• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjudian merupakan salah satu penyakit menular masyarakat yang dalam proses sejarah dari generasi ke generasi tidak mudah diberantas. Kartini Kartono menyebut masalah perjudian sebagai salah satu bentuk penyakit masyarakat (patologi sosial).1

Berbagai cara telah dilakukan penanganan perjudian namun perjudian tetap saja menonjol dari kejahatan-kejahatan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Perjudian pada hakekatnya merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum. Perjudian merupakan ancaman yang potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial.

Mengingat masalah perjudian sudah menjadi penyakit akut masyarakat, maka seharusnya dilakukan upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, tidak hanya dari Pemerintah dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga dari kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk bersama-sama dan bahu membahu menanggulangi dan memberantas semua bentuk perjudian.

2

1

Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jilid I, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 57.

2

Muladi dan Barda Nawawi Arief (III), Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cet. II, (Bandung: Alumni, 1998), hal. 148.

(2)

Perjudian membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Perjudian dapat menghambat pembangunan nasional yang beraspek materiel-spiritual. Karena perjudian mendidik orang untuk mencari nafkah bertentangan dengan norma agama, sosial dan norma hukum dan membentuk watak “pemalas”. Perjudian merupakan problema sosial yang dapat mengganggu fungsi sosial dari masyarakat. Sedangkan pembangunan membutuhkan individu yang giat bekerja keras dan bermental kuat.3

Perjudian berkembang meningkat seiring dengan berkembangnya peradaban manusia.4

Perjudian dipandang dari perspektif hukum dilarang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana), sehubungan dengan perjudian merupakan salah satu tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Dalam Pasal 1 UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian dan PP Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Macam dan bentuk perjudian saat ini semakin berkembang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi tetapi tidak untuk keadaan sekarang ini yang sudah dilakukan terang-terangan maupun. Bahkan perjudian saat ini menjadi tren terutama di bidang olah raga. Salah olah raga yang saat ini menjadi olah raga paling populer di dunia adalah sepakbola dan sudah sering menjadi bahan taruhan hasil pertandingan dari sepak bola.

3

B. Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, (Bandung: Tarsito, 1980), hal. 352-353.

4

(3)

Pelaksanaan Undang-Undang Penertiban Perjudian, ditentukan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan.

Berbagai macam dan bentuk perjudian dewasa ini sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi, bahkan sebagian masyarakat cenderung tidak peduli dan memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar yang tidak perlu dipermasalahkan. Praktik judi yang dilakukan beraneka ragam antara lain perjudian dadu, sabung ayam, permianan ketangkasan, tebak angka seperti toto gelap (togel), sampai penggunaan telepon genggam seperti judi melalui telepon seluler atau melalui intrenet, bahkan olah raga seperti sepak bola tidak ketinggalan dijadikan sebagai ajang perjudian.5

Perjudian selain bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan, dan norma hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, juga menimbulkan kerugian kepada pihak yang melakukannya, meskipun memang kadang-kadang memberikan keuntungan. Keuntungan yang

Praktik judi di lapangan terjadi di berbagai tempat melibatkan agen-agen judi secara sembunyi-sembunyi. Perjudian dilakukan untuk menyedot dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar, di lain sisi timbul pandangan negatif bahwa ada kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah perjudian. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa jenis dan tempat perjudian disinyalir dilindungi dan melibatkan oknum aparat keamanan.

5

(4)

didapatkan atas suatu perjudian tidak bisa dijadikan alasan pembenar yuridis karena judi menyangkut pelanggaran terhadap prinsip nilai-nilai dalam masyarakat, mencari uang bukan bergantung pada adu untung-untungan tetapi melalui proses bekerja sesuai dengan norma agama, moral, kesusilaan, dan norma hukum yang berlaku.6

Pentingnya pembahasan terhadap kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan perjudian di wilayah Polda Sumut terkait dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polda Sumut masih lebih banyak mendasarkan KUH Pidana dalam menangani kasus-kasus judi. Sementara pengadilan menjatuhkan putusan terhadap pelaku judi di Sumatera Utara pada umumnya

Praktik perjudian mempunyai ekses negatif dan merugikan moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda bilamana ditinjau dari kepentingan nasional. Masalah yang sulit untuk dimengerti bahkan ada orang yang melakukan perjudian meskipun tidak memiliki pendapatan yang cukup dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Dengan kata lain walaupun “lebih besar pasak daripada tiang” namun perjudian tetap saja dilakukannya.

Tindak pidana perjudian di wiliyah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) merupakan salah satu jenis kejahatan konvensional yang sulit diberantas secara total. Faktor kejahatan ini muncul meningkat secara berkelanjutan sangat erat kaitannya dengan faktor hukum dan faktor non hukum seperti faktor ekonomi, sosial, dan faktor internal dari sisi si pelaku itu sendiri.

6

(5)

memvonis pelaku dengan pidana penjara yang cukup rendah demikian pula untuk pidana denda juga rendah.

Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan hukum pidana dalam upaya penanggulangan kejahatan harus dilaksanakan secara sistematis dan terintegral, mengupayakan adanya keseimbangan antara upaya perlindungan masyarakat (social defense) serta upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat (social welfare).7 Kebijakan kriminal (politik kriminal) pada hakikatnya juga merupakan bagian yang terintegral dari kebijakan sosial (politik sosial) untuk mencapai tujuan penegakan hukum,8 dengan memadukan antara upaya penal dan non penal.9

Memperhatikan berbagai macam modus operandi dan kuantitas kejahatan perjudian seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih, maka sangat perlu diadakan reformasi hukum pidana dari yang bersifat konvensional ke arah yang lebih bersifat modern.10

7

Muhammad Natsir, KoesnoAdi, PrijaDjatmika, dan Rodliyah, “Communal Conflict Resolution Model in Bima Regency West Nusa Tenggara Province”, International Journal of Education and Research, Vol. 1, No. 12, Tahun 2013, hal. 4.

8

Nanda Ivan Natsir, Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Cyber Terrorism Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2009), hal. 95.

