• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEINDAHAN KARYA SUNAN YANG BERNILAI FILOSOFIS

D I A N N A F I O L E H

Udara sejuk mengembus pelan saat langkah kami sampai di serambi Masjid Agung Demak. Perhatian Yudith, teman semasa kuliah arsitektur dulu, langsung terpacak pada piring-piring keramik yang menempel di dinding masjid.

“Piring Campa ini hadiah dari Putri Campa, ibunda Raden Patah –pendiri Kerajaan Demak,” jelasku, “Ada sekitar 65 buah yang dipasang pada dinding Masjid Agung Demak.”

Raden Patah alias Pangeran Jinbun yang memang berdarah Cina dari garis keturunan ibunya ini tak urung menjadikan Masjid Agung Demak sebagai etalase dari perpaduan antar budaya. Ajaran Islam dari Timur Tengah, bentuk atap tajug yang khas Jawa, keramik Cina, beduk kenthongan dan beberapa benda yang berakar dari budaya Hindu, Buddha, animisme, dan dinamisme asli Nusantara.

Berpindah dari piring-piring keramik cantik, kini Yudith mengamati pintu utama Masjid Agung Demak yang perpaduan ukiran dan warnanya memang memukau.

“Pahatan pintu Bledeg ini dibuat tahun 1466 oleh Ki Ageng Selo,” jelasku, “Konon dengan kekuatan supranaturalnya, Ki Ageng Selo menyambar petir saat ada di tengah sawah. Lalu beliau memerangkapnya di pintu ini.”

“Wow! Is that real?” Yudith membelalakkan matanya, tetap tak lepas dari pahatan gambar stilisasi buaya dengan gigi-gigi besar di pintu legendaris itu.

“Hmm, ya begitu konon ceritanya. Kemudian Raden Patah menjadikannya sebagai pintu masuk utama di Masjid Agung Demak ini,” sambungku.

“Ukirannya mengagumkan,” ucap Yudith.

“Yups. Sebagaimana indahnya ukiran di tiang-tiang penyangga serambi masjid ini juga,” sahutku, membuat Yudith menoleh. Dia mengikuti pandangan mataku ke arah deretan delapan tiang kayu bersejarah.

“Ada beberapa versi sejarah yang mengatakan bahwa Majapahit runtuh karena diserang Demak, padahal tidak demikian. Buktinya tiang-tiang ini adalah pemberian Raja Majapahit, ayah Raden Patah,” jelasku sembari kami berjalan mendekati tiang terdekat.

21 MESJID AGUNG DEMAK

22 AKU & CAGAR BUDAYA

“Dan beliau mengabadikannya di sini,” Yudith menyusuri lekukan dan takikan ukiran pada tiang yang sudah berumur 600-an tahun itu.

UKIRAN TIANG MESJID AGUNG DEMAK

Masjid Agung Demak dibangun pada tahun 1479 Masehi dan masih berdiri dengan kokoh hingga kini. Renovasi dilakukan beberapa kali dengan tetap mempertahankan banyak bagian penting. Preservasi bangunan cagar budaya sangat penting mengingat masjid ini adalah peninggalan sejarah Kerajaan Demak yang merupakan pusat dari pengajaran serta syiar Islam. Apalagi arsitekturnya melukiskan hubungan antara Jawa dengan Islam. Inkulturasi membumi.

Dalam proses pembangunannya, konon Masjid Agung Demak didirikan dalam tiga tahap. Tahap pembangunan pertama adalah pada tahun 1466. Ketika itu masjid ini masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi di bawah asuhan Sunan Ampel. Pada tahun 1477, masjid ini dibangun kembali sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak. Pada tahun 1478, ketika Raden Patah diangkat sebagai Sultan I Demak.

“Lampu-lampunya juga sangat cantik dan artistik,” gumam Yudith sembari mengedarkan pandangannya ke langit-langit serambi masjid.

Yudith memotret serambi dari berbagai sudut. Aku mengikuti langkahnya bak pemandu yang sabar. Rumahku hanya berjarak dua rumah dari Masjid Agung sehingga aku senang saja mengantar teman-teman yang datang dari jauh untuk berkeliling. Seperti Yudith yang kemarin datang dari Kalimantan.

“Fi, sini deh,” tangan Yudith melambai ke arahku. Dan kami pun berswafoto di dekat beduk dan kenthongan yang terletak di sisi selatan serambi masjid. Di sisi utara serambi juga ada.

