Membangun Karakter melalui Manajemen Konflik
3. Kekhasan Manusia
Manusia yang unggul adalah yang mampu mendefinisikan diri (nafs)-nya dengan baik, sitematis dan konsisten. Ia memiliki dimensi khusus dibandingkan dengan makhluk Allah Swt. yang lain dan selalu membawa kekhasan tersendiri. Ia dituntut mengenal dirinya sendiri untuk mencapai keseimbangan hidup. Berikut adalah kekhasan manusia yang perlu diketahui sebagai jalan pengenalan diri, yaitu:
68
Diri atau nafs (jiwa) memiliki dua kecendrungan yaitu; (1) baik dan buruk kemudian (2) dorongan dan tingkah laku. Keduanya adalah indikasi manusia yang tidak selamanya baik atau selamanya buruk. Tidak dibenarkan suatu tindakan (persepsi) pendewaan kepada seseorang yang sedang baik atau penghinaan kepada yang kebetulan berbuat salah. Selain jalur hukum dan para penegak hukum tidak dibenarkan orang mengungkit aib orang lain dan memvonis seseorang yang sedang melakukan kesalahan.
2. Hati (Qalb)
Melihat eksistensi qalb yang fitrahnya adalah bolak-balik, naik-turun, mengindikasikan adanya getaran (vibrasi) yang menggambarkan kehidupan. Denyutan nadi dan sirkulasi darah dipersatukan dalam gerakan tersebut, diamnya adalah kematian dan getarannya adalah kehidupan. Di balik itu semua boleh juga digambarkan dengan iman yang naik dan turun. Tak disebut manusia jika keimanannya stabil, manusia diciptakan tetap dalam dua persimpangan kehidupan yang satu ke arah keburukan dan satu ke arah kebaikan.
Gerakan ke dua arah tersebut hendaklah disikapi bahwa baik buruk merupakan garis yang harus disikapi dengan baik. Sikap inilah yang akan menentukan hakikat diri di hadapan Allah swt. Abil Husein al-Bashri berkata: “Hidupnya hati karena hati itu sendiri memiliki pengetahuan dan kodrat”. Jika hati itu tak berpengetahuan maka hati itu akan kosong. Kebahagiaan dalam beribadah misalnya merupakan pencapaian mutlak bagi manusia yang tekun dan taat dalam penghambaannya kepada Tuhan.
3. Akal
Menurut Ma'an Ziyadat dan ar-Raghib al-Ashfahaniy secara etimologi akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr (menahan), an-nahy (melarang), dan man'u (mencegah). Memang kata akal sendiri tidak ditemukan dalam bentuk kata benda (noun), sehingga perlu tinjauan lain untuk mengetahui pemaknaan sebenarnya tentang akal.
Akal juga biasa disinonimkan dengan otak yang menurut Malinda Jo Levin otak kiri (left brain) bekerja untuk hal-hal yang bersifat logic, seperti bahasa, berbicara, hitungan matematika dan menulis, sedangkan otak kanan (right brain) bekerja untuk hal-hal yang bersifat emosi, seperti seni, apresiasi, intuisi dan fantasi.
Ramachandran dan Marshall mengatakan bahwa di bagian depan otak manusia (lobus frontalis), terdapat suatu bagian tertentu yang apabila diberikan rangsangan-rangsangan gelombang mikro elektronik maka orang yang bersangkutan akan merasakan sebuah kekhusukan, kedamaian, rasa dekat kepada Tuhan. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa di
69
bagian otak ini ada titik yang menghubungkan dengan jiwa, kalbu dan kemudian kepada Tuhannya. Titik ini mereka sebut sebagai God Spot.
Akal merupakan fasilitas manusia untuk memahami dan menyampaikan materi atau informasi secara sistematis dan terukur. Kemampuannya tentu terbatasi oleh kekurangan seseorang dalam mencurahkan daya-dayanya baik dalam bentuk verbal atau tulisan. Pembatasan itu sendiri sebenarnya masih relatif dan dinamis, tidak bisa dikondisikan hanya melihat kurun waktu atau zaman kehidupan yang sedang berlangsung saat ini, tapi penting juga dengan membandingkannya dengan masa silam. Bukankah kemampuan manusia dalam menyampaikan pesan baik secara verbal atau tulisan bahkan isyarat terus berkembang dari waktu ke waktu. Itualah contoh perkembangan dinamis suatu alat ukur kemanusiaan berbentuk kognitif yang rasional.