9

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 20, dan hal. 22.

10

Fransiska Novita Eleanora, “White Collar Crime Hukum dan Masyarakat”, Forum Ilmiah, Vol. 10, No. 2, Tahun 2013, hal. 250.

Dua upaya dalam rangka menanggulangi kejahatan, yaitu upaya melalui kebijakan penal (penal policy) dan non penal (non penal policy) harus ditempuh. Berbicara mengenai kedua upaya ini tidak terlepas dari

(6)

dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan itu sendiri (criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime).11

Hukum pidana mempunyai keterbatasan. Bukti keterbatasan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan

12

adalah tidak efektifnya menimbulkan efek penjeraan kepada para pelaku, bahkan kuantitas kejahatan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seiring dengan perkembangan teknologi menimbulkan kuantitas kejahatan konvensional dengan modus operandi yang semakin canggih dan berteknologi tinggi.13 Perlunya kebijakan kriminal diperluas hingga meliputi upaya non karena kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal (penal policy) mempunyai keterbatasan.14

Keterbatasan hukum pidana harus pula diimbangi dengan kebijakan lain di luar hukum pidana. Hal itu sejalan dengan doktrin kebijakan pananggulangan kejahatan melalui kebijakan kriminal yang dikemukakan oleh G. Peter Hoefnagels meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Sebagaimana G. Peter Hoefnagels mendiferensialkan ruang lingkup “criminal policy” itu meliputi: penerapan hukum pidana (criminal law application); pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

11

G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology, An Inversion of The Concept of Crime, (Holland: Kluwer Deventer, 1973), hal. 57.

12

E.Z. Leasa, “Penerapan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (Double Track System) Dalam Kebijakan Legislasi”, Jurnal Sasi, Vol. 16, No. 4, Tahun 2010, hal. 51.

13

Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hal. 3.

14

(7)

pemidanaan lewat media massa (influencing view of society on crime and punishment).15

UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) telah berlaku untuk penanganan kasus-kasus judi online. Jika pelaku judi yang mengunduh dan atau meng-install aplikasi perjudian internet secara online, maka penyidik dapat saja menyimpulkan atau mendapatkan petunjuk bahwa unsur kesengajaan telah terpenuhi,16

Secara penal (hukum pidana) berdasarkan UUITE pelaku judi dapat dijerat dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)

namun data menunjukkan tetap saja jumlah pelaku judi di Sumut tidak menunjukkan penurunan jumlah kasus. Salah satu faktor utama yang menyebabkan kuantitas perjudian meningkat di Sumut adalah tidak dioptimalkannya kebijakan hukum baik secara penal maupun secara non penal tersebut.

17

Penjatuhan pidana terhadap kasus-kasus judi dengan pidana yang rendah sangat jauh dari pidana maksimalnya misalnya dari 10 (sepuluh) tahun penjara

, tetapi dalam implementasinya undang-undang ini jarang diterapkan. Kebijakan terhadap pelaku lebih sering menggunakan KUH Pidana yang dari dulu hingga kini dalam mengatasi kejahatan justru menimbulkan banyak penjahat yang masuk penjara, khususnya pelaku judi. Padahal hampir pada umumnya masyarakat telah memasuki praktik perjudian secara online dimana-mana.

15

G. Peter Hoefnagels, Op. cit., hal. 56.

16

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4903/cara-penyidik-menjerat-pelaku-perjudian-internet, diakses tanggal 2 Desember 2013. Ditulis oleh Josua Sitompul, dengan judul, “Cara Penyidik Menjerat Pelaku Perjudian Melalui Internet”.

17

(8)

menjadi 2 (dua) bulan 7 (tujuh) hari, namun perlu pula upaya kebijakan hukum pidana di sisi lain untuk menjatuhkan pidana denda yang berat kepada pelaku agar lebih mendidik pelaku daripada menghukum secara fisik. Di samping mendidik fsikis pelaku dari segi penjatuhan denda yang berat, juga dilakukan upaya-upaya perbaikan, rehabilitasi, penyuluhan, dan edukasi kepada narapidana dan masyarakat akibat bahaya judi.

Pengaturan tentang tindak pidana perjudian selain telah diatur dalam hukum KUH Pidana dan UUTE, juga diatur UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, namun kebijakan formulasi peraturan perundangan-undangan masih lebih banyak mempunyai kelemahan,18

Ketentuan pidana yang diatur di dalam Pasal 303 ayat 1 huruf e KUH Pidana junto Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian hanya

menentukan hukuman (pidana) maksimal saja, sehingga eksesnya kepada pelaku berpeluang dijatuhkan oleh hakim putusan dengan pidana penjara jauh lebih ringan

misalnya pidana yang ditentukan dalam Pasal 303 ayat 1 huruf e KUH Pidana jo Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian adalah pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Di sini hukuman (pidana) hanya ditentukan dengan pidana maksmial saja tanpa dibatasi dengan pidana minimal.

18

(9)

dari pidana maksimal, sebab tidak ada batasan pidana yang minimal untuk membatasi kebebasan pengadilan dan diskresi hakim.19

Jumlah Tindak Pidana atau Crime Total (CT) dan Penyelesaian Tindak Pidana atau Crime Clearing (CC) berdasarkan data Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) Tahun 2010 s/d 2015, jumlah kasus perjudian lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kasus Curas, Curat, Curanmor, Anirat, dan Pemerasan

Masalah selanjutnya dalam kebijakan penegakan hukum sebagai dampak dari kelemahan substantif perundang-undangan yang mengatur mengenai perjudian, pada gilirannya akan menimbulkan kendala di dalam penegakan hukum itu sendiri. Pada tingkat penyidikan di Kepolisian, kuantitas kasus-kasus judi menunjukkan perkembangan yang terus mengalami peningkatan. Hal ini sekaligus sebagai bukti ketidakseriursan aparat penegak hukum dalam menangani perjudian, baik mencegah maupun memberantasnya.

