• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS STRUKTUR NOVEL REMBANG JINGGA

3.3 Kekerasan Gender

Jika membicarakan mengenai kekerasan gender tidak akan lepas dari stereotipe gender yang ada di dalam masyarakat. Karena dengan adanya strereotipe, akan selalu muncul ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Stereotipe ini adalah bentuk dari pemikiran yang ada di dalam masyarakat, yang dibentuk oleh budaya patriarki, sehingga terjadi kekerasan baik secara fisik maupun verbal, yang akan dikaitkan dengan stereotipe dan juga ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan.

Pengertian dari kekerasan gender adalah tindakan seorang laki-laki atau sejumlah laki-laki dengan mengerahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis pada seorang perempuan atau sekelompok perempuan, termasuk tindakan yang bersifat memaksa, mengancam, dan / atau berbuat sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan pribadi di ruang domestik dan publik (La Pona dalam Sugihastuti dkk, 2010:172). Dalam masyarakat yang patriarkhis, banyak budaya, kepercayaan tradisional, norma dan institusi sosial melegitimasi kondisi sub-ordinasi ini, yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan dilanggengkan. Perempuan yang mengalami kekerasan domestik (kekerasan dalam rumah tangga) seringkali tidak memiliki kekuatan untuk melawan (Sugihastuti dkk, 2010:85). Dalam novel Rembang

Jingga kekerasan gender yang terjadi pada tokoh meliputi kekerasan fisik,

3.3.1 Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik atau biologis adalah segala macam tindakan yang mengakibatkan penderitaan fisik pada korbannya (La Pona dalam Sugihastuti dkk, 2010:179). Kekerasan fisik menggunakan anggota tubuh seperti memukul, menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan rokok, serta melukai dengan barang atau senjata (Meiyanti dalam Sugihastuti dkk, 2010 : 179).

Kekerasan fisik dalam novel ini terjadi karena kecemburuan Herlambang terhadap Ires istrinya. Ires digambarkan sangat mencintai dan hormat pada suaminya. Namun, rasa cinta dan hormat Ires dibalas dengan pukulan dan tendangan yang dilakukan oleh Herlambang. Hal ini membuat Ires tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan untuk membela dirinya sendiri. Walaupun pernah satu kali kabur dari rumah karena tidak tahan dengan sikap suaminya, namun pada akhirnya iapun memaafkan sikap suaminya yang sebenarnya tidak bisa dimaafkan lagi. Semenjak Ires kembali ke rumah Herlambang, ia tidak diperbolehkan untuk berkomunikasi dengan teman-temannya. Ires tidak berani untuk membantah, karena ia tahu apa yang akan terjadi jika ia berani untuk membantah. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Rasa cinta dan hormat di hati Ires perlahan berubah menjadi rasa takut. Ires pernah kabur, pulang ke rumah orangtuanya. Itu terjadi ketika malam sebelumnya dia menerima pukulan dahsyat dari Herlambang, karena malam itu Herlambang melihat Ires membuka akun Facebook. Berarti Herlambang mendapatkan istrinya berhubungan lagi dengan teman-teman lamanya. Detik itu juga Herlambang langsung menghujam Ires dengan segala tuduhan dan ketika Ires membantah, Herlambang kalap. Dipukulnya Ires berkali- kali dan dibentur-benturkan kepala istrinya ke dinding. Begitu siuman besok paginya, dan didapatinya suaminya tidak berada dirumah, Ires kabur (Oetoro, 2015 : 72).

Tak hanya tidak diizinkan untuk berkomunikasi dengan teman-teman lamanya, Ires juga tidak diizinkan untuk berinteraksi dengan dunia luar bahkan untuk mengikuti kegiatan di sekitar rumah. Alhasil dunia Ires yang tadinya bebas, menjadi terkekang. Ia tak dapat melakukan apa-apa. Karena ia tahu jika ia membantah, suaminya akan menggunakan kekuasaannya untuk menyakiti dirinya.