4. Nafsu Syahwat
Kesibukan dengan dunia dan dominasi syahwat pada qalbu mewariskan seluruh sifat-sifat tercela. Maka tidak ada harapan untuk bisa taqarrub kepada Allah, sepanjang sifat-sifat-sifat-sifat tercela itu tidak diganti dengan sifat-sifat terpuji (al-Ghazali, 2005:08). Syahwat akan selalu mendorong pemiliknya ke arah negatif jika terlalu mendominasi setiap gerak-gerik dan tingkah laku. Mau tidak mau cara untuk memperbaiki diri adalah dengan konsisten menjalankan akhlak yang terpuji, yaitu lawan dari segala perbuatan yang dianggap buruk oleh syariat.
Ketika manusia melakukan dosa, itu merupakan kebodohan dan kedunguan, maka diperintahkannya untuk secepat mungkin bertaubat agar mendapatkan ampunan dari Allah Swt. Namun yang terjadi biasanya para pendosa dari bangsa manusia tersebut justru tenggelam dan larut, merasakan kenikmatan semu dalam dosa, Thorndike menggunakan istilah hedonistic, yaitu ingin selalu mencari kenikmatan dan menghindari kesakitan. Mereka sebenarnya selalu berfikir untuk tidak memperturutkan nafsu syahwatnya. Tapi bagi orang yang memperturutkan nafsu syahwat, mereka adalah orang yang tahu akan kebenaran dan bahkan tahu kesalahan tapi tetap berpaling dari kebenaran.
Syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala yang menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan eppetite, yaitu suatu hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu) motif atau impuls berdasarkan perubahan keadaan fisiologi, Mujib dan Mudzakir (2002:56).
70 5. Hawa Nafsu
Menurut Mubarok (2005:120), hawa nafsu adalah dorongan (syahwat) kepada sesuatu yang bersifat rendah, segera dan tidak mengindahkan nilai-nilai moral. Jika seseorang dalam menentukan pilihan lebih dipengaruhi oleh hawa maka kecendrungannya adalah pada kenikmatan segera atau pada kenikmatan sesaat, bukan pada kebahagiaan abadi.
6. Mata Hati (Basyirah)
Menurut Mubarok (2002:30) Basyirah berarti pandangan mata batin atau pandangan mata hati sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Mubarok juga menegaskan bahwa ada perbedaan antara hati (qalb) dengan mata hati (basyirah) yaitu pada karakternya. Menurutnya qalb yang mempunyai karakter tidak konsisten itu masih dapat menipu diri, pura-pura tidak tahu, maka basyirah itu selalu konsisten, jujur dan peka.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauzy basyirah adalah cahaya yang ditempatkan Allah di dalam hati manusia (nûrun yaqdziquhullah fî al-qalb). Jadi basyirah ditempatkan di dalam qalb memilki kecendrungan yang konsisten karena ia berada di dalam qalb maka orang yang qalb-nya sakit, yaitu mereka yang penuh dengan dosa tentu tidak akan memperoleh pandangan mata hati (basyirah) ini karena terhijab (terbatasi) oleh dinding hitam atau setidaknya bintik-bintik hitam (dosa).
Pandangan mata hati akan lebih jauh mendatangkan pemahaman yang mendalam dan lebih akurat dari pada pandangan mata kepala. Orang yang mata hatinya telah hidup berarti telah mampu untuk mendiagnosa penyakit orang lain disekitarnya. Karena pandangan mata hati dapat menembus hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh mata kepala.
Sebagai seorang muslim, memahami keenam hal tersebut sangat membantu untuk mengatur konflik pada diri baik secara horizontal maupun vertikal. Setiap muslim memiliki dua tugas pokok yaitu hubungan dengan makhluk secara baik dan hubungan dengan Allah Swt. sebagai suatu pengabdian dan tempat mengadu terhadap segala permasalahan yang muncul dalam menjalani kehidupan. Agama dalam hal ini diprioritaskan sebagai tolok ukur kesuksesan seorang muslim.
Carl Gustav Jung mengatakan bahwa agama merupakan salah satu bentuk yang membersit dari bawah sadar manusia. Pernyataan Freud, bahwa semua kandungan bawah sadar hanya terbatas pada kecendrungan-kecendrungan seksual yang lari dari kesadaran manusia menuju bawah sadarnya, tidak dapat dibenarkan. Pemikiran Jung yang bertentangan dengan Freud yang tidak lain adalah guru sekaligus temannya, terindikasi dari keritikan Jung bahwa pemikiran Freud dikedepankan oleh unsur destruktif (rusak), yaitu penelitian dari
71
kecendrungan orang-orang yang berbuat salah dan mendapatkan masalah (problem) dalam hidupnya. Mereka rata-rata adalah para penderita penyakit yang disebabkan oleh tidak dipenuhinya kebutuhan primer atau lebih dikenal dalam istilah Freud dengan ID, sehingga konstruksi pemikirannya merujuk pada sumber utama penyebab penyakit yang diderita.
