• Tidak ada hasil yang ditemukan

WISATA EDUKASI SEJARAH DAN IMAN DI JANTUNG KOTA MEDAN

E F A R E F N I T A O L E H

Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera terkenal dengan penduduknya yang memiliki aneka ragam kebudayaan dan adat istiadat. Selain itu, Kota Medan juga terkenal dengan wisata kuliner dan juga tempat wisata, dari yang bergaya modern hingga tempat wisata kesejarahan, semua ada di Kota Medan.

Salah satu tempat yang wajib dikunjungi ketika berada di Kota Medan adalah Masjid Al Mashun. Masjid ini berokasi di pusat keramaian Kota Medan tepatnya beralamat di Jalan Sisingamangaraja No. 61. Untuk menuju ke masjid ini sangat mudah karena berada di pusat kota, namun apabila ingin menggunakan transportasi umum bentor, becak bermotor khas kota Medan, jauh akan lebih mengasyikkan. Kemegahan Masjid Raya Al Mashun dapat dilihat dengan jelas ketika melangkah masuk melewati gapura menuju halaman masjid. Bentuk gapura yang kokoh, ditambah lagi dengan ukiran kaligrafi yang indah, menandakan Sultan sangat menghormati setiap jamaah yang datang untuk beribadah ke Masjid Al Mashun. Fungsi Masjid Al Mashun masih tetap dipertahankan seperti dahulu yaitu sebagai tempat ibadah dan kajian-kajian agama untuk umat muslim. Pada tahun 2016, Masjid Al Mashun ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dalam peringkat Nasional. Penetapan tersebut melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.267/M/2016, dengan keturunan Sultan Deli sebagai pemiliknya. Sampai saat ini, Masjid Al Mashun dalam kondisi terawat dan masih digunakan sebagai tempat ibadah umat Islam.

Masjid Al Mashun atau dikenal dengan Masjid Raya Medan, juga biasa disebut dengan nama Masjid Raya Deli. Sebutan Masjid Raya Deli berawal dari sejarah Masjid Al Mashun yang merupakan salah satu bukti kejayaan Kesultanan Melayu Deli. Masjid yang berusia lebih dari satu abad ini dibangun oleh Sultan Deli sebagai masjid kesultanan.

Masjid ini dibangun pada tahun 1906, semasa pemerintahan Sultan Deli Ma’moen Al Rasyid Perkasa Alamsja yakni, Sultan ke-9 Kerajaan Melayu Deli yang berkuasa 1873-1924. Pada waktu itu Sultan mengangkat seorang perwira Zeni Angkatan KNIL T.H Van ERP untuk merancang arsitektur bangunan yang dapat melambangkan kemegahan dengan perpaduan budaya Islam. Dalam pengerjaan pembangunan masjid diserahkan kepada JA Tingdemen. Karena pada saat itu T.H Van ERP diminta pemerintah Hindia Belanda untuk ke tanah Jawa. Pendanaan

65 MASJID RAYA AL MASHUN, MEDAN

66 AKU & CAGAR BUDAYA

masjid berasal dari kesultanan yang diperkirakan menghabiskan dana 1 juta Gulden. Masjid yang telah berumur lebih dari satu abad hingga saat ini masih berdiri kokoh sesuai dengan bentuk aslinya tanpa ada perubahan pada bangunan induknya. Sesuai namanya, Al Mashun yang artinya terpelihara, sampai saat ini masjid tetap terpelihara dengan baik.

Masjid Al Mashun dibangun dalam kurun waktu kurang lebih 3 tahun, terhitung sejak 21 Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H), hingga 10 September 1909 (25 Sya‘ban 1327 H). Peresmian secara tidak langsung atas berdirinya masjid kesultanan ini ditandai dengan diadakan salat Jumat untuk pertama kalinya, oleh Sultan Deli beserta keluarga juga para sesepuh adat, dan masyarakat sekitar. Walaupun merupakan masjid kesultanan namun tidak ada ruangan khusus untuk Sultan Deli dan keluarga. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa, selain seorang muslim yang taat, Sultan juga seorang pemimpin yang ingin berbaur dengan rakyatnya. Tindakan Sultan ini tidak hanya sangat bijaksana, namun juga merupakan contoh ideal seorang pemimpin yang masih sangat dibutuhkan hingga saat ini.

Bangunan Mesjid tampak sebelah kiri

Sebagai masjid kesultanan, maka tak heran jika Masjid Al Mashun mempunyai keistimewaan dibanding masjid-masjid yang dibangun Sultan Deli di beberapa daerah lain pada masa itu. Hamparan halaman yang luas akan tampak ketika melewati gerbang masjid. Masjid Al Mashun menempati lahan yang relatif luas yaitu sekitar 13.200 m², dengan luas bangunan masjid yang berukuran kurang lebih 874 m². Di sisi belakang masjid terdapat pagar sebagai pembatas area pemakaman para Sultan dan keluarganya. Dengan lahan yang sangat luas tersebut, masjid ini dilengkapi halaman berumput dengan pohon palem yang digunakan sebagai peneduh dan membuat nyaman mata memandang. Area halaman depan masjid telah dipasang keramik. Pemasangan keramik ini kemungkinan besar untuk menjaga kenyamanan para jamaah yang salat dimana keberadaan para jamaah tidak dapat tertampung di dalam ruangan utama masjid, seperti saat salat Idul Fitri, salat Idul Adha atau ketika diadakan kegiatan keagamaan lainnya.

