• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sosiologis Cerita Komik “Abandon the Old in Tokyo” karya Yoshihiro Tatsumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Sosiologis Cerita Komik “Abandon the Old in Tokyo” karya Yoshihiro Tatsumi"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SOSIOLOGIS CERITA KOMIK “ABANDON THE OLD IN TOKYO” KARYA YOSHIHIRO TATSUMI

YOSHIHIRO TATSUMI NO SAKUHIN NO “ABANDON THE OLD IN TOKYO” TO IU MANGA NO SHAKAIGAKU TEKINA BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah satu Syarat

Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

JUWITA CAROLYN DAMANIK NIM : 090708044

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS SOSIOLOGIS CERITA KOMIK “ABANDON THE OLD IN TOKYO” KARYA YOSHIHIRO TATSUMI

YOSHIHIRO TATSUMI NO SAKUHIN NO “ABANDON THE OLD IN TOKYO” TO IU MANGA NO SHAKAIGAKU TEKINA BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah satu Syarat

Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Oleh:

JUWITA CAROLYN DAMANIK NIM : 090708044

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Nandi. S

NIP : 1960 0822 1988 03 1 002 NIP : 1960 0403 1991 03 1 001 Drs. Amin Sihombing

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen,

NIP : 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum

(4)

PENGESAHAN Diterima oleh :

Panita ujian Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra

Pada Hari : Tanggal : Pukul :

FAKULTAS ILMU BUDAYA Dekan,

NIP : 195110131976031001 Dr. Syahron Lubis, M.A

Panitia Ujian

(5)

KATA PENGANTAR

Berkat rahmat Allah Bapa Yang Maha Esa dan berkat kasih dan karunia putra-Nya, Tuhan Yesus Kristus, usaha dan kerja keras, serta dukungan dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Analisis Sosiologis Cerita Komik “Abandon the Old in Tokyo” karya Yoshihiro Tatsumi adalah salah syarat untuk dapat menyelesaikan Program Studi Sastra Jepang-Sarjana (S1) Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi dan uraiannya yang disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari pihak lain. Maka, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan pada Program Studi Sastra Jepang-Sarjana (S1) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang Program S1 Universitas Sumatera Utara.

(6)

4. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan di sela-sela waktunya yang sibuk demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

5. Bapak/Ibu Dosen Sastra Jepang juga Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki kepada penulis selaku mahasiswi Sastra Jepang (S1) selama masa perkuliahan.

6. Kepada Bapakku tercinta, Robinson Damanik, SH dan Mama, Ir. Rosmadelina Purba, M.P dan adikku tersayang Yanmahesa Damanik yang sudah mendoakan dan memberikan dukungan materil dan moril terus-menerus kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini adalah bukti untuk Bapak dan Mama bahwa penulis sudah bisa bertanggung jawab dan dewasa untuk menyelesaikan satu masalah. Mom, Dad, I’m not your little girl anymore.

7. Juga kepada keluarga besar Damanik, inang tua, bapak tua, bang Petrus, kak Eva, si kecil Selena, kak Krista, Bang Richie, si cantik Cecil, keponakanku Nicholas dan Christian dan tak lupa juga Kakakku tersayang Julia Damanik dan suaminya juga si kecil yang masih di dalam perut, terima kasih atas dukungan dan doanya yang tidak putus-putus.

(7)

saat galau dan meminjamkan laptop di saat penulis benar-benar membutuhkan. I can’t reach this path without you all. Skripsi ini adalah pembuktian atas sebuah kerja keras yang didukung dari orang-orang terdekat walau begitu banyak tragedi yang terjadi di dalamnya.

9. Kepada mahasiswa-mahasiswi stambuk 2009 Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang sudah memberikan semangat dengan keceriaan dan tawa yang mereka miliki kepada penulis. どうも あ りがとうございます。

10.Kepada temanku Edy Sakra Damanik dan Veny Octaviani Marpaung, SE yang sudah susah payah memberikan informasi-informasi yang berguna dan membantu untuk penyempurnaan skripsi ini.

11.Tak lupa kepada Toshi dan pengganti sementara Toshi yang jasanya sudah sangat besar dan bang Joko yang sudah repot mengurus segala berkas untuk kelancaran skripsi ini.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu proses pembuatan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan kepada orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya atas bantuan dan dukungan yang diberikan.

Medan, Juni 2013

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 7

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 8

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

1.6 Metode Penelitian... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KOMIK, SOSIOLOGI SASTRA, MASYARAKAT PEKERJA JEPANG PASCA PERANG DUNIA II DAN RIWAYAT HIDUP YOSHIHIRO TATSUMI 2.1 Komik ... 14

2.1.1 Setting/latar ... 16

2.1.2 Penokohan ... 17

2.2 Sosiologi Sastra ... 18

2.3 Kehidupan Pekerja Pasca Perang Dunia II 2.3.1 Keadaan Perekonomian Jepang Pasca Perang Dunia II ... 21

2.3.2 Kehidupan Sosial Pekerja Pasca Perang Dunia II ... 25

2.3.3 Hubungan Pekerja dengan Masyarakat ... 39

2.3.4 Hubungan Pekerja dengan Atasan ... 42

2.3.5 Hubungan Pekerja dengan Rekan Kerja ... 45

2.3.6 Hubungan Pekerja dengan Orang tua ... 47

2.3.7 Keluarga Kelas Pekerja ... 52

2.4 Riwayat Hidup Yoshihiro Tatsumi ... 56 BAB III ANALISIS SOSIOLOGIS CERITA KOMIK ABANDON

(9)

3.1 Ringkasan Cerita... 59

3.2 Analisis Sosiologis Cerita 3.2.1 Hubungan Pekerja dengan Masyarakat ... 60

3.2.2 Hubungan Pekerja dengan Atasan ... 70

3.2.3 Hubungan Pekerja dengan Rekan Kerja ... 77

3.2.4 Hubungan Pekerja dengan Orang tua ... 80

3.2.5 Keluarga Kelas Pekerja ... 89

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 94

4.2 Saran ... 97 DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

(10)
(11)

はOccupied, Abandon the Old in Tokyo, The Washer, Beloved Mongkey, Unpaid,

The Hole, Forked RoadとEelであった。その

(12)
(13)
(14)

ABSTRAK

ANALISIS SOSIOLOGIS CERITA KOMIK “ABANDON THE OLD IN

TOKYO”KARYA YOSHIHIRO TATSUMI

(15)

Tatsumi menceritakan kehidupan kelas pekerja ibukota yang hidup penuh tekanan di masa pertumbuhan ekonomi pesat Jepang pada tahun 1970-an. Komik karya Tatsumi ini memberi gambaran realistis kehidupan kelas pekerja yang setiap harinya hanya bekerja untuk meningkatkan perekonomian pasca Perang Dunia II. Tokoh di dakan komik adalah orang-orang yang sibuk bekerja dalam kehidupan megapolitan Tokyo dan terasing dari kehidupan sosial.

Seperti yang digambarkan Tatsumi pada 8 cerita pendek di dalam komik “Abandon the Old in Tokyo” yaitu, Occupied, Abandon the Old in Tokyo, The Washer, Beloved Mongkey, Unpaid, The Hole, Forked Road dan Eel. Melalui tokoh yang dibuatnya, Tatsumi ingin mengungkapkan kemarahannya tentang diskriminasi yang semakin meningkat.

Untuk menganalisis komik, digunakan metode sosiologis. Analisis sosiologis bertolak bahwa, karya sastra adalah cerminan masyarakat. Setelah membandingkan kehidupan nyata pekerja Jepang di masa pasca Perang Dunia II (1950-1980) dengan kehidupan pekerja Jepang tahun 1970 yang ada pada komik Abandon the Old in Tokyo, disimpulkan bahwa, Yoshihiro Tatsumi menceritakan kehidupan nyata pekerja pada tahun 1970.

Akibat pertumbuhan ekonomi pesat setelah Perang Dunia II, kota-kota besar termasuk Tokyo ikut berkembang. Tokyo menjadi penuh sesak dengan para pekerja. Namun, pertumbuhan ekonomi pesat Jepang tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan sosial.

(16)

mendidik cucu. Di dalam keluarga inti, ibulah yang mendidik anak. Selain itu, posisi wanita semakin kuat, karena tidak tunduk lagi kepada wewenang ie. Kaku kazoku telah membuat nilai maihōmushugi meningkat. Maihōmushugi adalah keinginan untuk pertama-tama mendahulukan kebutuhan keluarga sendiri. Hal-hal tersebut membuat posisi orang tua lanjut usia semakin tertinggal. Generasi muda pun, menganggap orang tua bukanlah tanggungan keluarga. Anggapan itu muncul, karena munculnya kaku kazoku, perilaku konsumtif orang Jepang dan kesejahteraan sosial yang tidak ada. Selain itu, orang-orang tinggal di apartemen sempit,, sehingga tidak mungkin memberlakukan konsep ie dan membuat orang tua lanjut usia cenderung ditinggalkan.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah media untuk penyampaian “pemahaman” tentang kehidupan dengan caranya sendiri. Karya sastra dapat diibaratkan “potret” atau “sketsa” kehidupan tetapi agak sedikit berbeda dengan kenyataan karena terdapat pendapat dan pandangan penulis dari mana dan bagaimana ia melihat kehidupan tersebut. Gagasan-gagasan yang muncul ketika menggambarkan karya sastra itu dapat membentuk pandangan orang tentang kehidupan itu sendiri (Melanie Budianta, dkk, 2008:20).

Karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia. Kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau apa yang ingin digambarkan pengarang ke dalam karyanya. Melalui penggambaran tersebut pembaca dapat menangkap gambaran seorang pengarang mengenai dunia sekitarnya, apakah itu sudah sesuai dengan hati nuraninya atau belum (Pradopo, 2003: 26). Dari pendapat tersebut bahwa karya sastra merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam dunia nyata yang disampaikan oleh penulis melalui karya sastra tulisan.

(18)

dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial (Rene Wellek & Austin Warren, 1995:122). Karya sastra dianggap dapat mengungkapkan keadaan sosial budaya maupun semangat zaman yang ada pada sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, banyak penelitian yang mencoba mengungkapkan keadaan sosial budaya suatu masyarakat melalui karya sastra. Fungsi karya sastra sebagai dokumen sosial dapat ditemukan pada kesusasteraan manapun di berbagai macam masyarakat dunia.

Komik merupakan salah satu sajian yang ditawarkan dalam dunia sastra yang menarik hati para peminat sastra. Tidak hanya itu, komik mampu memikat banyak orang diseluruh dunia, baik dari kalangan anak-anak, remaja bahkan juga orangtua. Menurut Marcel Bonneff (1998:25), komik adalah salah satu produk akhir dari hasrat manusia untuk menceritakan pengalamannya, yang dituangkan dalam gambar dan tanda, yang mengarah kepada suatu pemikiran dan perenungan.

Komik harus dipahami sebagai dokumen yang tidak boleh dibatasi artinya oleh pandangan berdasarkan baik-buruknya. Untuk memahami masyarakat yang menghasilkannya, semua komik dinilai sama, tidak ada yang tidak bagus atau pun buruk. Dibandingkan dengan karya sastra yang lain, komik memiliki beberapa kelebihan karena kurang menonjolkan kepribadian penulisnya. Penulis berusaha untuk lebih banyak mengungkapkan orisinalitasnya melalui gambar dan bukan cerita (Marcel Bonneff, 1998:5).

(19)

pelukis dan pemahat kayu, menciptakan istilah “Hokusai Manga”. Sketsa Hokusai adalah sekumpulan sketsa yang berdasarkan tema tertentu yang dibuat seniman Jepang. Tema-tema dari sketsa tersebut antara lain berupa pemandangan, hewan dan tumbuhan juga gambaran kehidupan sehari-hari. Kemudian manga terus berkembang dengan bertambahnya orang Jepang yang membuatnya hingga terbentuk sebagai buku komik yang ada saat itu masih berupa urutan gambar yang merupakan sebuah cerita dengan narasi sebagai penjelasan cerita di samping gambar. Kemudian manga terus-menerus mengalami perkembangan dan penyempurnaan gambar dan cerita sehingga menyajikan cerita yang lebih kompleks dan sangat imajinatif karena sasaran pasar manga saat itu adalah

anak-anak

8.html).

Hingga pada tahun 1950-an, muncullah aliran alternatif penulisan komik gekiga yaitu sebuah genre baru komik yang mengambil latar belakang kisah dari kehidupan nyata. “Gekiga” adalah istilah ciptaan Tatsumi yang menggambarkan konsep komik yang berisi cerita dan gaya yang lebih dewasa daripada manga biasanya yang imajinatif

(20)

Yoshihiro Tatsumi yang merupakan pelopor gekiga ingin keluar dari jalur konvensional penulisan komik dan memenuhi permintaan dari pembaca dewasa. Tatsumi yang merupakan seorang komikus yang baru berkecimpung di dalam dunia manga dan banyak dipengaruhi film berusaha menampilkan penggunaan teknik perfilman dengan realisme suram dan mencoba mengeksplorasikan pemikiran yang lebih kompleks yang memikat pembaca. Tatsumi belajar dari Tezuka Osamu yang menciptakan “Tetsuwan Atomu” (Astro Boy) dan membuat Tatsumi muda berkarir di komik 4 kotak bertema dunia yang suram. Karya Tatsumi memang kerap menceritakan kelas pekerja yang harus berjuang hidup di Jepang masa pasca Perang Dunia II. Ia berkaca pada keluarga serta lingkungannya yang gagal merasakan melambungnya perekonomian Jepang selepas Perang Dunia II. Tatsumi ingin membahas masalah faktual dalam karyanya

Salah satu karya Tatsumi yang berjudul Abandon the Old in Tokyo (2006) atau judul aslinya Tōkyō Ubasuteyama menceritakan kehidupan masyarakat kelas pekerja ibukota yang hidup penuh tekanan di masa kenaikan pertumbuhan ekonomi pesat pada tahun 1970-an. Salah satu hal yang membuat karya Tatsumi istimewa adalah gambaran realistis tentang kehidupan masyarakat yang tenggelam dalam kesibukan kerja untuk meningkatkan perekonomian pasca Perang Dunia II, tetapi sama sekali tidak merasakan proses modernisasi itu sendiri.

(21)

jatuh di masa perang. Masa perubahan kondisi Jepang tahun 1970 benar-benar membuat negara-negara lain takjub.

Pabrik dan gedung-gedung pencakar langit dibangun di Tokyo seperti Sunshine 60 dan konstruksi bandara baru yang kontroversial di Narita sehingga mengakibatkan peningkatan penduduk hingga sekitar 11 juta (dalam lingkungan metropolitan). Jaringan kereta bawah tanah dan komuter Tokyo menjadi salah satu yang tersibuk di dunia karena semakin banyak orang yang pindah ke wilayah Toky

(22)

Sosiologis Cerita Komik Abandon the Old in Tokyo Karya Yoshihiro Tatsumi”.

1.2 Rumusan Masalah

Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Sastrawan biasanya mengungkapkan kehidupan manusia dan masyarakat melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosionalitas. Begitu juga dengan karya sastra berupa komik Abandon the Old in Tokyo karya Yoshihiro Tatsumi. Di dalam komik ini banyak menunjukkan kehidupan sosiologis masyarakat Jepang pada zaman pasca Perang Dunia II, yaitu mengenai kehidupan masyarakat Jepang yang tenggelam di dalam kemodernisasian, sehingga menimbulkan banyak penyimpangan pada hubungan antar masyarakat.

(23)

1. Bagaimana kehidupan masyarakat Jepang khususnya kelas pekerja dalam kehidupan sehari-hari pada pasca Perang Dunia II (1950-1980)?

2. Bagaimana kehidupan masyarakat Jepang khususnya kelas pekerja pada pasca Perang Dunia II tepatnya pada tahun 1970 yang digambarkan pada komik Abandon the Old in Tokyo?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Agar penelitian lebih terarah dan teratur maka ruang lingkup pembahasan harus dibatasi. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh, sehingga penulisan bisa dilakukan lebih terfokus.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup penelitian yang difokuskan kepada kehidupan kelas pekerja sebagai tokoh yang diceritakan pada komik ini terutama dilihat dari caranya bersosialisasi dengan masyarakat luas, hubungan para kelas pekerja dengan atasannya dan rekan kerja, keadaan keluarga kelas pekerja dan hubungannya dengan anggota keluarga yang lain. Oleh karena itu, penelitian hanya difokuskan kepada analisis kehidupan masyarakat yang ditinjau dari sudut sosiologisnya yang terdapat di dalam 8 cerita pendek yang terkumpul pada komik Abandon the Old in Tokyo.

(24)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Sosiologi sastra menurut Ratna (2003 : 2), yaitu pengalaman terhadap totalitas karya yang disertai aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya. Sosiologi sastra mewakili kesimbangan antara dua komponen, yaitu sastra dan masyarakat. Oleh karena itu, analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi karya sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.

Zerafta dalam fananie (2001 : 133) mengatakan bahwa bentuk dan isi karya sastra sebenarnya memang lebih banyak diambil dari fenomena sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karenanya, karya sastra seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat. Dalam hal ini, karya-karya mempunyai suatu fungsi pewahyuan dalam pengertian mencakup aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, atau pun budaya. Itulah sebabnya, karya sastra dapat merupakan pencarian dan sekaligus ungkapan pengertian dan esensinya.

(25)

yang berubah ini kita sebut masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial.

Di dalam komik Abandon the Old in Tokyo ini dapat dilihat masyarakat yang mengalami perubahan karena didesak oleh perkembangan zaman yang drastis dan mengakibatkan masalah yang kompleks bagi masyarakat yang mengalaminya.

2. Kerangka Teori

Dalam sebuah penelitian diperlukan satu teori pendekatan yang menjadi suatu acuan penulis untuk menganalisis karya sastra tersebut. Penulis menggunakan pendekatan sosiologis dan semiotik dalam menganalisis karya sastra ini.

