakan sebuah tindakan yang digunakan untuk menunjukkan setiap tindakan atau proses yang bersangkut paut dengan penciptaan barang-barang atau kerja manusia. Secara spesifik istilah tersebut digunakan untuk mencirikan produksi barang-barang serta jasa yang dihasilkan dengan pengetahuan teknik yang berlaku.

Perbuatan atau perilaku yang dipandang bersifat ekonomi adalah perbuatan atau perilaku yang erat kaitannya dengan cara-cara manusia mencari nafkah hidupnya, yaitu bagaimana suatu keluarga, suku, bangsa, negara memproduksi dan mendistribusi pangan, sandang, perumahan, jasa dan barang-barang lain yang dibutuhkan oleh manusia dan bagaimana mereka menghimpun atau menghasilkan kekayaannya demi mencapai kesejahteraan.

(28)

biasa. Selanjutnya dikatakan bahwa ekonomi mempelajari segi tindakan individu dan masyarakat, yaitu tindakan yang paling erat hubungannya dengan perolehan dan penggunaan barang yang diperlukan bagi kesejahteraan.

Selain itu, perkembangan perekonomian di suatu daerah juga akan dipengaruhi oleh letak strategis. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Mubyarto (1991:31) bahwa perkembangan perekonomian tidak terlepas dari ekonomi desa. Beberapa dekade sebelumnya pertumbuhan penduduk, bantuan pemerintah dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditempuh pemerintah selama ini semuanya memberikan pengaruh pada irama kehidupan masyarakat setempat pada semua lapisan masyarakat dengan tingkat yang berbeda-beda dan konsep perkembangan ekonomi ini ada yang meningkat dan bergeser ke bawah.

(29)

perkembangan tercipta apabila jumlah fisik barang-barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian tersebut menjadi bertambah besar pada tahap-tahap berikutnya.

Hal ini berarti tahap-tahap perekonomian di suatu daerah akan mengalami perkembangan pada tiap fase. Masyarakat yang bermukim di pesisir pantai akan mengalami sistem perekonomiannya di bidang pertanian didukung oleh kesuburan tanah, sedangkan masyarakat yang mengembangkan perekonomiannya di laut didukung oleh fasilitas yang dipergunakan laut.

Istilah sosial ekonomi membawa kepada dua persoalan yang saling berkaitan. Pertama adalah bahwa manusia itu merupakan makhluk bersahabat tidak menyendiri, seperti dalam ungkapan klasik Inggris yang terkenal “no man on” yang artinya tidak ada manusia seperti sebuah pulau yang hidup menyendiri.

Kedua adalah manusia merupakan makhluk ekonomi, artinya manusia mungkin hidup tanpa makan, minum, berpakaian dan perumahan. Sebagaimana yang diungkapkan Dagun (1992:42 dalam Asrianto, 2005:15) bahwa kedua hal tersebut dalam kegiatan manusia “melalui kerja kegiatan manusia mengungkapkan diri

sebenarnya atau sepenuhnya. Kerja sebagai kegiatan memproduksi barang-barang material tetapi juga mempunyai ciri sosial”.

(30)

Untuk menghindari terjadinya jurang yang mendalam pada kegiatan sosial ekonomi, perlu menata cara-cara produksi. Cara produksi itu mempunyai sifat konkrit dalam menghasilkan kebutuhan akan makan, perumahan yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam perkembangan sosial senantiasa dirangkaikan dengan sejarah perkembangan dari semua unsur structural dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Manusia sosial ekonomi haruslah mampu melakukan kreatifitas yang berciri sosial dan ekonomi, guna membangun sistem ekonomi individu masing-masing dan masyarakat.

Dari konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa persoalan sosial ekonomi zaman sekarang, bukan berperan dalam gambaran teoritis saja, tetapi perlu sikap kritis dalam menanggapi semua gejala yang muncul. Karena itu, ilmu sosial ekonomi bukan ilmu utopia tetapi digolongkan sebagai ilmu empiris, maka kegiatan penyelidikan itu dibutuhkan. Kaum ilmuwan dalam bidang sosial ekonomi tidak terlepas dari melakukan penafsiran idealistik dalam mempelajari kecenderungan-kecenderungan perubahan yang berlangsung dalam dinamika masyarakat untuk menata perkembangan-perkembangan ekonomi suatu daerah atau bangsa.

(31)

berhubungan yang membutuhkan bantuan orang lain utnutk memecahkan maslah dan sebagainya.

D. Konsep Sosial Budaya

Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat, tidak hanya terjadi pada perubahan sosial ekonomi tetapi terjadi pula pada perubahan sosial budaya masyarakat. Secara harfiah, kata “sosial” mempunyai satu pengertian, yaitu segala

mengenai kemasyarakatan, perkampungan sosial yang bersifat dan bertujuan kemasyarakatan, atau suka memperhatikan kepentingan umum (Poerwadarminta, 1987:961). Untuk memenuhi tujuan kemasyarakatnnya, manusia melakukan berbagai aktivitas baik untuk memenuhi kebutuhan secara berkelompok maupun kebutuhan secara individual. Pemenuhan kebutuhan akan mendorong terjadinya perubahan sosial masyarakat, dimana telah terjadi perubahan dalam struktur masyarakat dan perubahan yang menyeluruh. Perubahan itu terjadi disekitar manusia dalam berbagai aspek.