Menurut Baharuddin (2005:227), perilaku beragama masyarakat pada saat ini, kebanyakan berada pada level normativitas dan sedikit yang berada pada level historitas agama. Artinya ada disintegrasi kepribadian pada level normativitas yaitu adanya jurang pemisah antara keyakinan dengan tingkah laku. Sedangkan secara historitas penghayatan dan pemahaman agama tampil dalam tingkah laku nyata. Agama menjadi hidup dan fungsional serta bersifat nyata, kreatif, spontan, berkembang terus berdasarkan pengalaman kehidupan nyata dan orisinil.
Pendapat Baharuddin tersebut hendaklah diselami bagi siapapun yang sedang menggali kajian psikologi dari sudut pandang Islam. Mengaktualkan sebuah gagasan mulia yang tidak lagi normatif sebagaimana yang sekarang sedang berkembang, akan mengarahkan perbuatan yang berorientasi kepada Tuhan (devine God oriented). Keorisinilan akan lahir dalam kaca mata Tuhan, bukan lagi dalam kaca mata manusia yang lebih mengedepankan kognitif.
Sebuah teori tentang penguatan sekunder karya seorang psikolog Amerika Clark L.Hull (Chaplin:231) menjelaskan bahwa pemunahan dan penghambatan disebabkan oleh pengulangan tanpa upaya penguraian pada reaksi-reaksi.
Setiap muslim yang sudah baligh terkenai hukum taklifi, yaitu suatu kewajiban untuk menjalankan perintah dan meninggalkan larangan yang tertulis dengan baik dalam kitab-kitab fiqh. Perintah shalat misalnya, shalat wajib adalah sebuah keharusan yang tidak boleh ditinggalkan sebab jika ditinggalkan akan melahirkan dosa karena sebuah pengingkaran terhadap perintah Agama. Pelaksanaa shalat yang rutin dilakukan setiap hari dan pada waktu yang sudah ditentukan akan mengalami masa kepunahan atau setidaknya hambatan pada diri seseorang. Teori Hull tersebut menganjurkan adanya penguatan sekunder yang tentunya sejenis dalam hal ini berarti shalat sunnah. Shalat sunnahlah yang akan memberikan penguatan sehingga rutinitas shalat wajib akan lebih dinamis dan pelaksaan shalat sunnah akan membuat shalat wajib lebih bermakna.
Amalan-amalan sunnah dalam islam adalah penguatan sekunder yang menyebabkan suatu tindakan atau perilaku yang diulang-ulang terasa lebih segar dan tidak menjemukan. Demikian juga dalam proses belajar mengajar. Ada hal yang wajib dipelajari dan sifatnya sunnah. Kedua hal tersebut harus ditempatkan pada proporsinya masing-masing. Jika salah
72
dalam penempatan maka seperti yang dikatakan Hull bahwa prestasi akan hilang tanpa adanya kebiasaan dan kebiasaan akan hilang tanpa adanya dorongan. Dorongan yang diulang-ulang tanpa adanya penguatan juga akan menghilangkan dorongan itu sendiri.
Belajar al-Qur‟an adalah wajib. Mereka yang berprestasi di bidang ini akan menurun prestasinya tanpa adanya pengulangan untuk terus menelaah al-Qur‟an sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan membaca dan menelaah al-Qur‟an juga akan hilang tanpa adanya dorongan, yaitu adanya pahala yang banyak bagi mereka yang membaca dan menelaah al-Qur‟an. Dorongan itu sendiri akan hilang tanpa adanya penguatan yaitu dengan membaca buku-buku yang lain seperti hadis, fiqh dan ilmu agama yang lain juga ilmu-ilmu tentang sains dan teknologi.
Sebagai seorang muslim juga dituntut untuk mendalami penguatan sekunder pada bidang keilmuannya. Ia juga harus mengerti tentang ilmu komputer, fisika, biologi, dsb. Demikianlah yang pernah dilakukan oleh ulama-ulama besar Islam di zaman keemasannya. Mereka ahli hadis namun juga mampu menguasai ilmu kedokteran. Mereka ahli fiqh tapi kemampuannya di bidang antarikasa tidak diragukan.
