• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian (Studi di Wilayah Hukum Polres Asahan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian (Studi di Wilayah Hukum Polres Asahan)"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK P I D A N A K A S U S P E R J U D I A N

(STUDI DI WILAYAH HUKUM POLRES ASAHAN)

Oleh :

INDRA PRASETIYO

097005078

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2011

HALAMAN PENGESAHAN

(2)

Judul Tesis : PERAN POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KASUS PERJUDIAN (STUDI DI WILAYAH HUKUM POLRES ASAHAN)

Nama Mahasiswa : Indra Prasetiyo Nomor Pokok : 097005078

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Hukum Dekan

(3)

ABSTRAK

Perjudian dalam proses sejarah tidak mudah untuk diberantas. Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Berbagai upaya telah dilakukan Polri dalam mencegah dan memberantas perjudian, namun perjudian tetap tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Polri dalam penanggulangan kasus perjudian di wilayah hukum Polres Asahan dan faktor-faktor apakah yang menghambat penanggulangan tindak pidana perjudian oleh aparat penegak hukum di wilayah Polres Asahan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk menganalisa konsep-konsep hukum dan peraturan yang berkaitan dengan perjudian, sedangkan yuridis sosiologis untuk melihat hukum sebagai pola perilaku masyarakat sebagai kekuatan sosial. Sumber data yaitu dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Pengumpulan data melalui data primer melalui studi lapangan (field research) dan data sekunder melalui studi kepustakaan (library research).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Polri dalam penanggulangan tindak pidana perjudian didasarkan pada teori Hoefnagels tentang kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yaitu melalui pendekatan hukum pidana (penal) dan pendekatan selain hukum pidana (non-penal). Dalam pendekatan non penal, upaya polisi dilakukan dengan cara preventif dan preemtif (kegiatan Polmas dan penyuluhan), sedangkan dalam pendekatan penal, peran polisi yaitu pada tahap pra-adjudikasi dan tahap pasca adjudikasi. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di Polres Asahan yaitu Kebijakan Undang-Undang, aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan dalam pemberantasan tindak pidana perjudian harus dilakukan dengan menggunakan kebijakan integral, karena kebijakan penegakan hukum atas tindak kejahatan tidak bisa dilakukan hanya oleh pihak kepolisian. Semua komponen masyarakat harus terlibat aktif dengan upaya penanggulangan kejahatan perjudian.

(4)

ABSTRACT

Gambling in the historical process is not easy to be eradicated. In essence gambling is an act contrary to religious norms, morals, ethics and law, and endanger the livelihood and life of the community, nation and state. Various efforts have been made the Police of the Republic of Indonesia in preventing and combating gambling, but gambling still flourished in the midst of society. The problem in this research is how Police Policy of the Republic of Indonesia in handling cases of gambling in the jurisdiction of Police Resort Asahan shavings and whether factors that inhibit gambling crime prevention by law enforcement officials in the region pokes shavings.

To answer these problems do research with normative juridical approach of juridical and sociological. Normative juridical approach used to analyze the concepts of law and regulation relating to gambling, while the juridical sociological to see Community law as patterns of behavior as social forces. The data source that is of primary law, secondary law materials, and legal tertiary. The collection of data through the primary data through fieldwork (field research) and secondary data through the study of the library (library research).

The results showed that the role of Police of the Republic of Indonesia in crime prevention is based on the theory Hoefnagels gambling on crime reduction policies (criminal policy) is through the approach of criminal law (penal) and approaches in addition to criminal law (non-penal). In a non-penal approach, police efforts done by preventive and preemtif (community police activities and counseling), whereas in the penal approach, namely the police role during the pre-adjudication and post adjudication stage. The factors that become an obstacle in the response to crime of gambling at the police resort Asahan Policy Act, law enforcement officials, and legal culture of community.

Based on the results of these studies recommended in the eradication of gambling should be done by using an integral policy, because policy enforcement for crimes can not be done only by the police. All components of society should be actively involved with crime prevention efforts gambling.

Keywords : Police, Gambling, Criminal Policy, Penal, Non Penal.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa

melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

ini. tesis ini berjudul : “Kebijakan Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana

Perjudian (Studi di Wilayah Hukum Polres Asahan) merupakan salah satu syarat

yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan perkuliahan di Program Studi Ilmu Hukum

di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan tesis ini, mulai saat pengajuan judul sampai akhir tidak

terlepas dari bimbingan, bantuan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu

dalam kesempatan ini dan dengan kerendahan serta ketulusan hati, diucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat para pembimbing:

Prof.Dr.Bismar Nasution, SH.,MH., Prof.Dr. Sunarmi, SH.,M.Hum. Dr. Mahmud

Mulyadi, SH, M.Hum, yang di tengah-tengah kesibukannya tetap meluangkan waktu

dan penuh perhatian dalam memberikan bimbingan, petunjuk dan mendorong

semangat penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Kepada Dr. Marlina, SH., M.Hum,

dan Syafruddin S. Hasibuan, SH., MH., DFM., selaku penguji yang telah

memberikan banyak masukan dan arahan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr.dr. Syahril Pasaribu, DTMH, MSc(CTM), SpA(K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

(6)

2. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi

mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum.

3. Prof.Dr. Suhaidi, SH., MH., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala arahan dan dorongan yang

diberikan selama menuntut ilmu deprogram Studi Magister Ilmu Hukum fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Para dosen, staf pengajar dan seluruh pegawai di Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang senantiasa membantu

penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. AKBP J. Didiek Dwi Priantono, SH, selaku Kapolres Asahan yang selalu

memberikan izin penelitian, dan memberikan dukungan kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. AKP Moch. Yorries M. Y. Marzuki, SIK, Kasat Reskrim Polres Asahan yang

selalu memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan

ini.

7. Kedua orang tua penulis yang selalu memberikan semangat dan do’a-do’anya

sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

8. Istri tercinta Fifi Ria Ningsih Safari, SST dan Ananda tercinta Fiandra Adinata

(7)

9. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang selalu memberikan dukungan kepada penulis terutama

dalam menyelesaikan tesis ini.

Tidak lupa pula ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan

seangkatan di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang selalu memberikan motivasi kepada penulis. Akhir kata, segala

yang telah diberikan semoga akan memperoleh balasan yang setimpal dari Allah

SWT dan semoga tesis ini bermanfaat bagi semuanya.