Tindak pidana judi di wilayah hukum Polda Sumut termasuk sebagai tindak pidana yang menonjol. Peningkatan kasus-kasus judi bahkan lebih menonjol bila dibandingkan dengan kejahatan konvensional lainnya antara lain: pencurian dengan kekerasan (Curas), pencurian berat (Curat), pencurian kendaraan bermotor (Curanmor), penganiayaan berat (Anirat), pemerasan dan ancaman (Peras/Ancam).

19

(10)

serta ancaman.20

Perbandingan jumlah kasus-kasus judi dengan kejahatan konvensional lainnya dalam lingkup data sejajaran di seluruh Polsek, Polres serta di Polda Sumut, menunjukkan kejahatan pencurian berat (Curat), pencurian kendaraan bermotor (Curanmor), dan penganiayaan berat (Anirat) dalam lima tahun terakhir dari tahun 2010 s/d tahun 2015 lebih mendominasi atau lebih tinggi jumlahnya dibandingkan dengan kasus judi. Sedangkan jumlah kasus pencurian dengan kekerasan (Curas) dan pemerasan atau ancaman (Peras/Ancam) berada di bawah kasus judi.

Peningkatan jumlah kasus judi sangat signifikan dibandingkan dengan kejahatan konvensional lainnya.

21

Setidaknya apa yang dikemukakan oleh L.H.C. Hulsman dalam rangka memberikan efek jera kepada para pelaku dan masyarakat, dapat diaktualisasikan dalam penanganan judi. Menurut Hulsman memidana menyangkut semua aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pidana dan pemidanaan (the

Berdasarkan penonjolan kasus perjudian ini menggambarkan bahwa persoalan judi di wilayah Sumut belum dapat dituntaskan secara menyeluruh artinya sebahagian besar masyarakat pelaku kriminal di Sumut cenderung terlibat dalam praktik perjudian. Penonjolan kasus judi ini sekaligus menimbulkan pertanyaan apakah kebijakan kriminal terhadap tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polda Sumut telah dilaksanakan secara maksimal atau karena kelemahan substantif perundang-undangan itu sendiri yang menjadi faktor penyebabnya?

20

Data Direktorat Kriminal Umum Polda Sumut Tahun 2016.

21

(11)

statutory rules relating to penal sanctions and punishment).22

Cesare Beccaria Bonesane (1738-1794) mengatakan pidana yang kejam dan melampaui batas, tidak berguna. Tujuan pidana kata Beccaria untuk pencegahan khusus dan pencegahan umum. Tujuan pidana tiada lain agar penjahat tidak lagi melakukan kejahatan.

Pandangan ini lebih luas memaknai penjatuhan pidana kepada pelaku (khususnya judi) bukan saja hanya mengimplementasikan hukum pidana tetapi juga dengan upaya perbaikan. Jadi selain menjatuhkan pidana, seharusnya kepada para pelaku judi dilakukan upaya perbaikan, rehabilitasi, penyuluhan, dan edukasi kepada masyarakat akibat bahaya judi.

23

Pokok-pokok penting dari Union Internationale de Droit Penal yang didirikan pada tahun 1888 antara lain:24

1. Tujuan pokok hukum pidana adalah penentangan terhadap perbuatan jahat dipandang sebagai gejala masyarakat;

2. Pengetahuan hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis;

3. Pidana merupakan salah satu alat ampuh yang dikuasai negara dalam penentangan kejahatan. Itu bukan satu-satunya alat. Tidak dapat diterapkan tersendiri tetapi selalu dengan kombinasi dengan tindakan sosial, khususnya kombinasi dengan tindakan perventif.

Hakikat dari pidana memang harus diakui pada suatu penderitaan atau nestapa, pidana memang sangat penting, tetapi hukum pidana bukan saja fungsinya

22

L.H.C. Hulsman dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 115.

23

A.Z. Abidin & A. Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik), dan Hukum Penetensier, (Jakarta: Sumber Ilmu Jaya, 2002), hal. 326.

24

(12)

untuk memberikan nestapa kepada pelanggarnya tetapi juga bagaimana cara mengatur masyarakat agar hidup lebih damai dan tenteram. Dasar pemikiran ini adalah hukum pidana fungsional. Adanya asas oportunitas (pardon) dalam hukum pidana berarti fungsi pidana tidak hanya sekedar untuk menimbulkan penderitaan bagi pelanggar, tetapi fungsi pidana juga harus mampu memberikan upaya-upaya berupa tindakan perbaikan dalam rangka mengatur masyarakat agar hidup lebih damai dan tenteram.

Itulah sebabnya penelitian ini mencoba memberikan solusi kebijakan kriminal terhadap persoalan penanganan judi di Sumatera Utara baik dari sisi pemberantasannya maupun dari sisi pencegahannya dan sekaligus menjadi menarik untuk diteliti aspek ketentuan substantif dalam perundang-undangan yang mengatur tentang larangan perjudian, serta keseriusan aparat penegak hukum dalam memberantas tindak pidana perjudian untuk menimbulkan efek penjeraan bagi masyarakat Sumut. Hal ini dilatarbelakangi karena kasus-kasus judi terus menonjol di Sumatera Utara sesuai data kejahatan perjudian Polda Sumut.

Menjatuhkan pidana terhadap pelaku judi bukan hanya menjatuhkan pidana penjara tetapi lebih arif bila disikapi dengan penataan maksimal dengan mengantisipasi munculnya perkara judi, melakukan upaya perbaikan, rehabilitasi, penyuluhan, dan edukasi kepada masyarakat akibat bahaya judi, serta peran Pemerintah Daerah Provinsi Sumut dan Polda Sumut untuk membuat alternatif penanganan judi menjadi sangat penting.

(13)

maksimal karena akan dinilai lebih bermanfaat, lebih mendidik daripada pidana penjara. Denda itu lebih bermanfaat bagi negara dan sekaligus membawa ekses perlindungan bagi seluruh masyarakat. Pelaku (mantan narapidana judi) juga akan berpikir-pikir dan mungkin tidak akan mengulangi perbuatannya jika dijatuhkan pidana denda yang lebih berat (maksimal) kepada pelaku judi.

