BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KOMIK, SOSIOLOGI
2.3 Kehidupan Pekerja Pasca Perang Dunia II
2.3.2 Kehidupan Sosial Pekerja Pasca Perang Dunia II
Sepintas, kemakmuran Jepang disaat pertumbuhan ekonomi pesat setelah Perang Dunia II, tampak semakin mencolok. Tetapi, masalah-masalah kemiskinan sosial juga bermunculan. Penyakit-penyakit sosial masyarakat Jepang menggambarkan apa yang disebut struktur ganda ekonomi dan sistem keamanan sosial yang terbelakang. Pertumbuhan ekonomi merupakan satu-satunya tujuan nasional yang paling penting dengan mengesampingkan semua pertimbangan
lainnya. Pertumbuhan ekonomi tersebut memacu industrialisasi menjadi semakin cepat lagi dan mengakibatkan perkembangan kota-kota besar secara tidak seimbang dan tidak terencana. Kepincangan-kepincangan dalam kehidupan di kota besar seperti Tokyo dibiarkan berlarut-larut dan oleh sebab itu industrialisasi serta urbanisasi maju dengan cara yang tidak terkendali (Tadashi Fukutake, 1988: 84).
Penghapusan golongan samurai adalah salah satu kebijakan dari Meiji Tenno yang diteruskan sampai selesai Perang Dunia II yang menciptakan saluran-saluran baru untuk mobilitas sosial dan dengan demikian menciptakan sarana yang diperlukan untuk pengembangan industri modern, tetapi tetap mempertahankan status tradisional. Buyarnya sistem kelas feodal ternyata berguna untuk merangsang hasrat rakyat untuk menaiki tangga sosial. Stratifikasi sosial terbuka terbukti menilai sangat penting dan mendorong terjadinya perkembangan ekonomi.
Kelas atas yang berkuasa sebelum perang secara garis besar terdiri dari golongan kapitalis kaya, para pemilik tanah luas, politikus-politikus dan pejabat-pejabat tinggi. Kedudukan mereka kokoh karena didukung oleh sistem kekaisaran. Yang erat berkaitan dengan kelompok atas ini adalah pengusaha-pengusaha menengah dan kecil sebagai pemilik pabrik-pabrik kecil dan toko-toko besar. Para pemilik tanah berukuran menengah dan kecil merupakan kelas menengah kecil yang berada tepat di atas kelas petani, pekerja, pedagang-pedagang kecil, dan golongan pengrajin. Kelas menengah baru yang berupa karyawan pemerintah, pegawai dalam perusahaan-perusahaan besar, guru-guru dan para pekerja profesional lainnya jumlahnya lebih kecil daripada kelas menegah lama tetapi
tetap menjadi satu keseluruhan struktur kelas pelapisan sosial. Sesungguhnya kelas menengah baru itu memainkan peranan perantara diantara kelas yang berkuasa dengan menengah lama (Tadashi Fukutake, 1988: 32).
