• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Proliferasi Sel Limfosit Penduduk Mamuju

4.2. Kelainan Sitogenetik

Frekuensi rerata kelainan sitogenetik menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok studi pada variabel MN dan 8-Shaped (p<0,05). Pada MN dan 8-Shaped, nilai rerata pada kelompok studi lebih tinggi daripada

26 kelompok kontrol. Pada NPB dan NBUD, nilai rerata menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan studi (p>0,05) karena sedikitnya jumlah sel yang ditemukan untuk jenis kelainan sitogenetik ini (Tabel 3; Lampiran 12B, 13B, 14B, 15B).

Tabel 3. Frekuensi rerata kelainan sitogenetik sel limfosit pada kelompok kontrol dan kelompok studi penduduk Mamuju

Keterangan: SD = standar deviasi; *p<0,05 (berbeda signifikan)

Faktor usia dan jenis kelamin pada kelompok studi dan kelompok kontrol tidak berpengaruh terhadap seluruh variabel kelainan sitogenetik (p>0,05) (Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap kelainan sitogenetik sel limfosit pada kelompok kontrol dan studi penduduk Mamuju

Kelompok Rerata MN ± SD (%) Rerata NPB ± SD (%) Rerata NBUD ± SD (%) Rerata 8-Shaped ± SD (%) Kontrol 4,33 ± 2,63 0,07 ± 0,25 0,00 ± 0,00 2,67 ± 2,09 Studi 10,93 ± 4,81* 0,13 ± 0,35 0,13 ± 0,35 7,53 ± 2,13*

Parameter n P-ValueMN P-ValueNPB P-ValueNBUD 8-ShapedP-Value

Kontrol Usia 0,113 0,600 0 0,408 0-30 4 31-50 7 >51 4 Jenis Kelamin Laki-laki 8 0,336 0,302 0 0,263 Perempuan 7 Studi Usia 0,159 0,764 0,313 0,674 0-30 3 31-50 7 >51 5 Jenis Kelamin 0,957 Laki-laki 8 0,179 0,926 0,385 Perempuan 7

4.2.1. Micronuclei (MN)

Frekuensi rerata MN menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok studi dan kontrol (p<0,05) (Tabel 3). Frekuensi MN pada kelompok studi memiliki jumlah yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol (Tabel 5). Frekuensi MN pada kelompok studi dan kontrol masih dalam ambang batas normal berdasarkan standar IAEA (2001) dan Fenech (2007), bahwa frekuensi MN pada sel limfosit normal, yaitu 0-30 sel per1000 BNC. Pernyataan tersebut juga didukung penelitian Lindberg, Wang, Jarventaus, Falck, Norppa et al. (2006) bahwa kisaran frekuensi MN pada sel limfosit normal, yaitu 2-36 sel per1000 BNC. Berdasarkan hasil pengamatan, hanya ditemukan MN1, MN2, dan MN3 pada BNC sel limfosit kelompok studi dan kontrol penduduk Mamuju (Gambar 7).

Tabel 5. Frekuensi Micronuclei (MN) pada Binucleated Cell (BNC) sel limfosit kelompok kontrol dan studi penduduk Mamuju

Faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai MN pada kelompok studi dan kontrol (p>0,05) (Tabel 4; Lampiran 12C, 12D, 12E dan 12F). Respons adaptif pada penduduk Desa Ahu dan Salletto dapat menjadi penyebab tidak berpengaruhnya usia dan jenis kelamin terhadap radiosensitivitas sel. Radio Adaptive Response dapat terjadi pada masyarakat yang tinggal di daerah radiasi alam tinggi (Mohammadi, Taghavi, Gharaati, Masoomi & Ghiassi, 2006). Sesuai dengan penelitian Ramadhani, Purnami, Nurhayati, Pudjaji & Syaifudin (2018), bahwa radiosensitivitas tidak terkait dengan usia dan jenis kelamin pada penduduk yang tergolong resisten. Penelitian Syaifudin, Defiyandra, Nurhayati, Purnami dan Pudjaji (2018) mengenai frekuensi MN penduduk Desa Botteng, Mamuju melaporkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap frekuensi MN.