Medan, Juni 2011

Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

BAB II KONSEP KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJA-HATAN PERJUDIAN DARI SUDUT PANDANG CRIMINAL POLICY... 30

A. Kejahatan Perjudian ... 30

1. Kejahatan ... 30

2. Asal Usul Perjudian ... 49

3. Jenis-Jenis Perjudian ... 52

4. Perjudian Dipandang Dari Perspektif Hukum Pidana... 55

5. Perjudian Dipandang Dari Aspek Kriminologi... 66

B. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan (Criminal Policy).. 68

1. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)... 71

2. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy) ... 77

C. Kepolisian Dalam Kebijakan Kriminal (Criminal Policy).. 82

BAB III KEBIJAKAN POLISI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI POLRES ASAHAN... 98

(9)

B. Kebijakan Polri Dalam Penanganan Tindak Pidana

Perjudian di Polres Asahan ... 111

1. Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian Dengan Sarana Non Penal di Polres Asahan ... 111

a. Upaya Preventif... 112

b. Upaya Pre-emtif ... 117

2. Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian Dengan Sarana Penal di Polres Asahan... 124

a. Tahap Pra Adjudikasi... 125

b. Tahap Pasca Adjudikasi ... 141

BAB IV HAMBATAN DAN UPAYA POLRI DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI POLRES ASAHAN ... 143

A. Hambatan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian Di Polres Asahan ... 143

1. Hambatan dari Undang-Undang ... 145

2. Hambatan dari Aparat Penegak Hukum ... 147

3. Hambatan dari Budaya Hukum ... 150

B. Upaya Mengatasi Hambatan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian di Polres Asahan... 155

1. Kebijakan Undang-Undang ... 157

2. Peningkatan Kerjasama Aparat Penegak Hukum ... 162

3. Upaya Budaya Hukum ... 165

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 169

A. Kesimpulan ... 169

B. Saran-saran... 172

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Jumlah Kasus Perjudian Di Wilayah Hukum Polres Asahan

dari Januari 2009 sampai April 2011 ... 99

Tabel 2. Jenis Perjudian yang Ditangani Polres Asahan dari Januari

2009-April 2011 ... 100

Tabel 3. Usia Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres Asahan dari

Januari 2009-April 2011 ... 101

Tabel 4. Jenis Kelamin Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres

Asahan dari Januari 2009-April 2011 ... 102

Tabel 5. Pekerjaan Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres Asahan

dari Januari 2009-April 2011 ... 103

Tabel 6. Pendidikan Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres Asahan

dari Januari 2009-April 2011 ... 104

Tabel 7. Pasal Yang Didakwakan Terhadap Pelaku Perjudian yang

Ditangani Polres Asahan dari Januari 2009-April 2011 ... 105

Tabel 8. Lama Hukuman Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres

(11)

ABSTRAK

Perjudian dalam proses sejarah tidak mudah untuk diberantas. Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Berbagai upaya telah dilakukan Polri dalam mencegah dan memberantas perjudian, namun perjudian tetap tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Polri dalam penanggulangan kasus perjudian di wilayah hukum Polres Asahan dan faktor-faktor apakah yang menghambat penanggulangan tindak pidana perjudian oleh aparat penegak hukum di wilayah Polres Asahan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan penelitian dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk menganalisa konsep-konsep hukum dan peraturan yang berkaitan dengan perjudian, sedangkan yuridis sosiologis untuk melihat hukum sebagai pola perilaku masyarakat sebagai kekuatan sosial. Sumber data yaitu dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Pengumpulan data melalui data primer melalui studi lapangan (field research) dan data sekunder melalui studi kepustakaan (library research).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran Polri dalam penanggulangan tindak pidana perjudian didasarkan pada teori Hoefnagels tentang kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yaitu melalui pendekatan hukum pidana (penal) dan pendekatan selain hukum pidana (non-penal). Dalam pendekatan non penal, upaya polisi dilakukan dengan cara preventif dan preemtif (kegiatan Polmas dan penyuluhan), sedangkan dalam pendekatan penal, peran polisi yaitu pada tahap pra-adjudikasi dan tahap pasca adjudikasi. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di Polres Asahan yaitu Kebijakan Undang-Undang, aparat penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan dalam pemberantasan tindak pidana perjudian harus dilakukan dengan menggunakan kebijakan integral, karena kebijakan penegakan hukum atas tindak kejahatan tidak bisa dilakukan hanya oleh pihak kepolisian. Semua komponen masyarakat harus terlibat aktif dengan upaya penanggulangan kejahatan perjudian.

(12)

ABSTRACT

Gambling in the historical process is not easy to be eradicated. In essence gambling is an act contrary to religious norms, morals, ethics and law, and endanger the livelihood and life of the community, nation and state. Various efforts have been made the Police of the Republic of Indonesia in preventing and combating gambling, but gambling still flourished in the midst of society. The problem in this research is how Police Policy of the Republic of Indonesia in handling cases of gambling in the jurisdiction of Police Resort Asahan shavings and whether factors that inhibit gambling crime prevention by law enforcement officials in the region pokes shavings.

To answer these problems do research with normative juridical approach of juridical and sociological. Normative juridical approach used to analyze the concepts of law and regulation relating to gambling, while the juridical sociological to see Community law as patterns of behavior as social forces. The data source that is of primary law, secondary law materials, and legal tertiary. The collection of data through the primary data through fieldwork (field research) and secondary data through the study of the library (library research).

The results showed that the role of Police of the Republic of Indonesia in crime prevention is based on the theory Hoefnagels gambling on crime reduction policies (criminal policy) is through the approach of criminal law (penal) and approaches in addition to criminal law (non-penal). In a non-penal approach, police efforts done by preventive and preemtif (community police activities and counseling), whereas in the penal approach, namely the police role during the pre-adjudication and post adjudication stage. The factors that become an obstacle in the response to crime of gambling at the police resort Asahan Policy Act, law enforcement officials, and legal culture of community.

Based on the results of these studies recommended in the eradication of gambling should be done by using an integral policy, because policy enforcement for crimes can not be done only by the police. All components of society should be actively involved with crime prevention efforts gambling.

Keywords : Police, Gambling, Criminal Policy, Penal, Non Penal.

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan kehidupan masyarakat yang begitu cepat sebagai hasil dan

proses pelaksanaan pembangunan di segala bidang kehidupan sosial, politik,

ekonomi, keamanan dan budaya selain membawa dampak positif, juga telah

membawa dampak negatif berupa peningkatan kualitas dan kuantitas berbagai

macam kejahatan yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat, contohnya

yaitu adanya praktek perjudian. Perjudian adalah suatu bentuk patologi sosial

yang menjadi ancaman yang nyata atau potensial terhadap norma-norma sosial

sehingga bisa mengancam berlangsungnya ketertiban sosial. Dengan demikian

perjudian dapat menjadi penghambat pembangunan nasional yang beraspek

materil-spiritual. Oleh karena itu perjudian harus ditanggulangi dengan cara yang

rasional. Salah satu usaha yang rasional tersebut adalah dengan pendekatan

kebijakan penegakan hukum pidana.