Tabel 3.1 Struktur Kelas (%)
1950 1955 1960 1965 1970 1975
-Kapitalis 1.9 2.0 2.7 3.6 5.0 5.9
-Orang-orang yang melayani keamanan 0.9 1.1 1.1 1.2 1.2 1.4
-Bekerja pada perusahaaan milik sendiri Pertanian, Perhutanan dan Perikanan Pertambangan, Pabrik-pabrik angkutan dan perhubungan
Penjualan Karyawan/jasa
Profesional dan ahli teknik
58.9 44.6 6.2 6.2 0.9 1.0 53.2 37.7 6.2 7.0 1.5 0.9 45.7 30.6 6.2 6.2 1.6 1.0 38.3 23.0 6.2 5.9 1.9 1.2 34.8 18.1 7.3 5.5 2.3 1.6 29.4 12.7 6.8 5.2 2.6 2.1 -Golongan pekerja Pegawai bergaji Pekerja produktif Pekerja nonproduktif 38.2 11.9 20.0 4.3 43.6 12.5 22.4 6.8 50.5 14.2 27.8 7.8 56.9 17.0 29.2 9.3 59.0 18.3 29.3 10.1 63.3 21.3 28.2 11.5 -Tidak dipekerjakan 2.0 1.9 0.7 1.4 1.3 2.3 Sumber : Fukutake, hlm. 33
Tabel disusun berdasarkan beberapa sensus yang menunjukkan bahwa kelas orang gajian, terutama pegawai berjumlah 10% lebih sedikit. Susunan kelas seperti ini tentu saja disebabkan oleh adanya fakta bahwa jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian masih besar bila pekerja-pekerja dalam keluarga ikut dihitung, jumlah mereka mencapai 45% dari seluruh penduduk. Tetapi, perubahan-perubahan yang terjadi kemudian mengakibatkan penurunan yang terus-menerus dalam proporsi orang-orang yang bekerja di bidang pertanian,
kehutanan dan perikanan. Ini disertai oleh menurunnya proporsi pengusaha perorangan yang mandiri dari 60% pada tahun 1950 menjadi kurang dari 30% pada tahun 1970, sedangkan “kelas pekerja” meningkat dari hanya di bawah 40% menjadi lebih 60%. Sementara kelas orang gajian hampir menjadi dua kali lipat, dari hanya 10% lebih sedikit menjadi hampir 20%, pekerja produktif meningkat dari 20% menjadi 30% dan mereka yang bekerja di bidang industri perdagangan dan pelayanan serta para pekerja yang tidak produktif pada umumnya menjadi hampir tiga kali lipat.
Struktur kelas yang ditunjukkan oleh tabel, menampilkan adanya beberapa gelintir kapitalis di tempat teratas disusul oleh kelas menengah lama yang terdiri dari para pengusaha mandiri terutama petani (10% lebih sedikit dari jumlah keseluruhan) dan pemilik toko serta pekerja industri pelayanan (kurang dari 10%). Kelas menengah baru yang terdiri dari kelas orang gajian (sekitar 20%) dan sejumlah kecil ahli teknik spesialis dan akhirnya kelas pekerja (sekitar 40%) (Tadashi Fukutake, 1988: 32-33). Golongan menengah baru berkembang dan mencakup banyak penduduk dan semakin banyak buruh bekerja dalam pabrik-pabrik, maka baik pegawai maupun buruh kasar muncul sebagai massa yang terlepas dari komunitas-komunitas tradisional. Seperti yang diutarakan oleh Soerjono Soekanto (1983: 70), salah satu akibat lain dari proses industrialisasi adalah munculnya kelas-kelas sosial baru di dalam masyarakat sehingga, stratifikasi sosial pun berubah. Bertambahnya penduduk di wilayah perkotaan menumbuhkan suatu kelas pekerja yang baru yang sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan maupun prestise tertentu.
Lapisan atas dan lapisan bawah kelas pekerja tidak dapat begitu saja disatukan sebagai “pekerja”. Perbedaan antara golongan menengah baru yang berupa pegawai-pegawai dengan kelas pekerja yang menggunakan tenaga fisiknya telah semakin menipis karena status pegawai semakin menurun dan gaji bagi kelas pekerja semakin meningkat. Tetapi, masih terdapat kesenjangan antara mereka bahkan, diantara kelompok tenaga kerja fisik pun, tingkatan gaji mereka di perusahaan-perusahaan gabungan besar dan mereka yang bekerja pada perusahaan-perusahaan menengah dan kecil telah semakin mendekat menuju kesamaan, tetapi keduanya masih dianggap sebagai kelompok-kelompok yang berlainan.
Produktivitas tenaga kerja yang semakin tinggi nampaknya menyebabkan berkurangnya peningkatan relatif pekerja-pekerja produktif. Tetapi, pekerja non produktif yang bekerja di bidang penjualan dan pelayanan dengan cepat meningkat jumlahnya. Mereka juga “pekerja”, tetapi mereka tidak dapat dimasukkan di dalam kelas yang sama seperti tenaga kerja produktif. Kelompok ketiga adalah pegawai-pegawai pelayanan umum. Mereka secara relatif merupakan kelompok besar, tetapi juga tidak dapat disamakan dengan dua golongan yang lain.
