• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV UPAYA HUKUM INTERNASIONAL DALAM

4.2 Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Anak dan Perempuan

Komite Penyelamatan Internasional (IRC) yang berpusat di Amerika dalam sebuah laporan dengan judul "Suriah Krisis Regional" memberitakan aksi pemerkosaan luas yang dilakukan terhadap perempuan Suriah. Berdasarkan laporan yang menyedihkan itu, perempuan dan gadis Suriah menjadi korban pemerkosaan seorang atau sekelompok teroris bersenjata di Suriah. Kebanyakan perempuan Suriah yang menjadi korban dalam wawancara yang dilakukan oleh komite ini mengatakan, "Dalam banyak kasus aksi pemerkosaan berkelompok atau sendiri dilakukan di jalan dan tempat umum di kota yang terlibat perang, bahkan dalam sebagian kasus para teroris menyerang sebuah rumah dan melakukan aksi pemerkosaan di hadapan anggota keluarganya."

Berdasarkan laporan ini, 240 perempuan yang diwawancarai dan tinggal di kamp-kamp pengungsi Suriah di Lebanon dan Yordania mengakui bahwa orang- orang bersenjata anti pemerintah Bashar Assad menyerang para pengungsi, menangkap dan membawa mereka lalu disiksa dan diperkosa. Komite Penyelamatan Internasional meyakini bahwa aksi pemerkosaan di Suriah telah dijadikan satu strategi perang dari para teroris. Kelompok Salafi ekstrim merupakan anasir yang membuat kondisi Suriah menjadi tidak aman. Mereka berusaha menumbangkan pemerintahan Bashar Assad, melakukan kejahatan dan konflik bersenjata di Suriah dengan dukungan dana Amerika, Arab Saudi dan Qatar. Kelompok Salafi menyampaikan sejumlah alasan yang membuat mereka terlibat perang di Suriah dan membunuh warga sipil negara ini. Mereka menyebut keterlibatan mereka di Suriah untuk membantu rakyat Suriah menghadapi pemerintah, membebaskan rakyat dari kezaliman pemerintah dan menghancurkan

Allawi. Namun apa yang dilakukan oleh kelompok Salafi selama dua tahun ini menunjukkan bahwa bukan hanya mereka tidak membantu rakyat Suriah, tapi justru melakukan kejahatan tidak berperikemanusiaan. Pembantaian rakyat dan militer Suriah serta pemerkosaan terhadap perempuan merupakan sedikit dari kejahatan yang dilakukan mereka. Yang lebih aneh lagi ketika kelompok Salafi Wahabi ini meyakini bahwa pemerkosaan terhadap seorang perempuan merupakan dosa besar, bahkan siapa yang melakukannya harus dihukum mati.

Perlu diketahui bahwa Muhammad al-Ariqi, Mufti Arab Saudi baru-baru ini mengeluarkan hukum yang membolehkan milisi penentang pemerintah Arab Saudi mengawini perempuan Suriah walaupun hanya beberapa jam saja! Ia mengatakan bahwa anak-anak gadis Suriah yang berusia 14 tahun ke atas termasuk dalam fatwa ini dan mereka harus melakukan akad sementara dengan para teroris Suriah. Tentu saja semua mengetahui bahwa mufti ekstrim Salafi dan anti Suriah ini mengeluarkan fatwa halal yang diharamkan dalam Ahli Sunnah dengan tujuan para teroris dapat melepaskan syahwatnya. Tapi fatwa ini telah memberikan warna agama atas tindakan perkosaan ini guna mengurangi terbukanya kedok siapa sebenarnya para teroris ini.

Beberapa waktu lalu delegasi bantuan kemanusiaan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB memberitakan tindakan pemerkosaan militer Turki terhadap perempuan Suriah yang mengungsi di kamp-kamp pengungsi di perbatasan Turki. Berita pemerkosaan tentara Turki terhadap perempuan Suriah ini bukan laporan pertama yang dirilis. Tahun lalu juga banyak berita yang sama dengan peristiwa ini telah dirilis, bahkan sebagian perempuan Suriah ini dengan menyembunyikan identitasnya membongkar masalah ini di televisi Suriah.

Dalam laporan delegasi bantuan kemanusiaan HAM PBB disebutkan ada sekitar 29 ribu warga Suriah yang hidup di kamp-kamp pengungsi di dekat perbatasan Turki. Dan selama penyusunan laporan, lebih dari 800 kasus pemerkosaan yang terjadi. Para pengungsi Suriah yang ada di kamp-kamp pengungsi ini berasal dari daerah perbatasan Suriah yang takut akan serangan orang bersenjata dan baku tembak antara militer Suriah dengan para teroris ini.