Sehubungan dengan hal tersebut, Polak (1992:386) dalam bukunya yang berjudul “Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas” menyatakan bahwa

perubahan sosial dalam struktur masyarakat yakni perubahan strukturil dan ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu. Keadaan tersebut apabila dalam waktu lama dimana masyarakat mengalami tekanan-tekanan dan kekecewaan menyebabkan timbulnya suatu revolusi dalam masyarakat tersebut.

(32)

terjadinya perubahan sosial tergantung dari kuat tidaknya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itulah sehingga Malinowski (dalam Aswati, 1989:11) mengemukakan bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan sosial dan budaya oleh faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam dimaksudkan perubahan terjadi bersumber dari dalam masyarakat sendiri seperti: tumbuh dan kurangnya penduduk, adanya pemberontakan atau revolusi dalam masyarakat itu sendiri. Sedangkan faktor dari luar karena kebudayaan masyarakat yang dipelajarinya. Hubungan yang dilakukan secara fisik antara kedua masyarakat itu mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal balik yang masing-masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya.

Setiap masyarakat atau manusia selama hidupnya mengalami perubahan-perubahan. Perubahan hanya dapat ditemukan oleh seseorang yang sempat meneliti susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lalu. Seseorang yang tidak sempat menelaah susunan dan kehidupan masyarakat desa di Indonesia, misalnya akan berpendapat bahwa masyarakat desa itu statis, tidak maju dan tidak berubah. Pernyataan demikian didasarkan pada pandangan sepintas yang kurang mendalam dan kurang teliti. Hal ini karena tidak ada suatu masyarakat yang berhenti pada satu titik tertentu sepanjang masa (Soekanto, 1990:333).

(33)

Soekanto (1990:333) yang mengemukakan bahwa: perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya.

Tidak semua perubahan sosial dapat diterima oleh masyarakat karena berbagai alasan. Beberapa ahli berpendapat bahwa penolakan sosial akan terjadi apabila: 1) perubahan tersebut disertai dengan tekanan dari luar, 2) perubahan tersebut merupakan ancaman budaya bagi masyarakat setempat, 3) arah perubahan kurang jelas, bahkan menimbulkan konflik sosial, dan 4) tiada terdukungnya pola perubahan tersebut oleh sikap dan lingkungan sosial budaya yang ada (Zaini, 1996:214 dalam Asrianto, 2005:20).

Gilin (dalam Soekanto, 1990:336) mengemukakan bahwa perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemu-penemu baru dalam masyarakat. Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi pola-pola kehidupan manusia. Menurut Astrid (1983:170 dalam Asrianto, 2005:20) menyebutkan bentuk-bentuk perubahan sosial dalam masyarakat pada umumnya dikenal tiga jenis pembagian perubahan sosial, yaitu: 1) social evolution (evolusi sosial), 2) social mobility (mobilitas sosial), dan 3)

(34)

Selain itu perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat seperti perubahan dalam unsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Salah satu contoh adalah perubahan kebudayaan dalam kaitannya dengan pembangunan masyarakat di Indonesia yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat dalam Dirman (1997:17 dalam Asrianto, 2005:21), bahwa ada tiga macam pengaruh unsur-unsur dari luar yaitu: 1) pengaruh yang dipaksakan dengan tujuan untuk mencapai perubahan dengan cepat bahkan mendadak, 2) pengaruh yang memang dipaksakan tetapi tanpa mengharapkan perubahan yang cepat, 3) pengaruh yang tidak dipaksakan tetapi diadopsi dan diintegrasikan dalam kehidupan para warga masyarakat terasing itu atas kehendak mereka sendiri.

(35)

Perkembangan ekonomi menciptakan dampak ganda pada masyarakat, yaitu bahwa kemakmuran itu telah mendorong terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat pedesaan. Masyarakat desa tidak lagi terkungkung dalam kehidupan atau pola kehidupan sosial-ekonomi tradisional yang lazim disebut sebagai ekonomi subsistensi tetapi masyarakat telah mulai berubah menuju masyarakat pra-kapitalis. Masyarakat menunjukkan pola kehidupan yang tidak sepenuhnya berorientasi pada ekonomi rumah tangga namun mereka telah terlibat pula dalam kegiatan ekonomi untuk kebutuhan pasar meskipun masih terbatas pada pasa di tingkat lokal (Padmo, 2004 : 36).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat telah ada sejak jaman dahulu. Namun dewasa ini perubahan-perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepatnya, sehingga membingungkan manusia yang menghadapinya. Hal ini karena sifat perubahan sosial yang berantai, maka perubahan tersebut terlihat berlangsung terus dari waktu ke waktu.

(36)

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai sejarah yang terjadi di Indonesia, khususnya sejarah masa pendudukan Jepang, telah banyak dilakukan oleh segelintir orang. Akan tetapi yang dijabarkan dalam tulisan ini hanya beberapa penelitian saja, yaitu penelitian mengenai masa pendudukan Jepang di Sulawesi Tenggara, khususnya di Bunken Kendari dan dianggap mewakili dari penelitian-penelitian yang sudah ada.