Berangkat dari pemikiran P.A.F. Lamintang yang idenya menggambarkan pidana itu memang merupakan suatu pembalasan atau penderitaan (nestapa) diberikan negara kepada si pelanggar, tetapi perlu pula melihat ilmu pengetahuan hukum secara luas dari sisi kriminologi yang mempelajari gejala-gejala kriminalitas sebagai keseluruhan, dengan apa yang disebut practisceh atau toegepaste criminologie yang dengan sebaik mungkin berusaha mengamati berbagai tindak pidana untuk kemudian dengan menggunakan metode-metode tertentu berusaha menyelidiki sebab dari gejala-gejalanya.25

Selain penelitian ini diarahkan untuk meneliti kebijakan penanggulangan judi dari sisi penegakan hukum, juga membahas kelemahan substantif dalam perundang-undangan yang mengatur larangan perjudian, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum meliputi faktor yuridis dan termasuk faktor non hukum yang berpotensi mengakibatkan kuantitas perjudian di wilayah hukum Polda Sehingga dengan demikian kebijakan penanggulangan kejahatan itupun dapat dengan mudah dilakukan dengan berbagai metode pendekatan, baik pendekatan hukum pidana maupun pendekatan sosial dan ekonomis.

25

(14)

Sumut terus mengalami peningkatan. Oleh karena itu maka dipilih “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara” sebagai judul di dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut tergambar ada 3 (tiga) permasalahan yang menarik untuk diteliti, yaitu:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian? 2. Bagaimanakah kebijakan penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah

hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara?

3. Apa yang menjadi faktor-faktor kendala dan solusi dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan ketiga permasalahan tersebut, adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian.

(15)

3. Untuk mengetahui faktor-faktor kendala dan solusi dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara sekaligus memberikan upaya-upaya dalam mengatasi kendala-kendala tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan manfaat yang berguna baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:

1. Secara teoritis, bermanfaat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan menganalisis permasalahan hukum terhadap ketentuan hukum pidana yang mengatur larangan terhadap perjudian dan masalah penegakan hukum terhadap tindak pidana perjudian di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara, dan juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutannya dapat menambah wawasan dan memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan hukum.

(16)

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian dengan rumusan masalah yang sama, maka sebelumnya, telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU. Berdasarkan penelusuran tidak ditemukan judul sama dengan judul da rumusan masalah dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelusuran diperoleh judul tesis atas nama:

1. Indra Prasetyo (NIM: 097005078) dengan judul “Kebijakan Polri Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian (Studi di Wilayah Hukum Polres Asahan). Fokus kajiannya adalah tentang kebijakan kepolisian dalam penanggulangan perjudian di wilayah hukum Kepolisian Resor Asahan menyangkut upaya-upaya yang dilakukan dalan pemberantasan judi di wilayah tersebut.

2. Ivan Najjar Alavi (NIM: 107005066) dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pungutan Liar di Jembatan Timbangan Sibolangit Sumatera Utara (Studi Kasus Nomor: 03/Pid.Sus-K/2011/PN.Mdn). Fokus kajiannya adalah menganalisis kasus pungutan liar di jembatan Timbangan Sibolangit sebagaimana dalam Putusan Nomor: 03/Pid.Sus-K/2011/PN.Mdn. 3. Anthonius Indra Simamora (NIM: 107005127) dengan judul “Penegakan Hukum

(17)

Utara). Fokus kajian ini adalah perampokan pada Bank CIMB Niaga di Medan dikaitkan dengan pelaku terorisme.

Judul tesis di dalam penelitian ini adalah “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara” dengan rumusan masalah:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum pidana tentang larangan terhadap perjudian? 2. Bagaimanakah kebijakan penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah

hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara?

3. Apa yang menjadi faktor-faktor kendala dan solusi dalam penanggulangan tindak pidana perjudian di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara?

(18)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Teori-teori yang melandasi analisis ini didasarkan pada teori kebijakan penanggulangan kejahatan (kebijakan kriminal) dan juga harus dihadapkan pada teori sistem hukum (legal system theory) yang tentunya selain membahas tentang regulasinya, juga harus menyinggung kinerja aparatur penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) disingkat SPP, serta budaya hukum.

a. Teori Kebijakan Kriminal (Criminal Policy Theory)

Kebijakan hukum pidana identik dengan teori kebijakan kriminal (criminal policy). Sesuai ilmu kriminologi mengenai “kebijakan hukum pidana” (penal policy)

pada dasarnya merupakan bagian dari politik kriminal (criminal polity), sehingga “kebijakan hukum pidana” tersebut dapat juga disamakan dengan “politik hukum pidana”, bahkan dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” juga disebut dengan penal policy, criminal law policy, dan strafrechtspolitiek.26

Hubungan politik kriminal dengan politik sosial terdapat pada hubungan dalam hakikat penanggulangan kejahatan itu sendiri yaitu berupaya untuk memberikan perlindungan masyarakat (social defence) dan berupaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Sehingga menggambar suatu tujuan akhir Dengan demikian kebijakan kriminal itu tidak lain adalah menyangkut perwujudan dari paradigma-pragadigma berfikir politik dari pembuat hukum dan undang-undang (law makers) yakni Pemerintah (government) dan legislatif (legislatiev).

26

(19)

dan paling utama dari politik kriminal adalah untuk memberikan perlindungan masyarakat dan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.27

Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuensi logis menyangkut pembuatan kebijakan, melibatkan berbagai upaya-upaya dalam segala aspek kehidupan, bukan saja menawarkan solusi hukum tetapi juga memberikan rekomendasi upaya penanggulangan secara non hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral28 dari kebijakan publik.29

27

Ibid., hal. 4.

28

Fransiska Novita Eleanora, “White Collar Crime Hukum dan Masyarakat”, Forum Ilmiah, Vol. 10, No. 2, Tahun 2013, hal. 250.