Pemerintah Barat, Arab dan Turki yang merupakan pendukung asli para teroris di Suriah menyuplai senjata kepada para teroris yang menyebabkan kondisi di negara ini semakin tidak stabil. Namun yang lebih buruk lagi adalah mereka lebih memilih diam atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh para teroris. Pangkalan pelatihan perempuan pembela Suriah untuk pertama kalinya dibentuk di kota Homs dan menerima relawan perempuan dari usia 18 hingga 50 tahun. Untuk menjaga pangkalan pelatihan ini disiagakan sebuah tim perempuan bersenjata, sementara yang lain ditempatkan di pos-pos pemeriksaan kota untuk memeriksa setiap kendaraan. Abir Ramadhan, perempuan berusia 40 tahun yang ikut berlatih di pangkalan pelatihan ini mengatakan, "Sebelum berlatih di sini bagaimana menggunakan senjata, saya tidak punya keberanian tinggal sendirian di rumah. Saya takut mereka menyerang ke rumah. Saya menjadi relawan untuk mempelajari trik-trik militer dan sekarang saya akan membela diri dan negaraku. "Bukti menunjukkan tanggung jawab ada "di tingkat tertinggi pemerintahan, termasuk kepala negara," tambahnya. Komisi penyelidikan PBB itu sebelumnya menyebutkan mereka memiliki bukti bahwa pasukan pemberontak di Suriah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia. Komisi ditugaskan untuk

menyelidiki pelanggaran HAM di Suriah tidak lama setelah perang pecah bulan Maret 2011.

PBB berulangkali menuduh rezim Suriah bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Tetapi komisi yang beranggotakan empat orang itu tidak pernah menyebutkan nama atau langsung menuding Presiden Assad. Jaringan organisasi Hak Asasi Internasional kembali mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh tentara Bashar Al Asad di Suriah. Jaringan yang tergabung dari 60 organisasi HAM di seluruh dunia itu mengatakan bahwa perempuan-perempuan Suriah mengalami pelecehan dan penyiksaan oleh tentara rezim. Sebanyak 6 ribu wanita mengalami pemerkosaan sejak meletusnya konflik Suriah. Bahkan, di antara mereka ada yang mengalami pemerkosaan masal oleh tentara rezim. Jaringan HAM yang didanai Uni Eropa tersebut menyandarkan laporannya itu dari wawancara langsung dengan para korban dan petugas medis selama semester pertama tahun ini di Suriah.

Laporan itu juga menyebutkan bahwa perempuan Suriah sangat rentan dari sasaran peluru sniper. Mereka dan anak-anak mereka dijadikan tameng hidup oleh tentara rezim. Mereka yang menurut undang-undang internasional harus dilindungi tersebut juga menjadi sasaran penangkap hanya karena memiliki hubungan kekerabatan dengan para tahanan yang berada di penjara rezim. Sebagaimana diberitakan sejumlah media internasional, konflik yang telah berlangsung dua tahun lebih di Suriah telah merenggut lebih dari 100 ribu korban jiwa. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 11 ribu korban adalah anak-anak kecil.Anak-anak tersebut juga menjadi sasaran pembantaian dan penyiksaan oleh

pasukan rezim sebagaimana disebutkan Lembaga Penelitan Oxford, Inggris. Lembaga itu menyebutkan bahwa kebanyakan anak-anak Suriah terbunuh oleh gempuran dan ledakan proyektil yang menghujani tempat tinggal mereka.

Menurut penulis pasal 13 huruf b ICC merupakan landasan yuridis yang kuat dan legal untuk melegitimasi DK PBB dalam mengambil kebijakan untuk menyerahkan kasus pelanggaran HAM berat dalam konflik Suriah ke ICC. Adapun landasan yuridis lain adalah bahwa Suriah merupakan Negara Pihak (State Party) dari beberapa konvensi HAM internasional berdasarkan asas hukum Pacta Sun Servanda. Sehingga dengan demikian, maka secara teoritis terjadinya impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat tidak ada lagi. Penulis sepenuhnya percaya dan yakin bahwa inilah cara yang paling baik yang dapat ditempuh untuk mengadili para Penjahat Kemanusiaan dalam konflik Suriah, seperti halnya kebijakan yang diambil pada tanggal 31 Maret 2005 DK PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 1593 untuk menyerahkan situasi di kota Darfur, Sudan, kepada jaksa penuntut ICC. Sehingga pada tanggal 6 Juni 2005 jaksa penuntut ICC Luis Moreno Ocampo secara resmi membuka penyelidikan atas kejahatan-kejahatan yang terjadi di Darfur. Setelah melalui serangkaian koordinasi dengan DK PBB akhirnya pada tanggal 27 Februari 2007 jaksa penuntut ICC menyerahkan kepada Kamar Pra Peradilan (Pre Trial Chamber) I yang dipimpin ole majelis hakim: Akua Kuenyehia, Anta Ucaka dan Sylvia Steiner. Surat panggilan terhadap Ahmad Harun (mantan Menteri Dalam Negeri Sudan) dan Ali Muhammad Ali Abdal-Rahman (pemimpin milisi yang juga dikenal dengan nama Ali Kushyab), untuk menghadiri pemeriksaan awal di ICC. Pada tanggal 2 Mei 2007 majelis

hakim PTC I mengeluarkan surat perintah penangkapan atas Ahmad Harun dan Ali Kushyab. Selanjutnya Jaksa Luis Moreno Ocampo pada tanggal 14 Juli 2008 meminta kepada PTC I untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Omar Hassan Ahmad Al-Bashir. Karenanya, berangkat dari dasar pijakan tersebut pada Konvensi Jenewa 1949 maka para pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap anak dan perempuan pada konflik bersenjata non internasional di Suriah sudah selayaknya mendapatkan proses peradilan demi keadilan kemanusiaan untuk para korban konflik kemanusiaan yang terjadi di Suriah.

4.3 Perbuatan-Perbuatan Dalam Konflik Kejahatan Kemanusiaan