Menurut Fukutake (1988: 36), golongan yang paling kurang beruntung adalah para pekerja pada perusahaan-perusahaan kecil, pekerja yang tidak dipekerjakan, orang-orang setengah umur dan lanjut usia yang kembali lagi masuk menjadi pekerja. Mereka merupakan lapisan terendah dalam masyarakat. Mereka mencakup 2,4% dari seluruh rumah tangga (masih 12 orang diantara 1000) yang hidup dengan bantuan pemerintah atau berada dalam lapisan ambang yang
mungkin sewaktu-waktu jatuh. Penduduk yang termasuk kelas-kelas ini merupakan golongan terbawah diantara kelas.
Para pemimpin Jepang sesudah Perang Dunia II memusatkan perhatian kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pada upah dan konsumsi dan selanjutnya pada pembiayaan untuk kesejahteraan. Menjelang tahun 1973 hanya 20% dari pembiayaan umum di Jepang diperuntukkan bagi tunjangan-tunjangan sosial. Jepang pasca Perang Dunia II tepatnya setelah pertumbuhan ekonomi pesat, Jepang masih berdiri di tengah-tengah antara negara-negara maju dan bangsa-bangsa yang sedang berkembang dengan menggabungkan aspek keduanya (Sayidiman Suryohadiprojo, 1982: 89). Inilah salah satu bangsa yang memiliki kemampuan paling besar untuk berindustri di dunia yang berakar dalam suatu sistem yang memungkinkan terjadinya upah yang tidak mencukupi (meskipun upah nominal terus-menerus naik) atau malah tidak ada jaminan untuk meningkatkan mutu lingkungan dan tingkat keselamatan sosial yang rendah yang timbul dari sikap belum dewasa. Berbagai macam alat listrik yang berjejal di dalam ruang-ruang tempat tinggal yang sempit, televisi yang jumlahnya hanya diungguli oleh Amerika, merupakan ciri Jepang modern.
Menurut Buku Tahunan Statistik Tenaga Kerja keluaran Internasional Labor Organization (tahun 1977), waktu kerja Jepang dalam seminggu adalah 40,2 jam. Jika orang menghitung sepenuhnya waktu lembur yang tidak dilaporkan, maka pekerja Jepang biasa bekerja rata-rata tiga atau empat jam lebih banyak seminggunya. Akan tetapi, meskipun demikian minggu kerja totalnya masih dalam deretan negara-negara Eropa Barat. Kerajinan orang Jepang
melampaui jam kerja buruh negara industri lainnya. Pada tahun 1978, jam kerja buruh Jepang rata-rata adalah 2146 jam (Sayidiman Suryohadiprojo, 1982 :89).
Asuransi sosial di Jepang memiliki sejarah yang sangat pendek. Asuransi merupakan suatu sistem yang diharapkan dapat memberikan penghasilan yang terjamin untuk mengimbangi hilangnya penghasilan yang disebabkan oleh usia lanjut, ketidakmampuan bekerja, kecelakaan di tempat kerja, penyakit akibat tugasnya, pengangguran dan juga untuk membayar biaya-biaya perawatan kesehatan bila orang mengalami cedera atau jatuh sakit. Tetapi, di negara Jepang terdapat kerangka simpang siur yang mengurus asuransi tunjangan kesejahteraan, tunjangan nasional, asuransi kesehatan nasional, asuransi pengangguran, asuransi ganti rugi kecelakaan pekerja, asuransi pelaut dan segala macam himpunan keuntungan timbal-balik (milik para karyawan negara tingkat pusat dan daerah, karyawan perusahaan-perusahaan pemerintah, guru-guru sekolah swasta, karyawan organisasi pertanian, kehutanan dan perikanan). Semuanya didirikan pada waktu yang berlainan dan berbeda-beda sifat dan pelayanan yang mereka lakukan. Tetapi, sistem tunjangan di Jepang secara keseluruhan baru saja dibentuk dan pembagian keuntungan baru dibayarkan mulai tahun 1971. Asuransi itu diawali oleh asuransi tunjangan tahunan pekerja tahun 1942, tetapi didirikan sebagai sarana untuk mengumpulkan dana bagi kepentingan pembiayaan militer dan bukan kesejahteraan pekerja. Taraf tunjangan tahunan itu sangat rendah, tetapi dalam pemilihan tahun 1972 sistem tunjangan tahunan itu menjadi inti perdebatan. Dengan peninjauan kembali undang-undang perpajakan tahun 1973, taraf tunjangan tahunan itu dinaikkan dan dilaksanakan sistem tunjangan tahunan menurut indeks. Hasilnya sekarang, tunjangan tahunan kesejahteraan itu adalah
sekitar 130.000 yen sebulan. Tunjangan tahunan nasional yang pada permulaan besarnya adalah 2000 yen sebulan juga telah meningkat menjadi 24.000 yen untuk pasangan suami-istri, setelah pasangan itu membayar saham tunjangan tahunan kesejahteraan selama jangka waktu yang telah ditentukan (Tadashi Fukutake, 1988: 172-173).