29

Iza Fadri, “Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia”,

Jurnal Hukum, Vol. 17, No. 3, Juli 2010, hal. 445.

Beberapa ahli seperti G. Peter Hoefnagels, Barda Nawawi Arief, dan Sudarto memberikan pengertian mengenai kebijakan kriminal sangat luas, dan dalam pengertian itu diperluasnya hingga ke arah kebijakan sosial. Bertitik tolak dari pengertian kebijakan kriminal yang sangat luas tersebut maka untuk menanggulangi kejahatan bukan lagi harus disandarkan pada kebijakan hukum pidana (penal policy) namun lebih daripada itu harus melibatkan kebijakan di luar hukum pidana (non penal policy), baik berupa kebijakan sosialnya maupun kebijakan hukum selain

(20)

Sudarto juga memperluas makna kebijakan kriminal, dengan mengungkapkan kebijakan kriminal itu bisa dimaknai dalam arti sempit, arti luas, dan paling luas. Dalam arti sempit menurutnya mencakup keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana. Dalam arti luas mencakup keseluruhan fungsi aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. Dalam arti paling luas mencakup keseluruhan kebijakan yang dikeluarkan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, tujuannya menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat.30

Sudarto dalam kesempatan lain mengemukakan definisi singkat politik kriminal merupakan adalah “suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Definisi ini diambil dari definisi politik kriminal Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter

Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”. Berbagai definisi lainnya yang dikemukakan G. Peter

Hoefnagels adalah: criminal policy is the science of responses, criminal policy is the science of crime prevention, criminal policy is a policy of designating human

behavior as crime, dan criminal policy is a rational total of the responses crime.31

30

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2006), hal. 113-114. Lihat juga: Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, (Bandung: Alfa Beta, 2005), hal. 7.

31

(21)

Kebijakan kriminal (criminal policy) juga merupakan politik kriminal. Penanggulangan kejahatan dengan melaksanakan politik kriminal menurut Sudarto berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan kejahatan.32 Politik kriminal menurut Barda Nawawi Arief merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Maka tercermin tujuan akhirnya adalah adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.33

Hubungan Kebijakan Kriminal Dengan Kebijakan Sosial

Hubungan kebijakan kriminal (politik kriminal) dengan kebijakan sosial (politik sosial) digambarkan oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut:

Skema 1:

34

32

Sudarto, Loc. Cit.

33

Barda Nawawi Arief dalam Nanda Ivan Natsir, Kebijakan Kriminal Terhadap Tindak Pidana Cyber Terrorism Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro 2009), hal. 94.

34

Barda Nawawi Arief (I), Op. cit., hal. 5. Social policy

Social defense policy

Non penal Criminal policy

Penal

(22)

Skema 1 tersebut menggambarkan kebijakan sosial sebagai kebijakan umum terdiri dari kebijakan dalam rangka menyejahterakan masyarakat (social welfare policy) dan kebijakan perlindungan masyarakat (social defense policy). Kebijakan

perlindungan masyarakat dituangkan dalam kebijakan kriminal yang dalam upayanya untuk mencapai tujuan menggunakan sarana penal dan non penal, sehingga kebijakan penal dan non penal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus merupakan kebijakan sosial yang terintegral dalam mencapai tujuan.

Upaya penanggulangan kejahatan harus dilaksanakan secara sistematis dan terintegral, mengupayakan adanya keseimbangan antara upaya perlindungan masyarakat (social defense) serta upaya kesejahteraan masyarakat (social welfare).35 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan kriminal (politik kriminal) pada hakikatnya juga merupakan bagian yang terintegral dari kebijakan sosial (politik sosial) untuk mencapai tujuan,36 dengan memadukan antara upaya penal dan non penal.37

Oleh karena penanggulangan hanya difokuskan pada penanggulangan kejahatan (kriminal) saja, maka tujuan dan cita-cita hukum yang dikehendaki dari kebijakan yang terintegrasi ini adalah tujuan-tujuan hukum yaitu: untuk memenuhi

35

Muhammad Natsir, KoesnoAdi, PrijaDjatmika, dan Rodliyah, “Communal Conflict Resolution Model in Bima Regency West Nusa Tenggara Province”, International Journal of Education and Research, Vol. 1, No. 12, Tahun 2013, hal. 4.

36

Nanda Ivan Natsir, Op. cit., hal. 95.

37

(23)

keadilan, kepastian hukum, ketertiban, dan terakhir adalah kesejahteraan.38 Untuk dapat mencapai tujuan tersebut maka upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan, dengan memadukan antara politik sosial dan politik kriminal serta ada keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal.39

b. Teori Sistim Hukum (Legal System Theory)

Kata “sistem” berasal dari kata “systema” yang diadopsi dari bahasa Yunani yang diartikan “sebagai keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian”.40 Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta dengan adanya sistem hukum.41 JH. Merryman, mengatakan, “Legal system is an operating set of legal institutions, procedures, and rules”.42 Dalam teori JH. Merryman ini sistem hukum merupakan suatu seperangkat operasional yang meliputi institusi, prosedur, dan aturan hukum. Kemudian dalam teori Lawrence Milton Friedman, bahwa dalam sistem hukum harus meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum.43

Bagian penting yang dibicarakan dalam sistem hukum sebagaimana di atas adalah masalah prosedur (dalam JH. Merryman) dan struktur hukum (dalam

38

A. Salman Maggalatung, “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, Dan Doktrin Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”, Jurnal Cita Hukum, Vol. I, No. 2, Desember 2014, hal. 186.

39

Muhammad Natsir, KoesnoAdi, PrijaDjatmika, dan Rodliyah, Loc. Cit.

40

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 4.

41

Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal. 71.

42

JH. Merryman dalam Ade Maman Suherman, Loc. cit.

43

(24)

Lawrence Milton Friedman) untuk menganalisis permasalahan di dalam penelitian ini. Alasan memfokuskan analisis ini pada prosedur dan struktur hukum bahwa prosedur dan struktur hukum menyangkut masalah penegakan hukum (law inforcement).