Suatu ketika, saat Herlambang menyuruhnya untuk membeli nasi pecel, Ires berjumpa dengan seorang penjaga warung makan yang bernama Diar. Diar mengajak Ires untuk ikut kelompok belajar yang didirikan oleh beberapa pengacara muda, memberi kesempatan kepada perempuan yang kurang mampu untuk menambah ilmunya. Ires setuju untuk ikut. Namun, ia harus tahu kapan suaminya berangkat ke kantor dan kapan suaminya pulang ke rumah. Awalnya kegiatan ini berjalan dengan mulus. Namun, tanpa disadari oleh Ires, Herlambang tiba—tiba pulang ke rumah lebih awal dan melihat Ires sedang menulis di meja makan. Herlambangpun tahu jika Ires mengikuti kelompok belajar tanpa sepengetahuan dirinya. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Ires mematung melihat suaminya yang tiba-tiba berada di hadapannya. Dia tidak mendengar suara mobil datang. Hari itu menjadi hari yang sangat naas bagi Ires. Setengah jam kemudian Ires meringkuk di pojok ruang makan, yang dilakukannya cukup lama, karena dia tidak bisa bergerak. Bergeming karena rasa sakit yang amat sangat. Tangannya memegang dada dan perut, mencoba menahan sakit itu. Warna ungu mulai terlihat di sekitar mata, lengan dan kaki. Tulang rusuknya seakan hancur. Ires berusaha berdiri, tapi terjatuh setiap kali. Herlambang duduk di kursi kebanggaannya menghisap rokok dalam-dalam sambil memandang Ires. Puas rasanya bisa mengeluarkan emosi yang terpendam sejak tadi (Oetoro, 2015 : 88).

Serupa dengan tokoh Ires, tokoh Diar juga mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh ayahnya. Kekerasan fisik ini terjadi setelah Sugeng, menjual Diar pada seorang laki-laki di sebuah hotel. Diar yang tidak terima dirinya dijual oleh ayahnya sendiri, hanya dapat menangis dan megatakan ketidaksetujuannya pada segala sesuatu yang telah dilakukan oleh Sugeng. Sugeng yang mendengar hal itu, langsung menampar Diar. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“Wes, ora popo. Ojo nangis, Ayok mulih,” kata Sugeng dengan mimik biasa-biasa saja, seolah tak ada apa-apa dan segera mengajak pulang.

“Bapak keterlaluan! Bapak sengaja ya? Aku diperkosa sama dia…” Tiba-tiba sesuatu terdengar keras. Rasa panas luar biasa di pipi kirinya, berubah dratis dari dingin yang dirasakan Diar sebelumnya karena sedang berada di area terbuka malam hari. Panas yang membakar, menjalar-jalar hingga ke mata, hidung dan seluruh wajah. Itulah tamparan keras dari Sugeng yang mendarat di pipi Diar, saat kalimat belum lagi selesai diucapkan. Saat kesedihan belum selesai dikeluhkan (Oetoro, 2015 : 61).

Tidak hanya ditampar oleh Sugeng, Diar juga ditarik dan dipaksa untuk naik ke motor yang mereka pakai untuk menuju ke hotel. Dengan kekuatan Sugeng sebagai laki-laki yang tinggal di desa, Diar tidak dapat mengelak dan hanya pasrah. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Dengan kekuatan seorang laki-laki yang biasa hidup di desa, dengan kekuatan seorang ayah yang diktator, ditariknya tangan Diar, diseretnya tubuh itu, dipaksanya naik ke boncengan motornya. Tanpa kata-kata lagi mereka bersepedamotor kembali ke kabupaten. Hanya suara mesin motor dan isak Diar yang terdengar (Oetoro, 2015 : 61).

Malam itu menjadi malam yang sangat kelam bagi Diar, karena pada malam itu ia dijual oleh ayahnya untuk menjadi perempuan pekerja seks. Pekerjaan yang bukan menjadi keinginan Diar. Diar merasa terpaksa melakukan hal tersebut karena ekonomi keluarganya yang berada di bawah garis kemiskinan dan menurut Sugeng, menjual anaknya yang masih muda pada laki-laki hidung belang adalah solusi yang tepat untuk meningkatkan ekonomi keluarga mereka. Hal ini terbukti bahwa beberapa hari kemudian, Sugeng memiliki modal untuk membeli peralatan tambal ban milik tetangga mereka yang sudah meninggal.