Pendekatan sosiologis bertolak dari pandangan bahwa karya sastra adalah pencerminan kehidupan masyarakat. Jadi melalui sastra, pengarang mencoba mengungkapkan suka-duka kehidupan masyarakat yang mereka ketahui secara jelas. Jadi, bertolak dari pandangan itu maka kritik sastra lebih banyak menggunakan segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat pada karya sastra tersebut, mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan pengembangan tata kehidupan.

(26)

adalah alat untuk menafsirkan karya sastra dengan maknanya yang sekunder dengan menghubungkan pemahaman dan pemaknaan unsur-unsur intrinsik karya itu dan mengaitkan dengan unsur ekstrinsik.

Wellek dan Warren dalam Semi (1995 : 111) membuat klasifikasi singkat sebagai berikut :

1. Sosiologi pengarang : yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang;

2. Sosiologi karya sastra : yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra; yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya;

3. Sosiologi sastra : yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosial karya sastra terhadap masyarakat.

Teori tersebut diperkuat dengan teori yang dibuat oleh Ian Watt dalam Damono (1984 : 3) yang melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra dengan masyarakat. Telaah sosiologis suatu karya sastra mencakup tiga hal :

1. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.

2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

(27)

dipengaruhi oleh nilai sosial dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat hibur dan pendidikan terhadap masyarakat pembaca. Hoed dalam Nurgiantoro (1998 : 40) mengatakan bahwa semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, gagasan dan lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rumah, pakaian, karya seni, sastra, lukisan, patung, film, tari, musik, dan lain-lain yang berada di sekitar kehidupan kita.

Mengenai hubungan karya sastra dengan tanda, Ratna (2004: 117) mengungkapkan sastra dalam bentuk karya sastra atau naskah mengandung banyak tanda-tanda, sesuatu yang lain yang diwakilinya, sebagai tanda-tanda non verbal. Makna tanda-tanda bukanlah miliknya sendiri, tetapi berasal dari konteks di mana ia diciptakan, dimana ia tertanam. Tanda ini dikirimkan (sender), yang bisa berarti penulis, kepada penerima (receiver), yaitu pembaca. Oleh sebab itu, pemahaman suatu karya sastra tidak bisa dilepaskan dari kenyataannya di luarnya, yaitu masyarakat di mana karya itu lahir. Hubungan antara penulis, karya sastra dan pembaca menyediakan pemahaman mengenai tanda yang sangat kaya. Kemampuan pengarang untuk menuangkan ide dan pengalaman yang dia peroleh dari masyarakat ke dalam karya sastra dan juga kemampuan pembaca untuk bisa memahami atau menginterpretasikan tulisan dan maksud pengarang lewat karyanya menentukan nilai sebuah karya sastra.

(28)

memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan masyarakat, karena karya sastra lahir dari masyarakat. Dengan kata lain, penelitian karya sastra dapat dilakukan dengan penelitian sosiologis.

Dalam skripsi ini, penulis akan melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan sosiologis berdasarkan teori “sosiologi karya sastra” (Wellek & Warren) dan teori “sastra sebagai cermin masyarakat” (Watt). Sementara itu, pendekatan semiotika digunakan untuk menganalisis tanda. Melalui pendekatan sosiologis dan semiotik, penulis berusaha untuk mengungkapkan apa yang tersirat dalam komik Abandon the Old in Tokyo.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kehidupan masyarakat Jepang khususnya kelas pekerja dalam kehidupan sehari-hari pada pasca Perang Dunia II (1950-1980). 2. Untuk mengetahui bagaimana kehidupan masyarakat Jepang khususnya

kelas pekerja pada pasca Perang Dunia II tepatnya pada tahun 1970 yang digambarkan pada komik Abandon the Old in Tokyo.

2. Manfaat Penelitian

(29)

2. Dapat menambah wawasan mengenai kehidupan sosiologis masyarakat Jepang dan pengaruh modernisasi terhadap masyarakat Jepang melalui komik Abandon the Old in Tokyo.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dalam pendekatan sosiologis dan cakupan kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30), penelitian yang berifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.

Data yang digunakan untuk penelitian ini adalah komik Abandon the Old in Tokyo karya Yoshihiro Tatsumi yang diterbitkan oleh Drawn and Quarterly Publication yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KOMIK, SOSIOLOGI SASTRA, MASYARAKAT PEKERJA JEPANG PASCA PERANG DUNIA II DAN

RIWAYAT HIDUP YOSHIHIRO TATSUMI

2.1 Komik

Komik atau dalam bahasa Jepang disebut manga adalah salah satu bentuk karya sastra yang terdapat di Jepang.

“Manga are comics created in Japan, or by Japanese creators in the Japanese language, conforming to a style developed in Japan in the late 19th century” (en.wikipedia.org/wiki/Manga). Artinya :

Manga adalah komik yang diciptakan di Jepang, atau ditulis oleh orang Jepang dalam bahasa Jepang, sesuai dengan gaya yang dikembangkan di Jepang pada akhir abad 19.”

Istilah manga ditulis dengan kanji (漫画), dalam hiragana (まんが), dalam katakana (マンガ) adalah kata dalam bahasa Jepang untuk komik dan kartun.

Manga adalah istilah untuk komik yang diciptakan oleh orang Jepang.

Di Jepang, manga dibaca oleh berbagai usia. Cerita manga juga bermacam-macam seperti petualangan, percintaan, olahraga dan permainan, drama sejarah, komedi, fiksi ilmiah dan fantasi, misteri, detektif dan horor.

(31)

pendeta Buddha membuat lukisan gulung yang menggambarkan banyak kisah. Lukisan gulung ini menggunakan banyak simbol untuk menandai perubahan waktu, misalnya sakura berbunga, daun mapel atau simbol-simbol lain yang biasanya dimengerti orang Jepang. Simbol-simbol itu kemudian tersusun dan membentuk sebuah cerita. Hokusai Katsushika (1760-1849), adalah seorang seniman yang telah menerbitkan 15 volume gambar-gambarnya dan merupakan orang pertama yang menciptakan kata manga di Jepang.

Manga berkembang di Jepang secara perlahan-lahan, tetapi perkembangan manga yang paling menonjol, disaat masuknya armada laut Amerika yang dipimpin oleh Komodor Perry (1853) dan membawa pengaruh Barat ke budaya Jepang dan membuat sebuah terobosan dalam manga oleh Ozama Tezuka (1928-1989). Ozama mendapat gelar “The God of Manga” dan membawa inspirasi kepada manga modern.

(32)

bersosialisasi dengan orang lain. Dengan aliran baru yang dibuat Tatsumi, ia berhasil merebut pasar manga (Website NUANSA Juli-September 2011).

2.1.1 Setting/latar

Menurut Abrams dalam fananie (2001: 97), setting merupakan satu elemen pembentuk cerita yang penting, karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum sebuah karya. Walaupun setting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen setting hakikatnya tidaklah hanya sekedar menyatakan di mana, kapan atau bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. Dari kajian setting akan diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi antara perilaku dan watak tokoh dengan kodisi masyarakat, situasi sosial dan pandangan masyarakatnya.

Menurut Sumardjo dalam Fananie (2001:76), setting yang berhasil haruslah terintegrasi dengan tema, watak, gaya, implikasi atau kaitan filosofisnya. Dalam hal ini tentu setting haruslah mampu membentuk tema dan plot tertentu yang dalam dimensinya terkait tempat, waktu, daerah dan orang-orang tertentu dengan watak-watak tertentu akibat situasi lingkungan atau zamannya, cara hidup, dan cara berpikirnya.

(33)

1. General locale atau latar tempat/latar peristiwa.

2. Historical time atau latar waktu/latar sejarah.

3. Social circumstance atau latar sosial.

Jika indikator tersebut diterapkan dalam telaah setting sebuah karya sastra, bukan berarti bahwa persoalan yang dilihat hanya sekedar tempat terjadinya peristiwa, saat terjadinya peristiwa dan situasi sosialnya melainkan juga kaitannya dengan perilaku masyarakat dan watak para tokohnya sesuai dengan situasi pada karya sastra tersebut diciptakan.

2.1.2 Penokohan

Cerita terbentuk karena ada tokoh-tokoh di dalamnya. Tokoh dalam sebuah cerita sangat memegang peranan penting. Tokoh adalah salah satu unsur penggerak cerita yang memiliki watak yang berkembang sesuai dengan tingkat kedewasaan manusia. Jalan cerita dapat diikuti melalui tindak tanduk tokoh cerita (Fananie, 2001: 86). Tokoh tidak hanya berfungsi untuk membentuk sebuah cerita tetapi juga berperan untuk menampilkan ide, motif, plot dan tema. Dengan adanya tokoh, konflik dapat terbentuk baik oleh tokoh antagonis maupun tokoh protagonis.

