• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJA-

A. Kejahatan Perjudian

1. Kejahatan

sebagai penjahat dan seringkali belum pernah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan karena keadaan-keadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya.

2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk Ke dalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya.

3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari.

4. Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase, dan sebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegal itu

200

sangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat.

5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai penjahat apabila mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas.

6. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya sebagai part time-career dan seringkali untuk menambah penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai pemilikan pribadi telah dilanggar.

7. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebagainya. Pelaku yang berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan warga masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal di lingkungan- lingkungan pemukiman yang baik.

8. Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat- penjahat lain serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka sering

juga cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras.

Berdasarkan tipologi kejahatan tersebut di atas, maka perjudian termasuk dalam kejahatan konvensional dan kejahatan terorganisasi. Dalam kejahatan konvensional, penjudi melakukan kejahatan untuk menambah penghasilan dan tujuan-tujuan ekonomi, sedangkan dalam kejahatan terorganisasi, penjudi melakukan tindak kejahatan perjudian secara terorganisasi yang melibatkan banyak pihak.

Mahmud Mulyadi membagi faktor korelatif kriminogen terjadinya kejahatan yaitu 1)faktor biologis dan psikologis; 2)faktor lingkungan sosial.201

a. Faktor biologis dan psikologis

Freda Adler et. al. dalam bukunya Criminology, yang dikutip Mahmud Mulyadi202 menjelaskan bahwa para tokoh aliran positif yaitu Cesare Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1982-1934) menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan mengkaji karakter perilaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran ini beralasan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis maupun faktor lingkungan.

201

Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 101.

202

Basis utama aliran ini adalah konsepsinya bahwa kejahatan disebabkan oleh multi faktor yang menyangkut kehidupan natural manusia di dunia ini, antara lain faktor biologis dan faktor lingkungan sosial. Oleh karena itu, aliran positif bersandarkan pada paham indeterminisme yang mengakui bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas (free will) karena dibatasi oleh faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Dalam hal penjatuhan pidana, aliran ini menganut sistem “indefinite sentence” yaitu pidana yang dijatuhkan tidak ditentukan secara pasti karena setiap pelaku kejahatan mempunyai kebutuhan yang berbeda. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Lombroso, bahwa penerapan pidana yang sama pada semua pelaku kejahatan merupakan suatu kebodohan karena setiap pelaku mempunyai kebutuhan yang berbeda.203

Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk melindungi kepentingan masyarakat. Konsep tersebut melahirkan aliran Pemikiran Antropologis dan Aliran Sosiologis. Aliran antropologis berkembang di Italia dipelopori oleh Caesare Lombroso, sedangkan aliran sosiologis berkembang di Perancis dipelopori oleh Lacassagne, Manouvrier, dan lain-lain.204

203

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 34.

204

Kedua aliran ini sama dihadapkan pada keprihatinan terhadap rentannya masyarakat akan ancaman kejahatan, sehingga kedua aliran ini berusaha membongkar sebab awal kejahatan dengan tujuan menemukan alat-alat penangkal yang paling ampuh yang pada gilirannya mendorong terwujudnya etiologi kriminal: hasil telaahan yang diperoleh semakin berpengaruh terhadap pembentukan dan perumusan kebijakan penanggulangan kejahatan dan dengan cara ini, dapat membongkar dominasi pandangan pidana sebagai derita yang sengaja dikenakan kepada pelaku kejahatan.205

Lombroso memberikan perhatian pada perilaku individu yang menyimpang. Menurut Lombroso ada satu tipe orang yang ditakdirkan melakukan kejahatan, yang tidak dapat tidak, suatu saat akan melakukan kejahatan. Orang- orang yang terlahirkan sebagai kriminal (Reo nato). Tipe manusia ini merupakan 40% dari populasi kriminal. Pandangan ini ditentang keras oleh aliran sosiologis, mereka sebaliknya menekankan peran penting faktor eksogen. Menurut mereka, penjahat merupakan hasil bentukan atau ciptaan lingkungan arti seluas-luasnya. Mereka memfokuskan pada lingkungan rumah tangga yang buruk, kurangnya pendidikan dan pengajaran, kelahiran sebagai anak di luar nikah, kemiskinan, ketergantungan pada minuman keras, penderitaan akibat perang, godaan kehidupan perkotaan. Singkatnya pada semua hal yang secara eksternal berpengaruh terhadap manusia. Mereka juga yang memberikan landasan bagi

