• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 KEKUATAN PASAR PADA PERDAGANGAN BAWANG PUTIH DI INDONESIA

Struktur Pasar Impor Bawang Putih Indonesia

Semenjak dibebaskan impornya, impor bawang putih tidak hanya dapat dilakukan oleh importir produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT) saja, namun dapat dilakukan oleh importir umum. Tahun 2013, tercatat ada 141 perusahaan importir yang mengimpor bawang putih. Sebanyak 61 persen dari perusahan importir ini berdomisili di Jakarta, 21 persen di Surabaya, 11 di Medan dan Batam, tujuh persen di Sidoarjo dan Pasuruan sementara sisanya di Makassar. Tahun 2014, terdapat 86 perusahaan importir yang mengimpor bawang putih. Sebanyak 40 persen perusahaan importir berdomisili di Jakarta, 30 persen di Surabaya, 17 persen di Medan dan Batam, 11 persen di Pasuruan, Semarang dan Sidoarjo, sementara sisanya berdomisili di Manado. Jumlah perusahaan impor ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013. Namun, jumlah impor justru mengalami kenaikan. Hal ini berarti jumlah impor per perusahaan importir mengalami kenaikan pada tahun 2013-2014. Padahal, pada periode ini terjadi penghapusan kebijakan pengaturan impor bawang putih sehingga dalam melakukan impor tidak lagi perlu menggunakan RIPH sehingga jumlah impor dan importir seharusnya mengalami peningkatan.

Tabel 7 menggambarkan nilai konsentrasi pasar yang telah dihitung berdasarkan volume impor maupun nilai impornya. Dilihat dari nilai CR4 untuk volume impor, pada tahun 2013 struktur pasar perusahaan importir bawang putih Indonesia dapat dikatakan bersifat kompetitif karena bernilai 29.3 persen atau berada dibawah 40 persen. Namun, nilai ini mengalami kenaikan pada tahun 2014 menjadi sebesar 45.5 persen yang mengindikasikan bahwa pada industri ini terjadi penurunan tingkat kompetisi pada sisi penawaran. Nilai yang berada di atas 40

41 persen menggambarkan struktur pasar yang terjadi cenderung menuju oligopoli longgar/lemah, karena 4 importir terbesar dari 86 importir hampir menguasai setengah dari total pangsa pasar bawang putih impor di Indonesia. Jika dilihat dari nilai impornya, pangsa pasar bawang putih impor baik oleh CR4, CR8 maupun CR20 juga mengalami kenaikan pada periode 2013-2014. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi perusahaan dalam pasar dan berkurangnya kompetisi diantara mereka.

Pada periode ini, jumlah perusahaan importir mengalami penurunan, sedangkan tingkat konsentrasi pasar yang diperoleh mengalami kenaikan dengan volume impor yang juga meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat sejumlah perusahaan importir yang keluar dari industri, dan perusahaan yang tetap bertahan mempu mengambil pangsa pasar yang ditinggalkan dengan meningkatkan volume impor yang dilakukan oleh setiap perusahaan. Hal ini dapat disebabkan oleh stabilnya rantai pasok yang dimiliki sehingga mudah untuk meningkatkan volume impor, serta ketatnya persaingan untuk mengakses rantai pasok tersebut sehingga tidak mudah bagi perusahaan importir baru untuk masuk ke dalam industri.