(34)

Melalui penggunaan fisik, pengarang mengungkapkan melalui gambaran fisik tokoh termasuk di dalamnya ciri-ciri khusus. Pengarang menguraikan secara rinci perilaku, latar belakang, keluarga, kehidupan tokoh pada bagian awal cerita. Tokoh-tokoh cerita dideskripsikan sendiri oleh pengarang yang artinya, pengaranglah yang menganalisis watak tokoh-tokohnya. Sementara dengan cara berpikir dan berperilaku si tokoh, karakter akan dibangun dari cara berpikir, cara pengambilan keputusan dalam menghadapi suatu peristiwa, perjalan karir dan hubungannya dengan tokoh-tokoh lain. Biasanya pengarang mencoba menggambarkan tokoh utama melalui dialog antar tokoh dan kemudian membuat satu presentasi state of mind tahap demi tahap yang dihubungkan dengan peristiwa. Watak tokoh diungkapkan pengarang mengalir seirama dengan situasi yang dihadapi para tokoh. Melalui dialog-dialog dikemukakan pengarang, pembaca akan mengetahui sejauh mana moralitas, mentalitas dan pemikiran, watak dan perilaku tokohnya (Fananie, 2001: 90).

2.2 Sosiologi Sastra

(35)

Seniman menyampaikan kebenaran sejarah dan sosial. Karya sastra merupakan “dokumen karena merupakan monumen” (“document because they are monuments”). Sastra membawa “sifat mewakili zaman” dan “kebenaran sosial” dianggap sebagai sebab dan hasil kehebatan nilai artistik suatu karya sastra (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 111).

Hubungan sastra dengan masyarakat yang bersifat deskriptif (bukan normatif) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra.

2. Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial.

3. Permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 111).

(36)

Kebenaran sosial mendukung kompleksitas dan koherensi karya sastra, sehingga menaikkan nilai artistik dari karya sastra tersebut, namun sastra yang bersifat sosial hanya merupakan satu ragam sastra dari banyak ragam lainnya. Sifat sosial bukan merupakan inti teori sastra, kecuali bila hanya beranggapan bahwa sastra pada dasarnya adalah “tiruan” hidup dan kehidupan sosial. Tetapi, sastra jelas bukan pengganti sosiologi atau politik, karena sastra mempunyai tujuan dan alasan keberadaannya sendiri (Rene Wellek dan Austin Warren, 1995: 132).

Ian Watt dalam Damono (1984: 3) membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra:

1. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.

2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

3. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat hibur dan pendidikan terhadap masyarakat pembaca.

(37)

karenanya banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang terutama mendapat perhatian adalah, sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu dan bukan sikap sosial seluruh masyarakat, sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial pengarang harus diperhatikan apabila menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat.

2.3 Kehidupan Pekerja Jepang Pasca Perang Dunia II

2.3.1 Keadaan Perekonomian Jepang Pasca Perang Dunia II

Pada akhir Perang Dunia II ekonomi Jepang hancur luluh. Jepang dihadapkan dengan kelaparan karena sektor pertanian hampir hancur, kebanyakan kembali bermigrasi ke daerah pedesaan dan mengerjakan apa saja agar menghasilkan beberapa sen untuk membeli semangkuk nasi.

(38)

memperkuat angkatan bersenjatanya untuk mengejar bangsa-bangsa Barat yang semakin cepat maju. Setelah menolak adanya kekuatan militer, Jepang memusatkan perhatiannya khusus hanya pada usaha menambah kekayaan dengan secepat-cepatnya. Dibandingkan dengan pembesaran angkatan bersenjata sebelum perang, maka anggaran belanja militer kecil sehingga, investasi negara dianjurkan untuk mengembangkan basis produksi dan perlahan-lahan perekonomian Jepang tumbuh.

Edwin O. Reischauer (1981: 270), mengatakan bahwa Jepang memusatkan perhatian kepada perkembangan ekonomi setelah kalah perang dan menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang mengejutkan.

Once the change in occupation policies and the outbreak of the Korean war in 1950 had started the economy rolling it continued to pick up speed, and in the mid-fifties it raced past the prewar peak levels established two decades earlier and maintained for the next decade and half an average rate of growth of close to 10 % percent a year in real terms-that is, after discounting inflation. This was a speed of economic expansion no major country had ever approached before.”

Artinya :

“Di saat terjadinya politik okupasi dan pecahnya perang Korea di tahun 1950, menjadi awal perputaran ekonomi yang melaju pesat dan pada pertengahan tahun 50-an, perekonomian melampaui peringkat puncak dari perekonomian sebelum Perang Dunia II yang tidak dapat dicapai dua dekade sebelumnya dan akan bertahan hingga dua dekade berikutnya yang setengah dari peringkat rata-rata dari pertumbuhan ekonomi mendekati 10% setiap tahunnya setelah pemotongan inflasi. Hal ini adalah sebuah perkembangan pesat ekonomi yang belum pernah dihadapi oleh negara non adikuasa sebelumnya.”

(39)

untuk menyediakan perlengkapan militer karena tidak dapat dilayani sepenuhnya oleh industri Amerika sendiri. Keadaan ini juga menimbulkan permintaan dari banyak negara di dunia yang dimanfaatkan oleh Jepang.

Setelah perang Korea berakhir, perekonomian Jepang mengalami stagnasi dan ekspor menjadi berkurang. Kemudian Jepang mengadakan perubahan dari suatu rekonstruksi kuantitatif menjadi perubahan teknologi yang berlangsung dari 1950 hingga awal 1960. Pada masa ini, industri-industri dasar berfungsi sebagai penentu untuk modernisasi peralatan. Perluasan dari pasaran domestik memungkinkan penggunaan peralatan baru dan pendirian industri baru, kemajuan pesat dalam pemakaian teknologi dari luar mempengaruhi perluasan ekspor, perbaikan teknik dalam industri yang memungkinkan pengurangan impor. Pemerintah juga berperan penting dalam modernisasi perlatan berupa pemberian petunjuk mengenai modernisasi industri dasar.

Setelah Perang Dunia II, industri Jepang tidak hanya menghasilkan barang-barang dalam jumlah besar, tetapi juga semakin tinggi kualitasnya. Sejak tahun 1960-an, barang-barang optik Jepang merebut pasaran dunia termasuk di Jerman yang sebelumnya adalah negara produksi utama. Selain itu, ada juga barang elektronik, sepeda motor, arloji bahkan kapal laut.

(40)

7,6% setahun) dan juga faktor domestik seperti kenaikan 22% dalam investasi pabrik dan peralatan dari tahun 1951 sampai 1973 yang mendorong kebutuhan domestik dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan yang pesat (Nakamura Takafusa, 1985: 82).

Yang mendasari pertumbuhan pesat adalah stabilitas hubungan manajemen-karyawan yang berbeda dengan Amerika Serikat dan Inggris Raya. Dalam dekade pasca Perang Dunia II perusahaan-perusahaan mempunyai tujuan yang sama, sehingga mempererat hubungan manajemen dan karyawan yang didorong pula oleh sistem senioritas dan kesempatan bekerja seumur hidup yang sudah ada.

Menurut standar internasional, perusahaan pemerintah modern Jepang yang sangat besar merupakan suatu lembaga yang sangat sukses. Perusahaan itu berhasil bukan karena suatu kesetiaan mistis kelompok yang terkandung dalam watak bangsa Jepang. Tetapi, karena rasa ikut memiliki dan rasa bangga pekerja, yang percaya bahwa hari depan mereka diurus dengan baik oleh perusahaan. Kebanggaan dan kemantapan yang dimiliki orang Jepang karena rasa persaudaraan dalam sebuah perusahaan besar membantu menstabilkan proses politik dan memberikan kesabaran pada masyarakat luas.

(41)

psikologis positif yang luas bukan saja bagi masyarakat dunia usaha tetapi juga bagi penduduk pada umumnya. Contoh pengaruh ini adalah kenaikan tinggi dalam investasi pabrik dan peralatan dalam tahun 1961, yang mengakibatkan ledakan ekonomi yang belum pernah terjadi setelah investasi-investasi besar-besaran dalam tahun 1960 dan juga kenaikan upah (13,8%) yang tinggi yang diperoleh dalam ofensif buruh musim semi dalam tahun 1961. Pertumbuhan yang luar biasa itu meningkatkan Jepang dari peringkat keenam/ketujuh dalam GNP yang berarti setingkat dengan Italia, ke peringkat ketiga sesudah Amerika Serikat dan Uni-Soviet-hanya dalam waktu 10 tahun (Tadashi Fukutake, 1988: 31).

Namun, pemerintahan Jepang bukanlah suatu pemerintahan demi rakyat. Pertumbuhan ekonomi dinyatakan sebagai sasaran utama, kebutuhan modal didahulukan dengan mengalahkan kesejahteraan rakyat dan kesejahteraan sosial. Dengan kata lain, pemerintah berusaha untuk meningkatkan GNP terlebih dahulu dan sebelum hal tersebut terlaksana, sebagian besar rakyat yang termasuk kelas bawah harus menanggung kemiskinan.

2.3.2 Kehidupan Sosial Pekerja Pasca Perang Dunia II

(42)

lainnya. Pertumbuhan ekonomi tersebut memacu industrialisasi menjadi semakin cepat lagi dan mengakibatkan perkembangan kota-kota besar secara tidak seimbang dan tidak terencana. Kepincangan-kepincangan dalam kehidupan di kota besar seperti Tokyo dibiarkan berlarut-larut dan oleh sebab itu industrialisasi serta urbanisasi maju dengan cara yang tidak terkendali (Tadashi Fukutake, 1988: 84).