Makna filosofis yang terkandung dari suara beduk, berbunyi dheng… dheng… dheng…, berarti sedheng artinya masih cukup untuk menampung jamaah yang akan salat. Sedangkan suara kenthongan berbunyi thong… thong… thong… mengandung maksud bahwa musala/masjid masih kothong (kosong atau belum berisi), dilanjutkan dengan azan yang menyeru agar umat Islam segera melakukan salat berjamaah. Kedua alat ini merupakan alat yang tidak asing bagi masyarakat. Ditinjau dari aspek seni budaya, selain sebagai alat panggilan salat, juga berfungsi sebagai seni atau alat komunikasi secara tradisional.

23 MESJID AGUNG DEMAK

24 AKU & CAGAR BUDAYA

Yudith lalu melaju ke dalam masjid dan membiarkan dirinya larut dalam kesyahduan. Hal yang juga selalu kurasakan tiap kali masuk, meskipun sudah berkali-kali aku ke sini.

Empat tiang Soko Guru memerangkap kami dalam aura kemegahan. Sebagaimana cerita turun temurun tentang pembangunan masjid ini, konon ada empat wali yang secara khusus memimpin pembuatan soko guru lainnya. Sunan Bonang memimpin membuat soko guru di bagian barat laut, Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian timur laut, Sunan Ampel membuat soko guru di bagian tenggara, dan Sunan Gunungjati membuat soko guru di sebelah barat daya.

Salah satu dari empat soko guru ini yang sangat terkenal adalah Soko Tatal. Karena dikejar waktu saat pembuatannya, Sunan Kalijaga mengumpulkan tatal atau kulit kayu yang berasal dari sisa pahatan dari tiga soko guru lainnya. Dan jadilah

Soko Tatal yang termasyhur itu. Aku pernah melihat langsung

dari bagian atas –yang tidak sembarang orang boleh masuk- dan menyaksikan lebih jelas bentuk serpihan-serpihan tatal yang dipagut menjadi satu. Subhanallah. Sungguh mengagumkan.

Banyak peziarah lain yang juga sedang menikmati bagian dalam masjid, namun kami tidak kesulitan untuk mendekati satu-persatu bagian masjid yang menarik hati. Kami bergerak ke sisi barat masjid, yakni bagian mihrab. Pada dinding mihrab ini terdapat relief gambar bulus yang merupakan Prasasti –

sengkalan memet yang diartikan sebagai Sariro Sunyi Kiblating Gusti. Sengakalan memet ini menunjukkan tahun berdirinya

Kerajaan Demak dan Masjid Agung Demak yaitu 1401 Saka atau 1479 Masehi. Di mihrab ini juga ada lambang Surya Majapahit. Dekorasi bentuk segi delapan yang sangat terkenal di era Majapahit. Adanya lambang Surya Majapahit di Masjid Agung Demak secara tidak langsung menunjukkan adanya keberlanjutan tradisi dari masa Majapahit ke masa Demak yang bercorak Islam.

Yudith lalu bergerak ke sisi kanan pengimaman/mihrab dan mengamati sebentuk kursi kayu berukir dalam sebuah wadah kaca.

“Ini adalah Dampar Kencana, dulunya singgasana untuk para Sultan Demak. Kini dipakai sebagai mimbar khotbah,” jelasku,” Hadiah dari Prabu Brawijaya V untuk putranya tercinta, Raden Patah.”

“Sedangkan bangunan kayu berukir di sisi kiri mihrab ini adalah Maksurah atau Kholawat,” sambungku. Maksurah yang dulunya merupakan tempat khusus Adipati untuk salat. Bentuknya yang unik dan artistik, relatif mendominasi keindahan di ruang dalam masjid. Di bagian luar maupun dalam artefak terdapat kaligrafi Arab yang intinya memuliakan Keesaan Tuhan. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M.

Menjelang zuhur setelah puas berkeliling dalam bangunan utama Masjid Agung Demak, kami lalu berkesempatan salat zuhur berjamaah di bangunan sisi selatan masjid, yakni

pawestren yang merupakan tempat salat khusus bagi jamaah

wanita. Pawestren merupakan ruang memanjang di samping selatan bangunan dengan delapan tiang penyangga. Empat tiang utamanya ditopang blandar balok bersusun tiga yang dihiasi dengan ukiran motif Majapahit.

Usai salat, kami kemudian meneruskan cerita hari ini dengan mengunjungi bagian luar masjid, yakni Museum Masjid Demak. Di sebelah bangunan museum terdapat tempat wudu kuno yang tidak lagi dipergunakan.

