• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keindahan Hidup di Dunia

Dalam dokumen Keikhlasan dalam Telaah Al-Qur`an (Halaman 58-62)

Sebagai tambahan bagi keberkahan hidup yang abadi, Allah menganugerahi mukmin yang ikhlas dengan pahala yang besar di dunia. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat Al-Qur`an berikut ini, Allah membimbing orang–orang yang bertobat kepada-Nya menuju jalan yang lurus.

“... Sesungguhnya, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang- orang yang bertobat kepada-Nya.” (ar-Ra’d [13]: 27)

Dalam surah lain, Alah berfirman bahwa Dia akan membantu dan menolong mukmin yang ikhlas,

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maa`idah [5]: 16)

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur`an, Allah juga melimpahkan rahmat yang tak terhitung kepada mukmin yang ikhlas selama hidupnya di dunia. Ia memelihara mereka dari kesengsaraan, kesulitan, dan kegagalan hidup dari orang-orang yang kafir kepada Allah. Ia membolehkan mereka untuk menempuh hidup yang mulia,

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl [16]: 97)

Seseorang yang bertobat kepada Allah dengan seluruh kerendahan hati, ia akan dijauhkan dari segala permasalahan dan kesulitan hidup di dunia. Ia dapat menempuh hidupnya dengan penuh kedamaian dan dengan penuh kepercayaan karena ia takut kepada Allah. Selama ia tidak takut pada kecaman orang lain, ia tidak perlu khawatir terhadap urusan dunia. Selama ia hanya ingin memperoleh ridha Allah, tak seorang pun dapat mengecewakan atau menyengsarakannya. Karena ia ingin mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan di akhirat, ia tidak terobsesi pada harta benda dan kekayaan dunia meski kerugian atau keuntungan akan harta membuatnya khawatir, tetapi ia selalu tunduk, percaya, yakin, murah hati, kasih sayang, sabar dan penuh kesederhanaan.

Dalam amalan yang dilakukan dengan ikhlas, hanya keridhaan Allahlah yang menjadi tujuan utama, bukan untuk mendapatkan ridha orang lain atau penghargaan dunia, atau untuk memenuhi hasrat dan ambisi yang harus dikesampingkan. Dengan demikian, hasil yang didapatkan diharapkan akan selalu membawanya kepada keberhasilan. Allah menegaskan kepada orang-orang beriman bahwa siapa

saja yang tidak menyekutukan Allah, yang bertobat kepadanya dengan tulus, yang menyucikan diri dari keinginannya untuk mendapatkan ridha manusia dan penghargaan duniawi, maka ia termasuk golongan hamba–hamba-Nya yang beruntung. Sebagaimana firman Allah yang berhubungan dengan hal tersebut,

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (an-Nuur [24]: 55)

Bab VI

Kesimpulan

Allah telah menjadikan Nabi Ibrahim a.s., Ishaq a.s., dan Ya’qub a.s. sebagai suri teladan bagi mukmin sejati, sebagaimana firman-Nya,

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya, Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlaq yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.” (Shaad [38]: 45-46)

Allah juga menegaskan bahwa Nabi Musa a.s. telah mencapai tingkat kesucian yang tinggi, sebagaimana dinyatakan dalam surah Maryam,

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka), kisah Musa di dalam Al-Kitab (Al- Qur`an) ini. Sesungguhnya, ia adalah seorang yang dipilih dan seorang rasul dan nabi.” (Maryam [19]: 51)

Kita harus merenungkan dengan dalam ketinggian akhlaq nabi-nabi Allah dan berjuang seperti mereka agar menjadi hamba-hamba-Nya yang suci.

Al-Qur`an memberitahukan bahwa mereka yang buta dan tuli tidak akan mendapatkan keuntungan dari peringatan dan ayat–ayat Allah. Sebaliknya, mukmin sejati adalah, “Orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang–orang yang buta dan tuli.” (al-Furqaan [25]: 73) Mereka yang takut kepada Allah dan berlindung dari godaan setan, mampu merasakan kebijaksanaan ayat–ayat suci Al-Qur`an. Mereka menarik pelajaran dari ayat–ayat Allah tersebut. Dengan demikian, mereka dapat memperoleh keikhlasan. Karena itu, orang–orang beriman tidak akan pernah bisa mengabaikan peringatan Allah. Meskipun jika kemudian seseorang gagal memahami makna pentingnya keikhlasan, hanya dengan sesaat ia menghabiskan waktu untuk melihat niatnya, cukuplah itu untuk menyucikan dirinya. Dengan izin Allah, perbaikan tersebut akan mengubah amalan-amalan sebelumnya menjadi suatu amalan saleh dan dirinya dianugerahi kemulian sebagai “makhluk yang terbaik” dalam pandangan Allah.

