• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kehidupan Sosial dan Ekonomi Orang India di Sumatera Timur

JEJAK BANGSA INDIA DI SUMATERA TIMUR

2.2 Kehidupan Sosial dan Ekonomi Orang India di Sumatera Timur

Saat Belanda membuka cabang De Javasche Bank di Medan, sejumlah Sikh dipekerjakan sebagai penjaga pada tahun 1879. Melihat situasi dan kesempatan ekonomi di kota Medan, beberapa Sikh membuka usaha peternakan lembu untuk meningkatkan permintaan pasokan susu dari Belanda. Banyak yang berhasil dengan mata pencaharian ini, hingga sekarang masyarakat keturunan India terkenal sebagai produsen susu sapi murni. Pada akhir tahun 1930, Sikh di Medan mencapai lima ribu orang.

Dua Orang Benggali Yang Bekerja Sebagai Penjaga di Perkebunan.

Selain mereka yang didatangkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sebagai kuli, migran orang Cina, India dan juga Arab mulai berdatangan ke Sumatera Timur untuk berdagang dan menjadi pekerja di bidang-bidang lain. Migran dari India yang datang untuk berdagang antara lain adalah orang-orang dari India Selatan (Tamil Muslim) dan juga orang Bombay serta Punjabi. Di luar pekerja kontrak di perkebunan, orang-orang India yang lain juga banyak datang ke Medan untuk membuka berbagai sektor usaha yang sedang tumbuh di kota ini, seperti kaum Chettiars atau Chettis (yang berprofesi sebagai pembunga uang, pedagang dan pengusaha kecil), kaum Vellalars dan Mudaliars (kasta petani yang juga terlibat dalam usaha dagang), kaum Sikh dan orang-orang Uttar Pradesh. Selain itu juga terdapat orang-orang Sindi, Telegu, Bamen, Gujarati, Maratti (Maharasthra), dll.Tetapi orang-orang Indonesia pada umumnya tak mengenali perbedaan mereka dan secara sederhana menyebutnya sebagai orang Keling dan orang Benggali saja.22

Thandal (mandor) diberikan tugas untuk mengawasi para pengantar pesanan tetap berjalan lancer, para bawahannya adalah penarik gerobak. Untuk mempercepat pengantaran Thandal memesan 10 sampai 20 sapi jantan dan ketika usaha semakin meningkat maka pesanan terhadap sapi jantan mencapai 50 ekor. Seperti perkebunan Di masa kolonial, buruh-buruh Tamil yang bekerja di perkebunan biasanya dipekerjakan sebagai tukang angkat air, membetulkan parit dan jalan sementara orang-orang Punjabi yang beragama Sikh biasanya bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal di istana dan kantor, penjaga toko, dan lain-lain.

22 Ibid.

milik Belanda yang ada di Malaya, para kuli India di Deli juga digaji sangat sedikit. Dalam delapan bulan kuli Cina digaji 150 gulden dan kuli India 120 gulden. Dari seorang informan diketahui bahwa karena hal ini beberapa dari para kuli India ini pulang ke kampung halamannya, dan yang lainnya memilih untuk tinggal.23

Pada komunitas Tamil terbentuk piramida sosial ekonomi dengan mayoritas hidup dalam garis kemiskinan sama, bahkan lebih besar dari kebanyakan penduduk asli. Dari 18.000 orang Tamil di Sumatera Timur hanya 30 keluarga yang dapat dikatakan kaya. Untuk menunjukkannya biasanya keluarga tersebut mengirim anak mereka ke sekolah standart di lokal, dan bahkan mengirim ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.24

Dalam pekerjaan orang-orang Tamil sering diidentikkan dengan pekerjaan kasar, seperti kuli perkebunan, kuli pembuat jalan, penarik kereta lembu, dan Keberadaan Tamil dan Sikh yang tinggal berdekatan hampir tiga generasi, namun terdapat perbedaan diantara keduanya yaitu perbedaan tempat asal, pekerjaan dan agama telah membuat mereka menjadi komunitas yang terpisah. Sikh mencapai mobilitas ekonomi yang lebih baik dibanding Tamil, sebagian hal dikarenakan Sikh tetap menjaga komunikasi dengan India setibanya mereka di Deli secara terus-menerus. Orang Sikh juga lebih giat dan ulet dalam bekerja dan merintis usahanya. Beberapa dari orang Sikh ini pindah ke Jakarta untuk membangun bisnis tekstil yang lebih besar dan hidup menetap disana.

