KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Alur Pikir Proses Penelitian
KEKONDUSIFAN FAKTOR PENDUKUNG
Lingkungan • Lingkungan fisik • Lingkungan sosial • Ketersediaan informasi • Kondisi megapolitan • Kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan sub sektor hortikultura Tuntutan Memenuhi Kebutuhan Pelanggan Eksternal • Kuantitas produk • Kualitas produk • Kontinuitas produk PENYEDIAAN INFORMASI PERTANIAN
Tuntutan agar dapat menyediakan:
• Informasi yang relevan
• Informasi yang akurat
• Informasi yang lengkap
• Informasi yang tajam
• Informasi yang tepat waktu
• Informasi yang terwakili
KONDISI INTERNAL PETANI SAYURAN Tuntutan Memenuhi Kebutuhan Petani Sayuran dan Keluarganya • Fisik • Keamanan • Sosial • Penghargaan • Aktualisasi diri • Modal • Manajemen • Pasar • Akses informasi PENYEDIAAN INFORMASI SAAT INI
Belum mampu menigkatkan kemampuan petani dalam mengembangkan usaha tani
sayuran
PENYEDIAAN INFORMASI YANG DIHARAPKAN
Mampu meningkatkan kemampuan petani dalam mengembangkan usaha tani
sayuran
MODEL HIPOTESIS PEMBERDAYAAN PETANI SAYURAN MELALUI PENYEDIAAN INFORMASI
PERTANIAN Pola Lama :
Pengembangan agribisnis sayuran yang berorientasi produksi,sentralisasi, top down, kurang memperhatikan informasi tentang kebutuhan pasar (kuantitas, kualitas, kontinuitas) untuk memberdayakan petani sayuran.
Pola Baru :
Pengembangan agribisnis sayuran yang berorientasi pasar, berdaya saing, dan memberikan kontribusi dalam menopang ekonomi nasional, dengan meningkatkan partisipasi masyarakat serta menyediakan informasi untuk memberdayakan dan meningkatkan
kesejahteraan petani sayuran dan keluarganya.
ANALISIS DEDUKTIF • Kajian teori
• Hasil pengamatan
• Masukan para ahli
ANALISIS INDUKTIF
Pengujian model hipotesis
• Survai
• Analisi deskriptif
• Analisis data sekunder
• Uji statistik
MODEL OPERASIONAL
Model Pemberdayaan Petani Melalui Penyediaan Informasi
Pertanian Pemenuhan Kebutuhan Pelanggan Eksternal • Kuantitas Produk • Kualitas Produk • Kontinuitas Produk Peningkatan Pendapatan & Kesejahteraan Petani Sayuran dan Keluarganya TUNTUTAN KEBUTU- HAN DAN MEMPEROLEH INFORMASI PERTANIAN
KEKONDUSIFAN FAKTOR PENDUKUNG
Kualitas Sumber Informasi Pertanian • Ketersediaan sumber informasi • Kemampuan menyedi- akan informasi • Pelayanan • Kualitas saluran informasi Kemudahan Mendapatkan Informasi Pertanian • Komunikatif • Penggunaan saluran dan alat komunikasi
• Penyuluhan
Mayarakat Berdaya vs Tidak/Kurang Berdaya
Pola pemberdayaan yang memberdayakan petani adalah, penyuluhan yang dikelola secara profesional, berbasis pada kemampuan petani sebagai subyek yang mencari kekuatan diri sendiri. Perbedaan penyuluhan dengan pemberdayaan vs penyuluhan tidak/ kurang pemberdayaan, disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Model Penyuluhan dengan Pemberdayaan vs Tidak / Kurang Pemberdayaan
Komponen Tidak/Kurang Pemberdayaan
Pemberdayaan Paradigma
Penyuluhan
Transfer teknologi - Proses pendidikan - Pelayanan jasa informasi Tujuan
Penyuluhan
Memenuhi kepentingan pemerintah/organisasi penyuluhan
- Sesuai kebutuhan klien dan kebutuhan masyarakat - Pelayanan jasa informasi
- Pemecahan masalah klien dan Pemerintah Sasaran Penyuluhan - Penerima informasi - Sebagai obyek - Lebih menekankan motivasi ekstrinsik
- Penerima dan saluran informasi - Sebagai subyek
- Motivasi intrinsik dan ekstrinsik secara bersama Penyuluh - Sumber informasi
- Merasa serba ahli
- Sumber dan saluran informasi - Fasilitator, mediator, motivator Materi
Penyuluhan
- Uniform/keseragaman - Bersumber dari suatu paket
- Spesifik lokasi
- Bersumber dari pengalaman, hasil analisis, dan kebutuhan petani
- Informasi/ide-ide baru Metode
Penyuluhan
Terpusat pada media interpersonal
- Pemanfaatan multimedia
- Learning by doing
Penerima Manfaat
Penyuluh dan pemerintah Klien, swasta, dan pemerintah Organisasi/
Kelembagaan
Dikelola secara kurang profesional
Dikelola secara profesional Model/Proses
Komunikasi
- Linier
- Top down
- Konvergen dan interaktif
- Bottom up - Interface
Saluran Komunikasi
Interpersonal - Media massa dan interpersonal - Lembaga pemerintah
- Lembaga/pusat informasi (pemerintah, swasta) Perubahan
Perilaku
Ketergantungan klien - Inovatif - Komunikatif Sifat Penyuluhan Ad-hock Berkelanjutan Pelaksanaan Penyuluhan
Program pemerintah Program klien dan pemerintah Strategi Penyuluhan Mobilisasi Partisipasi Ukuran Keberhasilan Penyuluhan - Linier
- Tergantung pada penyuluh - Terbatasnya informasi
- Tergantung pada klien - Tersedianya informasi - Klien berdaya
Pemberdayaan sebagai Proses Berkesinambungan
Pemberdayaan masyarakat harus dilihat dari kerangka pemberdayaan sebagai suatu proses yang berkesinambungan, bukan dari kerangka pemberdayaan sebagai suatu program. Sebagai suatu program, pemberdayaan masyarakat dapat saja berhenti karena batas waktu yang sudah selesai (terminasi karena keterbatasan waktu), atau program tersebut berhenti karena tidak ada dana lagi yag dapat dimanfaatkan untuk program pemberdayaan tersebut (terminasi karena keterbatasan dana).