Namun sebaliknya, jika seseorang menodai amalan-amalan yang telah dikerjakannya karena ridha Allah, dengan membiarkan ambisi duniawi mengacaukan dan merusak dirinya, dan dia tidak mengarahkan dirinya kepada keikhlasan, ia akan berperilaku tidak bermoral. Manusia seperti ini mungkin akan berusaha sepanjang siang dan malam untuk meyakinkan dirinya bahwa ia berada pada jalan yang lurus. Akan tetapi, ia tidak akan termasuk di antara orang–orang yang bertobat kepada Allah dan ia tidak berusaha untuk meraih keikhlasan. Dalam surah al-Kahfi, Allah memberikan perumpamaan bagi para pecundang yang demikian, dengan firman-Nya,

“Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (al-Kahfi [18]: 103-104)

Ketika ia menoleh ke belakang pada kehidupannya yang lalu, ia akan menyadari bahwa tidak ada satu pun yang tersisa untuk menyatakan bahwa ia telah menggunakan waktu bertahun–tahun lamanya hidup di dunia ini. Tidaklah orang-orang yang keridhaannya ia perjuangkan, tidak juga tujuan duniawi yang dikejarnya, dan tidak pula keangkuhan serta iblis yang menipunya untuk merusak keikhlasannya, yang akan membelanya di akhirat. Ia akan berdiri sendiri di hadapan Allah tanpa adanya pembelaan, karena ia gagal bertobat kepada Allah dengan hati yang suci. Ia telah mengurangi keikhlasannya dengan mencampuradukkan keyakinan, pengabdian, dan ibadahnya dengan kekotoran–kekotoran yang lain. Dalam surah al-Hadiid, Allah menjelaskan bahwa kehidupan dunia adalah tiada arti kecuali sebuah tipu

daya yang besar,

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al– Hadiid [57]: 20)

Apakah seseorang bersedia memahami bahwa ia telah berjuang dalam kesia–siaan, dalam kedengkian atas usahanya yang besar, karena ia telah gagal memperoleh keikhlasan, dan hidup tidak sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an? Atau apakah seseorang ingin menjadi salah satu dari “makhluk- makhluk terbaik yang dirahmati, yang tidak pernah gagal” dengan menyucikan niat, hati, dan batinnya serta bertobat kepada Allah dengan pengorbanan sepenuh hati, memeluk Allah dengan erat, dan tidak berkeinginan mendapatkan apa pun selain keridhaan Allah? Jelaslah sudah bahwa bagi siapa pun yang cinta kepada Allah dan yang memiliki harapan untuk menjadi sahabat-Nya, dan untuk bertobat kepada- Nya, maka pilihan terakhir merupakan pilihan mutlak yang harus diambil.

Karena itu, melalui buku ini, kami mengajak seluruh kaum mukminin yang ikhlas, yang mencintai Allah, yang berharap untuk menjadi sahabat-Nya, dan yang bertobat kembali kepada-Nya, agar mencari rahasia yang membimbing kita menjadi salah satu di antara orang-orang yang beruntung. Sebagaimana Badiuzzaman sebutkan, sebuah amalan yang dikerjakan dengan ikhlas mungkin akan menjadi lebih berharga daripada ribuan amalan yang dikerjakan tanpa keikhlasan. Agar selalu diingat, jika niatmu tulus ikhlas dan amalan-amalanmu merupakan amalan saleh hanya untuk Allah semata, meski amalan itu paling remeh sekalipun, hal itu akan diperhatikan oleh-Nya. Sebagaimana Allah jelaskan kepada kita di dalam Al-Qur`an dengan firman-Nya, “Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu...,”(al-Israa` [17]: 25) dan “... Allah Maha Mengetahui orang–orang yang bertaqwa.”(Ali Imran [3]: 115)

Bab VII

Dalam dokumen Keikhlasan dalam Telaah Al-Qur`an (Halaman 58-62)