Satu hal yang menarik dari masjid ini adalah memiliki denah segi delapan (oktagonal) dengan 4 kubah. Pada fisik bangunan masjid ini sangat jelas menunjukkan perpaduan arsitektur Eropa, Melayu, dan Timur Tengah. Apabila kita memandang dari luar terlihat 4 kubah di keeempat sudutnya dengan 1 kubah utama dan terbesar berada di tengah. Kubah-kubah tersebut juga berdenah segi delapan dengan finishing luar dicat warna hitam. Bentuk kubah tersebut mengingatkan kita pada kubah masjid yang banyak terdapat dari negara Turki.

Ruang utama bagian dalam bangunan masjid dihiasi delapan buah panel kaca patri yang indah, mengapit di kiri dan kanan pintu masuk dari arah empat sisi beranda. Di bagian dalam masjid juga dijumpai ukiran floral yang menggambarkan bentuk bunga dan tumbuhan. Ukiran ini juga membedakan Masjid Al Mashun dengan masjid lainnya yang biasanya mempunyai ukiran kaligrafi di dalamnya. Pada ruang utama masjid disimpan Kitab Suci Al Quran dengan tulisan tangan yang merupakan Al Quran tertua di Kota Medan.

Mengingat usia Masjid Al Mashun yang sudah tua, tentu sudah ada beberapa bagian yang kondisinya harus segera dibenahi. Bangunan utama masjid masih berdiri tegak dengan kokoh. Demi keamanan dan kenyamanan, beberapa bagian yang lapuk dan bocor telah diperbaiki tanpa mengubah bentuk

67 MASJID RAYA AL MASHUN, MEDAN

68 AKU & CAGAR BUDAYA

aslinya. Bagian jendela kaca sudah banyak yang diganti dengan replikanya, namun tetap mempertahankan bentuk dan ukiran asli. Seluruh dinding bangunan yang sudah pudar dimakan waktu, telah dicat ulang sesuai warna aslinya pula.

Masjid Al Mashun merupakan tempat wisata yang cocok bagi berbagai tingkatan usia. Banyak ilmu dan pelajaran berharga yang dapat dipetik dari masjid dengan nilai sejarah yang tinggi ini. Kunjungan mendekati waktu salat mungkin akan lebih baik, agar bisa merasakan lebih dalam suasana religi yang dihadirkan dari masjid tersebut.

HALAMAN DAN BANGUNAN MESJID

Jika berada di Kota Medan pada saat Ramadan, jangan lupa untuk menyempatkan diri berbuka puasa di Masjid Al Mashun. Ngabuburit sambil merasakan bubur khas Melayu Deli yang terkenal lezat dan menjadi menu andalan bagi jamaah dan warga sekitar. Karena pada saat Ramadan, Masjid Al Mashun menyediakan makanan berbuka puasa yang sangat spesial. Bubur sop khas dari tanah melayu yang disajikan bersama dengan sayur anyang (semacam sayuran urap) ditambah kurma dan teh manis hangat, tentu merupakan perpaduan yang lezat dan bergizi untuk berbuka puasa. Tradisi berbuka puasa di Masjid Al Mashun sudah ada sejak masjid didirikan. Sultan menyediakan makanan berbuka bagi warga sekitar, berupa bubur pedas khas Kesultanan Deli sebagai santapan berbuka. Namun, karena rumitnya pembuatan bubur pedas, serta rempah-rempah yang sulit didapat, bubur pedas diganti dengan bubur sop yang

69 MASJID RAYA AL MASHUN, MEDAN

BANGUNAN TEMPAT WUDU

70 AKU & CAGAR BUDAYA

juga merupakan khas Melayu Deli. Bagi para wisatawan yang ingin mengetahui cara pembuatan bubur sop, dapat melihat langsung prosesnya di halaman Masjid Al Mashun. Dengan menggunakan kayu bakar, proses memasak dimulai pada jam dua siang setiap harinya. Para petugas memasak bubur untuk sekitar 900 porsi. Menghabiskan sekitar 30 kg beras sebagai bahan utama, ditambah dengan daging sapi, wortel, dan kentang sebagai pelengkap.Walaupun diadakan pada saat bulan Ramadan, bukan berarti pembagian makanan khas Melayu Deli tersebut hanya untuk umat muslim. Seluruh masyarakat dan wisatawan dapat menikmati bubur sop tersebut, sebagai bentuk pelestarian kuliner yang terkandung nilai-nilai sejarah. Sehingga diharapkan tradisi tersebut tidak pudar dimakan zaman serta untuk menyatukan berbagai umat beragama yang ada di sekitar Masjid Al Mashun.

Mari kita bersama-sama berpartisipasi dalam melestarikan nilai-nilai sejarah yang melekat dan menyatu pada Masjid Al Mashun sebagai salah satu Cagar Budaya Indonesia. Sesungguhnya, tujuan dari cagar budaya tidak hanya sebatas promosi wisata dan warisan leluhur pada dunia internasional, melainkan untuk memperkuat kepribadian bangsa dan juga meningkatkan kesejahteraan rakyat. Melalui cagar budaya, akan terjalin benang merah yang lebih kuat antara kejayaan pada masa lampau dan keberhasilan Indonesia pada masa kini serta masa yang akan datang.

71 MASJID RAYA AL MASHUN, MEDAN

Efa Refnita

Ibu rumah tangga yang mempunyai 3 orang anak ini lahir dan besar di kota Medan. Menulis dan membaca merupakan hobi yang sangat ia sukai. Selain untuk mengisi waktu luang, menulis juga ia lakukan untuk menambah wawasan dalam kehidupannya sehari-hari.

Penulis dapat dihubungi melalui : refnita@yahoo.com.au atau

Facebook : Efa Refnita

PROFIL PENULIS

71 MASJID RAYA AL MASHUN, MEDAN

72 AKU & CAGAR BUDAYA

MENGULIK MASJID AGUNG