Hukum pidana digunakan untuk menyelesaikan masalah sosial khususnya

dalam penanggulangan kejahatan sebagai salah satu bentuk penyakit masyarakat

dan satu bentuk patologi sosial seperti kasus perjudian.1Penegakan hukum pidana

1

(14)

untuk menanggulangi perjudian sebagai perilaku yang menyimpang harus terus

dilakukan. Hal ini sangat beralasan karena perjudian merupakan ancaman yang

nyata terhadap norma-norma sosial yang dapat menimbulkan ketegangan

individual maupun ketegangan-ketegangan sosial.2

Judi bukan masalah baru di Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde

Baru, untuk mengatasi masalah ini, lahir Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974

tentang Penertiban Perjudian. Undang-undang ini jelas menyatakan bahwa

ancaman hukuman dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) untuk

perjudian tidak sesuai lagi sehingga perlu diperberat. Bahkan, Pasal pelanggaran

judi dijadikan kejahatan dan hukumannya dinaikkan dari satu bulan menjadi

empat tahun (Pasal 542 ayat 1), serta dari tiga bulan menjadi enam tahun (Pasal

542 ayat 2).

Pada kasus perjudian, walaupun ancaman hukuman diperberat dan jenis

delik diubah (dari pelanggaran menjadi kejahatan), tapi masalah masyarakat ini

tidak tertanggulangi. Ada beberapa wacana untuk mengatasi, antara lain

melokalisasi judi (biasanya selalu menyebut contoh Malaysia dengan Genting

Highland-nya), sebagian yang lain dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) di

masing-masing daerah. Ada juga keluhan bahwa penegak hukum kurang antusias

memberantas judi di beberapa daerah. Hal itu biasanya dibumbui kecurigaan

adanya kepentingan dari bisnis judi yang menguntungkan. Sebagian menyebut

2

(15)

bahwa penegak hukum tidak bisa bertindak jika permainan judi itu mendapatkan

izin dari pemerintah daerah.

Tindak pidana perjudian adalah tanpa mendapat izin dengan sengaja

menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan

menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu

perusahaan untuk itu, dan atau dengan sengaja menawarkan atau memberi

kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut

serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk

menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu

tata-cara.3

Perjudian dalam proses sejarah dari generasi ternyata tidak mudah untuk

diberantas. Meskipun kenyataan juga menunjukkan bahwa hasil perjudian yang

diperoleh oleh pemerintah dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan,

sebagai contoh, di DKI Jakarta semasa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin yang

melegalkan perjudian dan prostitusi. Namun, terlepas dari itu ekses negatif dari

perjudian lebih besar daripada ekses positif. Oleh karena itu pemerintah dan

aparat hukum terkait harus mengambil tindakan tegas agar masyarakat menjauhi

dan akhirnya berhenti melakukan perjudian.4

Penegakan hukum pidana di Indonesia dalam penanggulangan perjudian

mengalami dinamika yang cukup menarik. Karena perjudian seringkali sudah

3

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, Pasal 1.

4

(16)

dianggap sebagai hal yang wajar dan sah (legal), namun di sisi lain kegiatan

tersebut sangat dirasakan berdampak negatif dan sangat mengancam ketertiban

sosial masyarakat.5

Data yang diperoleh dari Polres Asahan menunjukkan bahwa kasus

perjudian terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data selama 2 tahun

terakhir yaitu pada tahun 2009 jumlah kasus perjudian yaitu 182 kasus, dan

meningkat pada tahun 2010 menjadi 215 kasus. Kasus judi yang paling marak di

wilayah hukum Polres Asahan adalah judi togel, judi KIM, judi handphone

(SMS), judi joker, dan lain-lain. Dari 397 kasus perjudian yang ada dalam dua

tahun tersebut sudah dilimpahkan ke pengadilan sebanyak 385 kasus, sedangkan

12 kasus lainnya tidak sampai ke pengadilan karena tersangka melarikan diri saat

wajib lapor.6

Berita miring yang sempat menerpa aparat kepolisian di daerah ini

menyebutkan, maraknya perjudian karena adanya kerja sama antara bandar judi

dengan oknum-oknum polisi. Kondisi inilah yang kabarnya, membuat perjudian di

Asahan lepas kendali. Meski hal tersebut telah dibantah oleh kepolisian atas

keterlibatan anggotanya dalam melegalkan (kerjasama) bandar judi melakukan

praktik-praktik perjudian, namun masyarakat tetap saja mempertanyakan, kapan

Asahan bisa bersih kembali dari perjudian. Bukan hanya masyarakat saja yang

memprotes kehadiran permainan judi yang ditemukan di Asahan, seperti judi

5

Judi: Hipokrisi, Lokalisasi, Legalisasi, http://www.freelists.org/cgi-bin/list?list_id=-untirtanet., diakses tanggal 15 Oktober 2010.

6

(17)

samkwang, judi Singapore, togel, judi KIM dan judi undian, pemuka masyarakat

dan masyarakat umum juga tidak menginginkan judi hidup dan berkembang di

masyarakat.7

Beberapa informasi dapat diketahui bahwa keadaan perekonomian

masyarakat Asahan saat ini sudah berada pada tahap sangat sulit dan

memprihatinkan akibat meningkatnya harga kebutuhan pokok. Hal tersebut sebagai

akibat dari rendahnya penghasilan masyarakat, di samping itu banyaknya anggota

masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan, hilangnya pekerjaan akibat adanya

pengurangan tenaga kerja (PHK) dari perusahaan-perusahaan tempat mereka

bekerja. Jika pun mereka mempunyai pekerjaan, penghasilan yang diperoleh jauh

dari dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat dengan

keluarganya.

Berbagai hal tersebut menyebabkan mereka berusaha untuk menutupi

kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbagai cara ditempuh

baik yang sah atau legal menurut hukum, maupun yang illegal atau bertentangan

dengan hukum. Bagi sebagian anggota masyarakat jalan yang tidak menurut hukum

ditempuh karena hal itu merupakan pilihan terbaik menurut dan bagi mereka. Salah

satu cara yang banyak ditempuh dilarang dan akan mengakibatkan mereka

berurusan dengan pihak yang berwajib mereka tetap melakukannya, dengan harapan

kalau menang dapat menutupi kebutuhan hidup mereka.

7

(18)

Perjudian menjadi salah satu pilihan yang dianggap sangat menjanjikan

keuntungan tanpa harus bersusah payah bekerja, judi dianggap sebagai pilihan yang

tepat bagi rakyat kecil untuk mencari uang dengan lebih mudah. Mereka kurang

menyadari bahwa akibat judi jauh lebih berbahaya dan merugikan dari keuntungan

yang akan diperolehnya dan yang sangat jarang dapat diperolehnya.

