• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS STRUKTUR NOVEL REMBANG JINGGA

3.2 Stereotipe Gender

Stereotipe secara umum adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu (Fakih, 2003: 16). Gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang dikostruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yang panjang (Fakih, 2003:72). Sementara itu, stereotipe gender yang terjadi dalam masyarakat, merupakan diskriminasi yang terjadi pada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Diskriminasi ini yaitu keyakinan

masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah dan pekerjaan yang dilakukan kaum perempuan dinilai hanya sebagai “tambahan” dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah (Fakih, 2012 : 74). Di rumah, perempuan memasak, membersihkan rumah, dan merawat anak, sedangkan laki-laki berkebun, merawat mobil, dan memperbaiki rumah (Sugihastuti, 2010 : 57).

Kesimpulan dari para ahli di atas adalah stereotipe gender merupakan pelabelan yang dibentuk oleh masyarakat terhadap kaum laki-laki dan perempuan, yang menyebabkan diskriminasi terhadap kaum laki-laki dan kaum perempuan. Diskriminasi ini menyebabkan kaum perempuan menjadi kurang dihargai, dalam hal pendapatan. Mereka dianggap hanya sebagai pelengkap gaji suami, bukan sebagai pemenuh kebutuhan. Pandangan ini disebabkan karena tidak sesuai dengan pekerjaan sehari-hari kaum perempuan. Berdasarkan konsep stereotipe gender tersebut, dalam penelitian ini stereotipe gender yang tergambar dalam novel Rembang Jingga terhadap pembagian kerja dan pendidikan.

3.2.1 Stereotipe Gender dalam Pembagian Kerja

Stereotipe gender dalam novel ini terlihat yaitu di luar rumah dan di dalam rumah. Pembagian kerja di luar rumah berhubungan dengan mencari nafkah baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan. Pembagian kerja di dalam rumah yaitu pekerjaan yang berhubungan dengan merawat anak dan bertanggung jawab dalam unsur rumah tangga. Stereotipe gender yang terjadi dalam novel ini adalah pembagian beban kerja yang diterima oleh kaum laki-laki dan perempuan.

Pembagian beban kerja yang dimaksud adalah dalam hal mencari nafkah dan pekerjaan dalam rumah tangga.

3.2.1.1 Di Luar Rumah (Publik)

Kaum laki-laki sering diidentikan sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga, sehingga kaum laki-laki akan melakukan pekerjaan apa saja untuk mencari nafkah bagi keluarga. Misalnya saja bekerja sebagai pedagang, tukang bangunan, pegawai, dst. Sementara, kaum perempuan hanya dianggap sebagai penambah gaji suami, sehingga pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum perempuan hanya berkisar pada pekerjaan tertentu yang mengacu pada kegiatan sehari-hari seperti memasak, mengajar, merawat, dst. Namun, beberapa kaum perempuan menjadi korban dari stereotipe gender, yaitu tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah, dengan alasan bahwa kaum laki-laki bertanggung jawab untuk membiayai kebutuhan mereka sehari-hari, serta kebutuhan lainnya.

Sebagai seorang kepala keluarga, ayah Ires memiliki tanggung jawab untuk mencari nafkah bagi kebutuhan keluarganya, serta membiayai sekolah anaknya. Namun, kecelakaan sepeda motor yang dialami oleh ayah Ires, meyebabkan Ires harus berhenti bersekolah dan menikah dengan kekasihnya yang bernama Herlambang. Herlambang merupakan seorang jaksa muda dianggap memiliki penghasilan yang stabil, sehingga dapat memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan Ires. Dengan kedudukannya sebagai jaksa muda, Herlambang memiliki hak untuk melarang istrinya untuk tidak bekerja mencari nafkah. Herlambang juga memiliki pandangan bahwa kaum perempuan harus berada di rumah untuk memasak,

membereskan dan membersihkan rumah. Untuk itu, Herlambang sering menelepon ke rumah untuk memastikan apakah Ires ada di rumah atau tidak, dan memastikan apakah pekerjaan yang dikerjakan Ires berjalan dengan baik. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Namun, dengan adanya pernikahan, Herlambang semakin mengekang Ires. Semua kegiatan dimonitor dan dicurigai. Segala pengeluaan diperiksa, semua harus dengan tanda bukti. Dia bisa menelepon Ires di rumah beberapa kali sehari hanya untuk mengecek istrinya ada di rumah atau tidak (Oetoro, 2015 : 71).

3.2.1.2 Di Dalam Rumah (Domestik)

Pekerjaan domestik selalu diidentikan dengan kaum perempuan, sehingga terbentuk sebuah anggapan, bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya banyak perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapihan rumah tangganya (Fakih, 2012 : 21). Sementara kaum laki-laki diperbolehkan untuk tidak membantu kaum perempuan, untuk mengerjakan pekerjaan domestik atau pekerjaan rumah tangga. Selain bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, kaum perempuan juga memiliki tugas untuk merawat, membesarkan dan mendidik anak. Sesuai dengan peran gender yang dibentuk oleh masyarakat, kaum perempuan dituntut untuk dapat mengasuh dan mendidik anak, dari kecil hingga dewasa. Sementara itu, kaum laki-laki kurang begitu mengambil peran ini, dengan alasan kaum laki-laki lebih sering berada di luar rumah untuk mencari nafkah, dibandingkan dengan kaum perempuan. Maka dari itu, kaum perempuan dianggap memiliki peran penting terhadap tumbuh kembang anak, yang menyebabkan apabila seorang anak memiliki perilaku yang kurang baik, maka ibunya yang akan

disalahkan terlebih dahulu dibandingkan dengan ayahnya. Perempuan sebagai subjek yang mengandung anak, tidak hanya bertugas melahirkan, namun juga membesarkan. Untuk urusan pemeliharaan, pekerjaan perempuan tidak hanya dilakukan untuk anak-anak melainkan juga seluruh keluarga. Selain itu, perempuan dibebani tugas merawat rumah tempat tinggal mereka. Bila pembagian kerja hanya mengacu pada jenis kelamin maka perempuan bertugas mengandung dan mengasuh anak sedangkan si laki-laki tidak (Sugihastuti, 2010 : 54-55).