Dalam teori penegakan hukum menurut Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement. Mengenai total enforcement, menyangkut

penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Dalam tahapan-tahapan itu, hukum pidana substantif memberikan batasan-batasan. Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut sebagai area of no enforcement.44

Sedangkan full enforcement, menyangkut penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement yang dalam penegakan hukum ini para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal. Kemudian dalam actual enforcement, menurut Joseph Goldstein actual enforcement merupakan redusi (sisa) dari full enforcement. Di mana bahwa full enforcement

44

(25)

dianggap not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.45

Konteks kajian di dalam penelitian ini, sehubungan dengan pendapat Muladi, yang mengemukakan, “Penggunaan upaya hukum (termasuk hukum pidana) dalam penegakan hukum merupakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum”.46

Ranah penegakan hukum menurut Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan perlu diperhatikan komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum itu sendiri yaitu: struktur, substansi dan kultur.

Maka perlu ditindaklanjuti upaya pelaksanaan penegakan hukum itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan dalam perundang-undangan.

47

45

Ibid.

46

Ibid., hal. 35.

47

Harkristuti Harkrisnowo, “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan”, Artikel pada Jurnal Keadilan Vol. 3, Nomor 6 Tahun 2003/2004.

(26)

Komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum sebagaimana menurut Lawrence Milton Friedman, maka terbagi dalam tiga kelompok yaitu:48

1) Struktur hukum. Mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik lembaga-lembaga pemerintahan maupun aparat penegak hukum seperti: Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat. 2) Substansi hukum. Mencakup keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan

asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan yang bersifat mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

3) Kultur hukum. Mencakup pola, tata cara berfikir dan bertindak, baik atas karena kebiasaan-kebiasaan maupun karena perintah undang-undang, baik dari perilaku aparat penegak hukum dan pelayanan dari instansi pemerintah maupun dari perilaku warga masyarakat dalam menerjemahkan hukum melalui perilakunya, dan lain-lain.

Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum menurut Soerjono Soekanto, merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satu elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, akan mengganggu elemen lainnya hingga pada gilirannya mengakibatkan penegakan hukum yang tidak diinginkan atau terjadi kepincangan hukum. Ketiga elemen ini merupakan bagian dan faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.49

Komponen-komponen tersebut sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak, Lawrence Milton Friedman

48

Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.

49

(27)

menekankannya pada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum, dan budaya hukum menyangkut perilaku.50

Sistem peradilan pidana erat kaitannya dengan mekanisme kerja aparatur penegak hukum untuk melaksanakan dan menerapkan hukum pidana dalam kerangka SPP yang dikatakan oleh Remington dan Ohlin sebagai berikut:

51

Menurut Mardjono Reksodiputro sistem hukum dalam kerangka SPP memiliki tujuan yaitu:

Sistem Peradilan Pidana dapat diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

52

1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas dengan keadilan yang telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

3) Mengusahakan agar pelaku yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Kepolisian berperan dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua kasus-kasus tindak pidana. Kejaksaan berperan melakukan fungsinya di bidang penuntutan terhadap perkara yang dilimpahkan penyidik kepadanya. Sementara Pengadilan memainkan peranan penting dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan pidana kepada pelaku.

50

Lawrence M. Friedman diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Loc. cit.

51

Remington dan Ohlin dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Jakarta: Binacipta, 1996), hal. 14

52

(28)

Akan tetapi sejatinya pengadilan itu bukan hanya berfungsi sebagai tempat untuk memeriksa dan mengadili, tetapi jauh lebih luas daripada itu. Lembaga tersebut sudah merupakan suatu masyarakat tersendiri dan didalamnya berlangsung berbagai proses interaksi di mana para aktor dalam litigasi berperan menegakkan hukum, serta bertemunya kepentingan-kepentingan yang berbenturan.53

c. Teori Sistim Peradilan Pidana (Criminal Justice System)

Ciri khas Sistem Peradilan Pidana (SPP) adalah interface, maksudnya adalah komponen dalam SPP selalu saling berhadapan dengan lingkungannya. Komponen SPP tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya mengingat begitu besar pengaruh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan masyarakat terhadap keberhasilan pencapaian tujuan hukum. Interface dalam kerangka SPP dengan lingkungannya meliputi interaksi, interkoneksi dan interdependensi.54

Dalam SPP juga dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial.55

53

Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), hal. 212.

54

Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta UII Press, 2011) hal. 1.

55

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hal. 6.

(29)

keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.56

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut berada dalam satu sistem yang terintegrasi.

57

Adapun pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial.

58

SPP dilihat dari cakupannya, harus lebih luas dari hukum acara pidana karena cakupan hukum acara pidana terbatas pada aspek substansinya saja. Sementara itu sistem meliputi juga selain substansi dan struktur juga budaya hukum. Artinya hukum dilihat tidak saja yang diatur secara eksplisit dalam buku (law in the books) tetapi juga bagaimana konteks dan dalam prakteknya (law in actions).59

(30)

akan lumpuh, tetapi sebaliknya tanpa hukum formal maka liar dan bertindak semaunya dan dapat mengarah apa yang ditakutkan orang sebagai judicial tyrany.60

SPP sebagaimana digariskan KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice system) sistem terpadu tersebut diletakkan dalam di atas landasan

prinsip diferensiasi fungsional diantara para penegak hukum yang sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing. Berdasarakan kerangka landasan dimaksud aktivitas pelaksanaan criminal justice system merupakan fungsi gabungan (collection of function) dari legislator, polisi,

jaksa, pengadilan dan penjara serta badan yang berkaitan dengan baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya. Tujuan pokok gabungan fungsi dalam kerangka criminal justice system itu untuk menegakkan, melaksanakan (menjalankan) dan memutuskan hukum pidana.