Sebuah prinsip yang menghatarkan kepada ketangguhan seseorang di mata masyarakat yaitu kemampuan memahami perilaku dan ekspresi dari gaya hidup manusia dewasa ini. Di mana memberikan pemahaman dalam bentuk ilmu harus dibarengi dengan pemahaman seseorang secara psikologis. Kedekatan emosi sekali lagi adalah kunci keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar di manapun. Psikologi Islam dengan bijaksana mencoba mengisi ruang-ruang baru pada segala penemuan barat tentang manusia dan dengan adil memberikan proporsi yang tepat pada kebutuhan manusia yang haus akan pengetahuan terutama tentang dirinya sendiri.
4. Membangun Karakter melalui Manajemen Konflik
Banyak cara telah ditempuh untuk mengatasi sebuah konflik yang hakikatnya tidak akan pernah jauh dari diri manusia. Setiap pelajar selalu dihantui oleh ketakutan ketika menghadapi ujian. Timbul pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya. Seperti: Apakah saya dapat lulus ujian? Apkah soal-soal yang diberikan mudah? dsb. Sampai pikiran-pikiran yang picikpun mulai bermunculan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Seperti: Bagaimana kalau mencontek saja, yah? Apa tidak lebih baik membawa catatan kecil yang disembunyikan atau diselipkan di baju? dsb
73
Kejujuran harus diperthankan untuk meningkatkan kemampuan pribadi. Pada awalnya melakukan hal tersebut terasa berat dan seolah-olah membuat diri menjadi hancur. Seorang siswa yang berjuang keras untuk tidak mencontek jawaban temannya ketika ujian tentu akan merasa khawatir kalau-kalau jawabannya salah dan dia sendirian yang tidak lulus ujian. Tapi, bukankah itu pelajaran yang akan membuat dia lebih terdorong lagi untuk mempersiapkan diri sebelum masuk ruang ujian? Seorang siswa yang berjuang keras mencontek jawaban milik temannya atau bertanya kepadanya, saat itu ia akan merasa tenang, sebab muncul sebuah keyakinan kalau dia tidak lulus pasti tidak sendirian. Tapi, hal tersebut akan membuat dirinya malas untuk mempersiapkan diri sebelum memasuki ruang ujian dan tentunya akan merugikan dirinya sendiri.
Berikut adalah hasil akhir sebuah kejujuran dan kebohongan. Awal yang baik tentu akan menghasilkan akhir yang baik dan awal yang buruk akan menghasilkan akhir yang buruk pula.
Jalan pintas untuk menyelesaikan masalah bukanlah sebuah pilihan yang baik. Banyak proses yang ditinggalkan, terutama proses kemanfaatan, yaitu proses yang melibatkan kepekaan fisik, psikis dan spirit, juga pembelajaran praktis yang memicu kehangatan hubungan sosial. Seorang koruptor meskipun ia kaya raya dan terlihat bahagia pada kenyataannya ia sedang gelisah karena dihantui rasa bersalah. Dalam teori Freud tentang defence mechanism, dijelaskan bahwa siapapun tidak akan pernah mau dihakimi orang lain begitu saja. Ia akan selalu membela diri meskipun pada dasarnya bersalah. Bagaimana jika dirinya sendiri yang manyalahkan? Apakah masih ada yang perlu dipertahankan?
Bisikan-bisikan syetan mendorong manusia untuk berprilaku buruk. Jadi pembelaan diri itu tidak bersumber dari pribadi seseorang, sebab pribadi itu pada awalnya netral. Ketika terjadi konflik yang muncul dari luar diri, seperti ada yang menuduh, maka secara spontan dorongan luar yang lain akan memberi pembelaan. Demikian juga dengan konflik yang muncul dari dalam diri, sama-sama didorong oleh pembelaan dari luar diri. Bisikan syetan dan bisikan malaikat adalah dua kubu yang berlawanan yang saling dorong mendorong untuk
Kejujuran
Kebohongan
Sukar
Indah Kekecewaan
74
mempertahankan prinsip-prinsip yang dibawanya. Syetan akan membawa prinsip keburukan dan malaikat mengemban prinsip kebaikan.
Bisikan Syetan dan Malaikat silih berganti datang memunculkan konflik intern dan ekstern pada setiap manusia. Ada yang mampu mengelolanya dengan baik dan ada yang tenggelam kemudian larut dalam konflik yang berkepanjangan tanpa akhir yang baik. Sehingga dibutuhkan sebuah solusi pengelolaan konflik yang disebut dengan manajemen konflik.