Penelitian sejarah masa pendudukan Jepang di Sulawei Tenggara dan di

Bunken Kendari yang pernah dilakukan antara lain:

1. Penelitian Rustam E Tamburaka, dkk (2005) yang dipublikasikan melalui sebuah buku dengan judul “Sejarah Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra

Membangun”. Dalam buku ini menjelaskan mengenai urutan sejarah yang

terjadi diberbagai daerah Sulawesi Tenggara. Buku ini menjelaskan mengenai sejarah Sulawesi Tenggara mulai dari masa prasejarah hingga masa kemerdekaan di setiap daerah di Sulawesi Tenggara. Dalam salah satu bab buku ini juga menjelaskan mengenai sejarah dan pendudukan Jepang di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara.

2. Penelitian Anwar Hafid, dkk (2007) yang merupakan dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNHALU, dipublikasikan dalam sebuah buku yang berjudul “Sejarah Kota Kendari”. Publikasi pertama penelitian ini

(37)

dengan judul yang sama. Dalam buku ini juga menjelaskan mengenai kesejarahan, khususnya mengenai rentetan sejarah yang terjadi di Kota Kendari. Dalam salah satu bab buku ini juga menjelaskan sejarah pada masa pendudukan Jepang di Kendari.

Selain penelitian yang telah dibukukan, penelitian sejarah di Sulawesi Tenggara dan di Bunken Kendari juga dilakukan oleh beberapa mahasiswa yang hasil penelitiannya dijadikan sebagai tugas akhir dalam memperoleh gelar sarjana. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya:

1. Mahasiswi Jurusan Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar, Sasadara Hayunira dengan judul karya ilmiahnya yaitu “Masa Pendudukan Jepang di

Kendari: Interpretasi Terhadap Tinggalan Bangunan Jepang di Kawasan TNI AU Ranomeeto, Konawe Selatan” pada tahun 2013. Di dalam karya

ilmiahnya menuliskan tentang tinggalan-tinggalan bangunan pada masa pendudukan Jepang di Bunken Kendari yang berada di kawasan TNI AU Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan.

2. Aswati M pada tahun 1989, seorang mahasiswi Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNHALU, dengan judul karya ilmiahnya yaitu “Pengaruh

(38)
(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bunken Kendari yang dipusatkan di Kota Lama Kendari yang merupakan wilayah pusat administrasi Jepang. Pengumpulan data hasil penelitian ini, selain melakukan penelitian di Kota Lama Kendari juga mencari referensi yang berhubungan dengan Pendudukan Jepang di Bunken

Kendari, seperti di Perpustakaan FKIP UHO, Perpustakaan UHO, milik pribadi, dan internet. Waktu penelitian ini secara keseluruhan dilaksanankan selama lima bulan, mulai bulan Januari sampai Juni 2014.

B. Jenis dan Pendekatan Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian sejarah yang bersifat deskriptif yakni memberikan gambaran dengan jelas tentang sejarah kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat di bunken Kendari pada masa pendudukan Jepang di Kendari.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dipilih karena lebih sensitif dan adaptif terhadap peran dan berbagai pengaruh yang timbul. Dimana pendekatan kualitatif berawal pada data dan bermuara pada kesimpulan. Penelitian kualitatif yang digunakan berbentuk studi kasus, yakni mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang

(40)

mendalam dan menyertakan berbagai informasi, dibatasi oleh waktu dan tempat, serta kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, dan aktivitas.

C. Sumber Data Penelitian

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Sumber tertulis, yakni data yang diperoleh dalam bentuk buku, laporan hasil penelitian dan sumber-sumber tertulis lainnya. Dimana sumber-sumber tersebut diperoleh melalui perpustakaan Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, Perpustakaan FKIP UHO dan Perpustakaan UHO.

b. Sumber lisan, yakni data yang diperoleh melalui keterangan lisan atau wawancara dengan 5 orang informan yang dianggap banyak mengetahui tentang masa pendudukan Jepang atau yang masih hidup dimasa pendudukan Jepang di Bunken kendari. Terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan informan kunci yang masih hidup sejak pendudukan Jepang di Kendari.

c. Sumber visual (benda-benda), yaitu data yang diperoleh melalui hasil-hasil pengamatan langsung terhadap tinggalan bangunan dan kehidupan sosial masyarakatnya.

D. Metode Penelitian

(41)

Kecendrungan yang demikian akan semakin nyata bila mana penulisan sejarah bukan hanya sebatas kisah biasa melainkan didalamnya terkandung pemahaman kritis dan mendalam terhadap pengetahuan tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa masa lampau terjadi.

Kegiatan penelitian ini menggunakan metode sejarah, menurut Syamsuddin (2007:85-239), yaitu :

1. Heuristik

Teknik pengumpulan sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Studi kepustakaan, yakni pengumpulan sumber dengan mengkaji

penelitian-penelitian terdahulu seperti skripsi, buku-buku yang relevan serta sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Langkah ini dilakukan dengan mendatangi perpustakaan dan ruang baca serta mengambil sumber-sumber dari internet yang memiliki hubungan dengan fokus penelitian. b. Pengamatan, yakni mencari dan mengumpulkan sumber yang dilakukan

melalui pengamatan secara langsung terhadap fenomena yang diteliti. Langkah ini dilakukan oleh penulis dengan mendatangi dan meninjau langsung lokasi penelitian dan mencatat yang ditemukan di lokasi penelitian.