61

Jadi SPP didukung dan dilaksanakan oleh empat fungsi utama yaitu: pertama, fungsi pembuatan undang-undang (law making function) yang dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah atau badan yang lain berdasar delegated legislation. Kedua fungsi penegakan hukum (law inforcemant) yang bertujuan

menciptakan tertib sosial meliputi tindakan penyelidikan-penyidikan, penangkapan-penahanan, persidangan pengadilan dan pemidanaan. Selain itu pada aspek ini juga mencakup tindakan preventif (preventive effect). Ketiga, fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan. Keempat, fungsi memperbaiki terpidana. Dengan begitu

60

Ibid.

61

(31)

berhasil atau tidaknya fungsi proses pemeriksaan sidang di pengadilan yang dilakaukan JPU dan hakim menyatakan terdakwa salah serta memidananya sangat tergantung atas hasil penyidikan Polri.62

Secara sederhana, acapkali hukum acara pidana selalu dipahami sebagai ketentuan hukum yang berhubungan erat dengan adanya hukum pidana. Dengan demikian, hukum acara pidana sering diartikan hanya sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana aparatur penegak hukum bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. Dalam suatu hukum pidana diatur “bila”, kepada “siapa” dan “bagaimana” penegak hukum dan akhirnya hakim dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang yang diduga bersalah melakukan suatu tindak pidana. Oleh karena itu orientasi hukum acara pidana yang demikian ialah punishment lebih sempit lagi pidana penjara. Padahal memasukkan orang lebih banyak ke penjara tidak identik dengan suatu keadilan telah tercapai. Pada hal tujuan penegegakan hukum adalah mencapai keadilan.63

Dalam perkembangannya, konsep penyelesaian suatu kasus pidana tidak lagi agar lebih banyak orang dimasukkan ke penjara karena hal itu merupakan perwujudan dendam. Pada saat yang sama, pidana penjara itu sekaligus juga beban pada negara karena adanya suatu tindak pidana itu, negara harus menyediakan semua kebutuhan dasar terpidana dalam penjara. Oleh karena itu, hukum acara pidana dewasa ini lebih

62

Ibid, hal. 90-91.

63

(32)

ke arah bagaimana merestorasi hubungan pelaku, korban dan masyarakat. Penajara adalah merupakan the last resort.

Dengan konsep yang demikian maka secara singkat pengertian SPP merujuk pada keseluruhan society’s organized response to crime.64 Dengan konsep yang demikian pula Prof. Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa sistem peradilan pidana dapat digambarkan secara singkat sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”.65

Pandangan yang sempit terhadap SPP akan melahirkan sistem hukum acara pidana yang hanya berorientasi pada penjatuhan pidana (punishment) semata. Padahal seharusnya fungsinya lebih dari itu. Hukum acara pidana diadakan untuk untuk menegakkan keadilan, memberantas kejahatan dan mencegah kejahatan. Sebagai konsekwensi logis dari pemikiran yang luas ini maka hukum acara pidana akan berorientasi pada kesisteman, suatu sistem untuk menegakkan keadilan, memberantas kejahatan, dan mencegah kejahatan.

66

Anselm von Feuerbach berpendapat bahwa asas yang penting bagi pemberian ancaman pidana yakni setiap penjatuhan pidana oleh hakim harus merupakan suatu akibat hukum dari suatu ketentuan menurut undang-undang dengan maksud menjamin hak-hak yang ada pada setiap orang. Undang-undang harus memberikan

64

Ibid, hal. 12.

65

Ibid.

66

(33)

suatu ancaman pidana berupa suatu penderitaan kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum,67

Secara konsepsional maka inti dari penegakan hukum dalam kerangka SPP terletak pada kegiatan masing-masing personil menyelaraskan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam norma-norma dan kaidah-kaidah yang mengejewantah di dalam sikap dan tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian di dalam pergaulan hidup.

inilah hakikat dari hukum pidana itu sendiri.

68

Komponen di dalam SPP sebagai suatu proses yang saling berkorelasi, maka di dalam penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan serta Lembaga Advokat. Personil dari komponen-komponen ini di dalam teori penegakan hukum dituntut untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum itu.69

Dalam sistem penegakan hukum haruslah dipandang dari 3 (tiga) dimensi yang saling berinteraksi:

70

1) Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung dengan sanksi atau pidana.

2) Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum.

67

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 127-128.

68

Soerjono Soekanto, Faktor-FaktorOp. cit., hal. 4.

69

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Jakarta: BPHN Departemen Kehakiman, Tanpa Tahun), hal. 18.

70

(34)

3) Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), artinya dalam penegakan hukum harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.

Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat diakatakan bahwa sebenarnya putusan sebagai produk dari penegakan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil interaksi antara norma hukum, praktek administratif dan pelaku sosial,71

2. Konsepsi

dengan arti lain harus menggambarkan kinerja aparatur penegak hukum di dalam kerangka SPP tersebut dalam melaksanakan tujuan-tujuan hukum yakni ketertiban, keadilan, dan kemanfaatan hukum.

Teori-teori dalam sistem hukum (legal system theory) dan SPP yang telah diuraikan di atas melandasi dalam penegakan hukum terhadap kasus-kasus tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polda Sumut. Sehubungan dengan keterkaitan antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan di dalam menegakkan hukum terhadap tindak pidana perjudian sebagaimana dalam Putusan Nomor 1397/Pid.B/2013/PN-Mdn.

Tujuan landasan konsepsional digunakan untuk memperoleh dasar konseptual dan untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang berbeda serta memberikan pedoman dalam pandangan yang sama dalam memahami istilah-istilah di dalam penelitian ini. Landasan konseptual tersebut antara lain:

71

(35)

a. Kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuensi logis menyangkut pembuatan kebijakan, melibatkan berbagai upaya-upaya dalam segala aspek kehidupan, bukan saja menawarkan solusi hukum tetapi juga memberikan rekomendasi upaya penanggulangan secara non hukum.72

b. Penal adalah bagian penting dari kebijakan kriminal dalam menanggulangi kejahatan yaitu dengan menggunakan sarana hukum pidana sebagai alat utama membuat pelaku kejahatan jera, memberikan sanksi berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana mati, pidana denda, pidana perampasan harta, dan pidana tambahan lainnya.73

c. Non penal adalah bagian dari penting dari kebijakan kriminal dalam menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana sekaligus merupakan suatu konsep pencegahan, menitikberatkan pada pembatasan ruang gerak, penutupan celah-celah yang membuka kesempatan berbuat kejahatan dan pelanggaran, membatasi dan menutup faktor-faktor korelatif terjadinya kejahatan (kriminogen) agar jangan sampai berkembang. Banyak cara yang dapat dilakukan melalui pendekatan non penal, semua

72

Barda Nawawi Arief (I), Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 25-26.