Skema berikut menunjukan bahwa karakter seseorang ditentukan dari sifat dan sikap yang ada pada dirinya. Sikap dihasilkan dari buah pemikiran sementara sifat dihasilkan dari buah tindakan atau perilaku. Baik buruk karakter seseorang sangat ditentukan oleh tiga hal yaitu ilmu, pengalaman, dan iman. Ketiga hal tersebutlah yang menajdi ukuran dan perbedaan yang selama ini terjadi pada setiap orang.
Ilmu dihasilkan dari proses belajar. Siswa yang kurang ilmu akan mudah terseret untuk melakukan hal-hal yang negatif dan memilih jalan pintas dalam menyelesaikan masalah. Orang yang miskin ilmu tidak dapat menghargai sebuah proses yang tempuh dengan susah payah. Mental pencontek, koruptor, pencuri dsb adalah mental orang-orang yang tidak berilmu. Sebuah ilmu akan membimbing pada pemahaman ke arah kebaikan bukan sebaliknya. Pencapaian sebuah ilmu yang dikotori dengan ketidakjujuran dan dicapai dengan cara-cara tidak baik akan merusak si pencari ilmu sehingga ia terlihat pintar tapi sungguh kekerdilanlah yang dimilikinya. Ibnu al-Mubârak meriwayatkan sebuah hadîts dari
Bisikan Syetan Intern Konflik Sikap Sifat Karakter Ilmu Pengetahuan Iman Ekstern Konflik Bisikan Malaikat Pemikiran Tindakan
75
Rasulullah, yaitu: "Tidaklah seseorang itu dikatakan pandai dalam suatu ilmu jika belum menghiasi ilmunya dengan adab" (H.R, Hâkim).
Pengalaman setiap orang juga akan membentuk karakter yang berbeda-beda. Jika dalam menuntut ilmu diselingi dengan perbuatan-perbuatan yang tidak baik seperti tauran antar pelajar, penghinaan terhadap guru, bermusuhan dengan teman, mencuri, mencontek dsb, maka hasil dari proses belajar tersebut tidaklah maksimal. Pengalaman didasarkan pada perbuatan yang paling sering dilakukan. Jika perbuatan buruk yang dominan maka hasil dari belajarnya adalah buruk. Demikian juga dengan sebaliknya.
Iman adalah ukuran yang paling menentukan karakter. Meskipun terkadang orang yang beriman tidak menunjukan kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, namun mereka teruji untuk tetap memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Iman diajarkan dengan proses penteladanan bukan dengan penyampaian ilmu semata. Iman dilalui dengan proses ujian yang berat berupa kesulitan dan kekukarangan. Mentalitas seseorang yang beriman akan teruji ketika ia mampu melewati sebuah kondisi sulit dengan tidak mengubah ketaatannya kepada Allah Swt. Iman akan membentuk karakter seseorang jauh melewati batas-batas kewajaran, yaitu batas nilai kemanusiaan. Mereka yang beriman sudah siap mengorbankan jiwa raga dan hartanya untuk kepentingan Islam.
Konflik yang dapat dikelola dengan baik yaitu dengan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keimanan akan melahirkan pemikiran dan tindakan yang baik. Sehingga sikap yang muncul kepermukaan adalah sikap yang baik yang mampu menilai sesuatu secara objektif atau sifat yang muncul adalah sifat yang baik sebab perilakunya dihiasi dengan sesuatu yang disukai banyak orang dan dijadikan teladan. Perpaduan antara sikap dan sifat pada akhirnya akan membentuk sebuah character yang kokoh, dalam bahasa agama disebut dengan al-akhlakul karimah.
5. Penutup
Atas dasar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Konflik yang dapat dikelola dengan baik berdasar pada ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keimanan yang melahirkan pemikiran dan tindakan yang baik. 2. Sikap adalah buah pemikiran sedangkan sifat dihasilkan dari buah tindakan atau
perilaku.
3. Baik buruk karakter seseorang sangat ditentukan oleh sifat dan sikapnya. Jika sikap yang muncul kepermukaan adalah sikap yang baik yang mampu menilai sesuatu secara objektif dan sifat yang muncul juga adalah sifat yang baik sebab perilakunya dihiasi dengan sesuatu yang disukai banyak orang dan dijadikan teladan. Maka,
76
perpaduan antara sikap dan sifat yang baik tersebut pada akhirnya akan membentuk sebuah Karakter yang mulia, dalam bahasa agama disebut dengan al-akhlakul karimah.