Dengan adanya berbagai faktor penyebab tersebut, polisi menemui hambatan

dalam menertibkan perjudian. Hasil penelitian Galih Ian Rahadyan (2008)

menunjukkan bahwa hambatan dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di

Polres Sragen berasal dari masyarakat (luar kepolisian) ataupun dari dalam tubuh

polisi sendiri. Hambatan yang berasal dari masyarakat/luar tubuh kepolisian, yaitu :

Perjudian bersifat tidak tetap atau berpindah–pindah, masyarakat tidak mau dijadikan

saksi dalam perkara perjudian, Sebagian masyarakat masih memandang bahwa

perjudian adalah warisan nenek moyangnya, perjudian adalah budaya, dan bukan

merupakan pelanggaran hukum. Hambatan yang berasal dari dalam tubuh kepolisian,

yaitu: Aparat kepolisian yang terbatas, Tidak ada satuan khusus yang menangani

masalah perjudian, Adanya oknum kepolisian yang menjadi back-up perjudian.8

Banyaknya kasus perjudian di Asahan dan berbagai daerah di Indonesia

akan menjadi menghambat pembangunan nasional yang beraspek materil-spiritual.

Karena perjudian mendidik orang untuk mencari nafkah dengan tidak sewajarnya

dan membentuk watak “pemalas”. Sedangkan pembangunan membutuhkan

8

(19)

individu yang giat bekerja keras dan bermental kuat.9 Sangat beralasan kemudian

judi harus segera dicarikan cara dan solusi yang rasional untuk suatu

pemecahannya. Karena sudah jelas judi merupakan problema sosial yang dapat

mengganggu fungsi sosial dari masyarakat.10

Salah satu tantangan yang dihadapi polisi dalam pelaksanaan tugas

kesehariannya adalah adanya kesenjangan masyarakat atas tugas-tugas polisi

seharusnya dengan kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. untuk

mencapai pelaksanaan tugas kepolisian tersebut, polisi melakukan sejumlah

tindakan-tindakan sesuai tugas dan wewenang yang diberikan dalam pengertian

bahwa kepolisian harus menjalankan tugas dan wewenangnya setiap waktu

meliputi : pelayanan masyarakat, menjaga ketertiban dan keamanan serta

penegakan hukum, mengingat judi merupakan salah satu tindak pidana

kejahatan.11

Kepolisian merupakan salah satu lembaga pemerintah yang memiliki

peranan penting dalam negara hukum. Di dalam negara hukum kehidupan hukum

sangat ditentukan oleh faktor struktur atau lembaga hukum, di samping

faktor-faktor lain, seperti faktor-faktor substansi hukum dan faktor-faktor kultur hukum. Dengan

9

B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, (Bandung : Tarsito, 1990), hal. 352-353

10

Ibid, hal. 354

11

(20)

demikian, efektivitas operasional dari struktur atau lembaga hukum sangat

ditentukan oleh kedudukannya dalam organisasi negara.12

Dalam Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tugas pokok Kepolisian Negara

Republik Indonesia adalah: memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat.13

Berkaitan dengan tindak kejahatan perjudian, maka tugas polisi yaitu

menegakkan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta pelayanan

dan pengayoman masyarakat adalah tugas yang mulia, yang aplikasinya harus

berasaskan legalitas, undang-undang yang berlaku dan hak azasi manusia. Atau

dengan kata lain harus bertindak secara professional dan memegang kode etik secara

ketat dan keras, sehingga tidak terjerumus ke dalam perilaku yang dibenci

masyarakat, terutama dalam memberantas tindak pidana perjudian.

Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana, merupakan salah satu

upaya mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan

hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum itupun termasuk

dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai

12

Sadjijono, Seri Hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, (Jakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hal. 1.

13

(21)

kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk kebijakan, maka

penggunaan (hukum) pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan.14

Keberhasilan polisi dalam penanggulangan kejahatan harus disyaratkan pada

integralitas berbagai pendekatan, yang secara garis besarnya dapat dibagi menjadi

pendekatan penal, melalui penerapan hukum pidana dan upaya non-penal, yaitu

kebijakan penanggulangan tanpa penerapan hukum pidana, melainkan dititikberatkan

pada berbagai kebijakan sosial.15 Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah

masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karena itu upaya penanggulangan

kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana semata, tetapi

juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan ini dari persoalan sosial, sehingga

kebijakan sosial juga sangat penting dilakukan.16

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari

kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu menempatkan

setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk

menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga

mau berpartisipasi secara aktif dalam penanggulangan kejahatan. Keterlibatan

masyarakat ini sangat penting karena menurut G. Pieter Hoefnagels bahwa kebijakan

penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari

masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa

14

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 119.

15

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan. (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 55.

16

(22)

kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi

kejahatan.17

Berbagai kalangan dalam masyarakat mengkritisi peran polisi, ada

apresiasi yang diberikan masyarakat terhadap keberhasilan polisi, terutama

pemberantasan terorisme. Tapi di sisi lain, masih banyak keluhan masyarakat

seperti mengenai kasus korupsi, dan kasus perjudian yang semakin meresahkan

masyarakat. Kultur korps berseragam cokelat ini belum banyak berubah, meski

sudah 10 tahun lebih memisahkan diri dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Peran polisi sebagai pelayan dan pengayom masyarakat masih sebatas pada lip

service atau ucapan belaka. Dalam penanganan kasus perjudian, polisi dapat

berperan dengan menangkap pelaku kasus perjudian, baik pemain maupun bandar

judi, dan melimpahkan kasusnya ke pengadilan agar mendapat hukuman dengan

dijerat Pasal-Pasal dalam hukum pidana.18

Efektifitas upaya penegakan hukum untuk merintangi berkembangnya

perjudian hingga saat ini di Polres Asahan dirasa belum optimal. Permasalahan

yang dibahas adalah bagaimana peran Polri dalam penanggulangan tindak pidana

kasus perjudian di Wilayah Hukum Polres Asahan dan apa saja kendala-kendala

yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perjudian tersebut.

17

G. Pieter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of Crime. (Holland: Kluwer Deventer, 1992), yang dikutip oleh Mahmud Mulyadi, 2008, Opcit. hal. 52

18

(23)

Adanya berbagai macam alasan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan

penelitian yang berhubungan dengan kebijakan Polri dalam pemberantasan

perjudian khususnya penanganan hukum pidana di Wilayah Hukum Polres Asahan

dengan judul: “Kebijakan Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian (Studi Di Wilayah Hukum Polres Asahan).

B. Perumusan Masalah

Meningkatnya kasus perjudian di Wilayah Hukum Polres Asahan secara

langsung berdampak terhadap penerapan hukum pidana pada pelaku. Sehingga

dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsep penanggulangan kejahatan perjudian dari sudut

pandang criminal policy?

2. Bagaimana kebijakan Polri dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di

wilayah hukum Polres Asahan?

3. Faktor-faktor apakah yang menghambat penanggulangan tindak pidana perjudian

oleh aparat penegak hukum di wilayah Polres Asahan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk memperjelas

masalah-masalah yang telah dirumuskan. Tujuan secara umum penelitian ini untuk

menganalisis secara yuridis peran Polri dalam pidana kasus perjudian di wilayah

hukum Polres Asahan.

Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

(24)

1. Untuk mengetahui konsep penanggulangan kejahatan perjudian dari sudut

pandang criminal policy?

2. Untuk mengetahui kebijakan Polri dalam penanggulangan tindak pidana

perjudian di wilayah hukum Polres Asahan

3. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat penanggulangan tindak pidana

perjudian oleh aparat penegak hukum di wilayah Polres Asahan

D. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Kegunaan akademis yaitu sebagai tambahan referensi untuk memperkaya

khasanah penelitian khususnya penelitian yang berhubungan dengan peran

Polri dalam penanganan kasus perjudian.

2. Kegunaan praktis yaitu sebagai evaluasi dan memberikan informasi pemikiran

serta pertimbangan dalam menangani perjudian di wilayah hukum Polres

Asahan dan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak

hukum dan pemerintah khususnya dalam menangani perjudian.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemerikaan yang dilakukan oleh peneliti di Perpustakaan

Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, bahwa penelitian mengenai kebijakan

Polri dalam tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polres Asahan belum pernah

dilakukan dengan pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Sehingga dapat

dikatakan bahwa penelitian ini asli dan belum pernah diteliti baik dari segi materi

maupun lokasi penelitian, dengan demikian keaslian penelitian ini dapat

(25)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Demi tercapainya tujuan negara yang makmur serta adil dan sejahtera

maka diperlukan suasana yang kondusif dalam segala aspek termasuk aspek

hukum. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya tersebut,

negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial (social policy) yang berupa

kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan

kebijakan memberikan perlindungan sosial (social defence policy).19

Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defense policy)

salah satunya dengan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana

atau kejahatan yang aktual maupun potensial terjadi. Segala upaya untuk

mencegah dan menanggulangi tindak pidana/kejahatan ini termasuk dalam

wilayah penanggulangan kejahatan atau kebijakan kriminal (criminal policy).20

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut

Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana

(criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana

(prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat

terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa “influencing views of

society on crime and punishment (mass media).”21

19

Barda Nawawi Arief, Opcit. hal. 73.

20

Ibid, hal. 73.

21

(26)

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas,

maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua

cara. Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan criminal

law application”. Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari

“prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and

punishment (mass media).”

Pendekatan integral antara penal policy dan non penal policy dalam

penanggulangan kejahatan harus dilakukan karena pendekatan penerapan hukum

pidana semata mempunyai berbagai keterbatasan. Terdapat dua sisi yang menjadi

keterbatasan hukum pidana ini. Pertama, dari sisi hakikat kejahatan. Hukum

pidana tidak akan mampu melihat secara mendalam tentang akar persoalan

kejahatan ini bila tidak dibantu oleh disiplin lain. Kedua, keterbatasan hukum

pidana dapat dilihat dari hakikatnya hanya obat sesaat sebagai penanggulangan

gejala semata dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan menghilangkan

sumber penyebabnya22

Pembangunan dalam bidang hukum khususnya pembangunan hukum

pidana, tidak hanya mencakup pembangunan yang bersifat struktural, yakni

pembangunan lembaga-lembaga hukum yang bergerak dalam suatu mekanisme,

tetapi harus juga mencakup pembangunan substansial berupa produk-produk yang

merupakan hasil suatu sistem hukum dalam bentuk peraturan hukum pidana dan

22

(27)

yang bersifat kultural, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai yang mempengaruhi

berlakunya sistem hukum.23

Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi masalah

sosial (kejahatan) termasuk dalam bidang penegakan hukum (khususnya

penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau

kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law

enforcement policy).24 Muladi mengemukakan, penggunaan upaya hukum

(termasuk hukum pidana) sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah

sosial seperti perjudian diharapkan dapat membuat efek jera bagi para

pelakunya.25

Dewasa ini, berbagai macam bentuk perjudian merebak dalam kehidupan

masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara

sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian masyarakat sudah cenderung permissif dan seolah-olah

memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar, sehingga tidak perlu lagi

dipermasalahkan. Sehingga yang terjadi di berbagai tempat sekarang ini banyak

dibuka agen-agen judi togel dan judi-judi lainnya yang sebenarnya telah menyedot

dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar. Sementara itu di sisi lain, memang

ada kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah

23

Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2005). hal. 3-4.

24

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal 26.

25

(28)

perjudian ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa tempat perjudian

disinyalir mempunyai backing dari oknum aparat keamanan.

Polri sebagai salah satu pilar pertahanan negara pada dasarnya mempunyai

tugas dan wewenang sebagaimana ditetapkan secara yuridis dalam Undang-Undang

Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 itu bukan sesuatu yang baru, melainkan sudah

pernah diatur dalam produk hukum sebelumnya yang sudah tidak berlaku lagi,

terutama Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997. Tugas POLRI yang ditetapkan

dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:

1. Tugas Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat antara lain: Melaksanakan pengaturan penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan

masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan

dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan;

membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran

hukum masyarakat, serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan

peraturan perundang-undangan.26

2. Tugas Polri sebagai penegak hukum antara lain : Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian

khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk keamanan swakarsa;

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai

dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;

26

(29)

menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium

forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan untuk kepentingan tugas

kepolisian.27

3. Tugas Polri sebagai pengayom dan pelayan masyarakat antara lain : Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan

hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan

dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; melayani

kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi

dan/atau pihak yang berwenang; memberikan pelayanan kepada masyarakat

sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian.28

Berkaitan dengan penegakan hukum, peran Polri diantaranya yaitu

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan

hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Salah satu tindak

pidana yang menjadi tanggungjawab Polri yaitu menanggulangi kasus perjudian.

Pada hekekatnya perjudian bertentangan dengan agama, kesusilaan dan

moral Pancasila serta membahayakan masyarakat, bangsa dan negara dan ditinjau

dari kepentingan nasional. Perjudian mempunyai dampak yang negatif merugikan

moral dan mental masyarakat terutama generasi muda. Di satu pihak judi adalah

merupakan problem sosial yang sulit ditanggulangi dan timbulnya judi tersebut

sudah ada sejak adanya peradaban manusia.

27

Pasal 14 ayat 1 huruf d, e, f, g dan h Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002.

28

(30)

Selain dilarang oleh agama, judi juga secara tegas dilarang oleh hukum

positif (KUHP). Hal ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 303 KUHP Jo. UU

No.7 tahun 1974 tentang Penertiban Judi Jo. Peraturan Pemerintah No. 9 tahun

1981 Jo. Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.5, tanggal 1

April 1981. Hal tersebut disadari pemerintah, maka dalam rangka penertiban

perjudian, Pasal 303 KUHP tersebut dipertegas dengan UU. No.7 Tahun 1974,

yang di dalam Pasal 1, mengatur semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.

