i
EVALUASI KELAINAN SITOGENETIK (MICRONUCLEI,
NUCLEOPLASMIC BRIDGE, NUCLEAR BUDDAN 8-SHAPED) DALAM LIMFOSIT DARAH PENDUDUK MAMUJU, SULAWESI BARAT
AKIBAT PAPARAN RADIASI ALAM TINGGI
NOVA KHOERUNNISA
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
i
LIMFOSIT DARAH PENDUDUK MAMUJU, SULAWESI BARAT AKIBAT PAPARAN RADIASI ALAM TINGGI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
NOVA KHOERUNNISA 11160950000053
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ii
EVALUASI KELAINAN SITOGENETIK (MICRONUCLEI,
NUCLEOPLASMIC BRIDGE, NUCLEAR BUDDAN 8-SHAPED) DALAM LIMFOSIT DARAH PENDUDUK MAMUJU, SULAWESI BARAT
AKIBAT PAPARAN RADIASI ALAM TINGGI
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Nova Khoerunnisa 11160950000053 Menyetujui, Mengetahui, Pembimbing I Dr. Dasumiati, M.Si NIP. 19730923 199903 2 002 Pembimbing II
Prof. Dr. Mukh Syaifudin NIP. 19650601 198901 1 001
Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Priyanti, M.Si NIP. 19750526 200012 2 001
iii Pembimbing I
Dr. Dasumiati, M.Si NIP. 19730923 199903 2 002
Skripsi dengan judul “Evaluasi Kelainan Sitogenetik (Micronuclei, Nucleoplasmic Bridge, Nuclear Bud Dan 8-Shaped) dalam Limfosit Darah Penduduk Mamuju, Sulawesi Barat Akibat Paparan Radiasi Alam Tinggi” yang disusun oleh Nova Khoerunnisa, NIM 11160950000053 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam Sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.
Menyetujui,
Mengetahui, Penguji I
Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud NIP.19690404 200501 2 005
Penguji II
Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M. Si NIP.19720322 200212 2 002
Pembimbing II
Prof. Dr. Mukh Syaifudin NIP. 19650601 198901 1 001
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D NIP.19710608 200501 1 005
Ketua Program Studi Biologi
Dr. Priyanti, M.Si NIP. 19750526 200012 2 001
iv
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
v
Nova Khoerunnisa. Evaluasi Kelainan Sitogenetik (Micronuclei, Nucleoplasmic Bridge, Nuclear Bud Dan 8-Shaped) dalam Limfosit Darah Penduduk Mamuju, Sulawesi Barat Akibat Paparan Radiasi Alam Tinggi. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Dibimbing oleh Dasumiati dan Mukh Syaifudin.
Mamuju, Sulawesi Barat merupakan daerah dengan tingkat radiasi alam yang tinggi. Radiasi ini dapat menyebabkan kerusakan pada sel dan jaringan penduduk setempat. Efek biologis dari radiasi pengion dapat diketahui dengan pengamatan biomarker sitogenetik seperti Micronuclei (MN), Nucleoplasmic Bridge (NPB), Nuclear Bud (NBUD), dan 8-Shaped pada limfosit darah perifer. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh radiasi alam tinggi terhadap sel melalui pembentukan MN, NPB, NBUD dan 8-Shaped yang dipengaruhi faktor usia dan jenis kelamin pada sel limfosit darah penduduk di Mamuju, Sulawesi Barat. Penelitian ini menggunakan 15 sampel darah dari penduduk di daerah radiasi alam tinggi (Desa Ahu dan Salletto) dan 15 sampel darah dari penduduk di daerah radiasi normal (Desa Topoyo). Metode yang digunakan adalah Cytokinesis Block Micronuclei Cytome (CBMN Cyt) untuk mengamati pembentukan kelainan sitogenetik. Frekuensi biomarker MN, NPB, NBUD dan 8-shaped pada kelompok studi lebih tinggi daripada kontrol, tetapi masih dalam rentang normal. Radiasi alam tinggi tidak berpengaruh pada MN, NPB, NBUD, dan 8-Shaped penduduk Desa Ahu dan Salletto (p<0,05). Faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh (p>0,05) terhadap seluruh biomarker kelainan sitogenetik. Paparan kronis dosis radiasi alam tinggi di Mamuju dan faktor usia serta jenis kelamin tidak mempengaruhi biomarker kelainan sitogenetik.
vi ABSTRACT
Nova Khoerunnisa. Evaluation of Cytogenetic Abnormalities (Micronuclei, Nucleoplasmic Bridge, Nuclear Bud and 8-Shaped) in Blood Lymphocytes of the Population of Mamuju, West Sulawesi Due to High Natural Radiation Exposure. Undergraduate Thesis. Departement of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Supervised by Dasumiati and Mukh Syaifudin.