3.3.2 Kekerasan Verbal

Menurut Baryadi (2012:35-36) kekerasan verbal adalah kekerasan yang menggunakan bahasa, yaitu kekerasan yang menggunakan kata-kata, kalimat, dan unsur-unsur bahasa lainnya. Kekerasan verbal meliputi menghina, berkata kasar dan kotor.

Kekerasan verbal yang terjadi dalam novel ini dapat dilihat dari perkataan Herlambang terhadap Ires, istrinya. Herlambang yang dulunya sangat baik pada Ires dan keluarganya, berubah menjadi pemarah dan ringan tengan setelah menikah dengan Ires. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“Lama amat sih? Padahal, Cuma diminta beli rokok di warung depan, gimana kalau disuruh k Blok M…, bisa-bisa setahun baru balik. Kamu ketemu pacar ya?” teriak Herlambang, berdiri tegak di hadapan Ires (Oetoro, 2015 : 69)

Tak hanya saat diminta membeli rokok, perkataan sinis Herlambang juga terlontar saat Ires menyajikan ayam goreng yang terlihat lebih coklat dari

biasanya. Herlambang langsung menolak memakan makanan itu, dan menyuruh Ires membeli pecel lele di warung. Ires sempat merasa heran, tidak biasanya Herlambang menyuruh Ires membeli makanan di luar. Karena setiap Ires melakukan kesalahan saat menyajikan makanan, Herlambang langsung pergi membeli makanan sendiri. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“Goreng ayam saja nggak becus. Nggak berguna sekali hidupmu, Res. Beli pecel lele sana untukku. Ayam ini kamu yang makan, biar tahu

rasanya makan sampah.” Diambilnya uang dari dompetnya dan

dilempar begitu saja di atas meja untuk Ires memungut sambil terus menundukkan kepala. (Oetoro, 2015 : 73).

3.3.3 Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis termasuk kategori kekerasan nonseksual. Jenis kekerasan ini melibatkan secara langsung kondisi psikologis perempuan yang menjadi korbannya (Sugihastuti, 2010 : 183). Kekerasan psikis dapat mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis memiliki kaitan dengan kekerasan verbal dan kekerasan fisik. Karena kekerasan psikis merupakan akibat yang ditimbulkan dari kekerasan verbal dan kekerasan fisik.

Kekerasan psikis yang dialami oleh tokoh Ires, merupakan akibat dari kekerasan verbal dan kekerasan fisik yang dilakukan oleh suaminya, Herlambang. Ires sangat menghormati Herlambang sebagai suami dan kepala keluarga. Namun, rasa hormat yang diberikan oleh Ires, dibalas dengan pukulan dan makian oleh Herlambang. Awalnya Ires merasa Herlambang akan segera berubah dengan berlalunya waktu. Tetapi, semakin lama sindiran dan pukulan dari Herambang

semakin intensif dan membuat Ires tidak dapat melakukan apa-apa. Bahkan orang tuanya hanya menyarankan Ires untuk bersabar dan memperbanyak doa. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Sejak itu, dunia luar Ires tertutup. Jalan keluar apa yang bisa dicapai jika harus melawan seorang jaksa? Seorang yang memiliki koneksi dengan hamba-hamba hukum lainnya? Bagi Ires, tak ada. Bahkan orang tua Ires pun takut dengan ancaman-ancaman dari menantu mereka dan hanya meminta agar Ires lebih bersabar dan lebih banyak berdoa (Oetoro, 2015 : 72).

Kekerasan yang dilakukan oleh Herlambang, menyebabkan Ires merasa takut dan tidak berdaya untuk membantah semua yang dilakukan oleh Herlambang. Akibatnya, Herlambang semakin semena-mena terhadap Ires. Apalagi ketika Herlambang melihat Ires sedang belajar tanpa ijinnya. Emosinya seketika itu langsung meningkat. Tanpa peringatan terlebih dahulu, Herlambang langsung memukuli Ires tanpa ampun.