(42)

oleh orang-orang yang dianggap relevan dalam memberikan informasi yang akurat.

2. Kritik Sumber

Untuk mengetahui otentisitas dan kredibilitas dari suatu sumber yang telah dikumpulkan, maka peneliti melakukan kritik terhadap sumber-sumber tersebut agar diperoleh data yang benar-benar akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dilakukan kritik sebagai berikut:

a. Kritik eksteren, yaitu kritik yang dilakukan untuk mengetahui keaslian sumber yang ditemukan jika ditinjau dari segi luarnya. Kritik ini digunakan dengan cara melakukan verifikasi sumber-sumber yang telah dikumpulkan seperti melihat kembali keotentikan sumber.

b. Kritik interen, yakni kritik yang dilakukan untuk mengetahui kebenaran isi sumber yang diperoleh. Kritik ini digunakan dengan cara membandingkan antara hasil pengamatan, studi kepustakaan serta mencari sumber pendukung lain (koroborasi) seperti wawancara, sehingga diperoleh data yang akurat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

3. Historiografi

(43)

a. Interpretasi

Sumber yang telah diperoleh dari kritik dihubungkan, sehingga diperoleh fakta sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya. Penafsiran data yang dilakukan oleh peneliti menggunakan penafsiran morfologi, yakni dengan menghubungkan antara data yang diperoleh melalui tinjauan lapangan (kondisi geografis lokasi penelitian) dengan data yang diperoleh lewat wawancara. Interpretasi dalam penelitian ini sangat penting untuk memperoleh kesimpulan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

b. Penjelasan

Setelah penafsiran selesai dilakukan, maka langkah berikutnya adalah melakukan penjelasan. Dalam langkah ini dilakukan penjelasan mengenai kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat di bunken Kendari pada masa pendudukan Jepang pada tahun 1942-1945, yang merupakan permasalahan dalam penelitian ini.

c. Penyajian

(44)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

BUNKEN

KENDARI PADA MASA

PENDUDUKAN JEPANG

A. Keadaan Geografis

Lokasi penelitian berada di daerah Kendari yang memiliki luas ±16.480 km2. Secara geografis, Kendari terdiri dari wilayah darat, laut, dan pulau-pulau kecil. Tipologi daerah Kendari sebagian besar bergunung-gunung dan berbukit-bukit. Diantara perbukitan, terhampar luas daratan rendah yang dapat dijadikan lahan pertanian, peternakan dan perikanan. Secara administratif, wilayah Kendari berbatasan dengan:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu Sulawesi Tengah 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Tiworo dan Kabupaten Muna 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kolaka

Jika dilihat dari batas-batas wilayah yang dimiliki, Kendari dapat dikatakan sebagai wilayah yang memiliki posisi strategis. Selain memiliki hubungan laut dengan daerah-daerah lain dan kepulauan sekitarnya, juga dapat dihubungkan dengan Kabupaten Kolaka untuk jalur darat sepanjang 173 km. Hal ini yang dapat memudahkan segala akses dan kegiatan serta hubungan yang terjalin antara Kendari dengan daerah-daerah sekitarnya.

Keadaan wilayah Kendari sebagian besar wilayahnya ditumbuhi hutan-hutan yang cukup lebat, yang fungsinya oleh penduduk dijadikan sebagai tempat berburu dan memperoleh hasil hutan seperti kebutuhan akan kayu. Hutan-hutan di

(45)

daerah Kendari didiami oleh berbagai jenis hewan seperti Sapi, Anoa, Rusa, Babi, dan Kerbau serta berbagai jenis burung. Sedangkan hasil kayu terdapat Damar, Jati, Bayam, Rotan dan sebagainya. Pada masa pendudukan Jepang hasil-hasil hutan tersebut dimanfaatkan secara penuh oleh tentara Jepang. Potensi inilah yang menjadi salah satu daya tarik tentara Jepang menduduki Kendari.

Wilayah Kabupaten Kendari yang luas serta sebagian keadaan alamnya bergunung-gunung atau berbukit-bukit dan sebagian lagi adalah daratan rendah yang dapat dijadikan areal pertanian dan perkebunan. Oleh karena itu sehingga daerah Kabupaten Kendari dapat dijadikan lokasi penempatan transmigrasi, dimana potensi alamnya memungkinkan untuk pembukaan daerah-daerah baru.

Selain itu di Kabupaten Kendari juga mengalir beberapa sungai, diantaranya sungai Konawe Eha, Lasolo, Lahumbuti, dan sebagainya. Sungai-sungai itu banyak menghasilkan ikan dan dimanfaatkan sebagai lalu lintas perhubungan air dengan menggunakan sampan atau rakit. Disamping itu, sungai Konawe Eha dewasa ini dibendung untuk dapat mengaliri sawah yang luas.

(46)

binatang seperti anoa sebagai ciri khas Sulawesi, rusa, babi, kerbau dan sebagainya.

Iklim di daerah Kendari yaitu beriklim tropis dengan suhu terendah 280C serta memiliki curah hujan yang tidak stabil. Kadang-kadang hujan turun pada bulan November sampai dengan bulan Mei yang dikenal dengan musim barat atau musim hujan. Sedangkan suhu tertinggi mencapai 280C, terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan Oktober yang dikenal dengan musim kemarau atau panas. Suhu kelembaban di Kendari cukup tinggi, dan diantara dua musim tersebut terjadi musim pancaroba yang sering digunakan oleh para pelaut/nelayan untuk pergi mencari ikan.