Penghapusan golongan samurai adalah salah satu kebijakan dari Meiji Tenno yang diteruskan sampai selesai Perang Dunia II yang menciptakan saluran-saluran baru untuk mobilitas sosial dan dengan demikian menciptakan sarana yang diperlukan untuk pengembangan industri modern, tetapi tetap mempertahankan status tradisional. Buyarnya sistem kelas feodal ternyata berguna untuk merangsang hasrat rakyat untuk menaiki tangga sosial. Stratifikasi sosial terbuka terbukti menilai sangat penting dan mendorong terjadinya perkembangan ekonomi.

(43)

tetap menjadi satu keseluruhan struktur kelas pelapisan sosial. Sesungguhnya kelas menengah baru itu memainkan peranan perantara diantara kelas yang berkuasa dengan menengah lama (Tadashi Fukutake, 1988: 32).

Tabel 3.1 Struktur Kelas (%)

1950 1955 1960 1965 1970 1975

-Kapitalis 1.9 2.0 2.7 3.6 5.0 5.9

-Orang-orang yang melayani keamanan 0.9 1.1 1.1 1.2 1.2 1.4

-Bekerja pada perusahaaan milik sendiri

Pertanian, Perhutanan dan Perikanan

Pertambangan, Pabrik-pabrik angkutan

dan perhubungan

Penjualan

Karyawan/jasa

Profesional dan ahli teknik

58.9

Pekerja produktif

Pekerja nonproduktif

38.2

Sumber : Fukutake, hlm. 33

(44)

kehutanan dan perikanan. Ini disertai oleh menurunnya proporsi pengusaha perorangan yang mandiri dari 60% pada tahun 1950 menjadi kurang dari 30% pada tahun 1970, sedangkan “kelas pekerja” meningkat dari hanya di bawah 40% menjadi lebih 60%. Sementara kelas orang gajian hampir menjadi dua kali lipat, dari hanya 10% lebih sedikit menjadi hampir 20%, pekerja produktif meningkat dari 20% menjadi 30% dan mereka yang bekerja di bidang industri perdagangan dan pelayanan serta para pekerja yang tidak produktif pada umumnya menjadi hampir tiga kali lipat.

(45)

Lapisan atas dan lapisan bawah kelas pekerja tidak dapat begitu saja disatukan sebagai “pekerja”. Perbedaan antara golongan menengah baru yang berupa pegawai-pegawai dengan kelas pekerja yang menggunakan tenaga fisiknya telah semakin menipis karena status pegawai semakin menurun dan gaji bagi kelas pekerja semakin meningkat. Tetapi, masih terdapat kesenjangan antara mereka bahkan, diantara kelompok tenaga kerja fisik pun, tingkatan gaji mereka di perusahaan-perusahaan gabungan besar dan mereka yang bekerja pada perusahaan-perusahaan menengah dan kecil telah semakin mendekat menuju kesamaan, tetapi keduanya masih dianggap sebagai kelompok-kelompok yang berlainan.

Produktivitas tenaga kerja yang semakin tinggi nampaknya menyebabkan berkurangnya peningkatan relatif pekerja-pekerja produktif. Tetapi, pekerja non produktif yang bekerja di bidang penjualan dan pelayanan dengan cepat meningkat jumlahnya. Mereka juga “pekerja”, tetapi mereka tidak dapat dimasukkan di dalam kelas yang sama seperti tenaga kerja produktif. Kelompok ketiga adalah pegawai-pegawai pelayanan umum. Mereka secara relatif merupakan kelompok besar, tetapi juga tidak dapat disamakan dengan dua golongan yang lain.

(46)

mungkin sewaktu-waktu jatuh. Penduduk yang termasuk kelas-kelas ini merupakan golongan terbawah diantara kelas.

Para pemimpin Jepang sesudah Perang Dunia II memusatkan perhatian kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pada upah dan konsumsi dan selanjutnya pada pembiayaan untuk kesejahteraan. Menjelang tahun 1973 hanya 20% dari pembiayaan umum di Jepang diperuntukkan bagi tunjangan-tunjangan sosial. Jepang pasca Perang Dunia II tepatnya setelah pertumbuhan ekonomi pesat, Jepang masih berdiri di tengah-tengah antara negara-negara maju dan bangsa-bangsa yang sedang berkembang dengan menggabungkan aspek keduanya (Sayidiman Suryohadiprojo, 1982: 89). Inilah salah satu bangsa yang memiliki kemampuan paling besar untuk berindustri di dunia yang berakar dalam suatu sistem yang memungkinkan terjadinya upah yang tidak mencukupi (meskipun upah nominal terus-menerus naik) atau malah tidak ada jaminan untuk meningkatkan mutu lingkungan dan tingkat keselamatan sosial yang rendah yang timbul dari sikap belum dewasa. Berbagai macam alat listrik yang berjejal di dalam ruang-ruang tempat tinggal yang sempit, televisi yang jumlahnya hanya diungguli oleh Amerika, merupakan ciri Jepang modern.

(47)

melampaui jam kerja buruh negara industri lainnya. Pada tahun 1978, jam kerja buruh Jepang rata-rata adalah 2146 jam (Sayidiman Suryohadiprojo, 1982 :89).

(48)

sekitar 130.000 yen sebulan. Tunjangan tahunan nasional yang pada permulaan besarnya adalah 2000 yen sebulan juga telah meningkat menjadi 24.000 yen untuk pasangan suami-istri, setelah pasangan itu membayar saham tunjangan tahunan kesejahteraan selama jangka waktu yang telah ditentukan (Tadashi Fukutake, 1988: 172-173).

Ditambah lagi, Jepang berkembang terus-menerus dan mendorong tumbuhnya kota semakin banyak dan semakin besar. Di Kota-kota besar padat penduduk seperti Tokyo, harga tanah tinggi karena kebijakan tanah secara resmi kurang memadai. Kota-kota sudah mendekati batas kemampuan menerima pertambahan penduduk. Pada hakikatnya Jepang tetap merupakan masyarakat pedesaan, sebab sistem politik dan ciri dasar kecenderungan politiknya yang dominan masih bersifat pedesaan.

(49)

mampu membeli tanah atau menyewa apartemen, tinggal di kota yang lebih kecil di dekat Tokyo, tetapi mereka tetap bekerja di Tokyo sehingga menyebabkan Tokyo yang penuh sesak dengan orang-orang pengelaju yang naik kereta api pada jam-jam sibuk.

Ditambah lagi, karena harga tanah sangat mahal, rakyat perorangan hampir tidak mungkin mampu mendirikan rumah sendiri. Pada tahun 1950 perbandingan penduduk yang memiliki rumah adalah lebih dari 80% dan menurun drastis sampai kurang dari separuhnya menjadi 60%. Proyek perumahaan pemerintah semakin diperlukan, tetapi hanya mencapai tidak lebih dari 45% dari peningkatan tahunan dalam jumlah unit-unit tempat tinggal. Unit tempat tinggal standar dalam proyek perumahan rakyat adalah “2 DK”ruang sempit yang mungkin mendorong terjadinya peralihan menuju keluarga inti. Ruang seluas itu dapat memberikan ruang makan terpisah dari ruang-ruang tidur, tetapi untuk kamar tidur terpisah bagi anak-anak, sementara anak-anak itu semakin lama semakin dewasa. Meskipun terjadi peningkatan taraf konsumsi yang dirangsang oleh pertumbuhan ekonomi, orang-orang Jepang tidak memiliki lingkungan hidup yang memadai di tempat yang paling penting bagi mereka secara pribadi seperti rumah tinggal mereka (Tadashi Fukutake, 1988: 167).

(50)

mereka terpaksa tinggal dalam ruang-ruang sempit yang penuh sesak seperti dalam perumahan rakyat. Meskipun Jepang memiliki kekuatan ekonomi yang besar, namun masyarakat sulit untuk menabung untuk dapat berpindah dari perumahan rakyat ke rumah milik sendiri. Demikianlah rakyat lalu membeli mobil dan pergi bertamasya pada masa-masa libur untuk melupakan frustasi mereka (Tadashi Fukutake, 1988: 12). Ekonomi yang sangat maju dan konsumsi massa menyebabkan perkembangan penuh masyarakat massa. Pegawai dan buruh kasar meningkat sangat besar bersamaan dengan penurunan jumlah pengusaha mandiri dan pekerja keluarga. Ditambah lagi, perbedaan-perbedaan antara pegawai dengan buruh kasar telah berkurang semenjak perang. Kedua golongan itu tidak ada yang memiliki harapan untuk memperoleh jaminan sosial jangka panjang, tetapi keduanya mempunyai penghasilan cukup untuk membiayai konsumsi besar-besaran dalam masyarakat industri maju.

Ekonomi Jepang yang tumbuh pesat itu telah sangat mengubah pola-pola konsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum perang, orang Jepang menganggap berbelanja untuk konsumsi itu sebagai suatu sifat buruk, tetapi hal tersebut menjadi lumrah setelah pertumbuhan ekonomi pesat. Pengeluaran biaya tinggi untuk konsumsi dapat dibenarkan atau bahkan membawa gengsi. Jaminan sosial yang rendah tingkatannya itu mendorong orang-orang Jepang untuk menabung dan hidup sederhana. Tetapi, teknik-teknik pemasaran yang maju telah merangsang kecenderungan orang membelanjakan uang lebih banyak untuk barang-barang konsumsi, suatu kecenderungan yang muncul secara keseluruhan.