Diar, sahabat Ires yang khawatir dengan keadaan Ires datang menemui Ires. Apa yang dikhawatirkan oleh Diar memang benar terjadi. Ia melihat wajah Ires yang penuh dengan memar dan badannya pun semakin kurus. Diar mengajak Ires untuk kabur dari rumah. Namun, Ires menolak dengan alasan ia takut jika Herlambang mengetahui keberadaannya, Herlambang akan semakin menyiksa dan mengekangnya. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Mendengar cerita Ires, Diar langsung mengajaknya pergi dari rumah itu. Pertama-tama Ires menolak, takut Herlambang akan mengetahui keberadaannya. Selain itu, dia tidak berani karena tidak memiliki apa- apa untuk hidup sendiri. Ires pun masih ingat apa yang terjadi setelah ia kabur ke rumah orangtuanya. Dia ingat ancaman-ancaman Herlambang. Bulu kuduknya berdiri membayangkan kemungkinan- kemungkinan yang akan terjadi (Oetoro, 2015 : 89).

3.3.4 Kekerasan Kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan berbuat atau bertindak. Kekuasaan adalah kemampuan memobilisasi sumber daya (uang, orang) untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi relung kehidupan. Kekuasaan tidak bisa dinilai baik atau buruk. Kekuasaan bernilai netral (Barbara Booles dan Lydia Swan dalam Handayani dkk, 2008:168).

Ketika Ires menemani Diar pergi ke terminal untuk pulang ke Rembang, diam-diam Herlambang menyewa seorang tukang ojek untuk mencari informasi tentang keberadaan Ires yang menghilang setelah dipukuli habis-habisan oleh Herlambang. Dengan diketahuinya keberadaan Ires, Herlambang langsung berangkat menuju Rembang untuk mencari Ires untuk membalas dendam. Dengan menggunakan jabatannya sebagai jaksa, sangat mudah bagi Herlambang untuk mencari tempat tinggal Diar di Rembang. Akhirnya Herlambang menemukan tempat tinggal Diar. Ia pun mencari cara untuk membalas dendam pada Ires. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Dengan menggunakan jabatannya, Herlambang tidak memerlukan waktu lama untuk mendapatkan keterangan mengenai Diar dan di mana kemungkinan dia tinggal. Dua hari dia menunggu dengan sia- sia saat Ires keluar rumah sendiri. Tempat dia menunggu semakin tak nyaman. Dia tak bisa berlama-lama berada di warung tetangga Mbah Karto karena mengundang tanda tanya pemilik (Oetoro, 2015 : 103).

Agar tetangga Mbah Karto tidak mencurigainya, Herlambang akhirnya bersembunyi di balik ilalang di dekat tambak. Amarahnya semakin meningkat setelah serangga-serangga yang ada di tambak mulai mengigitnya. Matahari mulai terbenam. Ini adalah saat yang tepat bagi Herlambang untuk memulai rencananya,

yaitu membakar rumah Mbah Karto beserta penghuninya. Termasuk Ires dan teman-temanya yang sedang ada di dalam rumah Mbah Karto. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Matahari terbenam merupakan saat yang paling tepat untuk mengendap-endap menyiram bensin di sekeliling rumah. Tidak akan ada yang melihat. Mata Herlambang bersinar mengikuti gerakan api yang berkobar. Dilihatnya Ires pontang-panting berusaha memadamkan karyanya. Sengaja dia menampakkan diri agar Ires bisa melihatnya, agar Ires bisa merasakan penderitaannya, agar Ires bisa menyesali perbuatannya telah meninggalkan dirinya, agar Ires bisa merasakan semua itu sebelum dia perlahan mati terbakar (Oetoro, 2015 : 104).

Pada saat Ires dan teman-temannya tengah saling membantu untuk memadamkan api yang semakin membesar, Herlambang memunculkan dirinya, agar Ires dapat melihat dirinya dan dapat mengingat kesalahan-kesalahan yang telah dibuat oleh Ires pada Herlambang. Ires yang melihat keberadaan Herlambang, langsung merasa bersalah karena sudah membawa teman-teman barunya ke dalam masalahnya dengan Herlambang. Setelah melihat hasil karyanya, Herlambang merasa puas karena sudah membalaskan dendamnya pada Ires.