23

Wawancara dengan J. Patte. 24

pekerjaan-pekerjaan lainnya yang lebih mengandalkan otot. Hal ini terkait dengan latar belakang orang Tamil yang datang ke Medan, yaitu mereka yang berasal dari golongan dengan tingkat pendidikan yang rendah di India. Mereka inilah yang dipekerjakan di zaman kolonial sebagai kuli di perkebunan-perkebunan milik orang Eropa. Sejak masa kolonial etnis Tamil banyak bekerja sebagai kerani, pedagang, buruh, dan juga sebagai sopir.

Orang-orang Tamil yang datang secara mandiri ke Medan pada umumnya memiliki jenis mata pencaharian hidup sebagai pedagang. Di antaranya menjadi pedagang tekstil, dan pedagang rempah-rempah di pusat pasar di Medan. Selain itu mereka juga banyak yang bekerja sebagai supir angkutan barang, bekerja di toko-toko Cina, dan menyewakan alat-alat pesta. Beberapa melakoni usaha sebagai penjual makanan, penjual kue keliling. Pada umumnya, mereka yang berjualan rempah-rempah, tekstil dan menjual makanan adalah orang-orang Tamil yang beragama Islam. Mereka adalah kaum Muslim migran yang datang dari India Selatan hampir bersamaan dengan kedatangan orang-orang India pada umumnya ke Medan pada pertengahan abad XIX.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Kedatangan Bangsa India ke Sumatera Timur tidak terlepas dari investasi modal perkebunan bangsa Eropa yang marak berkembang di kawasan Pantai Timur Sumatera pada pertengahan abad ke 19. Investasi ini dipelopori oleh Jacobus Nienhuys (1863) yang mendapat konsesi tanah dari Sultan Deli yaitu Mahmud Perkasa Alamsyah untuk menanam tembakau Deli yang kualitasnya ternyata sangat baik sebagai bahan pembungkus cerutu. Pada saat itu diperoleh keuntungan yang relatif besar, sehingga datanglah para investor asing lainnya ke Sumatera Timur. Kemudian, Nienhuys membentuk maskapai tembakau yang bersifat Perseroan terbatas (Naamloze Vernootschap/NV) dengan nama Deli Maatschapping/Maskapai-Deli pada tahun 1869.1

Jika melihat lebih kebelakang, Bangsa India sudah datang jauh sebelum perkebunan dibuka. G.J.J. Deutz menemukan batu bertulis dari Lobu Tua (kira-kira 12 kilometer dari Barus) pada tahun 1872. Pada tahun 1932, K.A. Nilakanta Sastri, seorang guru besar ahli purbakala di Madras berhasil menerjemahkannya. Batu bertulis dengan angka tahun 1088 itu menurut penafsiran Nilakanta Sastri berasal dari sebuah serikat dagang orang-orang Tamil berjumlah 1.500 orang yang tinggal

1

Karl J. Pelzer, Toean Keboen dan Petani, Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria, Jakarta: Sinar Harapan, 1985, hlm. 73.

menetap di Barus untuk berdagang.2

Seiring dengan perkembangan industri perkebunan yang dirintis oleh Nienhuys kebutuhan akan tenaga kerja juga meningkat, sehingga didatangkan buruh-buruh Cina dan India dalam jumlah besar. Etnis Cina dan India pada mulanya didatangkan dari Penang, Singapura dan India Selatan melalui perantara. Pengusaha-pengusaha perkebunan juga memanfaatkan tenaga kerja dari Jawa melalui program transmigrasi yang dilaksanakan Pemerintah Kolonial Belanda. Sejak saat itulah tenaga-tenaga buruh yang bekerja di perkebunan terdiri dari etnis Cina, India,dan Jawa.

Mereka bermukim di Barus dan Kalasan, dan menyebut daerah ini dengan Kalasapura. Hal ini memberi kesan bahwa mereka telah membentuk perkampungan sendiri. Seperti lazimnya terjadi di kota-kota pusat perdagangan, para saudagar asing hidup berkelompok-kelompok membentuk perkampungan-perkampungan menurut daerah asal atau bangsanya. Pada umumnya tempat tinggal mereka terpisah dari permukiman penduduk setempat.

3

Kemashuran Tanah Deli sebagai kawasan yang menghasilkan banyak devisa telah tersiar ke daerah-daerah lain baik di dalam maupun luar negeri. Istilah “Het Selain mereka yang didatangkan sebagai kuli, imigran lain juga terus berdatangan ke kota ini untuk tujuan berdagang dan mengisi berbagai lowongan pekerjaan yang tersedia.