Penjelasan lebih lanjut mengenai pemberdayaan sebagai proses yang relatif terus berjalan, dapat dikutip dari pandangan Rotter (1966) dan Selignan (1975), Hopson dan Scally (1995) yang dikemukakan oleh Hogan (2000) yang melihat proses pemberdayaan individu, sebagai suatu proses yang relatif terus berjalan sepanjang usia individu tersebut yang diperoleh dari pengalaman individu tersebut dan bukannya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja.
Selanjutnya, Hogan (2000) menggambarkan proses pemberdayaan yang berkesinambungan sebagai suatu siklus yang terdiri dari lima tahapan utama, sepeti disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Siklus Proses Pemberdayaan
Tahap I:
Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan tidak memberdayakan
Tahap II:
Mendiskusikan alasan, mengapa terjadi pemberdayaan dan penti- dakberdayaan
Tahap V:
Mengembangkan rencana aksi dan mengimplemen- tasikannya
Tahap IV:
Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna
Tahap III:
Mengidentifikasikan suatu masalah ataupun proyek
Berdasarkan pendapat Hogan ini, peneliti mencoba merangkaikan peubah- peubah penelitian seperti tertera dalam kerangka berpikir penelitian ini, ke dalam masing-masing tahapan pemberdayaan, yaitu:
(1) Tahap I: Mengevaluasi upaya pemberdayaan yang pernah dilakukan sebelumnya (berdaya atau tidak berdaya).
(2) Tahap II: Mendiskusikan kondisi internal petani (karakteristik pribadi petani) meliputi: status sosial ekonomi, kesadaran pentingnya informasi, kemampuan mengakses informasi, motivasi terhadap usahatani, dan keinovatifan.
(3) Tahap III: Mengidentifikasi tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi yang dibutuhkan petani, meliputi: informasi on farm dan of farm. (4) Tahap IV: - Mengidentifikasi kondisi eksternal petani (kekondusifan faktor
lingkungan), meliputi: lingkungan fisik, lingkungan sosial, ketersediaan informasi, kondisi megapolitan, dan kebijakan.
- Mengidentifikasi kualitas sumber informasi, meliputi: ketersediaan sumber informasi, kemampuan menyediakan informasi, pelayanan, dan kualitas saluran informasi.
- Mengidentifikasi kemudahan mendapatkan informasi, meliputi: komunikatif, penggunaan saluran dan alat komunikasi, penyuluhan, dan keterjangkauan.
(5) Tahap V: Mengembangkan penyediaan informasi, meliputi: relevansi, akurasi, kelengkapan, ketajaman, ketepatan waktu, dan keterwakilan informasi.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Kualitas SDM Petani
Klausmeier dan Goodwin (1966) mengungkapkan adanya tujuh faktor yang mempengaruhi efektivitas dan efisiensi proses belajar seseorang. Dalam penelitian ini, ketujuh hal tersebut dianalogikan dalam bentuk proses belajar petani yang dengan kesadarannya sendiri aktif mencari informasi.
Secara lebih rinci, analogi konsep Goodwin dan Klausmeir dengan model peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) karakteristik pribadi petani (analog dengan learner characteristic), (2)
tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi (analog dengan subject matter), (3) kekondusifan faktor lingkungan (analog dengan outsides forces), (4) kualitas sumber informasi (analog dengan teacher characteristic), (5) Kualitas penyuluh (analog dengan learner teacher behavior), (6) Kualitas kelembagaan petani (analog dengan group characteristics), dan (7) kemudahan mendapatkan informasi (analog dengan facilities).