Nilai concentration ratio (CR) digunakan sebagai proksi dari tingkat persaingan dengan asumsi bahwa setiap perusahaan dalam industri berusaha dengan sehat tanpa adanya kolusi dan kerjasama. Namun, mengingat mudahnya persyaratan dan ketentuan sebagai perusahaan importir, besar kemungkinan bahwa satu pihak memiliki lebih dari satu nama perusahaan importir. Hal tersebut dapat berakibat dalam keputusan impor yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan tidak lagi bersifat independen karena pengambil keputusan dari beberapa perusahaan adalah pihak yang sama. Sehingga, meskipun seolah-olah terdapat banyak jumlah perusahaan importir, namun sesungguhnya dari sisi pengambil keputusan, hanya terdapat beberapa pihak yang menentukan volume impor bawang putih yang dilakukan oleh tiap perusahaan. Pada kasus importir bawang putih Indonesia, hal ini diduga kuat terjadi. Fil’ardi (2014) menyatakan bahwa memang terdapat indikasi kartel oleh 19 importir bawang putih seperti yang telah diputuskan oleh KPPU melalui putusan KPPU dengan Nomor 05/KPPU-I/2013. Indikasi ini berupa: (i) kesamaan pihak yang melakukan pengurusan dokumen surat perizinan impor (SPI) yang menunjukkan adanya komunikasi yang kuat antara perusahaan importir; (ii) adanya afiliasi baik secara kepengurusan maupun hubungan keluarga (orangtua, saudara dan sepupu) antar pelaku usaha dimana diduga terdapat tiga kelompok afiliasi dengan total pangsa pasar melebihi 80 persen; (iii) adanya kesepakatan tidak tertulis berupa penyesuaian tindakan dimana terdapat kesamaan harga di tingkat importir pada periode awal tahun 2013 dan; (iv) adanya upaya pengaturan

Tabel 7 Konsentrasi pasar perusahaan importir bawang putih di Indonesia tahun 2013-2014. Konsentrasi Importir 2013 2014 Volume Impor Nilai Impor Volume Impor Nilai Impor CR-4 29.3 31.2 45.4 44.5 CR-8 41.6 44.1 63.5 63.4 CR-20 60.7 62.6 85.2 86.1 Sumber: Kemendag 2015

42

produksi/pasokan atau pemasaran dimana importir tidak melakukan impor sesuai kuota yang diperolehnya. Kepemilikan perusahaan yang lebih dari satu tersebut membuat pendekatan CR4 kurang mewakili kondisi pasar yang sebenarnya. Selain itu, terdapat indikasi lain seperti: (i) unsur kurangnya ketepatan waktu yang disyaratkan dimana beberapa importir terlapor diperbolehkan mengimpor bawang putih diluar jangka waktu RIPH yang diberikan (ii) unsur menghambat pesaing yang diindikasikan oleh pemberian perpanjangan surat perizinan impor (SPI) hanya kepada beberapa pihak importir saja (Sulfiyana 2015).Beberapa importer tersebut dinyatakan dengan sengaja menahan pasokan bawang putih impor di Pelabuhan Tanjung Perak. Terganggunya proses distribusi berpotensi menimbulkan kelangkaan pasokan yang pada akhirnya akanberakibat besar pada kenaikan harga dan inflasi masyarakat (Prastowo, Yanuarti dan Depari 2008). Bawang putih termasuk dalam volatile foods yang memiliki peran besar dalam inflasi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa struktur pasar yang terjadi merupakan struktur oligopoli dimana terdapat beberapa

supplier yang menguasai sebagian besar pangsa pasar bawang putih di Indonesia.

Fungsi Permintaan Bawang Putih di Indonesia

Fungsi permintaan bawang putih di Indonesia diestimasi berdasarkan persamaan (11) dan menggambarkan hubungan antara permintaan bawang putih di Indonesia (QBP) dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya yakni harga bawang putih pada tingkat konsumen (PD), harga barang merah sebagai bawang lain yang berkaitan dengan bawang putih (PBMK),variabel interaksi antara harga harga bawang putih dengan dengan harga bawang merah (PD_PBMK), variabel dummy kebijakan pengaturan impor (DUMMY_POL) dan dummy Idul Fitri (DUMMY_IF). Variabel harga bawang putih impor (PM) dan variabel interaksi antara harga bawang putih domestik dengan harga bawang putih impor (PD_PM) dieliminasi dari persamaan karena tidak memberikan hasil yang baik dari pertimbangan ekonomi bagi seluruh parameter dalam model. Hasil estimasi fungsi permintaan bawang putih disajikan pada Tabel 8.