Di Kendari juga kadang terjadi musim kemarau panjang sehingga kadang mengakibatkan kekeringan pada sungai-sungai kecil dan sumur-sumur masyarakat Kendari. Sebaliknya jika terjadi musim hujan yang lama, maka dibeberapa daerah Kendari terjadi banjir, terutama daerah-daerah yang berada di lembah-lembah gunung. Kendari sebagai daerah yang beriklim tropis, maka daerah ini banyak memiliki hutan-hutan dan sangat cocok untuk membuat lahan pertanian. Hal ini didukung pula oleh curah hujan yang cukup, serta kecepatan tiupan angin yang tidak terlalu keras karena terlindung oleh perbukitan.

B. Keadaan Demografis

(47)

penghuni-penghuni pertama kali dataran Sulawesi Tenggara adalah Ndoka atau Tono peiku

(Tono=orang, peiku=berekor) yang hidup dalam tanah (gua-gua) yang makanannya adalah sekam (Burhanuddin, 1986:14).

Tradisi Sulawesi Tenggara tentang kedatangan nenek moyang mereka mengandung dua versi. Versi daratan mengatakan bahwa mereka turun dari langit (Tolaki, Moronene), dari versi kepulauan adalah dari bambu, belum dapat dipastikan kapan wilayah Sulawesi Tenggara dihuni oleh manusia tetapi ada bekas-bekasnya yang menunjukkan bahwa daerah ini telah dihuni oleh manusia pada jaman prasejarah.

Dari pengamatan mengenai penduduk Sulawesi Tenggara sekarang ini dapat diduga bahwa penduduk daratan pada waktu itu dominan ciri mongoloidnya, sedangkan daerah kepulauan khususnya Muna mempunyai ciri melanosoid, tetapi pada orang Ndoke (tono peiku) ada kelihatan pula ciri melanesoid. “Dari

Mekongga (Kolaka) didapatkan cerita bahwa zaman dahulu, daratan Sulawesi Tenggara pernah dihuni oleh Tokudiho yaitu orang-orang kecil, kemudian orang Ngalamboro yaitu orang-orang besar” (Burhanuddin, 1986:4).

Menurut Tamburaka (1989:4), dalam buku profil kependudukan dan keluarga berencana Provinsi Sulawesi Tenggara mengatakan bahwa: “Sulawesi

(48)

Orang Tolaki yang sekarang sebagai penghuni dataran Sulawesi Tenggara (Konawe dan Mekongga) merupakan pendatang terakhir dan hamper dapat dipastikan bahwa penghuni sebelum orang Tolaki adalah orang Moronene yang setelah datangnya orang Tolaki, terdesak ke selatan dan selanjutnya menyebar ke kepulauan Kabaena.

Suku Tolaki yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara termasuk rumpun Mongoloid dan Proto Melayu. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tamburaka (1989:6), yang mengatakan bahwa “Dilihat dari ciri antropologisnya baik Caphaly

index, mata, rambut maupun warna kulit suku Tolaki memiliki kesamaan dengan ras mongoloid diduga berasal dari Asia Timur, mungkin dari Jepang untuk kemudian menyebar ke selatan melalui kepulauan Riukyu, Taiwan, Philipina, Sangir Talaud menyusur pantai timur ke Sulawesi Tenggara.

Ada juga yang mengatakan bahwa perpindahan pertama berasal dari Yunani (RRC) ke selatan melalui Philipina, Sulawesi Utara ke pesisir timur dan Halmahera. Pada saat itu memasuki daratan Sulawesi Tenggara mereka melalui Sungai Lasolo dan Sungai Konaweha yang dinamakan Andolaki. Proses persebaran di daratan Sulawesi Tenggara yang sebelumnya mereka berdiam sekitar Danau Matana, Danau Towuti dan bagian selatan dari kedua Danau tersebut pada negeri-negeri separti: Rahambuu, Alaaha, Andokia, Watumedongga, Tongauna negeri-negeri tersebut terletak di hulu sungai Konaweha dan Sungai lasolo sekarang.

(49)

di Sulawesi Tengah dan Tenggara adalah sekitar Danau Matana. DM.B.C. Kruyt (seorang belanda) mengemukakan bahwa “Suku Tolaki mempunyai pertalian erat

dengan suku-suku Malili di Mori hamper pasti dalam perpindahannya dari utara menuju ke selatan menempati dan menduduki tempatnya sekarang ini. Pergeseran tempat tinggal ini menyusuri Sungai Lasolo yang sumbernya terdapat di Danau Towuti (Lakebo, 1986 : 30).

Proses perpindahan penduduk disebabkan oleh peperangan atau penyakit menular, artinya mereka menyabar ke utara masuk suku-suku bangsa di Sulawesi Tenggara (Tomampu, Tokulawi, Tobada dan lain-lain) untuk menduduki tempat sekarang. Adapun dugaan bahwa orang-orang Gorontalo pada zaman dahulu mendiami daerah pinggiran Teluk Tomini kebarat mendesak suku Toraja sedang menduduki daerahnya masing-masing ke timur laut membawah Tomori dan Tobungku menduduki daerahnya sekarang. Keselatan berangsur-angsur melalui aliran Sungai Lasolo dan Sungai Konaweha dan mungkin juga melalui pelayaran-pelayaran lokal membawa suku-suku bangsa Tolaki, Moronene, orang Buton, orang Muna dan penduduk pulau-pulau sekitarnya menduduki daerahnya masing-masing. Gelombang persebaran ini diperkirakan terjadi pada abad IX sampai abad XII.

