• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

B. Kekerasan Emosi dalam Berpacaran

1. Pengertian Kekerasan Emosi dalam Berpacaran

Kekerasan emosi sendiri diterjemahkan sebagai sikap yang bertujuan untuk mengontrol, mengintimidasi, menaklukkan, merendahkan, menghukum, atau mengucilkan orang lain. Walaupun kekerasan emosi merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan yang paling sering ditemui,

namun orang yang terlibat didalamnya seringkali tidak menyadarinya. Korban seringkali bahkan yakin merekalah yang bersalah sehingga hubungan interpersonal yang mereka jalin tidak berjalan dengan baik. Karena itu mereka tidak menganggap diri mereka korban. Sedangkan Engel (dalam Dinastuti, 2002) menegaskan bahwa pelaku kekerasan emosi seringkali tidak bermaksud dan tidak menyadari akan tingkah lakunya yang menyakiti pasangannya. Tingkah laku mereka biasanya merupakan hasil belajar dari pengalaman masa lalu, baik karena pola asuh tertentu dari orang tua ataupun sebelumnya pernah menjadi korban tindak kekerasan.

Dalam hubungan berpacaran, kekerasan emosi merupakan alat yang digunakan untuk menyerang konsep diri dari pasangannya dengan tujuan untuk menyakiti secara psikologis. Saat suatu hubungan berpacaran mulai berkembang, yang tidak dapat dihindari adalah kecemburuan (jealously) yang dapat mengancam hubungan yang dimilikinya dengan pasangannya (Deaux, Dane & Wrightsman dalam Dinastuti, 2008). Rasa posesif yang dimunculkan sebagai bentuk kecemburuan terhadap pasangannya merupakan bentuk cinta romantis yang selanjutnya pasangan akan terobsesi dan mulai mencari-cari alasan untuk terus melemparkan tuduhan yang berujung pada munculnya tindak kekerasan emosi dalam berpacaran.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Kekerasan Emosi dalam Berpacaran

Kekerasan emosi yang dialami remaja putri dalam berpacaran merupakan segala bentuk tindakan yang memiliki unsur paksaan, tekanan dan pelecehan yang dilakukan oleh pasangannya dalam berpacaran untuk menyerang konsep diri pasangannya dengan tujuan menyakiti pasangannya secara psikologis (Engel dalam Dinastuti, 2008). Berikut adalah penggolongan bentuk-bentuk kekerasan emosi:

a) Serangan verbal: menggunakan kata-kata kasar, mengejek, menyalahkan terus-menerus

b) Menuntut untuk bersikap tunduk dan patuh sebagai bentuk usaha untuk mengontrol pasangan

c) Merendahkan harga diri pasangan dengan mempermalukan pasangan didepan umum

d) Berusaha untuk menyembunyikan perasaan dengan tidak berterus terang terhadap apa yang sedang dirasakan.

e) Mengucilkan pasangan dengan bersikap menghindar dan diam ketika berada didekat pasangan namun berbeda ketika berada diantara teman-temannya.

3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Kekerasan Emosi dalam Berpacaran

Faktor – faktor yang dapat mendorong timbulnya kekerasan adalah sebagai berikut:

a. Pengalaman kekerasan dimasa kecil yang dilakukan oleh anggota keluarga, teman maupun pola atau kebiasaan keluarga yang menggunakan kekerasan sebagai daya penyelesaian masalah yang dinilai efektif(Social learning theory). Teori ini mengatakan bahwa penggunaan kekerasan merupakan respon yang telah dipelajari dari keluarga sendiri (Berkowitz, 1995). b. Ketidakmampuan remaja untuk berkata dan bertindak secara

asertif yaitu menolak diperlakukan keras dan kasar karena adanya ketakutan akan ditinggal oleh pasangan (Goeritno. H, dkk, 2006).

c. Kecenderungan remaja untuk menilai rendah kemampuan diri sehingga kepercayaan dan kebanggaan diri pun menjadi rendah menyebabkan ketergantungan yang berlebihan terhadap pasangannya (Goeritno. H, dkk, 2006). Ketergantungan ini yang membuat posisi perempuan menjadi lemah dan akhirnya mudah jatuh sebagai korban kekerasan ( Mendatau. A, 2008) d. Superioritas kaum laki-laki menjadikan kaum wanita selalu

munculnya berbagai perasaan negatif seperti inferior, tergantung, pasrah, tidak kreatif, kurang inisiatif dan perasaan takut.