Di dalam Museum Masjid Agung Demak terdapat sekitar 60-an koleksi. Beberapa di antaranya adalah maket Masjid Agung

25 MESJID AGUNG DEMAK

BAGIAN DALAM MESJID DEMAK

26 AKU & CAGAR BUDAYA

Demak, replika empat soko guru peninggalan wali, pintu bledeg Ki Ageng Selo, daun pintu makam kesultanan 1710 M, beduk wali abad XV, Kenthongan Wali Abad XV, kap lampu peninggalan Pakubuwono I Tahun 1710 M, kayu tatal buatan Sunan Kalijaga, kitab suci kuno Al-Qur’an 30 juz tulisan tangan, tafsir Al-Qur’an juz 15-30 karya Sunan Bonang.

Selain itu juga terdapat 3 buah Gentong Kong, berupa guci keramik peninggalan Dinasti Ming yang memiliki ketinggian kurang lebih 90 cm dengan diameter 100 cm. Menurut kisahnya guci keramik tersebut adalah hadiah dari Putri Campa pada abad XIV. Koleksi lain yang dapat dijumpai di museum adalah umpak

batu andesit yang diperkirakan dibawa dari keraton Majapahit.

Di sisi barat bangunan masjid terdapat kompleks pemakaman Sultan Demak berserta kerabatnya. Kompleks pemakaman ini terbagi atas empat bagian, yakni makam Kasepuhan, Kaneman, serta makam-makam tokoh Kesultanan Demak.

SITUS KOLAM WUDU

Makam Kasepuhan terdiri atas 18 makam, antara lain makam Sultan Demak I (Raden Patah) beserta istri-istri dan putra-putranya, yaitu Sultan Demak II (Raden Pati Unus) dan Pangeran Sekar Sedo Lepen (Raden Surowiyoto), serta makam putra Raden Patah, Adipati Terung (Raden Husain). Makam Kaneman terdiri atas 24 makam, antara lain makam Sultan Demak III (Raden Trenggono), makam istrinya, dan makam putranya, Sunan Prawoto (Raden Hariyo Bagus Mukmin). Makam di sebelah barat Kasepuhan dan Kaneman, terdiri atas makam Pangeran Arya Penangsang, Pangeran Jipang, Pangeran Arya Jenar, Pangeran Jaran Panoleh. Lalu ada makam-makam lainnya, seperti makam Syekh Maulana Maghribi, Pangeran Benowo, dan Singo Yudo.

Masjid Agung Demak dengan segala kemegahannya tersebut dapat kita anggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan sekaligus bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro.

Sudah seharusnya kita jaga agar cagar budaya kawasan Masjid Agung Demak ini tetap terawat dengan baik. Sehingga semangat spiritualitas sekaligus inklusivitas dan toleransi terus bisa ditanamkan pada generasi selanjutnya. Ketika para pengunjung menyaksikan langsung bentuk atap tajug bersusun tiga, mereka menyerap spirit inklusivitas para sunan

27 MESJID AGUNG DEMAK

KOMPLEK MAKAM SULTAN-SULTAN DEMAK

28 AKU & CAGAR BUDAYA

yang membumikan Islam dengan cara menggunakan gaya arsitektur lokal. Saat melihat tiang Majapahit di serambi, kita paham bagaimana artefak peningalan kerajaan Hindu bahkan dipajang di bagian depan. Dengan melihat piring Putri Campa di dinding-dinding masjid dan gentong-gentong peninggalan, kita menyadari peran Cina dan tidak serta merta menganulirnya. Pun waktu menziarahi makam para raja dan ulama masa itu, kita dibawa kepada kesadaran bahwa jikalau tanpa sikap toleransi, inklusivitas, dan kasih sayang mereka tidaklah mungkin Islam bisa diterima dengan baik di negeri ini. Sudah selayaknya kita mengikuti sikap dan laku para Sunan ini, mengimplementasikannya di masa kini. Demi Indonesia yang lebih damai dan indah.

Dian Nafi

Lulusan arsitektur undip yang suka traveling, menulis fiksi dan non fiksi seputar keislaman, kepesantrenan, kewanitaan, parenting, entrepreneurship, pengembangan diri. Author 27 buku dan 84 antologi di 17 penerbit Indonesia.

Blogger www.dian-nafi.com; www.writravelicious.com; www.hybridwriterpreneur.com. Jurnalis www.demagz.web.id.

Owner Hasfa Camp & Publishing www.hasfa.co.id. Coach/ Mentor at Kampus Fiksi, Hasfa Institut and Gramedia Academy. diannafihasfa@gmail.com

PROFIL PENULIS

29 MESJID AGUNG DEMAK

MASJID TUA KATANGKA