(50)

pelayar atau pedagang. Di kota administrative Kendari didapati berbagai macam mata pencaharian mulai dari buruh pelabuhan, nelayan, pegawai negeri sipil dan ABRI.

Dari berbagai jenis mata pencaharian yang telah disebutkan, system mata pencaharian tradisional bertani atau berladang adalah yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat. Dalam system mata pencaharian ini, tanah untuk suatu ladang penanaman padi dilakukan secara berpindah-pindah pada lokasi yang dipandang subur sehingga dapat menghasilkan produksi yang melimpah.

Keadaan perang membawa suatu situasi tersendiri bagi kehidupan perekonomian daerah jajahan, sebagaimana di Kendari, dalam keadaan perang rakyat dipaksa untuk tahan menderita agar dapat bertahan hidup. Hal ini disebabkan keterbatasan ruang gerak bagi mereka di dalam berbagai bidang kehidupan, seperti di dalam system mata pencaharian masyarakat. Akibat adanya tekanan dari pemerintahan militer Jepang di Kendari, rakyat yang dulunya dapat memenuhi kebutuhannya dengan mudah dan bahkan murah, namun pada masa pendudukan Jepang rakyat hidup tertindas.

(51)

dijadikan perdagangan kebutuhan hidup sehari-hari yang datang dari pulau-pulau sekitarnya, menjadi sepi akibat masuknya tentara Jepang di Kendari. Kebun-kebun yang biasanya diolah untuk keperluan penduduk Kendari hasilnya hanya untuk dinikmati oleh tentara Jepang yang mengambilnya secara paksa dari rakyat tanpa membeli atau menukar dengan barang lainnya.

Selain keadaan-keadaan yang telah dibatasi di atas, Jepang juga dalam bidang pertanian menggalakkan penanaman tanaman untuk kepentingan bahan ekspor, seperti di Ambesea, tentara Jepang memerintahkan kepada penduduk untuk menanam kapas secara besar-besaran tanpa diberi upah. Hasil dari apa yang dikerjakan oleh rakyat tidak pernah dinikmatinya, namun hanya untuk keperluan Jepang dan untuk konsumsi di luar daerah.

C. Sejarah Masuknya Jepang di Kendari

Kolonialisasi Jepang di wilayah Sulawesi Tenggara khususnya di daerah daratan, diawali oleh masuknya Jepang pada tahun 1942 di Kota Kendari bersamaan pada saat menyerbu Balikpapan. Jepang melakukan pendaratan di Kendari melalui tiga jalur, yaitu Tombawotu, Pasar Kendari, dan Talia. Pasukan pertama mendarat di Tombawotu yang terletak di Muara Sampara (muara sungai Konaweeha) di pantai timur, sebelah barat laut Kota Kendari pada jam 03.00 subuh.

(52)

pukul 11.00 siang pasukan pertama Jepang sampai di daerah Punggolaka. Di daerah ini, pasukan Jepang membunuh pendeta Gouwelos bersama Mandor jalanan bernama Hamla (orang Tolaki) dan menangkap La Sandara Kapita Kerajaan Laiwoi.

Setelah jam 11.00 mereka melanjutkan perjalanan menuju Mandonga yang terletak di km 8 dari Kendari pada persimpangan jalan ke Kendari Dua dimana terdapat lapangan terbang (33 km dari Kota Kendari). Pos (asrama) tentara Belanda di Mandonga dimasuki oleh pasukan Jepang, akan tetapi asrama tersebut telah ditinggalkan oleh penghuninya. Di Mandonga (km 8) ditemukan pula Opseter Kehutanan, Vander Staar yang juga bermaksud menghindar dari Kendari karena adanya pendaratan Jepang. Van der Staar juga ditembak mati di tempat. Setelah dari Mandonga, pasukan Jepang melanjutkan perjalanan ke Lepo-Lepo. Perjalanan pasukan pertama ini dipersiapkan untuk melanjutkan serbuan ke Kendari Dua sebagai pusat pangkalan udara militer Belanda di Kendari, yang juga merupakan pertahanan terakhir Belanda di Kendari (Tamburaka, 2005).

(53)

Pasukan pendaratan ketiga yang mendarat di Talia tidak melihat adanya tanda-tanda pasukan Belanda disana dan segera menggabungkan diri dengan pasukan kedua. Pasukan kedua dan ketiga ini ketika menuju ke Lepo-Lepo juga mendapat perlawanan yang cukup kuat dari pasukan Belanda di Punggolaka (km 3). Disini adalah cabang dari pangkalan militer Belanda yang lari terus menuju pangkalan udara untuk mengatur perlawanan yang merupakan benteng terakhir Belanda di Kendari.