(51)

menyebar sampai ke desa-desa. Berbagai perubahan dalam pola-pola konsumsi berjalan begitu cepat sehingga menimbulkan kekacauan dalam gaya hidup. Misalnya, terdapat penghuni kompleks perumahan umum yang padat (dua kamar dan satu dapur) yang memiliki mobil yang hanya digunakan untuk apartemen yang berupa satu ruang berukuran 6 mat (kira-kira 9’ x 12’) yang penuh sesak dengan perabotan dan perkakas, sehingga hampir tidak ada tempat lagi bagi setiap orang untuk tidur. Jepang menyamai negara-negara terkemuka di dunia dalam hal pemerataan barang-barang konsumsi tahan lama, namun masih tetap terdapat kemiskinan lingkungan material. Meskipun Jepang setelah pertumbuhan ekonomi pesat memiliki sepersepuluh aset residensial Amerika Serikat dan kira-kira sepertiga aset Jerman Barat, namun tidak diragukan lagi bahwa lingkungan hidupnya sangat tidak memadai (Tadashi Fukutake, 1988: 134).

(52)

Pembaharuan-pembaharuan teknik telah meningkatkan mekanisasi kerja dalam pabrik-pabrik yang besar. Dalam industri berat, mesin-mesin dimasukkan untuk menggeser tenaga kerja, memaksa mereka menyesuaikan gerakan mereka dengan mesin-mesin itu. Kerja tangan telah sangat berkurang tetapi sebaliknya, buruh terpaksa melakukan pekerjaan yang membosankan yaitu mengawasi bekerjanya proses mesin otomatis. Sehingga, buruh mengalami kesulitan mendapat kepuasan di dalam pekerjaannya. Bila seorang buruh berminat terhadap pekerjaannya dan merasakannya sebagai hal yang menyenangkan biasanya hal ini tidak disebabkan oleh pekerjaan itu sendiri, tetapi karena upah yang diterimanya memuaskan atau karena gengsi yang diperoleh dari pekerjaan itu. Demikianlah, seorang buruh cenderung mengalami masa keterasingan-ditinggalkan (Tadashi Fukutake, 1988: 115).

(53)

dalam suatu mesin besar. Buruh yang jumlahnya banyak sekali ini dapat sampai kehilangan kepribadiannya sebagai manusia. Mereka tidak mempunyai harapan untuk dapat memelihara identitas mereka sebagai manusia di tempat-tempat kerja mereka. Kerja tangan sudah sangat berkurang tetapi sebaliknya, buruh terpaksa melakukan pekerjaan yang membosankan yaitu mengawasi bekerjanya proses mesin otomatis. Saat bekerja, buruh dipaksa untuk tidak memalingkan pandangannya dari jarum-jarum pengukur barang walaupun sebentar yang membuat mereka terasing dari hubungan-hubungan manusiawi yang wajar. Buruh lebih mengalami kelelahan mental daripada fisik (Tadashi Fukutake, 1988: 116).

(54)

dengan mempertimbangkan rata-ratanya secara keseluruhan, buruh merasakan bahwa kehidupan ini paling berharga pada saat mereka sedang mencurahkan perhatian kepada pekerjaan mereka dan pada saat mereka memperoleh pengakuan dari orang lain karena pekerjaannya itu (Tadashi Fukutake, 1988: 120).

Tabel 3.2 Perubahan Sikap terhadap Pekerjaan (%)

1962 1970

Karena pekerjaan adalah tugas manusia, maka saya bekerja

sebanyak waktu yang tersedia 16.2 11.0

Pekerjaan adalah suatu kesenangan 9.6 8.3

Bekerja adalah bekerja; bermain adalah bermain 41.2 39.6

Bekerja adalah sarana untuk mencari nafkah 6.7 4.6

Saya senang bekerja, tetapi rekreasi juga penting 21.6 28.6

Saya mau melakukan yang saya inginkan dan bilamana saya

inginkan 1.6 4.4

Tidak ada kesimpulan atau tanpa jawaban 3.2 3.6

Sumber: Fukutake, hlm. 119

(55)

kehidupan, mereka yang menikmati kehidupan santai tetapi lebih menekankan pentingnya bekerja berjumlah 43%, mereka yang mementingkan baik kehidupan santai maupun pekerjaan adalah 30%, mereka yang lebih berminat pada kehidupan santai daripada bekerja berjumlah 11% dan mereka yang menumpahkan perhatiannya hanya untuk kehidupan santai berjumlah 4%. Dalam survei tahun 1975 oleh Kantor Perdana Menteri, 46% dari responden mengatakan bahwa mereka merasakan pemenuhan diri (a sense of fulfillment) bila berada bersama keluarganya. Angka ini jauh melebihi jumlah mereka yang merasa menghayati pemenuhan diri sebesar-besarnya bila mereka sedang mencurahkan perhatian mereka pada pekerjaannya yaitu 33% (Tadashi Fukutake, 1988: 119-120).

2.3.3 Hubungan Pekerja dengan Masyarakat

Pada saat mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu antara tahun 1950-1980, Jepang sebenarnya masih berdiri ditengah-tengah antara negara-negara maju dan bangsa-bangsa yang sedang berkembang dengan menggabungkan aspek-aspek dari keduanya. Jepang adalah salah satu bangsa yang memiliki kemampuan paling besar untuk berindustri di dunia yang berakar pada suatu sistem yang memungkinkan terjadinya upah yang tidak mencukupi dan tidak ada jaminan untuk meningkatkan mutu lingkungan dan tingkat keselamatan sosial sangat rendah.

(56)

didasarkan pada produksi massa dengan menggunakan mesin-mesin membawa manusia ke dalam proses pembagian kerja yang semakin khusus dan membuat seseorang kehilangan kesadarannya sebagai seorang pribadi. Hubungan sosial impersonal dalam masyarakat yang mekanis itu membuat rasa terasing dan kesepian bagaikan bagian suatu massa manusia tanpa nama yang telah kehilangan semua keakraban dan rasa aman. Kecenderungan itu tercermin dari sebagian kelas pegawai sebelum perang. Tetapi, pada umumnya dahulu hubungan-hubungan keluarga dan kesadaran sebagai anggota dalam komunitas lokal mampu mengendalikan kecenderungan itu. Tetapi sekarang, ikatan-ikatan keluarga telah menjadi lemah dan struktur komunitas runtuh.

(57)

setelah sepenuhnya menerjunkan diri ke dalam kehidupan yang penuh sesak ini, mereka tetap kesepian karena kurangnya hubungan-hubungan manusiawi. Unsur-unsur pembentuk masyarakat massa ini akhirnya berubah menjadi mayoritas yang anonim dan kerumunan tanpa bentuk (Tadashi Fukutake, 1988: 123-124). Di samping kemiskinan dalam arti kata yang konvensional, masyarakat Jepang menjadi terus semakin miskin dalam arti rohani meskipun kaya di bidang material karena, ada sesuatu kekurangan dalam hal mutu hidup mereka. Kebudayaan dikomersialkan, berciri hedonistik dalam mengejar kesenangan. Hiburan massa hanya memberikan pelepasan bagi nafsu seksual dan perjudian yang merupakan pelarian dari kenyataan hidup yang meningkatkan kemiskinan spiritual bahkan diantara orang-orang yang harta kekayaan melimpah, kejahatan mulai meningkat.

Masyarakat terkonsentrasi di kota besar seperti Tokyo untuk bekerja dan memaksa hidup untuk hidup berdesak-desakan. Pekerjaan hanya membuat orang-orang menjadi roda gerigi dalam mesin sehingga mereka selalu mengalami frustasi. Keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi pada taraf tertentu dapat menyebabkan meledaknya emosi secara besar-besaran.

(58)

orang-orang dari desa atau kota yang lebih kecil bekerja di Tokyo dan menganggap Tokyo hanyalah sebagai tempat untuk bekerja (Tadashi Fukutake, 1988: 48).

2.3.4 Hubungan Pekerja dengan Atasan

Negara Jepang menganut filosofi kaizen yaitu, filosofi kerja yang diturunkan dari hasil sistem pendidikan dan interaksi sosial budaya Jepang yang mengutamakan keharmonisan dan kegiatan bersama (Bob Widyahartono, 2003: 190). Gagasan fundamental dalam pembentukan kebijakan nasional salah satunya adalah “keterlibatan karyawan dalam organisasi”. Pemimpin melalui kebersamaan ini mampu menciptakan strategi pengembangan sumber daya manusia sesuai kebutuhan strategi yang mereka rumuskan.

Pada mulanya pekerja dalam perusahaan tidak stabil, tetapi sedikit demi sedikit asas bekerja seumur hidup dan sistem upah berdasarkan senioritas mulai digunakan. Kesetiaan pekerja pada manajemen paternalistik diperteguh dengan berbagai macam fasilitas kesejahteraan dan pelayanan-pelayanan yang diberikan sebagai penghasilan tambahan di samping upah berupa uang.