6. Daftar Pustaka
1. Al-Gazali (2005), Raudhah Taman Jiwa Kaum Sufi, Penerjemah, M.Luqman hakim, Risalah Gusti, Cet:V.
2. Al-Qordhawi, Yusuf (1991), Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif
Sunnah, Penerjemah, Kamaluddin A. Marzuki, Remaja Rosdakarya, Bandung.
3. Ancok, Djamaluddin dan Suroso, Fuad Nashori (2004), Psikologi Islami, Solusi Islam
atas Problem-Problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakrata.
4. Baharuddin (2005), Aktualisasi Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
5. Baiquni, Ahmad (1994), Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Dana Bhakti Prima Yasa, Jakarta.
6. Bastaman, Hana Djumhana (2005), Integrasi Psikologi dengan Islam menuju
Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
7. Chaplin, J.P (2001), Kamus Lengkap Psikologi, Rajawali Press, Jakarta.
8. Iqbal, M (1975), The Reconstruction of Religious Though in Islam, Sh M.Ashraf, Lahore,
9. Maqdisi, Muflih Al (1997), Al-Adab As-Syar’iyah, Juz I, Mu‟assasah ar-Risalah, Beirut.
10. Miskawaih, Ibn (1994), Menuju Kesempurnaan Akhlak, Penerjemah, Helmi Hidayat, Mizan, Bandung.
11. Mubarok, Achmad (2002), Al-Irsyad An-Nafsiy Konseling Agama Teori dan Kasus, Bina Rena Pariwara, Jakarta.
12. Mujib, Abdul dan Mudzakir, Jusuf (2002), Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Rajawali Pers, Jakarta.
13. Rafiudin (2007), Psikologi Kehidupan, Athoillah Press, Jakarta 14. Sapuri, Rafy (2009), Psikologi Islam, RajaGrafindo, Jakarta
15. Shah, Idries (1996), Learning how to Learn Psychology and Spirituality in Sufi Way, peguin compass, Amerika.
16. Suroso, Fuad Nashori (2002), Agenda Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 17. Zahri, Mustafa (1976), Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya.
77 PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL
Kerangka Artikel terdiri dari : (1) judul, (2) abstrak, (3) pendahuluan, (4) kerangka teoritis yang dipakai dan hipotesis (jika ada), (5) metode penelitian, (6) analisis data dan pembahasan, (7) kesimpulan, implikasi dan keterbatasan, (8) daftar pustaka, dan (9) lampiran. Penjelasan untuk masing-masing sub dalam kerangka artikel adalah sebagai berikut :
Judul Penelitian
Judul harus menggambarkan hasil penelitian dan variabel-variabel, serta hubungan antara variabel tersebut bisa dilihat dalam judul tersebut. Judul artikel hendaknya paling banyak 12 kata.
Abstrak
- Bagian ini memuat ringkasan artikel dan berisi ide-idepokok, misalnya masalah, tujuan penelitian, metodologi, temuan dan implikasi.
- Disusun dalam 1 (satu) paragraf
- Disajikan di bagian awal atas dengan font Times New Roman 11 - Terdiri dari 100 sampai 150 kata
- Mencantumkan kata kunci (keywords) disebutkan dibawah paragraf abstrak sebanyak 2-5 kata yang khusus dan sering diipakai dalam artikel
Pendahuluan
Bagian ini berisi latar belakang, alasan penelitian, rumusan masalah, penyitaan tujuan, dan organisasi penulisan. Adapun penulisannya tidak memakai sub judul ( sub-heading ).
Kerangka Teoritis yang Dipakai dan Hipotesis (jika ada) Metode Penelitian
Bagian ini memuat langkah peneliti dalam melakukan penelitian, disajikan secara lengkap namun padat, mulai dari metode pengambilan sampel sampai dengan teknik analisis.
Analisis Data dan Pembahasan
Analisis data dan pembahasan diungkapkan denganm padat dan jelas, bukan merupakan barisan tabel data.
Kesimpulan, Implikasi dan Keterbatasan
Bagian ini merupakan penutup artikel. Simpulan ditulis tanpa nomor, dan disajikan dalam bentuk paragraf. Implikasi dan keterbatasan penelitian juga disajikan dalam bentuk paragraf Daftar Pustaka
Semua kutipan dan pustaka yang digunakan oleh penulis harus disajikan dalam bagian ini