2

K.A. Nilakanta Sastri, A Tamil Merchant-guild In Sumatera, Bandoeng: A.C.NIX & Co,1932, hlm. 2

3

Peristiwa pemindahan penduduk pulau Jawa ke daerah-daerah diluar Jawa terkait juga dengan kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk politik etis, Yaitu guna meningkatkan taraf hidup masyarakat maka diadakan kebijakan berupa:pendidikan untuk masyarakat,irigasi pada areal pertanian di jawa yang terkenal sebagai tanah yang paling subur di Nusantara serta transmigrasi sebagai upaya mengurangi jumlah penduduk di pulau Jawa. lihat Ricklefs,Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gajah Mada, 1992, hal: ?.

Dollar Landsch” atau tanah yang banyak menghasilkan uang melekat pada Deli. Stigma-stigma ini menggambarkan Tanah Deli banyak menarik minat para pendatang untuk mengadu nasib. Pendatang yang berasal dari luar daerah berasal dari Tapanuli Selatan (Mandailing dan Sipirok), Sumatera Barat (Minangkabau), Banjar, Sunda, Banten, Jawa, dan lain-lain, sedangkan pendatang yang berasal dari luar Nusantara berasal dari Cina, Arab, India.

Imigran dari India yang datang untuk berdagang antara lain adalah orang-orang yang berasal dari India Selatan dan juga orang-orang Bombay serta Punjabi. Di Masa kolonial buruh-buruh Tamil biasanya dipekerjakan sebagai tukang angkat air, membetulkan parit dan dibidang infrastruktur serta transportasi. Ketika bekerja di perkebunan, orang-orang India ini selalu disuruh untuk membuat jalan-jalan yang menghubungkan lokasi perkebunan dengan lokasi-lokasi yang lainnya. Sementara itu, orang-orang Punjabi yang beragama Sikh biasanya bekerja sebagai penjaga keamanan, pengawal di istana dan kantor-kantor, serta penjaga toko. Orang Punjabi yang bekerja di perkebunan juga bertugas sebagai penjaga malam, pengantar surat, dan juga memelihara ternak sapi untuk memproduksi susu.4

Di awal abad XX secara perlahan terjadi peralihan mata pencaharian, dari awalnya bekerja sebagai kuli di perkebunan beralih menjadi pedagang, supir pengangkutan barang dagangan, karyawan swasta dan pemerintahan. Hal ini mengakibatkan sebagian etnik Tamil mulai berpindah ke kota-kota yang dekat

4

Zulkifli Lubis, Kajian Awal Tentang Komunitas Tamil dan Punjabi Di Medan, Medan:USU, 2005, hlm. 138.

dengan sentra perdagangan dan pusat kota.5 Di antara pendatang etnis Tamil yang merantau di tanah Deli ada juga yang berpenghasilan cukup mapan sehingga menarik minat masyarakat di negeri asal mereka untuk mencoba merantau ke Sumatera Timur. Sebagian dari para pendatang ini memiliki latar belakang pendidikan yang cukup baik sehingga ketika tiba di Deli ia tidak bekerja sebagai buruh melainkan pegawai kantoran atau yang pada waktu itu lebih populer dengan istilah kerani pada kantor-kantor perkebunan.6

Di awal abad XX, orang-orang India ini menyadari bahwa mereka memerlukan suatu wadah yang dapat menghubungkan dengan sesama bangsa India baik yang sudah tinggal menetap di Medan ataupun yang baru datang. Pada 1 Juli 1913 dibentuklah sebuah perkumpulan yang bernama Deli Hindu Sabba yang disahkan oleh Gubernur Sumatera Timur.7

Deli Hindu Sabba tidak hanya diperuntukkan bagi etnis Tamil saja. Semua yang berbangsa India di Medan dapat bergabung, baik beragama Hindu ataupun Islam. Pendiri organisasi ini adalah Ranasamy Sarma, Sedhu Ramasamy, Inder Singh, Ponesamy Pillay, Delip Sing, dan lain-lain, di ketuai oleh Ponesamy Pillay.

Deli Hindu Sabba memiliki arti yaitu, Deli adalah tempat mereka bermukim, Hindu menyatakan identitas agama, dan kata Sabba yang berarti persatuan. Jadi Deli Hindu Sabba berarti persatuan masyarakat Hindu yang tinggal di Deli.

