• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELITIAN KELOMPOK DOA KARISMATIK KATOLIK

A. Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK)

3. Kekhasan PDKK

PDKK memang tidak dapat lepas dari pengaruh neo-pentakostalisme meskipun demikian Karismatik tetap bagian utuh dari Katolik. Banyak yang menjadi khas karismatik terutama dari cara berdoa, bahasa Roh Karunia Roh. Meski kebanyakan cara berdoa yang dipakai cenderung ramai karena menggunakan lagu Rohani populer namun tidak menutup kemungkinan Persekutuan doa Karismatik juga menggunkan metode hening dan khusyuk yang memberi kesempatan kepada setiap orang untuk dapat merasakan kehadiran Roh Allah dalam keheningan. Cara yang dipakai baik itu dengan hingar-bingar atau hening merupakan sebuah sarana agar tujuan dari Persekutuan doa Karismatik yaitu mendapatkan karunia Roh dapat tercapai. Kekhasannya justru terletak pada pengalaman Rohani akan pertobatan yang radikal yang mengajak seseorang untuk lebih merasakan kehadiran Roh Allah dan hidup kudus seturut kehendak Allah

a. Cara berdoa

Kekhasan PDKK adalah cara berdoa yang cenderung ramai dengan diiringi musik Rohani populer jika dibandingkan dengan liturgi Gereja Katolik umumnya yang cenderung hening dan khusyuk (Pidyarto Gunawan, 2000: 60). Melihat dari sejarah perkembangan liturgi Gereja ada peralihan dari suasana liturgi Gereja perdana yang bebas, spontan, penuh antusiasme dengan musik yang hingar bingar dan gerakan tubuh yang asli ke sebuah bentuk liturgi yang lebih tenang, terstruktur, dan tidak banyak melibatkan ekspresi tubuh yang spontan. Pengaruh akar-akar kebudayaan yang lebih kusyuk dan hening mempengaruhi gaya berdoa di suatu daerah, di sisi lain jika melihat perayaan Ekaristi pada kebudayaan Afro-Afrika yang berkembang justru perayaan Ekaristi yang diiringi dengan musik, gerakan tubuh, dan ungkapan-ungkapan emosi yang histeris. Cara ini dipakai karena lebih sesuai dengan kebudayaan setempat dan memberikan kenyamanan. Artinya gaya bernyanyi dengan tepuk tangan, menari atau gerakan tubuh yang spontan dan misa yang hingar-bingar, meskipun sudah melekat dengan identitas PDKK bukanlah ciri mutlak Persekutuan Karismatik (Deshi Ramadhani, 2008: 234).

b. Kesadaran baru akan peranan Roh Kudus

Persekutuan Doa Karismatik merupakan salah satu jalan untuk mengalami hidup baru dalam Roh. Pada masa awal perkembangannya persekutuan ini justru didukung oleh kalangan biarawan-biarawati yang hidup secara kontemplatif. Bagi mereka ini karismatik membawa mereka untuk semakin memiliki keberanian masik ke inti hati yang paling dalam. Lebih jauh dari sekedar pengalaman

bernyanyi, bersorak, bersorak, berteriak, atau tertawa, menangis dan menari (Deshi Ramadhani, 2008: 233-234).

Pengalaman karismatik adalah pengalaman yang mendalam akan cinta kasih Allah yang menuntun seseorang dalam pertobatan radikal dalam hidupnya. Kekhasan pengalaman pertobatan karismatik terletak pada sebuah kesadaran baru akan peran Roh Kudus dalam hidup seseorang sehingga karenanya pula muncul motivasi yang lebih kuat untuk menjalani hidup yang kudus seturut bimbingan Roh Kudus. Karena ada kesadaran ini, muncul keterbukaan terhadap karisma-karisma Roh Kudus yang mungkin ingin dibagi-bagikan demi kepentingan bersama. Sebuah misa Krismatik harus membawa seseorang pada kesadaran baru akan cinta Allah dan menyediakan ruang agar setiap orang kembali bersentuhan dengan kesadaran terdalam akan Roh Kudus dalam hidupnya yang memperkuat kerinduannya untuk hidup dalam kekudusan (Deshi Ramadhani, 2008 : 235-238)

Pengalaman hidup dalam Roh Kudus menjadikan seseorang sadar bahwa Roh Kudus hidup dalam dirinya dan bekerja melalui dia. Hidup dalam Roh baru mulai apabila seseorang mengalami pencurahan Roh. Pencurahan Roh Kudus sebenarnya telah ada sejak awal mula Gereja meski baru dialami oleh Persekutuan yang sangat kecil karena pemahaman bahwa untuk memperoleh pencurahan Roh kudus harus melalui usaha-usaha yang keras. Dewasa ini Persekutuan doa Karismatik membantu seseorang mengalami pencurahan Roh kudus melaui doa-doa dan penumpangan tangan. Meskipun pengalaman hidup dalam Roh Kudus sangat personal dalam prakteknya dukungan orang lain melalui doa dan penyadaran akan karunia Roh kudus membantu seseorang untuk mengalami pencurahan Roh Kudus (Eligia, 2003: 5-18) .

