• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membebaskan Diri dari Perkataan Orang Lain dan Hanya Mencari Ridha Allah

Dalam dokumen Keikhlasan dalam Telaah Al-Qur`an (Halaman 31-33)

Dalam sebuah karyanya tentang keikhlasan, Badiuzzaman Said Nursi menggarisbawahi pentingnya membersihkan diri dari kebutuhan untuk menerima dari orang lain dan berpaling hanya untuk mendapatkan ridha Allah, “Engkau harus mencari keridhaan Ilahiah dalam setiap tindakan. Jika Allah Yang Mahakuasa merasa ridha, tidak ada pentingnya seluruh dunia ini disenangkan. Jika Allah menerima sebuah perbuatan dan manusia menolak, tak ada pengaruh baginya. Sekali keridhaan Allah diraih dan Dia menerima perbuatan kita—bahkan tanpa kita minta kepada-Nya—Allah dan kebijaksanaan-Nya akan menginginkannya. Allah akan membuat orang lain juga menerimanya. Ia akan membuat mereka ridha terhadap perbuatan tersebut. Karena itulah, tujuan satu-satunya dalam penghambaan ini adalah untuk mencari keridhaan Tuhan.”13 Contoh ini adalah konsekuensi dalam

memahami arti keikhlasan. Ditekankan bahwa sekali Allah ridha, tidak ada sesuatu pun di seluruh dunia ini yang akan berpaling darimu. Selain itu, Allah juga mengendalikan hati-hati mereka. Jika Allah berkenan, Dia akan membuat mereka semua ridha kepadamu.

Di sisi lain, jika Allah tidak memberikan ridha-Nya, tidak penting apakah seluruh isi bumi in memberikan segala milik mereka. Setiap mukmin sejati memahami dengan pasti bahwa jika ia hanya mendapatkan ridha manusia, tiadalah artinya semua itu di hadapan Allah dan ia tidak akan mendapatkan apa-apa untuk bekalnya di hari kemudian kecuali Allah menginginkan sebaliknya. Mereka yang telah meridhai mungkin banyak jumlahnya, kekayaannya, ataupun kekuasaannya. Akan tetapi, semua itu lemah dan hanya didapatkan dengan seizin Allah. Suatu saat, semua itu akan kehilangan kekuatannya setelah membusuk di perut bumi. Karena itulah, dukungan jumlah yang besar tidak akan berarti di hari akhir. Hanya Allah yang abadi dan patut kita mintai keridhaan-Nya. Hanya dengan memahami kebenaran ini, seseorang bisa mendapatkan pemahaman keikhlasan yang abadi. Ia harus menuju keridhaan Allah dengan membebaskan dirinya dari persepsi orang lain. Di dalam Al-Qur`an, Allah menjelaskan hal ini dengan perumpamaan,

“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laku-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. Sesungguhnya, kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (az-Zumar [39]: 29-30)

Di dalam Al-Qur`an, mencari keridhaan selain kepada Allah disebut syirik atau mempersekutukan Allah. Dalam ayat yang disebutkan di atas, Allah membandingkan orang yang mencari ridha manusia dan mempersekutukan Allah sebagai budak yang dimiliki oleh beberapa sekutu dalam perselisihan satu sama lain. Ia pun membandingkan keimanan seseorang yang teguh mengabdi kepada-Nya sebagai budak yang sepenuhnya dikuasai oleh seseorang. Allah mengingatkan kita bahwa semua makhluk selain Allah pasti akan mati pada akhirnya. Jadi, Dia mengajak manusia untuk memikirkan pentingnya mencari hanya keridhaan-Nya.

Karena itu, seseorang harus mengevaluasi dirinya dengan tulus ihklas tanpa membiarkan nafsu rendahnya menipu dirinya. Salah satu kecenderungan yang paling kuat dari nafsu rendahnya adalah keinginan untuk mendapatkan ridha dari orang lain, sebagaimana bertentangan dengan ajaran moral Al- Qur`an. Jika tidak, banyak orang yang melakukan sesuatu bukan karena mereka menyukainya atau karena kebutuhan, melainkan supaya mereka dihargai oleh kelompoknya. Dengan kata lain, mereka berusaha untuk meningkatkan status mereka di masyarakat. Karena itu, tujuan hidup utama mereka

12 Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-20. 13 Badiuzzaman Said Nursi, Kumpulan Risalah an-Nur, Kumpulan “Cahaya”, Cahaya Ke-21.

adalah ingin mendapat keridhaan orang lain.

Sebagian dari Anda pasti sering mendengar perkataan orang-orang, “Apa kata orang nanti?”, “Bagaimana kita menjelaskannya kepada orang lain nanti?”, “Kita bisa menjadi bahan tertawaan di masyarakat,” atau “Kita tidak akan bisa pergi ke tempat umum lagi karena malu.”