Ditambah lagi, Jepang berkembang terus-menerus dan mendorong tumbuhnya kota semakin banyak dan semakin besar. Di Kota-kota besar padat penduduk seperti Tokyo, harga tanah tinggi karena kebijakan tanah secara resmi kurang memadai. Kota-kota sudah mendekati batas kemampuan menerima pertambahan penduduk. Pada hakikatnya Jepang tetap merupakan masyarakat pedesaan, sebab sistem politik dan ciri dasar kecenderungan politiknya yang dominan masih bersifat pedesaan.
Kota-kota inti seperti Tokyo semakin berkembang dan menimbulkan kepincangan penduduk tidak hanya pada taraf nasional tetapi juga pada taraf lokal. Akhirnya, beberapa kota yang sangat besar beserta pinggirannya terutama Tokyo sungguh sesak karena terlalu padat penduduknya. Golongan pekerja yang jumlahnya membengkak tinggal secara berjejal-jejalan dalam apartemen-apartemen kecil yang didirikan secara pribadi dan terletak disana-sini di daerah-daerah perkotaan-perkotaan kuno/tersebar dalam kompleks-kompleks apartemen dan daerah-daerah pemukiman baru. Mereka membayar sewa tinggi untuk apartemen-apartemen satu kamar dalam bangunan kayu kecil. Dalam perkembangan Tokyo yang tidak terencana dan teratur, para penghuni bermukim diantara lokasi-lokasi industri dan mereka langsung terkena jelaga yang dihembuskan ke luar dari cerobong-cerobong pabrik. Masyarakat yang tidak
mampu membeli tanah atau menyewa apartemen, tinggal di kota yang lebih kecil di dekat Tokyo, tetapi mereka tetap bekerja di Tokyo sehingga menyebabkan Tokyo yang penuh sesak dengan orang-orang pengelaju yang naik kereta api pada jam-jam sibuk.
Ditambah lagi, karena harga tanah sangat mahal, rakyat perorangan hampir tidak mungkin mampu mendirikan rumah sendiri. Pada tahun 1950 perbandingan penduduk yang memiliki rumah adalah lebih dari 80% dan menurun drastis sampai kurang dari separuhnya menjadi 60%. Proyek perumahaan pemerintah semakin diperlukan, tetapi hanya mencapai tidak lebih dari 45% dari peningkatan tahunan dalam jumlah unit-unit tempat tinggal. Unit tempat tinggal standar dalam proyek perumahan rakyat adalah “2 DK”ruang sempit yang mungkin mendorong terjadinya peralihan menuju keluarga inti. Ruang seluas itu dapat memberikan ruang makan terpisah dari ruang-ruang tidur, tetapi untuk kamar tidur terpisah bagi anak-anak, sementara anak-anak itu semakin lama semakin dewasa. Meskipun terjadi peningkatan taraf konsumsi yang dirangsang oleh pertumbuhan ekonomi, orang-orang Jepang tidak memiliki lingkungan hidup yang memadai di tempat yang paling penting bagi mereka secara pribadi seperti rumah tinggal mereka (Tadashi Fukutake, 1988: 167).