Di sini dapat dijelaskan bahwa semua bentuk judi tanpa izin adalah kejahatan

tetapi sebelum tahun 1974 ada yang berbentuk kejahatan (Pasal 303 KUHP), ada

yang berbentuk pelanggaran (Pasal 542 KUHP) dan sebutan Pasal 542 KUHP,

kemudian dengan adanya UU. No.7 Tahun 1974 diubah menjadi Pasal 303 bis

KUHP.

Menurut perspektif hukum sendiri, tindak pidana perjudian ini sangat tidak

sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara kita, yaitu diatur dalam KUHP Pasal

303 KUHP jo. Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1974 yaitu :

(1) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda

sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah, barang siapa dengan tidak

berhak:

Ke-1 Dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi sebagai

mata pencahariannya, atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan

(31)

Ke-2 Dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi kepada

umum atau dengan sengaja turut campur dalam perusahaan perjudian itu,

biarpun diadakan atau tidak diadakan suatu syarat atau cara dalam hal

memakai kesempatan itu.

Ke-3 turut main judi sebagai mata pencaharian.

(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat

dicabut haknya melakukan pekerjaan itu.

(3) Main judi berarti tiap-tiap permainan, yang kemungkinannya akan menang

pada umumnya tergantung pada untung-untungan saja, juga kalau

kemungkinan itu bertambah besar karena pemain lebih pandai dan atau lebih

cakap. Main judi mengandung juga segala pertaruhan tentang keputusan

perombakan atau permainan lain, yang tidak diadakan oleh mereka yang turut

berlomba atau main itu, dan juga segala pertaruhan lain.

Perjudian menurut KUHP dalam Pasal 303 ayat (3) yang diubah dengan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian disebutkan

bahwa:

“Yang disebut permainan judi, adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapatkan untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.”29

29

(32)

Dali Mutiara, dalam tafsiran KUHP menyatakan permainan judi sebagai

berikut:

“Permainan judi berarti harus diartikan dengan artian yang luas juga termasuk segala pertaruhan tentang kalah menangnya suatu pacuan kuda atau lain-lain pertandingan, atau segala pertaruhan, dalam perlombaan-perlombaan yang diadakan antara dua orang yang tidak ikut sendiri dalam perlombaan-perlombaan itu, misalnya totalisator dan lain-lain”.30

Saat ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah demikian merebak

dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan

maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian masyarakat sudah

cenderung permisif dan seolah-olah memandang perjudian sebagai sesuatu hal

wajar, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan. Sehingga yang terjadi di

berbagai tempat sekarang ini banyak dibuka agen-agen judi togel dan judi-judi

lainnya yang sebenarnya telah menyedot dana masyarakat dalam jumlah yang

cukup besar. Sementara itu di sisi lain, memang ada kesan aparat penegak hukum

kurang begitu serius dalam menangani masalah perjudian ini. Bahkan yang lebih

memprihatinkan, beberapa tempat perjudian disinyalir mempunyai backing dari

oknum aparat keamanan.

Dalam arahannya KaPolri yang baru, Timur Pradopo, menyatakan bahwa

untuk pemberantasan terhadap bentuk kasus perjudian, polisi harus secara

konsisten, karena disinyalir masih tetap berlangsung di wilayah-wilayah tertentu

dengan modus operandi yang beraneka ragam. Terkait dengan itu segera

30

(33)

melaksanakan: menginventarisir kembali kegiatan berbagai bentuk perjudian di

wilayah masing-masing; memberikan tindakan tegas terhadap bentuk perjudian

yang masih berlangsung serta proses secara profesional, proporsional dan tuntas;

menindak tegas oknum anggota, yang terlibat dalam kasus perjudian; Melaporkan

kegiatan penindakan perjudian secara periodik, berjenjang dan berlanjut kepada

kesatuan atas.31

Melihat fakta yang ada, penegakan hukum oleh polisi terhadap perjudian

ini tidak terlaksana dengan optimal. Para penjudi dan bandar-bandar judi tidak

dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku, padahal perjudian ini jelas suatu

tindak pidana yang bertentangan dengan hukum di Indonesia. Dalam

kenyataannya dimana masyarakat tidak ada yang perduli akan tindak pidana

perjudian yang terjadi di lingkungannya, mereka memilih diam dan tidak ada

perilaku hukum yang seharusnya ada dan dilakukan yaitu dengan menindak agar

perjudian tersebut dapat dihilangkan dan para penjudi bisa ditangkap sesuai

hukum yang berlaku.32

Peran polisi sangat besar di dalam penegakan hukum pidana. Polisi sebagai

bagian dari aparat penegak hukum merupakan salah satu subsistem yang bertugas

dalam bidang penyidik dan penyelidik tindak pidana. Kedudukan Polri sebagai

penegak hukum tersebut ditetapkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 bahwa:

31

Arah Kebijakan KaPolri Tentang Revitalisasi Polri Menuju Pelayanan Prima Guna Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat, diakses dari http://www.kalsel.Polri.go.id/ index.php/profil/fungsi-pembinaan/bid-humas.html tanggal 09 Desember 2010.

32

(34)

Pasal 1 butir (1)

“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Pasal 2

“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.33

Dari bunyi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 1 butir (1) dan

Pasal 2 tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Polri dalam kedudukannya

sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan hukum di bidang

yudisial, tugas preventif maupun represif.

Hal ini sesuai dengan pendapat Sadjijono34 bahwa fungsi kepolisian

tentunya berkaitan erat dengan tugas dan wewenang lembaga kepolisian yang

dilaksanakan untuk mencapai tujuan dari dibentuknya lembaga tersebut. Secara

umum, tujuan dibentuknya lembaga kepolisian adalah untuk menciptakan kondisi

aman, tenteram dan tertib dalam masyarakat. Dalam menyelenggarakan tugas dan

wewenang tersebut dicapai melalui tugas preventif, pre-emtif dan tugas represif.

Tugas-tugas di bidang preventif dilaksanakan dengan konsep dan pola

pembinaan dalam wujud pemberian pengayoman, perlindungan dan pelayanan

kepada masyarakat, agar masyarakat merasa aman, tertib, dan tenteram tidak

terganggu segala aktivitasnya. Faktor-faktor yang dihadapi pada tataran preventif

ini secara teoritis dan teknis kepolisian, mencegah adanya Faktor Korelasi

Kriminogin (FKK) tidak berkembang menjadi Police Hazard (PH) dan muncul

33

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

34

(35)