205

Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 34.

pemikiran aliran Marxis yang menambahkan nuansa pemikiran bahwa penyebab kejahatan dapat ditemukan dalam (bagaimana) sistem ekonomi disusun dalam mekanisme produksi kapitalis.206

Dalam perkembangan selanjutnya, walaupun mempunyai pandangan yang kontras, kedua aliran ini semakin mendekati satu sama lain. Diakui bahwa tanpa adanya kecenderungan lahiriah tertentu, kejahatan tidak akan muncul. Pada saat yang sama diterima pula bahwa tanpa adanya situasi kondisi yang memungkinkan, kecenderungan asosial tidak mungkin berkembang menjadi suatu perbuatan. Faktor-faktor sosial antropologis mempengaruhi perilaku dan juga saling mempengaruhi. Pandangan ini dinamakan pendekatan “bio-sosiologis” yang dipelopori oleh Enrico Ferri (1856-1929).

Pendekatan bio-sosiologis menjelaskan terjadinya kejahatan melalui kajian pengaruh-pengaruh interaktif diantara faktor-faktor yang bersifat fisik (seperti ras, geografis, dan temperatur) dengan faktor-faktor individu (seperti umur, jenis kelamin, dan variabel-variabel psikologis), dan faktor-faktor sosial (seperti populasi penduduk, agama dan budaya). Enrico Ferri berpendapat bahwa kejahatan dapat dikontrol atau diatasi melalui berbagai perubahan sosial. Ferri mewujudkannya dengan mendukung subsidi perumahan, pengendalian angka kelahiran, kebebasan menikah dan bercerai, dan fasilitas umum untuk rekreasi. Kondisi ini merupakan tanggungjawab negara untuk mewujudkan kondisi kehidupan yang lebih baik.

206

Frank E. Hagan dalam bukunya Introduction to Criminology, Theories, Methods, and Criminal Behaviour menyebutkan bahwa penerus lainnya teori Lombroso adalah Rafaele Gorofallo (1982-1934). Teori yang dikemukakan Gorofallo dipengaruhi oleh teori Lombroso tentang atavistic stigmata, namun Gorofallo menelusuri faktor korelatif kejahatan bukan kepada bentuk-bentuk fisik. Kajiannya cenderung melihat kesamaan-kesamaan psikologis yang dinamakannya sebagai moral anomalies (kekacauan-kekacauan moral).207

Teori moral anomalies ini mengungkap bahwa secara alamiah kejahatan- kejahatan ditemukan pada diri manusia, tidak terkecuali siapapun. Kejahatan- kejahatan ini mengganggu nilai-nilai moral dasar berupa kejujuran dan menghargai hak milik orang lain sehingga kejahatan-kejahatan yang dilakukan bisa mendatangkan penderitaan pada orang lain. Seorang individu yang memiliki kelemahan organik dalam sentiment moral ini, tidak menjadikan moral dasar sebagai halangan untuk melakukan kejahatan. Seorang penjahat sungguhan memiliki anomali moral yang ditransmisikan melalui keturunan.208

Teori lainnya adalah Sigmund Freud (1856-1939) dengan teori terkenalnya psikoanalisa. Frued menyatakan bahwa kejahatan dihasilkan dari suatu kesadaran yang berlebihan atas perasaan bersalah pada diri seseorang. Terdapat tiga prinsip dasar teori psikoanalisa ini dalam hubungannya dengan terjadinya kejahatan, yaitu: (1) Tindakan orang dewasa dapat dipahami dari

207

Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 104.