Dalam perjalanan menuju Kendari Dua, pasukan kedua dan ketiga Jepang kemudian mendapati pasukan pertama yang sedang menghadapi serangan dari pasukan Belanda di Lepo-Lepo. Pasukan Jepang yang pada saat itu diperkuat dengan angkatan udara, laut dan darat dapat mematahkan perlawanan Belanda hingga pukul 17.00 sore hari. Pertempuran ini mengakibatkan kekalahan Belanda, sehingga pasukan Belanda lari menuju Asera, Lasolo, hingga ke Kolaka dan sampai di Enrekang, kemudian menyerah disana.

(54)

Setelah penyerahan kekuasaan oleh Belanda terhadap Jepang, Jepang saat itu kemudian menjadi penguasa di Kendari, Kendari Dua dan sekitarnya, yang dilanjutkan dengan mengatur pemerintahannya di Kendari. Pada saat Jepang telah berkuasa, Raja Kendari Tekaka menyatakan takluk kepada Jepang. La Sandara sebagai Kapita Laiwoi kemudian ditetapkan menjadi Raja II di samping Tekaka sebagai Raja I oleh Jepang.

Jepang pada waktu itu segera membangun pertahanannya di Kendari dan sekitarnya. Lapangan terbang Kendari Dua ditingkatkan fasilitasnya sebagai lapangan terbang militer dan kubu-kubu pertahanan dibangun. Teluk Kendari dipersiapkan untuk perbaikan-perbaikan kapal Jepang. Pasukan-pasukan Jepang membanjiri Kendari. Kendari dengan cepat diatur dan dibenahi oleh Jepang sebagai kota yang memegang peranan penting sebagai tempat pertahanan Jepang yang diperkuat kubu-kubu pertahanan di sekitar teluk Kendari hingga di sekitar lapangan terbang Kendari dua. Kendari dijadikan basis komando oleh Jepang dan juga dijadikan sebagai tempat bengkel dan docking (maintenance) serta gudang perbengkelan/peralatan dari tentara Jepang.

Kekuasaan Jepang pada saat itu memaksa Raja Laiwoi sebelumnya Kerajaan Konawe, Kolaka dan Buton-Muna, sehingga pada akhirnya wilayah Afdeling

(55)

militer seperti perbaikan dermaga, pelabuhan udara dan kubu-kubu pertahanan militer.

Di bidang pemerintahan umum, Jepang tidak melakukan perubahan dan tetap mempertahankan dan memakai system pemerintahan dualisme Belanda dan pemerintahan Swapraja, dan disesuaikan dengan pemerintahan pendudukan militer Jepang. Perubahan sedikit terjadi pada Swapraja Laiwoi (Kendari), dimana Kapita yang merupakan pembesar Kerajaan Laiwoi dijadikan Raja II sedangkan Raja Laiwoi menjadi Raja I. pembagian wilayah bawahan tidak mengalami perubahan, yang diubah hanya nama kesatuan wilayah dan pejabat pemerintahan sipil. Afdeling menjadi Ken dengan Kepala Kenkanrikan. Onderafdeling menjadi

Bunken dengan Kepala Bunken Kanrikan. Distrik/Onderdistrik menjadi Gun

dengan Kepala Gunco, Kampung menjadi Son yang dikepalai Sonco.

Ibu kota Ken Buton dan Laiwoi adalah Bau-Bau, tetapi pimpinan militernya berkedudukan di Kendari. Dimana Ken Buton dan Laiwoi tetap berbagi atas 3

Bunken, yaitu Bunken Buton, Bunken Muna, dan Bunken Kendari. Sedangkan

(56)

bahwa Kolaka merupakan pintu masuk ke Kendari (yang merupakan pusat pertahanan Jepang ke Timur), ke arah Sulawesi Selatan.

Walaupun Jepang mengatur pemerintahan sipil di Sulawesi Tenggara, jabatan Ken Kanrikan dan Bunken Kanrikan dijabat oleh orang Jepang sedangkan

Gunco dan Sunco dijabat oleh orang Indonesia, akan tetapi yang menonjol pada rakyat dalam system pemerintahan Jepang adalah kekuasaan dan kekerasan militer. Semua perintah Jepang saat itu ditujukan demi kepentingan perang untuk mencapai kemenangan melawan sekutu. Rakyat mengalami perlakuan yang lebih pahit dari masa pemerintahan sebelumnya, sehingga rakyat menjadi takut kepada Jepang. Hal ini karena jika rakyat melakukan kesalahan, maka akan mendapat hukuman yang kejam dari Jepang. Selain itu jika dianggap musuh oleh Jepang berarti harus dibunuh, apalagi dianggap sebagai mata-mata musuh.

(57)

D. Jepang dan Tinggalan Bangunannya di Kendari

Jepang resmi menguasai wilayah Kendari pada tanggal 26 Januari 1942, termasuk Kendari Dua dan sekitarnya, atau disebut juga Bunken Kendari. Kendari pada masa sebelum pendudukan Jepang merupakan daerah yang cukup potensial dibidang ekonomi, selain karena daerah atau wilayahnya serta perdagangan yang terjadi, juga karena adanya pengaruh dari kerajaan lokal yaitu Kerajaan Laiwoi.