(59)

“Gives way to a distinction between rank and authority even in the bureaucracy, promotion prospects must inevitabily become considerably more hazy and depent on competition, once employees have reached their mid thirties. In industry it is clearly recognised that there are distinctions between rank and function, so that, while someone of mediocre ability can expect to receive higher ranking over time, promotion to position of higher authority cannot be expected” (Mary Saso & Stuart Kirby, 1982 :16).

Artinya :

“Terdapat perbedaan antara jabatan dan wewenang bahkan pada birokrasi, harapan untuk promosi tidak jelas dan tergantung kepada kompetisi, bahkan ketika pekerja mencapai usia pertengahan 30. Di industri, hal tersebut sangat jelas diakui bahwa ada perbedaan antara jabatan dan wewenang. Jadi, ketika seseorang yang memiliki kemampuan sedang-sedang saja dapat mengharapkan jabatan yang lebih tinggi setiap saat, promosi untuk posisi dari wewenang yang lebih tinggi tidak bisa diharapkan”.

(60)

memiliki yang kuat maka, dedikasi kepada kelompok/perusahaannya menjadi lebih besar lagi.

Tradisi ini terus bertahan sampai sesudah perang. Tetapi, tradisi itu diperlunak sehingga dapat menampung perubahan-perubahan sesudah perang seperti halnya pertumbuhan serikat buruh. Untuk merasionalisasikan pekerjaan, pentinglah memberi pengakuan terhadap kemampuan buruh dan menggunakan sistem upah berdasarkan tingkat pelayanan yang dilaksanakan dan fungsi seseorang di dalam perusahaan itu. Hubungan-hubungan buruh-manajemen juga telah berubah. Berbagai prosedur seperti halnya konferensi manajemen buruh dan keikutsertaan tenaga kerja dalam manajemen yang tidak terbayangkan sebelum perang telah dilaksanakan bersama-sama dengan program-program saran buruh dan metode-metode untuk mengungkapkan keluhan mereka.

Namun, manajemen paternalistik belum diganti betapa pun hal tersebut tidak lagi sesuai dengan keadaan pekerja dan pegawai saat itu. Serikat-serikat perusahaan menolak perubahan sistem gaji berdasarkan senioritas agar lebih adil menunjukkan fungsi seorang pekerja dan jenis pekerjaannya. Mobilitas tenaga kerja cukup tinggi untuk mematahkan kekuatan sistem “bekerja seumur hidup”, tetapi sistem tersebut masih berlaku dan masih terus dilakukan berbagai usaha untuk menjamin kesetiaan buruh kepada perusahaan.

(61)

besar-kecilnya perusahaan. Sehingga, ada kecenderungan sulit untuk mencapai solidaritas antar pekerja yang berbeda pangkat walaupun bekerja pada industri yang sama karena sebagian pekerja berjuang demi mempertahankan hidupnya, sedangkan sebagian pekerja yang memiliki pangkat lebih tinggi terkadang ada perasaan acuh tak acuh karena kedudukan mereka secara ekonomis sudah aman. Apalagi untuk pekerja yang bekerja di perusahaan yang besar dengan pekerja yang bekerja di perusahaan kecil akan sulit menjalin solidaritas walaupun bersama di sebuah organisasi serikat kerja (Tadashi Fukutake, 1988: 109-110).

2.3.5 Hubungan Pekerja dengan Rekan Kerja

Menurut Chie Nakane (1981: 26), hubungan antar manusia dalam masyarakat Jepang dibagi atas dua ketegori yaitu hubungan vertikal dan horizontal dan kedua hubungan ini bersifat linier. Kedua hubungan ini juga berlaku untuk hubungan atasan dengan bawahan juga hubungan horizontal seperti hubungan antar rekan kerja. Kedua jenis hubungan ini merupakan fakta yang sangat penting dalam tata hubungan dan merupakan inti struktur suatu kelompok. Secara teoritis, ikatan horizontal diantara mereka dari lapisan yang sama berfungsi dalam perkembangan kasta dan golongan, sementara ikatan vertikal berfungsi untuk pembentukan kelompok yang lebih menekankan susunan hierarki atas-bawah.

(62)

yang baru saja bekerja di sebuah perusahaan dan dianggap harus banyak belajar dari seniornya dan doryo yang artinya rekan dan hanya menunjukkan mereka yang pangkatnya sama bukan untuk semua orang yang pekerjaannya sama di kantor yang sama. Bahkan untuk doryo, perbedaan usia, tahun mulai bekerja atau wisuda di sekolah, menciptakan kesan sempai dan kohai. Diantara doryo, kata san di depan nama dipergunakan untuk mereka yang tidak begitu akrab, sementara kun dan nama kecil dipergunakan diantara mereka yang hubungannya lebih akrab daripada orang lain yang disebut san misalnya, bekas teman sekolah atau teman sedari kecil saja sudah merupakan hubungan kekeluargaan (Chie Nakane, 1981: 35). Diantara rekan-rekan sejawat bisa melepaskan diri dari kata-kata sopan dan tidak menghormat bila sudah akrab dan tidak jarang orang Jepang membicarakan masalah rumah tangga dan percintaan mereka dengan rekan kerja yang dirasa akrab.

(63)

Biasanya seorang pegawai yang baru akan meminta bantuan kepada rekan kerjanya yang lebih senior, biasanya rekan kerja yang lebih senior akan dengan senang hati mengajarkan hal-hal yang dibutuhkan untuk pekerjaan juniornya. Karena merasa hidup dalam kelompok dan bertujuan untuk memajukan kelompok daripada individu, pekerja Jepang akan berusaha saling membantu untuk memaksimalkan perusahaan di tempat ia bekerja, karena bangsa Jepang lebih menekankan kelompok daripada individu di dalam masyarakat. Peranan individu diakui dan dihargai, tetapi senantiasa dalam lingkungan serta kepentingan kelompok.

Menurut Chie Nakane dalam Suryohadiprojo (1982: 42), terdapat perbedaan antara kerangka (frame) dengan atribut dalam posisi individu di dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan “kerangka” adalah lingkungan dimana individu itu berada atau kelompoknya, sedangkan “atribut” adalah tempat individu berada. Di Jepang, kerangka lebih penting daripada atribut. Bagi orang Jepang hidup hanya akan berarti apabila berada dalam kelompok. Hidup sendiri, terlepas dari kelompok adalah satu penderitaan besar ibarat seekor gajah soliter yang ditinggalkan oleh gerombolannya, sebab itu seorang akan senantiasa menjaga diri agar diakui dan diterima sebagai anggota kelompok dan menjaga loyalitasnya dengan kelompok.

2.3.6 Hubungan Pekerja dengan Orang tua

(64)
(65)

Orang lanjut usia dan orang-orang cacat merupakan lapisan terbawah dalam suatu masyarakat yang nampaknya kaya raya. Semakin masyarakat itu kaya raya, maka kelompok ini akan semakin menjadi eksplosif.

Perubahan sistem keluarga ie menjadi keluarga inti telah mengubah nasib orang tua yang berusia lanjut. Saat masih menganut sistem keluarga dengan garis keturunan langsung (ie), orang tua memiliki hak untuk hidup bersama anak laki-laki sulung, namun karena sistem keluarga inti sudah diberlakukan dan rumah-rumah yang dibangun tidak memungkinkan dihuni oleh keluarga besar, orang tua lanjut usia pun tersingkir bahkan tidak mendapat jaminan sosial dari pemerintah.

Dalam struktur keluarga ie, posisi nenek atau kakek sangat kuat. Kebanyakan anak biasanya diasuh dibawah bimbingan nenek yang memanjakannya daripada oleh ibu mereka sendiri yang tidak memiliki kewibawaan nyata untuk mengatur mereka. Bagi seorang ibu dalam sistem keluarga ie, mempunyai anak kandung berarti mempunyai persyaratan untuk mendapatkan jaminan mendapat tempat tinggal dalam keluarga suaminya. Anak-anak dalam keluarga tradisional mendapat pelajaran disiplin dari ibu dan neneknya. Ayah bertindak untuk mendidik anak untuk bergaul dalam masyarakat dan tunduk kepada wewenang kepala ie (Tadashi Fukutake, 1988: 54).

(66)

atau neneknya. Generasi kakek-nenek tidak lagi bisa mempertahankan hak-hak istimewa untuk mendidik anak-anak karena orang tualah yang mempunyai tanggung jawab penuh untuk mendidik anaknya, sehingga semakin lama posisi orang tua berusia lanjut semakin tersingkir.