Kelompok TotalMN1 TotalMN2 TotalMN3 TotalMN TotalBNC FMN

Kontrol 58 8 0 66 15,000 0.066

Studi 151 9 4 164 15,000 0.164

Keterangan: MN1 = 1 mikronukleus dalam BNC; MN2 = 2 mikronukleus dalam BNC; MN3 = 3 mikronukleus dalam BNC; MN4 = 4 mikronukleus dalam BNC; N = jumlah keseluruhan BNC

28

Gambar 7. Micronuclei (MN) pada Binucleated Cell (BNC) sel limfosit penduduk Mamuju. (A); MN1 (B); MN2 (C);MN3 (Dokumentasi Pribadi, 2020) Pada penelitian lain, dilaporkan bahwa usia berpengaruh terhadap peningkatan MN. Penelitian Karuppasamy, Ramachandran, Kumar, Kumar & Koya et al. (2016), peningkatan MN dapat terjadi seiring bertambahnya usia karena terjadinya peningkatan fragmen asentrik yang diinduksi baik secara endogen ataupun klastogen yang tidak dapat diperbaiki oleh sel. Hal serupa didukung oleh penelitian Kazimírová, Barancoková, Dzupinková, Wsólová & Dusinská (2009) bahwa faktor usia dan jenis kelamin dapat dikaitkan dengan terjadinya kerusakan genetik yang dipengaruhi oleh aktivitas dan gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok yang dapat mempengaruhi proses fisiologis tubuh. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan frekuensi MN, yaitu efek kumulatif dari mutasi gen yang terlibat dalam perbaikan DNA, penyimpangan numerik dan struktural pada kromosom yang disebabkan oleh paparan genotoksin, nutrisi yang tidak memadai, serta berbagai faktor gaya hidup yang tidak sehat (Fenech & Bonassi 2011).

4.2.2. Nucleoplasmic Bridge (NPB)

Frekuensi rerata NPB menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kelompok studi dan kontrol (p>0,05). Kelompok studi memiliki frekuensi NPB yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol (Tabel 3). Pada kelompok studi, frekuensi NPB yang ditemukan berjumlah 2 sel per15.000 BNC dan pada kelompok kontrol hanya ditemukan 1 sel per15.000 BNC. Frekuensi NPB pada kelompok studi dan kontrol masih dalam ambang batas normal berdasarkan penelitian Fenech (2007), bahwa frekuensi NPB pada sel limfosit normal, yaitu 0-10 sel per1000 BNC.

Respons adaptif dapat menjadi penyebab sedikitnya pembentukan NPB pada kelompok studi. Frekuensi NPB dapat dipengaruhi oleh kebiasaan mengonsumi alkohol (Evans & Fenech, 2011). Hal serupa dilaporkan oleh penelitian Meenakshi, Sivasubramanian & Venkatraman (2016), bahwa frekuensi NPB memiliki korelasi yang signifikan terhadap kebiasaan merokok, namun hingga saat ini hanya ada sedikit penelitian tentang NPB dalam limfosit darah manusia. Penelitian McHugh, Lopez, Ho, Spitz & Etzel et al. (2013) melaporkan bahwa pasien kanker mengalami peningkatan jumlah NPB dalam limfosit darah perifer terlepas dari jenis kankernya.

Faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai NPB pada kelompok studi dan kontrol (p>0,05) (Tabel 4; Lampiran 13C, 13D, 13E, dan 13F). Hal tersebut menunjukkan terjadinya respons adaptif pada penduduk Desa Ahu dan Salletto yang resisten terhadap radiosensitivitas sel. Penelitian Altuntas & Bitgen (2012) melaporkan bahwa NPB dapat diandalkan untuk biodosimetri peningkatan dosis dalam respons setelah paparan radiasi dan tidak terpengaruh oleh jenis kelamin.