208

perkembangan masa kanak-kanaknya; (2) Tindakan dan motif bahwa sadar merupakan sesuatu interaksi yang saling berhubungan sehingga harus diuraikan untuk memahami kejahatan, dan (3) kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik psikologis.209

b. Faktor lingkungan sosial

Terjadinya kejahatan tidak semata dipandang sebagai bagian dari pembawaan sifat manusia secara alami. Kejahatan dari sudut pandang sosiologis disebabkan oleh adanya pengaruh eksternal dari lingkungan sosial. Berikut ini akan diuraikan beberapa teori yang melegitimasi pengaruh lingkungan sosial terhadap terjadinya kejahatan.

1) Teori Anomi

Teori Anomi dikemukakan oleh Emile Durkheim (1958-1917) sebelum akhir abad ke-19. Menurut Durkheim, untuk menjelaskan tingkah laku manusia yang salah maupun yang benar, maka tidak bisa hanya dilihat dari pribadi seseorang, melainkan harus dilihat pada kelompok masyarakatnya. Pada konteks inilah, Durkheim mengenalkan istilah “anomi”, yang diterjemahkannya sebagai “tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat di dalam masyarakat sebagai akibat dari hilangnya nilai-nilai dan standar- standar yang mengatur kehidupan.210

209

Ibid, hal. 105.

210

Durkheim menjelaskan lebih lanjut bahwa perubahan sosial yang cepat mempunyai pengaruh yang besar terhadap semua kelompok di dalam masyarakat. Hal ini bisa menyebabkan kabur atau hilangnya nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dianut dan diterima masyarakat. Kondisi ini memunculkan kehidupan sosial yang tanpa norma (anomie).

Tahun 1983, Robert K. Merton mengambil konsep teori anomi Emile Durkheim untuk menjelaskan tingkah laku kejahatan di Amerika, namun konsepnya berbeda dengan konsep Durkheim. Menurut Merton, permasalahan yang utama kejahatan adalah tidak diciptakan oleh perubahan yang mendadak dalam masyarakat, melainkan oleh adanya struktur sosial yang masing-masing bertahan untuk mencapai tujuan yang sama bagi semua anggotanya tanpa memberikan sarana (alat) yang sama untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini menyebabkan tidak adanya kesesuaian antara apa yang diminta oleh kultur dengan apa yang dibolehkan dalam struktur. Hal ini dapat mengakibatkan hancurnya norma-norma sosial karena tidak adanya patokan untuk berperilaku.211

Merton menekankan pengaruh struktur sosial sebagai faktor korelatif terjadinya kejahatan. Pengaruh ini terlihat dari adanya disparitas antara tujuan yang hendak dicapai dengan sarana yang digunakan dalam mencapai tujuan tersebut. Hal ini akhirnya menjadikan ketegangan (strain)

211

pada seseorang, sehingga mengambil jalan pintas berupa kejahatan untuk mencapai tujuannya.

2) Teori Differential Association

Teori ini dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland. Menurutnya, perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial dan tidak diwariskan dari orang tua. Ada sembilan pernyataan Sutherland mengenai bagaimana proses seseorang dapat terlibat dalam perilaku kriminal, yaitu :212

1. Criminal behavior is learned. Negatively, this means that criminal behaviour is not inherited;

2. Criminal behavior is learned in interaction with other persons in a process of communications. This communications is verbal in many respects but include also “the communication of gestured” 3. The principle part of the learning of criminal behavior occurs

within intimate personal groups. Negatively, this means that the impersonal agencies of communication, such as movies and news papers, play a relatively unimportant part in the genesis of criminal behavior;

4. When criminal behavior is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple; b)the specific direction of motives, drives, rationalizations, and attitudes.

5. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of legal codes as favorable and unfavorable. In some societies and individual is surrounded by person who invariably define by legal codes as rules to be observed, while in other he is surrounded by person whose definitions are favorable to the violation of the legal codes.

6. A person becomes delinquent because of an access of definition favorable to violations of law over definitions unfavorable to violation of law;

212

Edwin H. Sutherland and Donald R. Cressey, Asas-Asas Kriminologi, (Bandung: Alumni, 1969), hal. 77-78.