Hasil estimasi pada Tabel 8 menunjukkan bahwa hubungan antar variabel yang menyusun fungsi permintaan bawang putih di Indonesia sudah sesuai dengan prediksi teori ekonomi. Faktor utama yang berpengaruh terhadap permintaan bawang putih dalam negeri adalah harga bawang putih itu sendiri. Pada persamaan ini, harga bawang putih memiliki pengaruh terhadap permintaan bawang putih dalam negeri baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung ditunjukkan oleh koefisien dari variabel PD sementara pengaruh tidak langsung ditunjukkan oleh variabel interaksi PD_PBMK. Harga bawang putih memiliki pengaruh langsung yang negatif dengan permintaan bawang putih. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi harga bawang putih, maka permintaan/konsumsi bawang putih akan mengalami penurunan, menandakan bahwa bawang putih merupakan barang normal. Koefisien yang diperoleh menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan harga bawang putih domestik sebesar satu rupiah, permintaan/konsumsi bawang putih akan mengalami penurunan sebesar 3 120 kg atau tiga ton dan sebaliknya jika harga bawang putih dalam negeri mengalami penurunan sebesar 1 rupiah maka akan terjadi peningkatan permintaan/konsumsi sebesar jumlah tersebut. Dari nilai signifikansinya, variabel ini berpengaruh secara signifikan pada taraf

43 nyata 15 persen. Hal ini sesuai dengan hipotesa bahwa harga memiliki pengaruh kuat secara langsung terhadap tingkat permintaan.

Sementara itu, harga bawang putih juga berpengaruh secara tidak langsung melalui variabel interaksi antara harga bawang putih dengan harga bawang merah yang diasumsikan bersifat non-separable. Parameter yang diperoleh bertanda positif mengingat variabel interaksi ini adalah perkalian antara harga bawang putih dengan harga bawang merah dan kedua parameter dari veriabel tersebut sama-sama bertanda negatif. Koefisien yang diperoleh bernilai 0.123713. Pengaruh total dari variabel harga bawang putih terhadap permintaan bawang putih diperoleh dari penjumlahan kedua efek ini menjadi dQBP/dPD= -3 120.2 + 0.123713*PBMK. Dengan menggunakan nilai rata-rata dari variabel harga bawang merah (PBMK), diperoleh efek total dari harga bawang putih terhadap permintaan sebesar -430.597 yakni memiliki pengaruh secara negatif dan sesuai dengan hipotesa.

Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap permintaan bawang putih adalah bawang merah. Bawang merah merupakan suatu komoditi dengan karakteristik yang serupa dengan bawang putih yakni bumbu masakan yang banyak dikonsumsi oleh rumahtangga, dan terkait erat karena keduanya sering digunakan secara bersamaan. Namun hubungan antara dua komoditas ini (substitusi atau komplementer) masih menjadi suatu hal yang diteliti. Pengaruh langsung digambarkan oleh parameter dari variabel PBMK yang bertanda negatif dan bernilai -1 537.1 yang dapat diinterpretasikan bahwa jika terjadi kenaikan harga bawang merah sebesar 1 rupiah maka total permintaan masyarakat terhadap bawang putih akan mengalami penurunan sebesar 1 537.1 kg. Hal ini berarti, dengan semakin rendahnya harga bawang merah, maka akan terjadi peningkatan permintaan bawang putih. Hubungan ini menandakan bahwa bawang merah dan bawang putih merupakan barang komplemen atau hubungannya saling melengkapi. Dari nilai signifikansinya, variabel harga bawang merah terhadap harga bawang putih tidak berpengaruh secara signifikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini menunjukkan bahwa preferensi konsumen/rumahtangga akan kedua komoditi ini tidak saling memiliki keterkaitan.

Tabel 8 Hasil estimasi fungsi permintaan bawang putih Indonesia menggunakan model statik Bresnahan-Lau dengan metode 2SLS.

Variabel Parameter Koefisien Std. Error t-Statistik Prob.

C 69116200 38534441 1.793621 0.0767 PD -3120.206 1989.475 -1.56836 0.1208** PBMK -1537.124 2344.747 -0.65556 0.5140 PD_PBMK 0.123713 0.106155 1.165399 0.2474 DUMMY_POL -2134784 5409834 -0.39461 0.6942 DUMMY_IF 14417329 3886351 3.709734 0.0004*. R-squared 0.150753 Adjusted R-squared 0.096315

Own price demand

elasticity -0.22338

Keterangan: *nyata pada α = 5 persen ** nyata pada α = 15 persen

44

Dalam persamaan ini terdapat dua variabel dummy yakni dummy kebijakan (DUMMY_POL) dan dummy Idul Fitri (DUMMY_IF). Dummy kebijakan menggambarkan kondisi dimana terjadi variasi kondisi dimana tidak ada pengaturan impor bawang putih dan kondisi saat impor bawang putih diatur. Selama ini hingga Bulan Juni 2012 impor bebas dilakukan oleh importir umum dengan volume impor yang juga dibebaskan. Perubahan kebijakan diberlakukan selama Juni 2012 hingga April 2013 dimana impor tidak lagi dibebaskan dan diatur oleh pemerintah dari sisi volume impor yang boleh dilakukan (kuota) maupun dari jumlah importir yang diperbolehkan untuk mengimpor. Setelah terjadi kenaikan harga yang cukup tinggi, sejak Mei 2013 hingga sekarang impor bawang putih kembali dibebaskan dan tidak lagi diatur oleh pemerintah kecuali dari sisi tarif imopr yang tidak pernah mengalami perubahan.

Dummy kebijakan pengaturan impor ini bernilai satu selama periode terjadinya pengaturan impor (Juni 2012-April 2013) dan bernilai nol jika impor dibebaskan. Kebijakan pengaturan impor merupakan kebijakan pembatasan izin importir dan jumlah bawang putih yang dapat diimpor dengan mempertimbangkan stok dan produksi dalam negeri. Penentuan volume impor ini dituangkan dalam Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) untuk bawang putih. Mengingat salah satu tujuan kebijakan ini adalah untuk melindungi produksi dalam negeri yang diprediksi akan mengalami peningkatan, maka volume impor yang direkomendasikan cenderung lebih rendah dari biasanya, sehingga dengan diberlakukannya kebijakan ini, secara otomatis akan mengurangi permintaan akan bawang putih. Pada penelitian ini, konsumsi dibentuk dari besarnya produksi dan impor sehingga penurunan impor akan meningkatkan tingkat konsumsi secara langsung. Hal ini sesuai dengan parameter yang diperoleh dimana kebijakan pengaturan impor akan memberikan pengaruh negatif terhadap tingkat permintaan/konsumsi. Koefisien yang diperoleh bernilai -2 134 784, diinterpretasikan bahwa kebijakan pengaturan impor akan menurunkan permintaan bawang putih sebesar 2 134 784 kg atau 2134 ton per bulannya. Namun jika dilihat dari tingkat signifikansi, variabel ini tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada taraf nyata maksimum 15 persen.

Dummy Idul Fitri berperan dalam menggambarkan pola konsumsi masyarakat Indonesia akan bawang putih. Secara umum, konsumsi pangan masyarakat Indonesia akan mengalami kenaikan pada bulan-bulan sebelum Idul Fitri yakni Bulan Ramadhan dan satu bulan sebelumnya, serta bulan-bulan setelah Idul Fitri hingga Idul Adha. Penentuan dummy Idul Fitri dilakukan atas pertimbangan tersebut, dimana nilai dummy ini akan bernilai satu pada waktu dua bulan sebelum dan sesudah Idul Fitri dan bernilai nol pada bulan-bulan lainnya. Besarnya konsumsi pada bulan-bulan menjelang dan sesudah Idul Fitri tersebut membuat tanda parameter yang diharapkan bernilai positif dan telah sesuai dengan hasil estimasi yang diperoleh. Nilai koefisien yang diperoleh bernilai 14 417 329 yang berarti bahwa pada bulan-bulan menjelang dan setelah Idul Fitri, permintaan masyarakat akan bawang putih lebih tinggi sebsar 14 417 329 kg atau 14 417 ton lebih tinggi dibandingkan pada bulan-bulan lainnya. Dibandingkan dengan variabel-variabel lain dalam persamaan, variabel dummy Idul Fitri merupakan variabel yang memiliki pengaruh nyata terhadap permintaan bawang putih di Indonesia, dilihat dari nilai probabilitas parameter dummy Idul Fitri yang lebih kecil dari taraf nyata sebesar 1 persen.

45 Nilai parameter dari faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan/konsumsi bawang putih tersebut, khususnya parameter yang terkait dengan harga bawang putih domestik digunakan untuk menghitung nilai elastisitas permintaan bawang putih terhadap harga domestiknya seperti cara perhitungan yang telah dijelaskan pada persamaan (14). Nilai elastisitas permintaan terhadap harga yang diperoleh menunjukkan bahwa permintaan bawang putih bersifat inelastis terhadap harga (� = − . 8 . Nilai elastisitas tersebut memiliki interpretasi bahwa kenaikan harga bawang putih sebesar 1 persen akan mengakibatkan terjadinya penurunan permintaan bawang putih sebesar 0.223 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan harga tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan bawang putih di Indonesia. Temuan ini sejalan dengan hasil yang diperoleh oleh Hariwibowo et al. (2015) bahwa permintaan bawang putih Indonesia bersifat inelastis terhadap harga bawang putih itu sendiri. Konsumsi bawang putih bagi masyarakat Indonesia sudah bersifat layaknya pangan pokok (beras, gula, dan lain-lain) mengingat sebagian besar bawang putih dikonsumsi langsung oleh rumahtangga sebagai bumbu dasar masakan. Meskipun tanda parameter dan elastisitas harga permintaan terhadap harga bertanda negatif, namun pola konsumsi berpengaruh lebih kuat, sehingga dapat dikatakan bahwa bawang putih sedang mengalami peralihan dari barang normal cenderung menjadi barang netral. Jika harga bawang putih naik, maka konsumen akan mengurangi konsumsi bawang putih namun dengan jumlah yang sangat kecil, atau bahkan tetap mempertahankan tingkat konsumsinya. Selain pola konsumsi, hal yang dapat mempengaruhi konsumsi bawang putih secara langsung adalah penerapan kebijakan pengaturan impor. Jika pemerintah memberlakukan pembatasan jumlah impor, maka hal tersebut akan secara langsung menurunkan tingkat konsumsi mengingat ketidakmampuan produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan bawang putih masyarakat.

Meskipun secara statistik persamaan yang diestimasi kurang memuaskan dan menghasilkan koefisien determinasi yang kecil (R2=15 persen dan Adjusted R2= 9.6 persen), namun karena penentuan model lebih didasarkan pada pertimbangan ekonomi dari semua parameter, terutama parameter elastisitas yang akan digunakan dalam menghitung biaya sosial bukan untuk prediksi dan simulasi, maka model ini dianggap sebagai model terbaik yang dapat dihasilkan dari seluruh keterbatasan dalam penelitan.

Fungsi Relasi Penawaran (Harga) Bawang Putih di Indonesia

Fungsi relasi penawaran bawang putih di Indonesia diwakili oleh fungsi harga, diestimasi berdasarkan persamaan (12) dan menggambarkan hubungan antara harga bawang putih di Indonesia dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut yakni permintaan bawang putih nasional (QBP), harga bawang putih impor (PM), tingkat upah petani (WAGE), dummy kebijakan pengaturan impor (DUMMY_POL), dummy Idul Fitri (DUMMY_IF) dan fungsi turunan permintaan terhadap harga (QBP*).