Masyarakat Jepang pasca Perang Dunia II tepatnya pada pertumbuhan pesat ekonomi juga membuat masyarakat menjadi masyarakat yang konsumtif. Dengan didukung oleh pertumbuhan ekonomi dan didorong oleh TV serta pertunjukan-pertunjukan iklan-iklan di media massa, tingkat konsumsi terus-menerus didorong untuk meningkat. Banyak orang yang terdorong membeli mobil untuk digunakan pada waktu senggang dalam liburan padahal sesungguhnya,
mereka terpaksa tinggal dalam ruang-ruang sempit yang penuh sesak seperti dalam perumahan rakyat. Meskipun Jepang memiliki kekuatan ekonomi yang besar, namun masyarakat sulit untuk menabung untuk dapat berpindah dari perumahan rakyat ke rumah milik sendiri. Demikianlah rakyat lalu membeli mobil dan pergi bertamasya pada masa-masa libur untuk melupakan frustasi mereka (Tadashi Fukutake, 1988: 12). Ekonomi yang sangat maju dan konsumsi massa menyebabkan perkembangan penuh masyarakat massa. Pegawai dan buruh kasar meningkat sangat besar bersamaan dengan penurunan jumlah pengusaha mandiri dan pekerja keluarga. Ditambah lagi, perbedaan-perbedaan antara pegawai dengan buruh kasar telah berkurang semenjak perang. Kedua golongan itu tidak ada yang memiliki harapan untuk memperoleh jaminan sosial jangka panjang, tetapi keduanya mempunyai penghasilan cukup untuk membiayai konsumsi besar-besaran dalam masyarakat industri maju.
Ekonomi Jepang yang tumbuh pesat itu telah sangat mengubah pola-pola konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum perang, orang Jepang menganggap berbelanja untuk konsumsi itu sebagai suatu sifat buruk, tetapi hal tersebut menjadi lumrah setelah pertumbuhan ekonomi pesat. Pengeluaran biaya tinggi untuk konsumsi dapat dibenarkan atau bahkan membawa gengsi. Jaminan sosial yang rendah tingkatannya itu mendorong orang-orang Jepang untuk menabung dan hidup sederhana. Tetapi, teknik-teknik pemasaran yang maju telah merangsang kecenderungan orang membelanjakan uang lebih banyak untuk barang-barang konsumsi, suatu kecenderungan yang muncul secara keseluruhan.
Yang paling mencolok adalah meningkatnya pengeluaran untuk konsumsi di daerah-daerah pedesaan. Suasana konsumsi massa tingkat tinggi juga sudah
menyebar sampai ke desa-desa. Berbagai perubahan dalam pola-pola konsumsi berjalan begitu cepat sehingga menimbulkan kekacauan dalam gaya hidup. Misalnya, terdapat penghuni kompleks perumahan umum yang padat (dua kamar dan satu dapur) yang memiliki mobil yang hanya digunakan untuk apartemen yang berupa satu ruang berukuran 6 mat (kira-kira 9’ x 12’) yang penuh sesak dengan perabotan dan perkakas, sehingga hampir tidak ada tempat lagi bagi setiap orang untuk tidur. Jepang menyamai negara-negara terkemuka di dunia dalam hal pemerataan barang-barang konsumsi tahan lama, namun masih tetap terdapat kemiskinan lingkungan material. Meskipun Jepang setelah pertumbuhan ekonomi pesat memiliki sepersepuluh aset residensial Amerika Serikat dan kira-kira sepertiga aset Jerman Barat, namun tidak diragukan lagi bahwa lingkungan hidupnya sangat tidak memadai (Tadashi Fukutake, 1988: 134).