7. Differential associations may very in frequency, duration, priority, and intensity;

8. The process of learning criminal behavior by association with criminal and anti criminal patterns involves all of the mechanism that are involved in any other learning;

9. While criminal behavior in an expression of general needs and values, it is not explained by those general need and values.

Menurut Sutherland bahwa perilaku kriminal itu dipelajari, hal ini berarti bahwa perilaku kriminal tersebut tidak diwariskan. Bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi dalam kelompok-kelompok yang intim atau dekat. Keluarga dan kawan-kawan dekat mempunyai pengaruh yang paling besar dalam mempelajari tingkah laku yang menyimpang ini. Ketika tingkah laku kriminal ini dipelajari, pembelajaran itu termasuk: (a)teknik-teknik melakukan kejahatan; (b)arah khusus dari motif- motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap. Pelaku bukan saja belajar bagaimana mencuri di toko, membongkar kotak, membuka kunci, dan sebagainya, tetapi juga belajar bagaimana merasionalisasi dan membela tindakan-tindakan mereka.213

Asosiasi diferensial itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan pola-pola tingkah laku kriminal dan anti kriminal melibatkan setiap mekanisme yang ada di setiap pembelajaran lain. Walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-

213

Topo Santoso dan Eva Achjany Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 75.

kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku bukan kriminal juga ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama.214

3) Teori Konflik budaya (Culture Conflict)

Teori ini dikemukakan oleh Thorstein Sellin yang mengemukakan bahwa terdapat suatu conduct norm (norma tingkah laku) yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Norma tingkah laku ini bertujuan untuk mendefenisikan tingkah laku apa yang dianggap pantas (normal) dan apa yang dianggap tidak pantas (abnormal). Setiap kelompok mempunyai conduct norms sendiri-sendiri dan bisa saja conduct norms kelompok yang satu bertentangan dengan kelompok yang lainnya.215

Sellin mengungkapkan bahwa di kalangan pakar sosiologi belum punya formula yang tepat untuk memberi arti konflik budaya ini. Konflik budaya ini bisa saja dihasilkan proses perkembangan suatu budaya, bisa juga karena perkembangan masyarakat, atau bisa juga dihasilkan dari hasil migrasi conduct norms dari suatu budaya yang kompleks ke wilayah budaya lainnya.216

214

Ibid, hal. 77.

215

Edwin H. Sutherland and Donald R. Cressey, Opcit, hal. 79-80.

216

Selanjutnya Sellin menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh para imigran disebabkan oleh: (1)adanya konflik antara norma perilaku yang lama dan norma perilaku yang baru; (2)perpindahan situasi dan kondisi lingkungan dewasa ke lingkungan perkotaan; dan (3)transisi dari kehidupan masyarakat homogen yang terorganisir kepada masyarakat heterogen yang tidak terorganisir.

Topo Santoso mengemukakan bahwa konflik budaya dapat dibedakan menjadi konflik primer dan konflik sekunder. Konflik primer terjadi pada saat terjadinya pertentangan antara norma-norma dari dua budaya. Konflik primer ini bisa terjadi pada batas-batas wilayah budaya yang berdekatan, misalnya apabila norma dari suatu kelompok budaya meluas dan melintasi wilayah kelompok budaya lainnya. Konflik ini bisa juga terjadi karena perpindahan anggota kelompok budaya yang satu ke kelompok budaya lainnya. Sedangkan konflik sekunder terjadi bila suatu budaya berkembang menjadi budaya yang berbeda-beda. Masing-masing budaya ini mempunyai conduct norm sendiri- sendiri. Konflik sekunder ini hanya terjadi pada saat satu masyarakat homogen (sederhana) menjadi masyarakat yang kompleks (heterogen), dimana terjadi perkembangan yang dinamis pada kelompok-kelompok sosial, namun conduct norm seringkali ditinggalkan.217

4) Teori Sub Budaya (Sub Culture)