sebagai Ancaman Faktual (AF). Sehingga dapat diformulasikan apabila niat dan

kesempatan bertemu, maka akan terjadi kriminalitas atau kejahatan (n + k = c),

oleh karena itu langkah preventif adalah usaha mencegah bertemunya niat dan

kesempatan berbuat jahat, sehingga tidak terjadi kejahatan atau kriminalitas.35

Pengertian dari Faktor Korelasi Kriminogin (FKK) tersebut adalah situasi

dan kondisi yang padat dengan faktor-faktor yang dapat menstimulir terjadinya

Police Hazard dan Ancaman Faktual. Police Hazard (PH) adalah situasi dan

kondisi sangat potensial untuk menjadi gangguan-gangguan dan ketertiban

masyarakat, dan Ancaman Faktual (AF) adalah ancaman yang nyata dan terwujud

dalam bentuk gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti kejahatan

atau pelanggaran hukum. Tindakan preventif ini biasanya dilakukan melalui cara

penyuluhan, pengaturan, penjagaan, pengawalan, patroli polisi dan lain-lain

sebagai teknis dasar kepolisian.36

Tugas-tugas di bidang represif, adalah mengadakan penyidikan atas

kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan dalam Undang-Undang. Tugas

represif ini sebagai tugas kepolisian dalam bidang peradilan atau penegakan

hukum, yang dibebankan kepada petugas kepolisian, sebagaimana dikatakan oleh

Harsja W. Bachtiar, bahwa petugas-petugas kepolisian dibebani dengan

tanggungjawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani

tindakan-tindakan kejahatan, baik dalam bentuk tindakan terhadap pelaku

35

Ibid, hal. 194.

36

(36)

kejahatan maupun dalam bentuk upaya pencegahan kejahatan agar supaya para

anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram.37

Tugas preventif dan represif tersebut pada tataran tertentu menjadi suatu

tugas yang bersamaan, oleh karena itu pekerjaan polisi pun menjadi tidak mudah,

pada satu sisi dihadapkan pada struktur sosial dalam rangka memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, di sisi lain dihadapkan pada struktur

birokrasi dan hukum modern yang memiliki ciri rasional.

Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu ingin mengetahui peran polisi

dalam penanggulangan tindak pidana perjudian, maka teori yang digunakan untuk

menganalisis tujuan tersebut berdasarkan teori G. Pieter Hoefnagels tentang

kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) melalui pendekatan integral

antara penal policy dan non penal policy. Melalui pendekatan ini, aparat penegak

hukum khususnya Polri harus mampu memadukan dalam setiap aktivitasnya

menanggulangi kejahatan.

2. Kerangka Konsepsi

Untuk memberikan pemahaman yang sama atas istilah-istilah yang

dipakai dalam penelitian ini, peneliti memberikan pengertian-pengertian

operasional terhadap istilah-istilah tersebut yaitu:

a. Kebijakan adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan

dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara

37

(37)

melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau

diprogramkan.38

b. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan

lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.39

c. Peran polisi / Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

terpeliharanya keamanan khususnya dalam menindak kejahatan yang

meresahkan masyarakat yaitu perjudian.40

d. Penanggulangan adalah upaya mengatasi kejahatan lewat jalur penal yang

lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindakan/pemberantasan/

penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih

menitikberatkan sifat preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian)

sebelum terjadinya kejahatan.41

e. Judi atau perjudian adalah pertaruhan dengan sengaja, yaitu

mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan

menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada

38

Barda Nawawi Arief, Opcit, hal. 72.

39

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, hal. 3.

40

Ibid, hal. 4

41

(38)

peristiwa permainan, pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian

yang tidak / belum pasti hasilnya.42

f. Jenis perjudian adalah ragam bentuk judi terbagi dalam perjudian di kasino

(Blackjack, Slot machine (Jackpot), Poker, Hwa Hwe, Qiu-qiu, dan

lain-lain), perjudian di tempat-tempat keramaian (lempar gelang, lempar bola,

lembar uang, Kim, mayong, erek-erek, dan lain-lain), dan perjudian yang

dikaitkan dengan kebiasaan (adu kerbau, adu burung merpati, adu ayam,

dan lain-lain).43

G. Metode Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan untuk menjawab tujuan

penelitian maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang digunakan

adalah sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Oleh karena fokus dan tujuan dari penelitian ini lebih berorientasi kepada

upaya untuk memahami dan menjelaskan efektivitas peran Polri dalam

menanggulangi tindak pidana perjudian, maka “penelitian kualitatif” yang akan

menjadi landasan studi ini, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan

yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis normatif digunakan untuk menganalisis

konsep-konsep hukum dan peraturan yang berkaitan dengan pokok bahasan.

42

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Cet. 1, Jilid I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) hal. 65.

43

(39)

Pendekatan yuridis sosiologis digunakan untuk melihat hukum sebagai pola

perilaku masyarakat dan terlihat sebagai kekuatan sosial. Dalam kebijakan

penanggulangan kejahatan, selain pendekatan penal melalui penerapan hukum

pidana, maka pendekatan non-penal (non-penal policy) berupa pemberdayaan

masyarakat menjadi kekuatan besar untuk mencegah dan mengurangi angka

kejahatan.

2. Sumber Data

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang 7 Tahun 1974

tentang Penertiban Perjudian, Undang-undang Kepolisian No. 2 tahun

2002, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000

tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan-bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar,

pertemuan ilmiah atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang

relevan dengan objek penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan penunjang yang memberi petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, surat kabar,

(40)

sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian yang

dilakukan.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini melalui data primer

yang diperoleh melalui studi lapangan (field research) dan data sekunder yang

diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) untuk mendapatkan

konsep teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual yang

berhubungan dengan penelitian ini berupa peraturan perundang-undangan,

buku, tulisan ilmiah dan karya-karya tulis lainnya yang relevan dengan

penelitian ini. Studi lapangan dilakukan untuk menggali dan memahami secara

mendalam mengenai persepsi serta pendapat responden terhadap fakta-fakta

kejahatan perjudian di Wilayah Hukum Polres Asahan.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat yang digunakan dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer yaitu melalui

wawancara mendalam (in-depth interview) dengan menggunakan pedoman

wawancara (interview guide) kepada informan, sedangkan data sekunder yaitu

dengan menggunakan studi dokumentasi. Studi dokumentasi adalah dengan

cara mempelajari undang-undang, peraturan-peraturan, teori, buku-buku, hasil

penelitian, jurnal ilmiah, bulletin dan dokumentasi lainnya yang berhubungan

(41)

39

5. Analisis Data

Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta

diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan

hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data dianalisa secara

kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau

tanggapan responden, kemudian menjelaskannya secara lengkap dan

komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok

persoalan.44

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data hakikatnya adalah

kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum

tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan

hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Kegiatan

tersebut antara lain adalah :

a. Memilih peraturan perundang-undangan dari bahan hukum primer,

sekunder dan tertier yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan

berkaitan dengan kepolisian dan kasus perjudian.

b. Bahan hukum primer, sekunder maupun tertier yang dikumpulkan

selanjutnya dianalisis untuk menemukan jawaban yang tepat untuk

menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian.

c. Analisis dilakukan secara tekstual dengan memperhatikan hubungan

seluruh bahan hukum tersebut.