5

Siwa Kumar, “Pluralitas Tamil di Kota Medan” Etnografi Etnik Tamil Hindu Di Kelurahan Madras Hulu Kecamatan Medan Polonia”,Skripsi, belum diterbitkan, Medan:Antropologi FISIP USU,2008, hlm. 23.

6

Saifuddin Mahyuddin, Biografi D.Kumarasamy,Medan:Yayasan Sai Ganesha,2014, hlm. 10. 7

Tuanku Luckman Sinar Basharsyah, Orang India di Sumatera Utara,Medan: Forkala, 2008, hlm. 24.

Organisasi ini dibentuk untuk mengupayakan peningkatan kehidupan masyarakat Hindu yang ada di Medan baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, sosial, agama, dan kebudayaan. Pada awal pembentukan Deli Hindu Sabba pergerakannya dirasakan terlalu lambat oleh masyarakat Hindu karena kurangnya kecakapan sosok pemimpin. Pembentukan awal organisasi ini, anggotanya terdiri dari kaum tua yang terikat dengan budaya yang sudah ada sehingga sulit untuk melakukan pembaharuan-pembaharuan.

Deli Hindu Sabba menjadi lebih hidup ketika dipimpin oleh D. Kumarasamy pada tahun 1931. Tujuan awal dari Deli Hindu Sabba dapat dilaksanakan secara nyata oleh D. Kumarasamy. D. Kumarasamy telah lama begabung di Deli Hindu Sabba dan memiliki banyak ide, namun ia tidak memiliki wewenang dalam pelaksanaannya karena tidak menjabat sebagai ketua, dan pada awal pembentukan Deli Hindu Sabba ide-ide dari kaum muda tidak begitu diterima.

Kegiatan-kegiatan dari organisasi ini mulai bermunculan. Dari mendirikan sekolah bahasa Tamil, seksi keputrian yang diberi nama “Mother Paguthi”, cabang olahraga, dan lain-lain. D. Kumarasamy mampu menarik minat anak-anak muda masyarakat Hindu untuk bergabung dalam Deli Hindu Sabbha. Bahkan anak-anak yang berusia 8 tahun dapat mengikuti pendidikan di Deli Hindu Sabba. Segala bentuk program pendidikan yang dibentuk Deli Hindu Sabba dapat diikuti secara gratis.

Organisasi ini seutuhnya bersifat sosial dan tidak memiliki sedikitpun unsur politik di dalamnya.8

Organisasi ini pada dasarnya bertujuan untuk memodernkan pemikiran orang-orang India yang bisa dikatakan masih kolot melalui pendidikan. Dengan alasan demikian maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang organisasi ini, dan memilih judul “ORGANISASI DELI HINDU SABBA DI MEDAN

1913-Topik ini menarik untuk dikaji karena Deli Hindu Sabba merupakan organisasi pertama di Medan yang dibentuk oleh Etnis Tamil. Deli Hindu Sabba merupakan sebuah apresiasi rasa kesadaran dari masyarakat Hindu yang sama-sama tinggal di Deli. Wadah ini berfungsi untuk mensejahterahkan kehidupan masyarakat India yang bermukim di Medan dan meningkatkan rasa solidaritas sesama orang India. Banyak kegiatan-kegiatan lahir dari organisasi ini. Selain itu, terdapat beberapa pembaharuan yang dilakukan yang di kemudian hari semakin memudahkan kehidupan masyarakat India, seperti menyederhanakan tata cara adat pernikahan Tamil dan menghapuskan peraturan dilarang menikah terhadap para wanita yang sudah janda. Organisasi ini juga mendirikan sekolah Tamil pertama di Medan, di mana semua anak-anak India yang tinggal di Medan bisa mengikuti sekolah ini baik beragama Hindu ataupun Islam. Sekolah ini menggunakan bahasa pengantar Tamil dan kemudian berkembang menggunakan bahasa Inggris. Sekolah ini bertujuan agar masyarakat India tidak lupa terhadap bahasa ibunya. D. Kumarasamy berusaha untuk tetap menjaga budaya bahasa Tamil agar tidak punah.

8 Ibid.

1942”. Rentang waktu yang dimulai dari tahun 1913 yaitu dimana organisasi ini didirikan pada 1 Juli 1913 di Medan dan penulis membatasi hingga tahun 1942 karena pada tahun tersebut terjadi kemunduran di dalam organisasi yang dipicu oleh tidak adanya regenerasi tokoh sepeninggal D. Kumarasamy dan kemunduran semakin terlihat ketika Jepang menguasai Nusantara.

Dokumen terkait