217

Teori ini dikemukakan oleh Albert K. Cohen yang digunakan dalam menjelaskan terjadinya penyimpangan perilaku di kalangan remaja Amerika, yang bercirikan geng-geng jalanan. Cohen belajar dari Edwin H. Sutherland tentang differential association dan transmisi budaya dari norma-norma kriminal yang membawa tingkah laku kriminal. Sedangkan dari Merton, Cohen belajar tentang ketegangan (strain) yang disebabkan oleh faktor struktural. Teori yang dikemukakan Cohen ini lebih spesifik dari teori anomi dari Merton. Teori yang dikemukakan Cohen terbatas pada perilaku menyimpang yang dilakukan dalam satu ikatan kelompok (geng).218

Cohen menyatakan bahwa perilaku kejahatan di kalangan remaja usia muda, kelas bawah merupakan cerminan ketidakpuasan mereka terhadap norma-norma dan nilai-nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi budaya Amerika. Para remaja berlomba mencari status sosialnya, akan tetapi bagi remaja kalangan bawah akan mengalami hambatan bersaing dengan kalangan atas karena mereka cenderung tidak memiliki materi dan keuntungan simbolis. Hal ini mengakibatkan kelompok usia muda kelas bawah mengalami konflik budaya yang disebut “status frustration”. Akhirnya para pemuda kalangan bawah melibatkan diri dalam geng-geng dan berperilaku menyimpang yang sifatnya tidak bermanfaat, dengki, dan jahat.219

5) Teori Differential Opportunity Structure

218

Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 111.

219

Teori ini dikemukakan oleh Cloward dan Ohlin yang dibangun atas dua asumsi, yaitu :220

a) bahwa terhalangnya aspirasi di bidang perekonomian yang disebabkan oleh kemiskinan sehingga secara umum menjadikan perasaan frustrasi; b) Bahwa frustrasi ini mendorong ke arah terjadinya kenakalan dalam

konteks geng khusus, yang sifat kejahatannya secara alami bervariasi sesuai dengan struktur dan nilai konvensional dalam lingkungan pemuda. Berbeda dengan Cohen, menurut Cloward dan Ohlin, kenakalan pemuda kelas bawah adalah berorientasi pada pencapaian kebutuhan hidup mereka, yang secara rasional dapat menilai situasi perekonomiannya dan untuk merencanakan masa depannya. Cloward dan Ohlin memadukan dua elemen penting dari teori anomi dari K. Merton dan teori Differential Association dari Sutherland untuk mengajukan asumsi bahwa kenakalan geng-geng pemuda kelas bawah disebabkan oleh adanya blok dalam memperoleh kesempatan di bidang perekonomian dan sifat alami kenakalan ini sesuai dengan lingkungan masing-masing. Kenakalan terjadi karena tidak seimbangnya distribusi sarana, baik legal maupun illegal untuk mencapai keberhasilan perekonomian dalam masyarakat, terutama sekali kesempatan (sarana) ini tidak merata terbagi dalam posisi kelas sosial, sehingga menghasilkan yang disebut “differential opportunity structure”.221 220 Ibid, hal. 112. 221 Ibid, hal. 112.

Cloward and Ohlin mengemukakan ada tiga tipe kenakalan geng ini, yaitu :222

a) Criminal subculture

Tipe ini terjadi pada masyarakat yang terintegrasi. Geng-geng berlaku sebagai kelompok remaja yang belajar dari orang dewasa. Aktivitas geng lebih menekankan pada aktivitas yang menghasilkan keuntungan materi dan berusaha untuk menghindari kekerasan.

b) A Retreats subculture

Pada tipe ini, remaja tidak memiliki struktur kesempatan sehingga mereka cenderung melakukan mabuk-mabukan. Aktivitas mencari uang dalam geng ini untuk tujuan mabuk-mabukan.

c) Conflict subculture

Tipe ini terjadi dalam masyarakat yang tidak terintegrasi, sehingga geng-geng mempunyai perilaku yang bebas, berupa melakukan kekerasan dan perampasan hak milik orang lain.

Berdasarkan teori faktor korelatif kriminogen di atas, maka tindak perjudian termasuk dalam faktor lingkungan sosial. Kejahatan perjudian termasuk dalam teori differential association menurut Pandangan Edwin H. Sutherland bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial dan tidak diwariskan dari orang tua.

Dokumen terkait