4.2.3. Nuclear Bud (NBUD)

Frekuensi rerata NBUD menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kelompok studi dan kontrol (p>0,05). Kelompok studi memiliki frekuensi NBUD yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol (Tabel 3). Pada kelompok studi hanya ditemukan 2 sel NBUD per15.000 BNC, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ditemukan NBUD. Frekuensi NBUD pada kelompok studi dan kontrol menunjukkan nilai NBUD masih dalam ambang batas normal yang mengacu pada penelitian Lindberg, Wang, Jarventaus, Falck, Norppa et al. (2006), bahwa frekuensi rerata NBUD pada sel limfosit normal, yaitu 19 sel per1000 BNC. Hal tersebut didukung oleh penelitian Fenech (2007), bahwa frekuensi NBUD pada sel limfosit normal, yaitu 0-5 sel per1000 BNC. Respons adaptif dapat menjadi penyebab sedikitnya pembentukan NBUD pada penduduk Desa Ahu dan Salletto. Frekuensi NBUD dapat dijadikan data pendukung biodosimetri, namun belum banyak publikasi jurnal ilmiah mengenai hal tersebut.

30 Faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai NBUD (p>0,05) (Tabel 4; Lampiran 14C, 14D, 14E dan 14F). Hal ini menunjukkan bahwa faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap radiosensitivitas sel penduduk di Desa Ahu dan Salletto karena terjadinya respons adaptif pada penduduk. Hingga saat ini, belum ditemukan penelitian yang mengungkapkan pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap pembentukan NBUD.

4.2.4. Eight-Shaped (8-Shaped)

Frekuensi rerata 8-Shaped menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan studi (p<0,05). Kelompok studi memiliki frekuensi 8-Shaped yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol (113;40) (Tabel 3), namun belum ditemukan publikasi ilmiah yang melaporkan standar normal nilai 8-Shaped. Pembentukan 8-Shaped kemungkinan berkorelasi dengan kemampuan mitosis sel jika ditinjau berdasarkan kelainan visualnya yang dapat terjadi akibat kegagalan berpisah nukleat sel limfosit. Kegagalan berpisah pada nukleat dapat terjadi akibat gagalnya pembelahan protein kohesin pada kromosom dan polimerisasi tubulin pada mikrotubulus saat anafase. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh kadar siklin dan Cyclin dependent kinase (Cdk) sebagai kompleks yang berkontribusi dalam mengatur perakitan gelendong mitotik pada siklus sel. Peningkatan 8-Shaped kemungkinan berbanding lurus dengan peningkatan laju proliferasi sel limfosit, sehingga tingginya frekuensi NDI kelompok studi berbanding lurus dengan frekuensi 8-Shaped yang tinggi pada kelompok studi.

Penelitian Flemming, Stand, Bonnet’s (1892) menyatakan 8-Shaped dapat dikaitkan dengan morfologi amitosis, dimana komponen inti didistribusikan secara tidak merata antara inti anak. Penelitian Gisselsson, Bjork, Hoglund, Mertens & Dal et al. (2001) menyatakan, bahwa paparan radiasi dengan dosis tinggi dapat memicu pembentukan kromosom disentrik selama anafase yang menyebabkan terjadinya kelainan seluler yang berbeda secara visual. Hingga saat ini, belum ditemukan publikasi ilmiah mengenai pembentukam 8-Shaped secara jelas baik yang disebabkan oleh proses amitosis ataupun akibat pembentukan kromosom disentrik.

Faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai 8-Shaped (p>0,05) (Tabel 4; Lampiran 15C, 15D, 15E dan 15F). Hal ini menunjukkan bahwa faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap radiosensitivitas sel penduduk di Desa Ahu dan Salletto karena terjadinya respons adaptif pada penduduk. Hingga saat ini, belum ditemukan penelitian yang mengungkapkan pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap pembentukan 8-Shaped.

Radiasi alam tinggi berpengaruh terhadap pembentukan MN dan 8-Shaped kelompok studi, namun keduanya masih dalam ambang batas normal berdasarkan jumlah masing-masing standar frekuensi yang ditetapkan. Respons adaptif pada penduduk dapat menjadi penyebab sedikitnya frekuensi yang ditemukan pada masing-masing variabel. Hal tersebut juga didukung oleh tidak berpengaruhnya faktor usia dan jenis kelamin terhadap seluruh kelainan sitogenetik dikarenakan radiosensitivitas tidak bergantung pada penduduk yang tergolong resisten.

32 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait