• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simpulan

(1) Secara keseluruhan, penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Barat mengalami distorsi, antara lain karena tidak adanya satu kesatuan kelembagaan manajemen penyuluhan, mengakibatkan rendahnya motivasi dan kinerja penyuluh.

(2) Tingkat kesadaran petani sayuran akan pentingnya informasi umumnya masih rendah, karena petani berkembang masih fokus pada kegiatan rutin usahatani dan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya, sedangkan petani maju pesimis akan ketersedian informasi yang dibutuhkannya tersedia di wilayah/desanya.

(3) Secara keseluruhan, baik petani maju maupun petani berkembang sama- sama membutuhkan berbagai informasi pertanian seperti informasi tentang peningkatan produksi dan mutu sayuran; ketersediaan sarana produksi, ketersediaan permodalan; lokasi pemasaran dan harga sayuran; teknologi pengolahan hasil sayuran, dan informasi tentang metode analisis usahatani sayuran. Perbedaannya adalah dalam hal tingkat kebutuhan untuk masing- masing jenis informasi pertanian, karena tingkat kesadaran akan pentingnya informasi dan tingkat motivasi petani maju dalam berusahatani sayuran lebih tinggi daripada petani berkembang. Jenis informasi yang paling tinggi tinggi tingkat kebutuhannya adalah informasi tentang metode analisis usahatani sayuran. Informasi ini sangat dibutuhkan pada tahap perencanaan usahatani. (4) Kemampuan petani dalam mengakses informasi, umumnya masih rendah,

dan kemampuan petani maju dalam mengakses informasi lebih tinggi dari petani berkembang, karena terkait dengan biaya yang dimiliki untuk akses ke sumber informasi. Umumnya petani berkembang memiliki pendapatan yang lebih rendah dari petani maju sehingga petani berkembang lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya daripada kebutuhan terhadap informasi pertanian.

(5) Faktor lingkungan seperti: lingkungan fisik, lingkungan sosial, ketersediaan informasi pertanian, kondisi megapolitan, serta kebijakan bidang

penyuluhan dan pembangunan subsektor hortikultura, umumnya masih kurang kondusif, karena kurangnya komitmen pemerintah daerah terutama dalam hal penyediaan sarana dan prasarana (seperti: gudang pendingin, pasar tani), modal usahatani, perbaikan rantai pemasaran, kerjasama pemasaran antar daerah dalam satu kawasan (megapolitan), penyediaan tenaga penyuluh yang kompeten, dan penyediaan sarana dan prasarana penyuluhan. Lingkungan yang kurang kondusif ini, akan mempengaruhi motivasi petani dalam mencari informasi pertanian.

(6) Kualitas sumber informasi pertanian umumnya masih rendah, hal ini dapat dilihat dari ketersediaan sumber informasi pertanian yang masih terbatas seperti: penyuluh pertanian, BPP, koperasi, kelompok tani. Petani hanya mengandalkan pedagang sarana produksi dan tengkulak. Di samping itu, terbatasnya kemampuan sumber informasi menyediakan informasi pertanian karena belum ada institusi/lembaga yang bertanggungjawab mengolah dan menyediakan informasi pertanian bagi petani sayuran dan kurangnya komitmen pemerintah dalam menyediakan informasi pertanian bagi petani. (7) Secara keseluruhan, tingkat kemudahan petani dalam mendapatkan

informasi pertanian masih rendah (tidak mudah) terutama karena petani kurang komunikatif atau kurang berinteraksi dengan kelompok tani, penyuluh, inovator, dan masyarakat luas. Di samping itu, menurunnya kualitas penyulu-han (seperti terbatasnya jumlah penyuluh dan materi penyuluhan) karena kondisi penyuluhan saat ini kurang mendukung pengembangan usahatani sayuran. Demikian juga, penggunaan saluran komunikasi (inter-personal dan media massa) dan alat komunikasi (tilpon dan handphone) serta keterjangkauan petani (faktor biaya dan jarak/lokasi) masih kurang, karena penda-patan petani saat ini umumnya masih rendah sehingga belum termotivasi untuk mencari informasi pertanian.

(8) Kualitas informasi pertanian yang tersedia masih rendah, artinya informasi pertanian yang diperoleh petani sayuran selama ini belum mampu memberdayakan petani. Artinya, informasi yang diperoleh petani masih kurang relevan (kurang terkait dengan usahatani sayuran; kurang akurat (kurang dapat dipercaya kebena-rannya karena sumber informasi tidak dapat

dipecaya); kurang lengkap (belum cukup dibandingkan dengan jumah informasi yang dibutuhkan); kurang tajam (tidak spesifik menggambarkan atau mengatasi masalah usahatani sayuran); kurang tepat waktu (tidak diperoleh informasi pada saat dibutuhkan); dan kurang terwakili (kurang sesuai dengan kenyataan atau fakta sebenarnya) karena kondisi penyelenggaraan penyuluhan saat ini, kurang kondusif dalam menyediakan informasi bagi petani sayuran.

(9) Tingkat keberdayaan petani dalam mengembangkan usahatani sayuran masih rendah atau kurang berdaya, antara lain karena rendahnya kesadaran petani akan pentingnya informasi, kurangnya kemampuan petani untuk akses ke sumber informasi pertanian, kurang kondusifnya faktor lingkungan, dan rendahnya mutu informasi pertanian yang tersedia. Demikian juga, petani maju lebih tinggi tingkat keberdayaannya dalam mengembangkan usahatani sayuran daripada petani berkembang, karena petani maju lebih memiliki akses ke sumber informasi daripada petani berkembang.

(10) Tingkat keberdayaan petani sayuran, dipengaruhi oleh: (a) kesadaran petani sayuran terhadap pentingnya informasi serta memiliki akses ke sumber informasi pertanian; (b) tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian; (c) faktor lingkungan yang kondusif; (d) kualitas sumber informasi pertanian; (e) tersedianya informasi yang mudah dicerna dan diserap petani; dan (f) mudahnya petani mendapatkan informasi pertanian. Dalam hal ini, keberdayaan petani sayuran dapat dilihat dari meningkatnya kemampuan petani dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengatasi masalah usahatani sayuran.

(11) Model penyediaan informasi pertanian bagi petani sayuran dirumuskan dengan melakukan beberapa strategi antara lain: (a) meningkatkan kesadaran petani sayuran akan pentingnya informasi dan akses ke sumber informasi; (b) mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan petani sayuran; (c) meningkatkan kompetensi penyuluh pertanian; (d) membangun komitmen bersama antar lembaga terkait untuk berkerjasama dan berkoordinasi dalam penyediaan informasi pertanian; (e) memanfaatkan saluran dan alat komunikasi untuk meningkatkan kemampuan mengakses informasi serta

memudahkan petani mendapatkan informasi; (f) menyiapkan rancangan mekanisme aliran informasi pertanian; (g)menyediakan publikasi informasi dalam bentuk cetakan dan digital yang mudah dicerna dan diserap petani; (h) kebijakan yang mendukung agribisnis sayuran (seperti: pemasaran, penyediaan sarana dan prasarana); dan (i) memanfaatkan UU No.16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian.

Saran

(1) Komitmen pemerintah dan stakeholders dalam merencanakan program pemberdayaan petani berorientasi pada peningkatan kualitas SDM petani dan pemberdayaan yang berkelanjutan untuk kepentingan jangka panjang, antara lain melalui pelayanan jasa informasi pertanian.

(2) Keberpihakan pemerintah dalam menangani semua komoditas pertanian, terutama dukungan pemasaran, sarana dan prasarana untuk pengembangan usahatani sayuran, mengingat karakteristik produk-produk hortikultura yang mudah rusak.

(3) Peran aktif lembaga perguruan tinggi khususnya Program Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan untuk selalu mendiseminasikan model-model pemberdayaan sebagai wujud kepedulian semua pihak dalam upaya mensejahterakan petani.

(4) Pemahaman yang sama semua pihak (pusat dan daerah ) terhadap UU No.16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dengan mengutamakan kepentingan petani.

Dokumen terkait