(67)

Tabel 3.3 Perubahan Pendapat tentang Siapa yang Harus Menanggung Orang-orang Berusia Lanjut (%)

Keseluruhan Responden Lebih dari 60

tahun

1969 1973 1969 1973

Orang-orang tua itu sendiri 33 29 29 25

Anak-anak atau keluarga 34 22 39 27

Bangsa dan masyarakat 15 24 12 21

Tidak tahu, tidak dapat

menyamaratakan 18 25 20 27

Sumber: Fukutake, hlm. 48

Menurut Fukutake (1988: 48), dalam masa peralihan ini, kelas pekerja kotalah yang paling cepat menggulirkan perubahan menuju keluarga inti. Banyak orang dari kelas ini tinggal di ruang bangunan beton yang menjadi semakin banyak jumlahnya meskipun ruangan-ruangan itu hanya memberikan ruang tinggal yang serba sempit. Unit “2 DK” (dua kamar dan sebuah dapur kecil), yang sejauh ini dianggap sebagai tempat tinggal standar dan dilengkapi dengan peralatan listrik. Gaya konsumsi masyarakat Jepang pada pertumbuhan ekonomi pesat meliputi tiga “C“ yaitu; “car” (mobil), “cooler” (pendingin udara) dan “color television” (televisi berwarna). Untuk dapat memiliki barang-barang tersebut, sering kali baik suami maupun istri memutuskan untuk bekerja sehingga tidak memiliki waktu untuk mengurus anak atau orang tua mereka.

(68)

mental orang-orang tua tersingkir dari ekonomi dan masyarakat modern, sehingga jumlah orang berusia lanjut yang bunuh diri semakin meningkat.

2.3.7 Keluarga Kelas Pekerja

Sejak zaman Tokugawa sampai akhir Perang Dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsepsi tentang ie (rumah atau keluarga) yang mengikuti cita-cita samurai dan bahkan mendapat pengakuan secara hukum dalam kode hukum sipil Meiji. Ie tersebut diwarisi oleh anak laki-laki sulung yang setelah menikah tetap tinggal serumah dengan ayah, kepala ie, dan ibunya. Anak-anak yang karena pekerjaannya pergi meninggalkan tempat kelahiran terpaksa hidup terpisah dari rumah nenek moyang mereka. Tetapi, kebanyakan anak sulung tinggal di rumah sehingga sering kali terdapat dua atau tiga generasi yang hidup di rumah yang sama. Bila anak laki-laki rumah tangga “cabang” sendiri, maka itu merupakan keluarga inti dalam bentuk lahirnya tetapi masih terikat melalui garis keturunan dengan keluarga induk yang telah ditinggalkannya dan akhirnya ini pun menjadi keluarga besar baru. Rata-rata rumah tangga mempunyai lima anggota. Jumlah ini diharapkan menurun setelah terjadinya perubahan kode hukum sipil sehabis perang yang berusaha membangun landasan hukum bagi keluarga inti sebagai norma. Dalam kenyataan, jumlah itu untuk waktu sementara meningkat sedikit dan besarnya keluarga tidak juga menurun selama masa pemulihan kembali ekonomi (Tadashi Fukutake, 1988: 37).

(69)

suami-istri dengan anak-anak yang belum menikah. Banyak yang baru merupakan keluarga inti dalam peralihan dan akhirnya menjadi keluarga keturunan langsung dengan anak-anak yang sudah menikah, tetap tinggal di bawah satu atap dengan orang tua mereka.

Tabel 3.4 Keluarga-keluarga Berdasarkan Tipe Struktur Keluarga (%)

1955 1960 1965 1970 1975 1980

1. Rumah tangga kerabat

Keluarga inti

2. Rumah tangga kerabat bentuk

lain

Keluarga bukan saudara

Keluarga beranggota tunggal

36.5

Sumber: Fukutake, hlm. 40

Meskipun demikian, menurunnya jumlah anggota dalam setiap rumah tangga dan hubungan yang menjadi lebih sederhana dalam keluarga telah mengalami perubahan besar dalam tahun-tahun belakangan ini. Perubahan itu diungkapkan dengan istilah “keluarga inti” atau “kaku kazoku” (berarti perubahan menuju “keluarga inti”) dalam bahasa Jepang.

(70)

kedua pihak yang bersangkutan. Ini berarti asas-asas baru keluarga modern dalam pembentukan kode hukum sipil. Runtuhnya posisi patriarkat, yang berorientasi kepada ayah dan anak laki-laki digantikan dengan hubungan suami-istri dengan kesamaan derajat antara pria dan wanita sebagai patokan dasar, maka kedudukan wanita umumnya meningkat. Wanita belum mencapai kedudukan yang sama seperti pria, tetapi di dalam keluarga kedudukan wanita jauh lebih kuat daripada sebelum perang. Perkawinan juga mengalami perubahan, sebelum perang perkawinan dilaksanakan demi kepentingan ie dan wanita lebih merupakan anak menantu bagi ie daripada istri bagi suami. Undang-undang baru melambangkan suatu revolusi dalam kehidupan keluarga Jepang. Kode hukum sipil yang telah mengalami perubahan itu merupakan suatu tantangan terhadap sistem ie yang sudah berabad-abad usianya dan merupakan ciri khas masyarakat Jepang. Tantangan tersebut tidak menimbulkan kehancuran yang langsung terhadap sistem tersebut. Suatu revolusi dalam perundang-undangan tidak dapat menghasilkan revolusi dalam praktek dan sistem ie masih akan hidup terus dalam kehidupan adat, tetapi perubahan sikap-sikap resmi terhadap keluarga tentulah berpengaruh terhadap kehidupan sesungguhnya. Meskipun sistem garis keturunan langsung ie terus hidup sebagai adat, namun sistem itu sedikit demi sedikit mulai buyar (Tadashi Fukutake, 1988: 41-42).

(71)

masih berlangsung dengan kuat sementara batas-batas antara kelas terus-menerus menjadi lemah dan meningkatnya tingkatan di bidang ekonomi langsung berkaitan dengan meningkatnya status keluarga dan kedudukan sosial seseorang. Pasangan suami-istri yang baru saja menikah di kota-kota lebih suka hidup terpisah dari orang tua mereka. Keluarga kelas atas, meskipun mempunyai ruangan di rumah orangtuanya, mereka lebih suka membangun rumah baru. Atau karena tingginya harga tanah, orangtua pada umumnya mendirikan rumah baru di tanah mereka sendiri untuk anaknya yang baru menikah. Pria dan wanita dari golongan menengah dan bawah yang baru menikah biasanya tidak mempunyai dana untuk menjamin kemandirian mereka, tetapi kerap hidup terpisah dari orang tua mereka dalam kamar sewaan dengan bantuan dana dari orang tua. Perubahan-perubahan semacam itu telah memacu kecenderungan orang untuk membuat keluarga ini menjadi sebuah norma.

(72)

2.4 Riwayat Hidup Yoshihiro Tatsumi

Yoshihiro Tatsumi lahir pada 10 Juni 1935 di Osaka. Yoshihiro Tatsumi adalah seorang penulis komik yang menciptakan aliran gekiga dalam penulisan manga Jepang di tahun 1952 dan tahun 1959 meluncurkan gekiga workshop dan memperkenalkan manifesto gekiga.

Pada mulanya, Tatsumi kecil sangat mencintai film, Ia pun mempunyai cita-cita menjadi seorang sutradara film. Namun, perlahan-lahan ia sadar bahwa menjadi sutradara bukanlah hal yang ia inginkan. Yoshihiro Tatsumi sebenarnya adalah orang yang menyukai kesendirian, dan disaat itulah ia membuat banyak cerita. Di saat itu juga ia memimpikan ceritanya itu menjadi hidup di atas kertas. Dari sanalah imajinasinya terus berkembang. Banyak inspirasi ia dapatkan dari hobinya menonton film dan dari novel-novel misteri yang diberikan saudaranya untuk dibacanya. Pada akhirnya, pengalamannya tersebut mendorong ia untuk bereksperimen dengan menciptakan komik. Tentu saja semua hal yang dilakukan untuk mencari sisi psikologis dan unsur dramatis yang mendalam pada setiap karakter dan cerita.

Gambar

Tabel 3.1 Struktur Kelas (%)
Tabel 3.2 Perubahan Sikap terhadap Pekerjaan (%)
Tabel 3.3 Perubahan Pendapat tentang Siapa yang Harus Menanggung Orang-orang Berusia Lanjut (%)
Tabel 3.4 Keluarga-keluarga Berdasarkan Tipe Struktur Keluarga (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai batasannya, air bersih adalah air yang memenuhi persyaratan bagi sistem penyediaan air minum, dimana persyaratan yang dimaksud adalah persyaratan dari segi kualitas

Nilai wajar investasi pada entitas asosiasi pada tanggal 31 Desember 2013 dan 2012 masing-masing sebesar Rp15.480.000.000 dan Rp19.440.000.000 yang dihitung dari jumlah lembar

Gregory is correct to assert page 264 that ‘‘Although poor welfare can affect profitability through harming aspects of product quality, we cannot rely on the profit motive as a cure

Tabel di bawah ini menggambarkan nilai tercatat dan nilai wajar dari aset dan liabilitas keuangan yang tercatat pada laporan posisi keuangan pada tahun yang berakhir

a) Test Purpose: Verify that the server implements the DGIWG additional requirements for filters (Requirement 9 and Requirement 11). b) Test Method: verify that all standard,

dan atau sanggahan dalam bentuk apapun juga, sehubungan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan Penerima Kuasa berdasarkan surat kuasa ini serta segala akibatnya

Gambar Aliran Penghasilan dan Pengeluaran dalam Perekonomian 2 sektor (circular flow) berilah penjelasan secara lengkap.. Selesaikan tabel tersebut dengan mengisi marginal

■ Dalam bentuk kristal yang dilarutkan, dapat juga melalui.