46

Sebagian besar nilai koefisien parameter yang diperoleh dari estimasi fungsi relasi penawaran yang menunjukkan hubungan antar variabel yang menyusun fungsi relasi penawaran bawang putih di Indonesia sudah sesuai dengan prediksi teori ekonomi, meskipun tidak seluruhnya. Hasil estimasi disajikan pada Tabel 9. Konsumsi bawang putih memiliki hubungan negatif dengan harga bawang putih nasional. Hasil koefisien yang diperoleh menyatakan bahwa bertambahnya permintaan bawang putih nasional sebsar 1 kg akan menyebabkan harga bawang putih domestik menurun sebesar 0.000625 rupiah per kg. Semakin tinggi konsumsi masyarakat akan bawang putih, maka harga yang tejadi semakin mengalami penurunan. Hal ini berbeda dari teori yang menyatakan bahwa jika terjadi peningkatan konsumsi atau permintaan bawang putih, maka seharusnya terjadi peningkatan harga bawang putih. Hubungan yang bersifat negatif ini diduga terjadi karena keseimbangan yang terjadi antara permintaan dan penawaran terjadi pada kondisi dimana biaya marjinal mengalami penurunan, sehingga kurva permintaan dan biaya marjinal sama-sama memiliki slope negatif.

Tabel 9 Hasil estimasi fungsi relasi penawaran bawang putih Indonesia menggunakan model statik Bresnahan-Lau dengan metode 2SLS.

Variabel Parameter Koefisien Std.

Error t-Statistik Prob.

C 9969.697 5767.61 1.728567 0.0879 QBP -0.000625 0.000185 -3.37508 0.0012* PM 24100 3220 7.495300 0.0000* WAGE -0.1577 0.160812 -0.98063 0.3298 DUMMY_IF 400.3026 671.0732 0.596511 0.5526 DUMMY_POL 4266.866 842.2337 5.066131 0.0000* QBP* λ -0.38411 0.111962 -3.43070 0.0016* R-squared 0.855939 Adjusted R-squared 0.844713 Own price supply

elasticity

1.842589

47

Harga impor bawang putih memiliki hubungan yang positif dengan harga bawang putih nasional. Hal ini sesuai dengan prediksi secara teori ekonomi. Bawang putih impor memegang porsi yang sangat besar dari total penawaran bawang putih nasional (>95 persen), sehingga harga dalam negeri sangat bergantung pada harga bawang putih impor. Dengan semakin mahalnya harga bawang putih impor, maka harga dalam negeri pun akan mengikuti. Dilihat dari nilai probabilitasnya, harga impor bawang putih memiliki pengaruh yang signifikan terhadap harga bawang putih nasional pada taraf nyata 10 persen.

Kondisi biaya marjinal yang menurun menandakan bahwa kondisi profit maksimum masih belum tercapai, dan tambahan biaya untuk menambah penawaran terus mengalami penurunan. Dengan kondisi ini, produsen maupun importir akan terus meningkatkan jumlah penawaran. Namun, mengingat hampir seluruh penawaran bawang putih berasal dari impor yang dibebaskan, maka kondisi tersebut mendorong impor untuk terus terjadi bahkan mengalami peningkatan. Variabel ini berpengaruh secara signifikan dan memiliki interpretasi bahwa dengan semakin meningkatnya permintaan/konsumsi maka akan didukung dengan peningkatan impor. Pada kondisi biaya marjinal yang menurun, peningkatan impor ini akan menurunkan biaya marjinal sehingga harga yang diperoleh akan lebih murah, meskipun penurunan harga yang diterima dapat dikatakan relatif kecil (kurang dari 1 persen). Gambar 17 menunjukkan bahwa perkembangan harga cenderung memiliki tren yang positif, sementara jumlah impor berfluktuasi.