Tak lama setelah musibah yang mereka alami, Ires mulai berani untuk menceritakan segala sesuatu yang ia lihat pada saat kebakaran terjadi. Karina yang memiliki teman seorang pengacara langsung menghubunginya untuk membantu menyelesaikan permasalahan Ires dan Herlambang. Tak lama setelahnya, Herlambang dimasukkan ke dalam penjara dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga dan percobaan pembunuhan.

Tak terima dengan perlakuan teman-teman Ires. Herlambang kembali menyusun rencana untuk membalas dendam pada Ires. Walaupun ia dipenjara, Herlambang tetap berusaha agar seluruh rencananya dapat terlaksana dengan baik. Ia juga rela berbuat baik pada Ires, agar Ires percaya bahwa Herlambang telah berubah menjadi lebih baik. Untuk melancarkan rencananya itu, Herlambang meminta Ires untuk datang ke Rembang, untuk mengantarkan surat perjanjian jual beli rumah mereka. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

“Herlambang meminta Ires untuk menemuinya di rumah tahanan di Rembang, untuk membicarakan masalah rumah yang mereka tempati selama ini. Namun, Herlambang memberi kejutan pada Ires dengan menemuinya di hotel tempat Ires menginap. Ires sangat terkejut karena Herlambang berdiri didepannya. Herlambang bercerita bahwa ia berkelakuan baik saat di rutan. Sehingga ia boleh pergi hingga jam enam sore. Ires sama sekali tidak tahu bahwa Herlambang telah membayar puluhan juta pada seorang sipir agar ia boleh keluar selama sehari.” (Oetoro, 2015 : 213).

Setelah pertemuan hari itu, Ires tidak pernah terlihat lagi. Bahkan ia tidak sempat untuk mengucapkan sepatah kata pun pada teman-temannya. Dendam Herlambang telah terbalaskan. Hanya dengan uang dan kekuasaan, Herlambang dapat membalaskan seluruh dendamnya pada Ires. Tak berapa lama, kematian Ires terungkap. Teman-temannya pun membangun sebuah yayasan yang diberi nama SRI, untuk membantu perempuan-perempuan yang teraniaya. Agar kekerasan yang dialami oleh Ires tidak terjadi lagi, dan mereka dapat membantu mencari solusi.

3.4 Rangkuman

Pada bab III telah dianalisis mengenai budaya patriarki dalam novel

Rembang Jingga. Budaya patriarki yang dianalisis pada bab ini meliputi,

stereotipe gender dan kekerasan gender. Stereotipe gender akan dibagi menjadi dua yaitu pembagian kerja dan pendidikan.

Pembagian kerja yang dimaksud adalah pembagian kerja berdasarkan di luar rumah (publik) dan di dalam rumah (domestik). Pembagian kerja di luar rumah sering kali merugikan kaum perempuan yang bekerja, karena kaum perempuan yang bekerja hanya dianggap sebagai penambah gaji suami dan bukan sebagai pencari nafkah utama, sehingga kaum perempuan hanya bekerja yang sesuai dengan kegiatan mereka sehari-hari, seperti menjadi pengajar, menjadi perawat, dst. Namun, ada beberapa kaum perempuan yang mengalami nasib yang kurang baik. Mereka menjadi korban dari stereotipe gender, yaitu tidak diperbolehkan untuk bekerja.

Pada pembagian kerja di dalam rumah, kaum laki-laki tidak mendapatkan tanggung jawab yang sama dengan kaum perempuan. Kaum laki-laki dibebastugaskan dari seluruh pekerjaan rumah, seperti memasak, menyapu, dst. Berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan lebih mendapat tanggung jawab yang besar terhadap kebersihan rumah. Mereka harus selalu menjaga kebersihan dan kerapihan rumah mereka. Jika ada kaum perempuan yang membiarkan rumah mereka dalam keadaan yang tidak rapih, maka mereka akan dianggap sebagai perempuan yang malas dan tidak mau bekerja, serta dianggap tidak sesuai dengan kodrat dari kaum perempuan sebagai ibu rumah tangga. Tidak hanya

bertanggungjawab terhadap kebersihan rumah, kaum perempuan juga bertugas untuk mendidik, merawat dan membesarkan anak, tanpa bantuan dari suami mereka dengan alasan bahwa kaum laki-laki bekerja mencari nafkah bagi keluarganya.