e. Mitos-mitos seputar remaja berpacaran yang mengatakan bahwa kekerasan adalah bentuk cinta dan kekerasan dianggap sebagai hal yang normal (Gryl, Stith & Bird, 1991 dalam Dinastuti 2008)

4. Dampak Kekerasan Emosi dalam Berpacaran

Kekerasan emosi yang diterima dapat memberikan dampak negatif terhadap pasangan itu sendiri maupun orang lain. Dampak utama dari tindak kekerasan emosi terhadap korbannya dapat berupa :

a) Depresi yang akan menimbulkan perasaan sedih dan berdampak pada patahnya semangat sehingga aktifitas menurun dan pesimisme untuk menghadapi masa yang akan datang (Cosmopolitan, 2005).

b) Berkurangnya motivasi, mengalami kebingungan, kesulitan dalam konsentrasi atau pengambilan keputusan, juga menyalahkan dan menghancurkan diri sendiri. Korbanpun bisa diliputi oleh rasa takut, marah pada diri sendiri, rasa bersalah dan malu (Nettisari, 2006).

c) Mereka juga seringkali merasa bahwa merekalah yang bersalah, sehingga tidak sampai berpikir bahwa mereka adalah korban dari suatu tindak kekerasan emosi. Namun tanpa disadari kekerasan dalam berpacaran seperti sebuah pola yang akan terus berulang karena telah menjadi sebuah kebiasaan dan bagian dari kepribadian pasangan dan merupakan cara pasangan untuk menghadapi konflik atau masalah (Ridwan, 2006)

Remaja putri yang menjadi korban kekerasan selama berpacaran akan mengalami luka hati yang lebih dalam dan butuh waktu lama dalam penyembuhan dibandingkan dengan luka fisik. Luka hati tersebut akan membawa dampak psikologis bagi kehidupannya dimasa mendatang (Watson dalam Sarwono,1995).

Peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan tersebut apabila sering dialami oleh remaja putri dan terjadi berulang-ulang maka remaja akan mengalami proses rehersal atau repetition yaitu pengulangan informasi didalam pikiran atau ingatan dan selanjutnya peristiwa yang tidak menyenangkan tersebut akan direkam secara permanent dalam memori jangka panjang individu (Suharman,2005) yang menimbulkan traumatis berkepanjangan.

5. Beberapa Hal yang menyebabkan Remaja Putri tetap Mempertahankan Hubungan

Sebuah hubungan berpacaran dikatakan sehat apabila kita dan pacar mampu membuat keputusan bersama, mampu mendiskusikan perbedaan pendapat, saling mendengarkan, saling menghargai, mau berkompromi, merasa nyaman jika melakukan kegiatan sendirian tanpa pacar dan tidak ada yang berusaha untuk mengontrol sebuah hubungan (Natasia & Trinzi, 2005).

Kekuatan untuk mendorong seseorang untuk bertahan dalam hubungan berpacaran sangat besar, walaupun hubungan tersebut penuh dengan kekerasan baik fisik maupun psikologis. Bagi banyak orang, kekerasan yang terjadi dalam hubungan berpacaran tidak selalu berarti bahwa hubungan tersebut akan berakhir.

Keputusan untuk tetap mempertahankan hubungan walaupun dalam hubungan berpacaran tersebut dipenuhi kekerasan berkaitan dengan apa yang didapatkan oleh masing-masing dari pasangannya. Remaja yang telah mengalami kekerasan emosi tidak dapat meninggalkan pasangannya karena tetap ingin mempertahankan salah satu dari beberapa teori Sternberg (dalam Santrock, 1995) yaitu teori cinta tringular yang didapatkan dari pasangannya antara lain gairah seperti daya tarik fisik dan seksual, keintiman dimana terdapat perasaan emosional tentang

kehangatan, kedekatan dan berbagi dalam hubungan, serta komitmen atau niat untuk mempertahankan hubungan bahkan ketika menghadapi masalah.

C. Kekerasan Emosi yang Dialami Remaja Putri oleh Remaja Putra dalam

Dokumen terkait