73

(36)

upaya maupun tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh Pemerintah maupun legislatif, maupun penegak hukum di luar hukum pidana disebut sebagai upaya non penal.74

d. Tindak Pidana adalah terjemahan dari istilah strafbaar feit yang sering juga disebut dengan delik, atau peristiwa pidana, atau perbuatan pidana, atau tindak pidana.75

e. Penegakan hukum adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam kerangka SPP baik dalam lingkup full enforcement, menyangkut penegakan hukum pidana yang bersifat total dikurangi area of no enforcement secara maksimal, maupun dalam actual enforcement, yaitu redusi

(sisa) dari full enforcement yang kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya diskresi bagi aparat penegak hukum.76

f. SPP adalah sistem peradilan pidana yang melibatkan komponen-komponen seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokat, dan Lembaga Pemasyarakatan yang menurut Lawrence Milton Friedman menekankannya pada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum, dan budaya hukum menyangkut perilaku.77

g. Perjudian adalah segala perbuatan yang dilarang untuk bermain judi sebagaimana yang telah diatur dalam KUH Pidana dan UU Nomor 7 Tahun

74

Ibid.

75

Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 90.

76

Muladi, Kapita SelektaLoc. Cit.

77

(37)

1974 tentang Penertiban Perjudian serta PP Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Penertiban Perjudian yang menentukan perjudian termasuk sebagai kejahatan.

h. Kepolisian adalah Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

i. Wilayah hukum adalah wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara. 4. Faktor-faktor kendala adalah segala faktor-faktor yang menghambat

pelaksanaan kebijakan kriminal dan termasuk pelaksanaan penegakan hukum di wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara dalam pemberantasan terhadap tindak pidana perjudian.

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.78 Sedangkan penelitian adalah sebagai bagian dari proses pengembangan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode tertentu yang bertujuan untuk mengetahui apa yang telah dan sedang terjadi serta memecahkan masalahnya atau suatu kegiatan pencarian kembali pada kebenaran.79

78

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

79

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 19.

(38)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dan penelitian empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu pada teori-teori, doktrin, norma, dan asas-asas serta kaidah-kaidah yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maupun di dalam putusan pengadilan. Norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut berkenaan dengan tindak pidana pembunuhan dalam hukum pidana. Penelitian yuridis empiris yaitu meneliti kondisi praktik perjudian di lapangan yaitu di Wilayah Hukum Polda Sumut. Sedangkan sifat penelitian ini adalah menggunakan deskriptif analitis yaitu menggambarkan, mendeskripsikan fakta-fakta yang dikumpulkan secara analitis terkait kasus-kasus tindak pidana perjudian di wilayah hukum Polda Sumut.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Sebagai sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung di lapangan atau masyarakat melalui wawancara dan observasi. Sebagai data sekunder dalam penelitian ini digunakan meliputi:

(39)

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan ulasan-ulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, dan surat kabar, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dapat berupa Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Hukum, dan Kamus Bahasa Inggris.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara mendalam kepada beberapa informan yang relevan antara lain kepala desa/lurah atau kepala lingkungan, para tokoh masyarakat terkemuka, dan khususnya wawancara dilakukan kepada Perpolisian Masyarakat (Polmas) yang di tempatkan pada setiap desa atau kelurahan. Teknik pengumpulan data primer juga dilakukan melalui observasi di lapangan untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya terjadi, dengan memantau perkembangan, melihat langsung, bahkan dilakukan pemotretan terhadap lokasi atau tempat-tempat praktik perjudian.

Teknik pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka (library research) di perpustakaan yakni mengumpulkan bahan-bahan hukum tertulis yang

(40)

sekunder, maupun tersier, diperoleh melalui membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar, pertemuan-pertemuan ilmiah, mendownload data melalui internet dan melakukan studi dokumen untuk memperoleh fakta di lapangan yaitu di wilayah hukum Polda Sumut. Semua data disesuaikan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

4. Analisis Data

Referensi

Dokumen terkait

Hasil nilai kekuatan tarik tertinggi pada pengujian tarik didapatkan pada proses tempering dengan temperatur 300°C dengan holding time selama 30 menit yaitu sebesar

Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali, Kota Surakarta termasuk ke dalam Kawasan Andalan Subosuka-Wonosraten dan diarahkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN)..

Pelitian ini bertujuan untuk menjawab masalah utama dan sub masalah. Masalah utamanya yaitu seperti apakah media pembelelajaran yang inovatif pada pelajaran PKn

Gambar APD yang digunakan Tim Pelayanan Teknis (PT. Haleyora Powerindo) pada pekerjaan penyambungan kabel gardu baru di PT PLN (Persero) Area Bandung dapat dilihat

Pirous telah menorehkan kontribusinya dalam perkembangan seni lukis kaligrafi di Indonesia dengan berbagai bentuk, seperti menyumbangkan corak baru seni lukis

Penelitian yang berjudul Faktor Keluarga Dalam Kenakalan Remaja (Studi Deskriptif Mengenai Geng Motor Di Kota Bandung), diharapkan bisa menjelaskan faktor keluarga yang

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayat- Nya sehingga penulis dapat menyelasaikan skripsi yang berjudul "Tingkat Konsumsi Protein Ikan

Pengaruh tidak langsung dari kualitas pelayanan (X1) terhadap variabel loyalitas konsumen (Y) melalui variabel intervening kepuasan konsumen (Z) sebesar 0,051