Menurut Tadashi Fukutake (1988: 12), perpaduan antara perumahan rakyat yang tidak mencukupi dan kepemilikan kendaraan secara pribadi menggambarkan secara jelas keadaan pada umumnya dalam masyarakat Jepang modern. Tidak mungkin orang membangun kebudayaan konsumen yang menjamin adanya rasa aman bagi orang-orang berusia lanjut kalau rata-rata pekerja tidak dapat membeli rumah meskipun menggunakan seluruh penghasilan pensiunannya. Nilai-nilai setelah pertumbuhan ekonomi pesat, telah menjurus tajam menuju maihōmushugi (“rumahku-isme), yang mencukupi suatu keinginan untuk pertama-tama mendahulukan keluarga sendiri dan pemenuhan kebutuhan. Penduduk dengan tingkat upah rendah yang mengejar pemenuhan keinginan sesaat, mencari jalan keluar sementara dari kenyataan-kenyataan hidup dengan salah satu bentuk perjudian atau dalam bentuk hiburan-hiburan lainnya.
Pembaharuan-pembaharuan teknik telah meningkatkan mekanisasi kerja dalam pabrik-pabrik yang besar. Dalam industri berat, mesin-mesin dimasukkan untuk menggeser tenaga kerja, memaksa mereka menyesuaikan gerakan mereka dengan mesin-mesin itu. Kerja tangan telah sangat berkurang tetapi sebaliknya, buruh terpaksa melakukan pekerjaan yang membosankan yaitu mengawasi bekerjanya proses mesin otomatis. Sehingga, buruh mengalami kesulitan mendapat kepuasan di dalam pekerjaannya. Bila seorang buruh berminat terhadap pekerjaannya dan merasakannya sebagai hal yang menyenangkan biasanya hal ini tidak disebabkan oleh pekerjaan itu sendiri, tetapi karena upah yang diterimanya memuaskan atau karena gengsi yang diperoleh dari pekerjaan itu. Demikianlah, seorang buruh cenderung mengalami masa keterasingan-ditinggalkan (Tadashi Fukutake, 1988: 115).
Penggunaan komputer dan cepatnya perubahan menuju mesin-mesin otomatis telah memaksa pekerjaan semakin dirasionalisasikan. Menurut salah satu pandangan, penerangan hasil-hasil teknologi maju tampak memerlukan pengetahuan dan latihan tingkat tinggi, dengan demikian mendorong berkembangnya spesialisasi pekerjaan. Tetapi, jumlah ahli-ahli teknik yang benar-benar mengurus pabrik otomatis sangat kecil bila dibandingkan dengan sejumlah besar buruh yang harus tunduk kepada mesin-mesin, melakukan kegiatan penuh yang terus berulang-ulang atau hanya mengawasi kegiatan mesin-mesin. Pekerjaan sederhana itu diulangi terus-menerus menurut irama mesin. Kerja hanya menjadi sarana untuk memperoleh upah demi memenuhi kebutuhan hidup. Buruh harus menangani dengan setia giliran proses memproduksi yang disodorkan kepadanya dengan ban berjalan menjadi tidak lebih daripada sebuah roda gigi
dalam suatu mesin besar. Buruh yang jumlahnya banyak sekali ini dapat sampai kehilangan kepribadiannya sebagai manusia. Mereka tidak mempunyai harapan untuk dapat memelihara identitas mereka sebagai manusia di tempat-tempat kerja mereka. Kerja tangan sudah sangat berkurang tetapi sebaliknya, buruh terpaksa melakukan pekerjaan yang membosankan yaitu mengawasi bekerjanya proses mesin otomatis. Saat bekerja, buruh dipaksa untuk tidak memalingkan pandangannya dari jarum-jarum pengukur barang walaupun sebentar yang membuat mereka terasing dari hubungan-hubungan manusiawi yang wajar. Buruh lebih mengalami kelelahan mental daripada fisik (Tadashi Fukutake, 1988: 116).