Penguasaan Jepang pada wilayah Bunken Kendari, terutama wilayah Teluk Kendari, dikarenakan Kendari dijadikan sebagai basis militernya dalam rangka mengamati wilayah timur Indonesia. Beberapa faktor yang mendorong Jepang memilih Bunken Kendari dan menjadikan Teluk Kendari menjadi daerah strategis dan menguntungkan Jepang dalam pendaratannya di Kendari, yaitu: a. Pantai Teluk Kendari memiliki keadaan alam yang baik untuk

melaksanakan pendaratan kapal-kapal amfibi Jepang.

b. Pengadaan logistik setempat sangat membantu dalam kegiatan militer Jepang.

c. Perairan tenang, laut dalam, ombak/gelombang yang sangat memungkinkan untuk membantu kelancaran pendaratan kapal-kapal perang Jepang.

d. Muara sempit dan terlindung (Oha,1995:51).

Selain itu alasan lain Jepang menganggap wilayah Bunken Kendari penting dalam pertahanan tentara Jepang adalah “Walaupun pusat pemerintahan di

(58)

tentara Jepang karena Kendari merupakan pertahanan titik tengah dari serangan sekutu, yakni antara Morotai, Kendari, dan Kupang. Kemudian bagi Jepang, Kendari dijadikan sebagai pusat persenjataan, peralatan disamping sebagai bengkel.

Berdasarkan faktor tersebutlah, maka Jepang memilih Teluk Kendari sebagai basis militernya dalam rangka mengamati wilayah timur Indonesia. Selain dari segi politik, Kendari dianggap penting oleh Jepang dari segi perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari sebaran pilboks dan bungker di jalan-jalan utama atau pusat perekonomian. Sebaran tinggalan tersebut seakan mengamankan wilayah perekonomian dari Teluk Kendari yang merupakan pusat perdagangan pada masa itu menuju wilayah Kendari II yang dijadikan sebagai basis militer Jepang.

Pada awal perang, Jepang melaksanakan perang dengan cara ovensif dan agresif, kemudian pada tahap selanjutnya saat kedudukan Tentara Jepang semakin terancam, Jepang melaksanakan perang dengan siasat defensif (bertahan). Terdesaknya Jepang di wilayah jajahannya oleh sekutu terjadi sejak tahun 1943, dimana keadaan perang telah berubah yakni Jepang mulai terdesak oleh tentara sekutu disetiap daerah pendudukannya, termasuk di Bunken Kendari.

Pada awal tentara Jepang menduduki Bunken Kendari, Jepang mendapatkan kemenangan dari tentara Belanda, dan tidak banyak memperoleh hambatan. Menjelang tahun 1943 dan seterusnya Jepang mulai mendapatkan serangan dari tentara Amerika. Hal ini dijelaskan oleh Bhurhanuddin (1978:13),

bahwa “Dalam menghadapi perang, Jepang menyadari bahwa kemenangan hanya

(59)

tidak hanya bantuan moral, tetapi yang paling penting adalah bantuan material dan tenaga. Dengan demikian maka secara maksimal Jepang mengerahkan semua tenaga rakyat dalam usaha untuk memenangkan perang”.

Di Bunken Kendari kedudukan Jepang juga seperti daerah-daerah kekuasaan Jepang lainnya, sering mendapatkan serangan dari pesawat-pesawat terbang Amerika, terutama pada tahun 1943 sampai Jepang menyerah”. Salah satu

usaha Jepang dalam menduduki dan mempertahankan wilayah jajahannya adalah dengan membentuk romusha. Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, romusha merupakan tenaga kerja paksa di masa pemerintahan militer Jepang dengan pengerahan tenaga kerja secara paksa untuk membantu tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh Jepang. Pada awalnya, romusha dilaksanakan dengan sukarela, tetapi lama kelamaan dilaksanakan secara paksa. Bahkan, setiap desa diwajibkan untuk menyediakan tenaga dalam jumlah tertentu. Para tenaga

romusha diperlakukan secara kasar oleh Balatentara Jepang. Mereka dipaksa untuk bekerja berat tanpa mendapatkan makanan, minuman, dan jaminan kesehatan yang layak.

Gambar

Gambar diatas menunjukkan beragam tinggalan bangunan masa

Referensi

Dokumen terkait

Insentif Kelompok adalah program bagi hasil dimana anggota kelompok yang memenuhi syarat tertentu saling berbagi hasil yang diukur dari kinerja yang diharapkan. Pembayaran

Sekalipun, menurut saya, kehadiran pemerintahan Islam di pesisir utara Sumatera ini, pada awalnya, merupakan bagian gerakan perluasan wilayah politik Islam yang datang dari

Less preferred items (smoked curd, smoked sar- dine, smoked herring, smoked sausages, lard) have positive coefficients for the first dimen- sion, while those with higher

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaporan Keuangan Melalui Internet (Internet Financial Reporting) dalam Website Perusahaan.. Fakultas Ekonomi Universitas

Jenis metafora yang terdapat dalam penelitian ini antara lain metafora manusia yaitu metafora yang berhubungan dengan tubuh manusia, penggunaan metafora manusia pada sepak bola

Metode Case Based Reasoning (CBR) yang diimplementasikan pada Sistem Pendukung Keputusan Konseling Siswa dapat memberikan solusi untuk masalah perilaku siswa,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Bagaimana model persamaan regresi dengan metode Partial Least Square (PLS) untuk mengatasi multikolinearitas; (2) Bagaimana model

\ Pimpinan DPRD ya ng menjelaskan penggu naan ; dana a ka n sesuai dengan peru ntu ka nnya.. ; ditandatangani Pimpina