44

(42)

BAB II

KONSEP KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN PERJUDIAN DARI SUDUT PANDANG CRIMINAL POLICY

A. Kejahatan Perjudian 1. Kejahatan

Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai

perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si

pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka

ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang

memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum

tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua

golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya

perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat.193

Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat

diantara para sarjana. R. Soesilomembedakan pengertian kejahatan secara juridis dan

pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan

adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang.

Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan

atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan

masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.194

193

Syahruddin Husein, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya, (Medan: FH USU, 2003), hal. 1

194

(43)

J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial

yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam

masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara harus

menjatuhkan hukuman kepada penjahat.195

J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputrodalam bukunya Paradoks Dalam

Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu,

merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan

dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif),

yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu

perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan

hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.196

Edwin H. Sutherlanddalam bukunya Principles of Criminology menyebutkan

tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu

perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur

tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah :197

a. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.

b. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan dengan

jelas dalam hukum pidana

195

Syahruddin Husein, Opcit, hal. 1.

196

J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Parados Dalam Kriminologi, (Jakarta : Rajawali, 1982), hal. 53.

197

(44)

c. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja

atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan

d. Harus ada maksud jahat (mens rea)

e. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan

kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan

f. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang

dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri

g. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selanjutnya dapat diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut

penggunaannya masing-masing:198

a. Pengertian secara praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma dalam

masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang

berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan

timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma

itu merupakan suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan

yang wajar pada suatu pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan

tercela. Perbuatan yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan

kebalikannya yang di seberang garis disebut dengan kejahatan.

b. Pengertian secara religius : mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa. Setiap

dosa diancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa

198

(45)

c. Pengertian dalam arti juridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiri tidak membedakan dengan tegas antara

kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan kejahatan dan pelanggaran

dalam 2 buku yang berbeda. Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar

dari pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan antara

rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang).

Pelanggaran termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk

kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hat yang

terlarang. Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu merupakan

suatu delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya sebagai

perbuatan yang terlarang. Sedangkan kejahatan termasuk dalam rehtsdelicten

(delik hukum), yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau bertentangan

dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari

undang-undang. Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun

perbuatan itu (misalnya) belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan

itu sangat bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai

suatu kejahatan.

Marshall B. Clinard dan Richard Quinney, memberikan 8 tipe kejahatan yang

didasarkan pada 4 karakteristik, yaitu :199

199

(46)

1. Karir penjahat dari si pelanggar hukum

2. Sejauhmana prilaku itu memperoleh dukungan kelompok

3. Hubungan timbal balik antara kejahatan pola-pola prilaku yang sah

4. Reaksi sosial terhadap kejahatan.

Tipologi kejahatan yang mereka susun adalah sebagai berikut :200

1. Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan

kriminal seperti pembunuhan dan perkosaan, Pelaku tidak menganggap dirinya

sebagai penjahat dan seringkali belum pernah melakukan kejahatan tersebut

sebelumnya, melainkan karena keadaan-keadaan tertentu yang memaksa mereka

melakukannya.

2. Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk Ke

dalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu

memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas

perbuatannya.

3. Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada

umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak

memandang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa

kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari.

4. Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase, dan

sebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegal itu

200

(47)

sangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam

masyarakat.

5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya

sebagai penjahat apabila mereka terus menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai

penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini

bersifat informal dan terbatas.

6. Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk

pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya

sebagai part time-career dan seringkali untuk menambah penghasilan dari

kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan

tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai pemilikan pribadi

telah dilanggar.

7. Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran,

perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebagainya. Pelaku yang

berasal dari eselon bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama

mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, juga terasing dari

masyarakat luas, sedangkan para eselon atasnya tidak berbeda dengan warga

masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal di

lingkungan-lingkungan pemukiman yang baik.

8. Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang.

Mereka memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan

(48)

juga cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir

penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras.

Berdasarkan tipologi kejahatan tersebut di atas, maka perjudian termasuk

dalam kejahatan konvensional dan kejahatan terorganisasi. Dalam kejahatan

konvensional, penjudi melakukan kejahatan untuk menambah penghasilan dan

tujuan-tujuan ekonomi, sedangkan dalam kejahatan terorganisasi, penjudi melakukan

tindak kejahatan perjudian secara terorganisasi yang melibatkan banyak pihak.

Mahmud Mulyadi membagi faktor korelatif kriminogen terjadinya kejahatan

yaitu 1)faktor biologis dan psikologis; 2)faktor lingkungan sosial.201

a. Faktor biologis dan psikologis

Freda Adler et. al. dalam bukunya Criminology, yang dikutip Mahmud

Mulyadi202 menjelaskan bahwa para tokoh aliran positif yaitu Cesare Lombroso

(1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1982-1934)

menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji kejahatan dengan

mengkaji karakter perilaku dari sudut pandang ilmu biologi, psikologi dan

sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan kejahatannya. Aliran

ini beralasan paham determinisme yang menyatakan bahwa seseorang melakukan

kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia tidak mempunyai

kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor

biologis maupun faktor lingkungan.

201

Mahmud Mulyadi, Opcit, hal. 101.

202

Gambar

Tabel 1.    Jumlah Kasus Perjudian Di Wilayah Hukum Polres Asahan dari  Januari 2009 sampai April 2011
Tabel 2.    Jenis Perjudian yang Ditangani Polres Asahan dari Januari 2009-April 2011
Tabel 3.    Usia Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres Asahan dari Januari 2009-April 2011
Tabel 5.    Pekerjaan Pelaku Perjudian yang Ditangani Polres Asahan dari Januari 2009-April 2011
+3

Referensi

Dokumen terkait

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal.. Kenyataannya, perjudian terutama perjudian

Upaya penggulangan represif merupakan penanggulangan yang terjadi setelah terjadinya suatu tindak pidana, adapun upaya penanggulangan represif yang di lakukan oleh

kebijakan formulasi yang akan dilakukan pembenahan adalah sebagai berikut:(a) Tindak pidana perjudian sebagai salah satu bentuk tindak pidana di bidang kesusilaan

Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan hukum positif terhadap tindak pidana perjudian di Indonesia, bagaimana kebijakan dan peran Kepolisian dalam

Strategi penyidik cyber crime polri dalam menangani tindak pidana perjudian online di Wilayah Hukum Polda Jawa Tengah yaitu melakukan proses penyelidikan hanya

a. Faktor Penegak Hukum. Dari kasus yang telah ada di karenakan jumlah personil di Polres Payakumbuh yang kekurangan personil membuat tidak efektif pekerjaan

Diantaranya Pertama: Dalam melakukan upaya penanggulangan tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oknum polri di polres kota gorontalo, selama ini jajaran terkait

57 BAB IV ANALISIS YURIDIS PENEGAKAN HUKUM PERJUDIAN DI HUBUNGKAN DENGAN PASAL 303 KUHP JO UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1974 TENTANG PENERTIBAN PERJUDIAN STUDI KASUS DI POLRES