Sumber: BPS 2014

Gambar 17 Perkembangan impor, konsumsi dan harga bulanan tahun 2008-2014

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 0.0 20000000.0 40000000.0 60000000.0 80000000.0 100000000.0 120000000.0 Bul an 3 7 11 3 7 11 3 7 11 3 7 11 3 7 11 3 7 11 3 7 11 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Rp Kg

48

Gambar 18 menggambarkan perkembangan harga bawang putih di Indonesia pada tingkat konsumen, produsen dan internasional (harga impor). Harga bawang putih pada ketiga level pemasaran ini memiliki tren yang sama dari waktu ke waktu. Berdasarkan pangsa impornya di dunia, Indonesia merupakan negara importir terbesar dengan pangsa pasar hampir mencapai 30 persen pada tahun 2014. Sementara, hampir seluruh impor ini dilakukan dari negara eksportir terbesar di dunia yakni Tiongkok, yang mana memiliki pangsa pasar ekspor mencapai 85 persen. Meskipun kedua negara merupakan negara importir dan eksportir terbesar di dunia, namun begitu besarnya selisih antara pangsa pasar ekspor Tingkok (80 persen) dengan pangsa pasar impor Indonesia (30 persen) menunjukkan bahwa Tiongkok memiliki kekuatan pasar yang lebih besar dan mampu mempengaruhi harga yang diterima Indonesia, sehingga harga bawang putih impor mempunyai pengaruh terhadap pembentukan harga dalam negeri.

Secara umum, tren harga mengalami peningkatan pada ketiga level pemasaran. Tingginya ketergantungan impor membuat ada pengaruh yang kuat dari harga impor bawang putih terhadap harga bawang putih domestik baik pada tingkat produsen maupun konsumen. Menurut Wijaya et al. (2014) hal tersebut menyebabkan ketidakpastian harga dan menimbulkan permasalahan volatilitas harga bawang putih lokal. Dari fluktuasi yang terjadi, dapat dilihat bahwa fluktuasi yang terjadi pada harga bawang putih dalam negeri, khususnya pada tingkat konsumen, mengikuti fluktuasi yang terjadi pada harga bawang putih impor. Jika terjadi kenaikan harga impor, maka harga dalam negeri akan menyesuaikan dengan selang waktu yang pendek. Selang waktu penyesuaian harga ini terjadi akibat proses bongkar muat dan distribusi ke konsumen. Meskipun demikian, volatilitas harga konsumen lebih responsive terhadap shock yang bersifat negatif daripada

shock yang bersifat positif. Artinya, penurunan harga yang terjadi akan lebih cepat Sumber: BPS 2014

Gambar 18 Perkembangan harga bawang putih Indonesia tahun 2008-2014 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 Bul an 2 5 8 11 2 5 8 11 2 5 8 11 2 5 8 11 2 5 8 11 2 5 8 11 2 5 8 11 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Harga BP Kons (Rp/Kg) Harga BP Prod (Rp/Kg) Harga Impor (Rp/Kg)

49 terjadi dibandingkan kenaikan harga jika terjadi perubahan yang searah dari harga impornya.

Sementara itu upah tenaga kerja sektor hortikultura (wage), yang mana merupakan harga input dari produksi bawang putih nasional, memiliki hubungan yang negatif dengan harga bawang putih nasional. Hal ini berbeda dari hipotesis bahwa hubungan yang dimiliki bertanda positif. Semakin tingginya harga dari input produksi akan meningkatkan biaya produksi, sehingga agar memperoleh keuntungan, produsen akan mematok harga jual yang lebih tinggi. Namun, secara statistik variabel ini tidak berpengaruh secara signifikan karena probabilitas yang dihasilkan bernilai lebih besar dari taraf nyata yang digunakan (maksimum 15 persen). Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya kontribusi produksi nasional terhadap penawaran total bawang putih. Sehingga, besar atau kecilnya upah tenaga kerja sektor hortikultura tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap harga bawang putih domestik.

Seperti halnya pada persamaan permintaan, dalam persamaan ini juga terdapat dua variabel dummy yakni dummy kebijakan pengauran impor dan dummy

Dokumen terkait