Pengalaman akan Roh Kudus memampukan seseorang untuk memberi kesaksian tentang Yesus. Kesaksian timbul karena Roh Kudus membawa kesadaran akan cinta kasih Tuhan serta kesatuan dengan-Nya. Santo Paulus menyatakan hal tersebut dalam suratnya kepada jemaat di Roma: “sebab kamu tidak menerima Roh Perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu, kita berseru: ‘Abba, ya Bapa!’ Roh itu bersaksi bersama dengan Roh kita bahwa kita adalah anak-anak Allah” (Rm 8:15-16).

Seluruh Perjanjian Baru sangat diresapi oleh orang-orang Kristiani purba sehingga mengalami kehadiran Roh Kudus dalam diri mereka beserta dengan karya-karyanya. Orang-orang Kristiani dewasa ini ingin mengalami hal yang sama seperti jemaat Kristiani purba. Banyak orang bercerita tentang kasih Allah pada diri mereka, bernubuat, berbicara, memiliki karunia penyembuhan dan mukjizat. Karunia-karunia Roh Kudus yang disikapi dengan iman dewasa menjadikan pengalaman akan Allah yang sangat mendalam akan diri seseorang. Pengalaman akan Allah sungguh diperdalam dengan melihat dimensi-dimensi baru kasih Allah. Seluruh pengalaman akan Roh Kudus harus dilihat sebagai sesuatu yang normal dan wajar bagi orang Kristiani. Meski tidak banyak yang mengalami pencurahan Roh namun seharusnya menjadi ukuran bagi hidup orang Kristiani menjadi normal (Indrakusuma, 2010: 24-32).

c. Bahasa Roh atau Bahasa Lidah

Bahasa Roh berasal dari bahasa Yunani: ‘glossolalia’, yang berasal dari kta ‘glosa’ yang berarti ‘lidah’, dan kata ‘lalei’ yang berarti ‘berbicara’. Jadi

‘glossolalia’ secara harafiah berarti ‘berbicra dengan lidah’ atau ‘berkata-kata dengan bahasa’. Menurut konteks pemakaiannya, kata benda ‘glossa’ dapat diartikan sebagai ‘bahasa Roh’, yang berfungsi sebagi wahana doa manusia kepada Allah (Njiolah, 2003: 1).

Bahasa Roh mengacu pada peristiwa Pentakosta pada saat zaman Gereja Purba dimana saat itu para murid berkumpul dan Roh Kudus turun dalam rupa lidah api kemudian mereka berbicara dalam bahasa yang lain yang diberikan oleh Roh Kudus kepada mereka (Kis 2:1-13). Santo Paulus mengartikan bahasa Roh itu sebagai bahasa malaikat (Njiolah, 2003: 6). Dalam Kitab Suci sering disebutkan adanya bahasa Roh seperti dalam surat pertama rasul paulus kepada jemaat di Korintus (1 Kor 14:1-40) dalam ayat lain disebutkan pula: “berkata-kata dan memuliakan Allah” (Kis 10:46), “berkata kata dalam bahasa Roh dan bernubuat” (Kis 19:6).

Menurut Deshi Rahmadhani (2008: 225) dalam PDKK pemahaman bahasa Roh adalah karunia berdoa yang khusus yang memampukan orang yang bersangkutan untuk berkontak dengan Tuhan dalam bahasa yang tak terpahami. Orang-orang karismatik yang telah mengalami pencurahan dalam Roh menjadi semakin tertarik dan gembira dalam pembacaan Kitab Suci dan kehidupan doa yang mendalam. Kehidupan doa yang demikian menjadikan seseorang mampu berbahasa Roh karena seluruh hidupnya dipenuhi oleh Roh Kudus yang selalu membimbingnya.

Pengalaman akan Roh Kudus membawa orang untuk berdoa dengan melibatkan seluruh pribadi: Rohani, afeksinya, emosi, serta ekspresi badaniah (Sugino, 1982: 28).