Tokoh Ires mengalami stereotipe gender dalam hal tanggung jawab terhadap rumah tangga. Sehingga ia bekerja keras untuk selalu membesihkan dan merapihkan rumahnya, serta menjaga agar rumahnya selalu bersih. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Mata Ires memerah menahan tangis melihat keadaan rumahnya. Rumah yang selama ini selalu dia jaga kebersihannya. Tumpukan piring gelas kotor dibiarkan begitu saja di tempat cuci piring. Baju- baju yang telah dipakai berserakan di lantai kamar. Puntung-puntung rokok menggunung di meja dengan abu dimana-mana. Di atas meja makan terdapat berkas-berkas dan beberapa catatan yang dibuat Herlambang. Semua tampak berantakan dan seperti ditinggalkan dalam keadaan terburu-buru (Oetoro, 2015 : 144).

Selain tokoh Ires yang mengalami stereotipe gender dalam hal tanggung jawab terhadap rumah tangga, tokoh Karina memiliki masalah yang sama, yaitu dalam hal mendidik dan membesarkan anak. Karina sebagai ibu harus mendidik dan mengasuh anaknya hingga dewasa tanpa bantuan dari ayah kandung anaknya dan tanpa dukungan dari keluarganya. Karina sadar bahwa sulit untuk mendapatkan dukungan dan bantuan dari orangtuanya untuk membesarkan anak dari hasil hubungan terlarang dengan pacarnya yang bernama Dodi. Namun,

Karina tetap mempertahankan anaknya itu dan merawatnya hingga dewasa. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Dulu Karina selalu bertanya-tanya dalam hatinya mengapa Dodi sampai hati meninggalkannya saat dia begitu membutuhkan pacarnya itu. Kini tak ada lagi rasa keingintahuan tersebut. Aral melintang di saat kehamilan, kemarahan dan pengucilan oleh orangtuanya yang sampai sekarang masih bersikap dingin kepada dirinya, semua dilalui dengan sabar (Oetoro, 2015 : 112).

3.2.2 Stereotipe Gender dalam Pendidikan

Pendidikan merupakan hal wajib yang harus dilaksanakan oleh semua orang. Namun, ada beberapa orang juga menganggap bahwa pendidikan tidak terlalu penting. Apalagi bagi kaum perempuan, sehingga kaum perempuan tidak diizinkan untuk melanjutkan pendidikannya, dengan alasan kaum perempuan pada akhirnya akan mengurus anak dan rumah tangga. Banyak orang menganggap ilmu yang kaum perempuan dapatkan, pada saat menempuh pendidikan tidak akan digunakan saat mereka mengurus rumah tangga. Dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa „menganggap penting‟ kaum perempuan. Misalnya, ada anggapan perempuan nantinya akan kembali bekerja di dapur, mengapa harus sekolah tinggi-tinggi? (Fakih, 2003:73). Kondisi pendidikan perempuan memang mengalami banyak peningkatan mulai tahunn 1550-1700, namun perempuan tetap dilarang untuk mendapat pendidikan pada tingkat universitas (Gamble, 2010 : 4).

Dalam novel ini, tokoh Ires juga mengalami hal yang sama. Ia tidak diperbolehkan melajutkan pendidikannya yang tertunda akibat kecelakaan kerja yang menimpa ayahnya. Pada saat ayah Ires mendengar bahwa anaknya akan

menikah dengan seorang jaksa muda, ayah Ires berpikir bahwa menantunya nanti akan memperbolehkan Ires untuk melanjutkan pendidikannya. Karena Herlambang yang memiliki ekonomi yang cukup, dianggap mampu oleh orang tua Ires untuk membiayai pendidikan Ires. Namun, pada kenyataanya, Herlambang melarang Ires untuk melanjutkan pendidikannya. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Darahnya mendidih kembali melihat Ires sedang sibuk melakukan aktivitas yang tidak ia ketahui sebelumnya. Begitu melihat tumpukan kertas di meja makan, Herlambang langsung tahu, istrinya punya kegiatan rahasia, kegiatan yang tak pernah disetujuinya. Ikut kelompok belajar. Sekolah! Tanpa izin darinya!

(Oetoro, 2015 : 88).

Tokoh Diar juga harus mengalami nasib yang sama dengan tokoh Ires. Pada saat Diar tengah menempuh pendidikannya yang akan memasuki kelas 2 SMP di Jakarta, Sugeng, meminta Diar untuk datang ke Rembang membantu di warung milik Sugeng. Awalnya Diar sempat menolak karena ia masih ingin bersekolah dan bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun, karena perintah dari neneknya, akhirnya Diar pergi juga ke Rembang untuk membantu kedua orang tuanya dan meninggalkan pendidikannya di Jakarta. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

Diar diajak si Mbah ke Jakarta, menjadi asisten rumah tangga keluarga Anwar. Di Jakarta enak, bisa sekolah, bermain menjadi anak-anak yang sesungguhnya, walau kadang-kadang membantu si Mbah melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Baru saja akan memasuki kelas 2 SMP, Diar dijemput Sugeng untuk tinggal di warung bersamanya dan si Mbok (Oetoro, 2015 : 62).

Dokumen terkait