Buruh seperti itu harus mencari kesegaran di luar pekerjaannya. Sehingga, sering kali buruh mencoba menemukan kembali identitas pribadinya dengan bersenang-senang atau berjudi. Jam kerja pabrik-pabrik di Jepang masih lebih panjang daripada jam kerja di negeri-negeri maju lainnya, meskipun pada awal tahun 1979 jam kerja itu telah diturunkan menjadi 41,1 jam yang berarti berkurang 7 jam di rata-rata jam kerja tahun 1960 yang lamanya adalah 48,1 jam. Kerja 5 hari seminggu mulai dilaksanakan kira-kira tahun 1970 dan memberikan dua hari libur penuh setiap minggu. Perbaikan persyaratan kerja akan membebaskan buruh sampai taraf tertentu dari keterasingan yang dideritanya sementara ia bekerja. Tetapi, tidak ada perbaikan-perbaikan untuk lebih mendekatkan buruh kepada naungan keluarga mereka tetapi kebijakan pemerintah hanya menyediakan kesempatan-kesempatan untuk menebus kembali frustasi yang ditimbulkan oleh suasana kerja dengan hiburan-hiburan di waktu senggang saja, sehingga masalah identitas pribadi disaat bekerja itu tidak terpecahkan. Menurut survei yang dilakukan oleh Kementrian Tenaga Kerja pada tahun 1974,
dengan mempertimbangkan rata-ratanya secara keseluruhan, buruh merasakan bahwa kehidupan ini paling berharga pada saat mereka sedang mencurahkan perhatian kepada pekerjaan mereka dan pada saat mereka memperoleh pengakuan dari orang lain karena pekerjaannya itu (Tadashi Fukutake, 1988: 120).
Tabel 3.2 Perubahan Sikap terhadap Pekerjaan (%)
1962 1970
Karena pekerjaan adalah tugas manusia, maka saya bekerja
sebanyak waktu yang tersedia 16.2 11.0 Pekerjaan adalah suatu kesenangan 9.6 8.3 Bekerja adalah bekerja; bermain adalah bermain 41.2 39.6 Bekerja adalah sarana untuk mencari nafkah 6.7 4.6 Saya senang bekerja, tetapi rekreasi juga penting 21.6 28.6 Saya mau melakukan yang saya inginkan dan bilamana saya
inginkan 1.6 4.4
Tidak ada kesimpulan atau tanpa jawaban 3.2 3.6
Sumber: Fukutake, hlm. 119
Dari tabel tersebut dapat dianalisis bahwa terlihat penurunan yang menonjol dalam jumlah orang-orang yang menganggap pekerjaan itu sebagai suatu kewajiban dan peningkatan orang-orang yang berpendapat pentingnya rekreasi. Tambahan pula meskipun persentase orang-orang yang ingin melakukan apa yang mereka kehendaki bila mereka menghendakinya adalah masih sedikit jumlahnya, namun jumlah mereka yang mementingkan sikap seperti itu meningkat cukup banyak. Hasil-hasil survei kemudian oleh Pusat Riset tersebut tidak ditunjukkan dalam tabel karena pertanyaannya sendiri telah berubah, tetapi hasil survei tahun 1976 dapat diringkaskan seperti berikut: tujuh persen dari responden menganggap pekerjaan mereka sebagai sesuatu yang menjamin
kehidupan, mereka yang menikmati kehidupan santai tetapi lebih menekankan pentingnya bekerja berjumlah 43%, mereka yang mementingkan baik kehidupan santai maupun pekerjaan adalah 30%, mereka yang lebih berminat pada kehidupan santai daripada bekerja berjumlah 11% dan mereka yang menumpahkan perhatiannya hanya untuk kehidupan santai berjumlah 4%. Dalam survei tahun 1975 oleh Kantor Perdana Menteri, 46% dari responden mengatakan bahwa mereka merasakan pemenuhan diri (a sense of fulfillment) bila berada bersama keluarganya. Angka ini jauh melebihi jumlah mereka yang merasa menghayati pemenuhan diri sebesar-besarnya bila mereka sedang mencurahkan perhatian mereka pada pekerjaannya yaitu 33% (Tadashi Fukutake, 1988: 119-120).