Secara umum, reaksi-reaksi ini terlalu mementingkan apa yang dikatakan dan dipikirkan orang lain. Terkadang orang merasakan kepedihan dalam hati nuraninya, bukan karena mereka melakukan kesalahan, tetapi karena orang lain mengetahui hal itu. Bagaimanapun juga, jika suatu kesalahan dilakukan dan pada kenyataannya Allah mengetahui hal tersebut, barulah menjadi masalah yang besar. Sekali lagi, seseorang harus berpaling hanya kepada Allah untuk bertobat ketika ia tidak merasa bertanggung jawab kepada Allah atas sebuah kesalahan, tetapi merasa malu di depan orang lain. Jelaslah, ia lebih mementingkan ridha manusia daripada ridha Allah. Ketika berada di luar, sebagian orang gagal melaksanakan tugas agama seperti saat berada di rumah. Terlalu berlebihan terhadap anggapan orang lain membuatnya memilih untuk mendapatkan keridhaan orang lain daripada keridhaan Allah.

Tingkah laku mereka berbeda saat mendatangi daerah tepi pantai atau lingkungan tempat tinggal orang yang lebih kaya. Akhlaq mereka juga berbeda saat mereka bersama-sama dengan sesama muslim dan saat mereka mengunjungi kota-kota atau orang-orang lain (nonmuslim). Dari waktu ke waktu, terbawa oleh pola pikir demikian, mereka bahkan menolak untuk memperhatikan ibadahnya kepada Allah. Bagaimanapun juga, seseorang yang ikhlas tidak pernah bersikap demikian. Ke mana pun ia pergi atau siapa pun yang ia lihat, ia tetap berkomitmen dalam pengabdiaannya karena rasa takut kepada Allah. Al-Qur`an menyatakan bahwa tidak ada kondisi atau situasi yang dapat memengaruhi pemikiran para mukmin sejati,

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (an-Nuur [24]: 37)

Jadi, setiap orang beriman yang berharap untuk mendapatkan keikhlasan, harus membebaskan dirinya dengan sempurna dari kekhawatiran terhadap apa yang akan dikatakan orang lain. Kekhawatiran ini mengakar dalam komunitas masyarakat yang bodoh. Jadi, seseorang tidak akan pernah dapat berbuat ikhlas dengan murni selama ia membutuhkan pengakuan dari orang lain.

Seseorang harus selalu ikhlas dalam niatnya dan dengan murni mencari keridhaan Allah untuk mendapatkan keikhlasan. Kenyataan bahwa orang lain memberikan kerelaan padanya, tidaklah bermanfat baginya kecuali Allah merelakannya juga. Adapun orang yang mendapatkan keridhaan, bantuan, cinta, dan pengakuan Allah, ia telah mendapatkan bantuan yang bisa didapatkan oleh semua orang. Jika ia berlaku ikhlas, Allah akan membuatnya mampu menjalani keidupan yang paling baik di dunia dan di akhirat. Allah memberikan fasilitas-fasilitas yang mendukung, yang tidak didapatkan dari manusia, serta menganugerahinya persahabatan yang tidak dapat dibandingkan dengan persahabatan dengan manusia. Dalam salah satu karyanya, Badiuzzaman Said Nursi juga menegaskan,

“... Keridhaan Allah sudahlah cukup. Jika Dia menjadi kekasihmu, semuanya akan menjadi kekasihmu. Jika Dia bukan kekasihmu, pujian dari seluruh bumi tidaklah berarti. Kerelaan dan keridhaan manusia jika dicari melalui perbuatan duniawi lainnya, akan menggagalkan perbuatan tersebut. Jika mereka tergoda, kemurnian itu akan hilang.”14

Hai jiwa yang rendah, jika engkau mendapatkan ridha Tuhanmu dengan kasih dan pengabdianmu, cukuplah hal itu bagimu dan tidak perlu lagi mencari ridha manusia. Jika manusia setuju dan menerima kepentingan Allah, hal itu adalah baik. Jika mereka melakukan sesuatu untuk mendapatkan keberkahan dunia, hal itu sama sekali tak ada nilainya. Karena mereka adalah hamba- hamba yang lemah, sepertimu. Memilih pilihan kedua di atas berarti kemusyrikan. Jika seseorang melakukan suatu pekerjaan untuk sultan, hal itu harus diselesaikan. Jika tidak, akan muncul banyak masalah dan situasi yang sulit. Dalam hal ini, izin sultan adalah kewajiban. Dan izin ini bergantung pada keridhaannya.”15

14 Badiuzzaman Said Nursi, Barla Lahikasi (Surat-Surat Barla), hlm 78. 15 Badiuzzaman Said Nursi, Mesnevi-i Nuriye, hlm 215.

Dalam dokumen Keikhlasan dalam Telaah Al-Qur`an (Halaman 31-33)