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Tidak hanya bagi kaum laki-laki saja, namun kaum perempuan juga memerlukan pendidikan yang tinggi. Tetapi banyak orang menganggap ilmu yang akan didapatkan oleh kaum perempuan tidak akan digunakan saat mereka mengurus rumah tangga. Faktor ekonomi juga berpengaruh pada kelangsungan pendidikan dari kaum perempuan.

Kekerasan gender akan dibagi menjadi empat yaitu kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikis dan kekerasan kekuasaan. Kekerasan fisik sering menimpa kaum perempuan karena dianggap lemah dan tidak dapat melawan kekuatan kaum laki-laki yang lebih kuat dari kaum perempuan. Kekerasan fisik dapat terjadi akibat kecemburuan dan kesalahpahaman yang terjadi pada salah satu pihak dalam sebuah rumah tangga.

Kekerasan verbal merupakan kekerasan yang dapat “menampar” korbannya secara tidak langsung. Kekerasan ini menggunakan kalimat atau kata-kata yang bernada sinis maupun kotor. Sering kali penutur sengaja menggunakan kekerasan verbal untuk meyakiti lawan bicaranya.

Kekerasan psikis merupakan akibat yang ditimbulkan dari kekerasan verbal dan kekerasan fisik. Akibat dari kekerasan fisik, korban akan merasa takut untuk melakukan perlawanan terhadap pelaku kekerasan psikis. Mereka merasa

takut untuk melawan karena korban dari kekerasan psikis sudah membayangkan tindakan selanjutnya yang akan dilakukan oleh pelaku kekerasan ini.

Kekerasan kekuasaan bertujuan untuk menguntungkan salah satu pihak. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan jabatannya untuk mendapatkan sebuah informasi penting.

BAB IV

PENUTUP

4.1Kesimpulan

Pada bab II telah dibahas mengenai alur dari novel Rembang Jingga yang dibagi menjadi tiga yaitu tahap awal, tahap tengah dan tahap akhir. Tahap awal menceritakan mengenai pertemuan Ires dan Herlambang pertama kali di klinik saat menemani orang tuanya berobat. Tahap kedua menceritakan hubungan Herlambang dan Ires pada saat mereka telah menikah. Ires mengalami banyak kekerasan baik fisik maupun verbal. Pada bagian ini Ires mulai menemukan teman-teman baru yang dapat mengeluarkannya dari permasalahan rumah tangganya. Pada bagian akhir, Ires akhirnya ditemukan tewas setelah bertemu dengan Herlambang untuk menyelesaikan penjualan rumah mereka. Pertemuan antara Herlambang dan Ires sama sekali tidak diketahui oleh teman-temannya. Ires merasa bahwa Herlambang sudah berubah dan menjadi lebih baik, maka ia berani untuk menemui Herlambang, tanpa ditemani oleh teman-temannya.

Tokoh dalam novel ini dibagi menjadi tiga, yaitu tokoh utama protagonis, tokoh utama antagonis dan tokoh tambahan. Tokoh utama protagonis dalam novel ini adalah Ires. Tokoh utama antagonis adalah Herlambang. Keduanya menjadi tokoh utama karena sering muncul dan menjadi penggerak alur. Tokoh Ires menjadi tokoh protagonis karena tokoh ires tokoh yang diutamakan ceritanya dan

merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, ia juga merupakan tokoh yang sering menghadapi banyak permasalahan. Tokoh Herlambang menjadi tokoh antagonis karena beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung maupun tidak langsung, baik fisik maupun batin.

Tokoh Ires digambarkan sebagai tokoh perempuan yang lemah lembut dan memiliki sikap nrimo atau menerima semua keadaan yang menimpa dirinya. Hal ini dibuktikan ketika ayahnya harus pensiun dini karena kecelakaan kerja yang menimpa ayahnya. Ires dengan sabar menerima kenyataan yang harus

Dokumen terkait