Mengacu pada pemikiran Klausmeier dan Goodwin (1966), disusun preposisi dalam penelitian ini, bahwa pada dasarnya efektivitas pencapaian peningkatan kualitas SDM petani melalui penyediaan informasi pertanian yang mempengaruhi proses belajar petani, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang dipengaruhi oleh tujuh kelompok besar faktor-faktor penentunya yaitu: (1) Karakteristik pribadi petani sayuran, meliputi: (a) status sosial ekonomi, (b)
kesadaran pentingnya informasi, (c) kemampuan mengakses informasi, (d) motivasi terhadap usahatani sayuran, dan (e) keinovatifan.
(2) Tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, meliputi informasi tentang: (a) peningkatan produksi dan mutu sayuran, (b) ketersediaan sarana produksi, (c) ketersediaan permodalan, (d) teknologi pengolahan hasil sayuran, (e) dukungan pemasaran sayuran, dan (f) metode analisis usahatani sayuran.
(3) Kekondusifan faktor lingkungan,meliputi: (a) lingkungan fisik, (b) lingkungan sosial, (c) ketersediaan informasi pertanian, (d) kondisi megapolitan, dan (e) kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan subsektor hortikultura.
(4) Kualitas sumber informasi, meliputi: (a) ketersediaan sumber informasi, (b) kemampuan menyediakan informasi, (c) pelayanan, dan (d) kualitas saluran informasi.
(5) Kemudahan mendapatkan informasi pertanian, meliputi: (a) komunikatif, (b) penggunaan saluran dan alat komunikasi, (c) penyuluhan, dan (d) keterjangkauan.
(6) Penyediaan informasi pertanian, meliputi: (a) relevansi informasi, (b) akurasi informasi, (c) kelengkapan informasi, (d) ketajaman informasi, (e) ketepatan waktu informasi, dan (f) keterwakilan informasi.
Karakteristik Petani Berdasarkan Tipologi Petani
Karakteristik petani pada penelitian ini, digambarkan sebagai: profil, potensi dan kinerja petani dilihat dari indikator-indikator yang berkaitan erat dengan kondisi internal petani yang berhubungan dengan tuntutan akan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian. Petani sebagai sasaran pemberdayaan memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga model pemberdayaan tidak akan memperlakukan semua sasaran sama. Dengan demikian, tipologi petani perlu diperhatikan berdasarkan karakteristik yang dimilikinya untuk mengefektifkan suatu pemberdayaan.
Menurut Krech, Richard dan Egerton (1962), tidak mungkin ada dua individu memiliki kognitif yang sama karena tiap individu dciptakan dalam kapasitas yang berbeda-beda. Mosher (1983) mengemukakan bahwa sebagai perorangan para petani memiliki empat kapasitas penting untuk pembangunan pertanian, yaitu: (1) bekerja, (2) belajar, (3) bepikir kreatif, dan bercita-cita.
Dalam kaitan dengan kecepatan adopsi terhadap inovasi yang dipengaruhi oleh sasaran inovasi, maka Rogers (1983) mengelompokkkan petani dalam lima kelompok berdasarkan tingkat kecepatannya mengadopsi inovasi yaitu: (1) kelompok perintis, (2) kelompok pelopor, (3) kelompok penganut dini, (4) kelompok penganut lambat, dan (5) kelompok kolot (laggard).
Sehubungan dengan adopsi inovasi, Lionberger (1960) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi, meliputi: (1) luas usahatani, semakin luas usahatani biasanya semakin cepat mengadopsi karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik, (2) tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi, (3) keberanian mengambil resiko, pada tahap awal biasanya tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan, sehingga indvidu yang memiliki keberanian menghadapi resiko biasanya lebih inovatif, (4) umur, semakin tua (>50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh petani sekitarnya, (5) tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri.
Petani yang suka bergantung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan petani dan warga masyarakat, (6) aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibanding petani yang pasif apalagi yang selalu skeptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru, dan (7) sumber informasi yang dimanfaatkan, golongan inovatif biasanya banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait, media massa, tokoh masyarakat, petani maju, pedagang, dan lain-lain.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, pengelompokkan petani pada penelitian ini, dilakukan menurut kapasitas yang dimiliki individu petani dan tingkat respon petani terhadap inovasi. Oleh sebab itu, petani yang akan diberdayakan dikelompokkan dalam dua tipe, yaitu: (1) petani maju, dan (2) petani berkembang. Pengelompokkan petani ini, akan dikaitkan dengan model pemberdayaan yang berbeda sesuai dengan tipologi yang dimilikinya. Semua manfaat informasi tersebut, pada hakikatnya tertuju pada satu sasaran yaitu, peningkatan pendapatan yang akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya serta pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka berpikir penelitian, maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:
(1) Penyediaan informasi pertanian, secara nyata dipengaruhi oleh: karakteristik pribadi petani sayuran, tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, kekondusifan faktor lingkungan, kualitas sumber informasi pertanian, dan kemudahan mendapatkan informasi pertanian.
(2) Tingkat keberdayaan petani sayuran, secara nyata dipengaruhi oleh karakteristik pribadi petani sayuran, tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, kekondusifan faktor lingkungan, kualitas sumber informasi pertanian, kemudahan mendapatkan informasi pertanian, dan penyediaan informasi pertanian.