Mamuju area in West Sulawesi considered as the high natural background radiation area. The ionizing radiation that comes by natural radiation might cause damage to the cells and tissues of the village inhibitants. The biological effects of ionizing radiation can be assessed by observing cytogenetic biomarkers such as Micronuclei (MN), Nucleoplasmic Bridge (NPB), Nuclear Bud (NBUD) and 8-Shaped on peripheral blood lymphocytes. This research aim is to analyze the effect of high natural radiation on cells through the formation of MN, NPB, NBUD and 8-Shaped which are influenced by age and sex factors in the lymphocyte cells of Mamuju, West Sulawesi inhibitants. This study used 15 blood samples were taken from high natural radiation areas (Ahu and Salletto Sub-Village) and 15 blood samples were taken from normal radiation areas (TopoyoSub-Village). The method used is Cytokinesis Block Micronuclei Cytome (CBMN Cyt) to observe the forming of cytogenetic abnormalities. Frequencies of MN, NPB, NBUD dan 8-shaped biomarkers in study group were higher than those of control, but were within normal range. High natural radiation had no effect on the MN, NPB, NBUD, and 8-Shaped in Ahu and Salletto Sub-Village inhibitants (p<0,05). The age and sex factors did not influence (p>0,05) towards all the biomarkers of cytogenetic abnormalities. The chronic high radiation exposure doses in Mamuju and age and sex factors has no effect on biomarkers of cytogenetic abnormalities.
Keywords: CBMN Cyt; Cytogenetic Abnormalities; Mamuju; High Natural Radiation
vii
Segala puji serta syukur ke hadirat Allah SWT beserta junjungan besar nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi yang berjudul “Evaluasi Kelainan Sitogenetik (Micronuclei, Nucleoplasmic Bridge, Nuclear Bud, dan 8-Shaped) dalam Limfosit Darah Penduduk Mamuju, Sulawesi Barat Akibat Paparan Radiasi Alam Tinggi”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dalam menempuh pendidikan Strata 1 (S1) pada Program Studi Biologi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan tugas akhir ini tak luput dari bantuan dan kerjasama berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Priyanti, M. Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Dasumiati, M. Si selaku Dosen pembimbing I yang telah membimbing, menasehati, dan memberikan saran yang membangun selama masa penulisan tugas akhir.
4. Prof. Dr. Mukh Syaifudin selaku pembimbing II dan Kepala PTKMR-BATAN, Pasar Jum’at, Jakarta Selatan yang telah membimbing, menasehati, dan memberikan saran yang membangun selama masa penulisan tugas akhir.
5. Sofiati Purnami dan Suryadi selaku staff PTKMR-BATAN yang banyak membantu dalam pelaksanaan kegiatan di laboratorium dan pengamatan. 6. Dr. Nani Radiastuti, M.Si. dan Indri Garnasih, M.Si selaku dosen penguji
seminar proposal dan seminar hasil yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penulisan skripsi.
viii
7. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud dan Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M. Si selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam penulisan skripsi.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar tulisan ini dapat diperbaiki dan dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, Juni 2021
ix
ABSTRAK... v
KATA PENGANTAR... vii
DAFTAR ISI...ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL...xi DAFTAR LAMPIRAN...xii BAB I PENDAHULUAN...1 1.1. Latar Belakang...1 1.2. Rumusan Masalah... 3 1.3. Hipotesis...3 1.4. Tujuan ...3 1.5. Manfaat...4 1.6. Kerangka Berpikir... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...6
2.1. Radiasi... 6
2.2. Limfosit Darah...9
2.3. Kelainan Sitogenetik... 10
BAB III METODE PENELITIAN...18
3.1. Waktu dan Tempat... 18
3.2. Alat dan Bahan... 18
3.3. Rancangan Penelitian... 18
3.4. Cara Kerja...19
3.5. Pengamatan...20
3.6. Analisis Data... 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 22
4.1. Proliferasi Sel Limfosit Penduduk Mamuju...22
4.2. Kelainan Sitogenetik... 25
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...32
5.1. Kesimpulan...32
5.2. Saran...32
DAFTAR PUSTAKA... 33
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian evaluasi kelainan sitogenetik
(Micronuclei, Nucleoplasmic Bridge, Nuclear Bud dan 8-Shaped) dalam limfosit darah penduduk Mamuju, Sulawesi Barat akibat paparan radiasi alam tinggi ...……... 4 Gambar 2. Sel limfosit penduduk Mamuju: Mononukleat; Binukleat;
Trinukleat; Tetranukleat sebagai dasar perhitungan Nuclear Division Index (NDI) ...………..… 11 Gambar 3. Micronuclei (MN) pada Binucleated Cell (BNC) sel limfosit … 13 Gambar 4. Nucleoplasmic Bridge (NPB) pada Binucleated Cell (BNC) sel
limfosit ...……….……… 15 Gambar 5. Nuclear Bud (NBUD) pada Binucleated Cell (BNC) sel
limfosit ………...……….... 16 Gambar 6. Eight-Shaped pada Binucleated Cell (BNC) sel
limfosit ……….. 17
Gambar 7. Micronuclei (MN) pada Binucleated Cell (BNC) sel limfosit: MN1; MN2; MN3 ...………...…….. 28
xi
Tabel 1. Nilai rerata Nuclear Division Index (NDI) sel limfosit pada kelompok kontrol dan studi penduduk Mamuju ....………... 22 Tabel 2. Pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap Nuclear Division
Index (NDI) sel limfosit penduduk Mamuju ...…………... 24 Tabel 3. Nilai rerata kelainan sitogenetik sel limfosit pada kelompok
kontrol dan studi penduduk Mamuju ...…………... 26 Tabel 4. Pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap kelainan sitogenetik
pada kelompok kontrol dan studi penduduk Mamuju...….... 27 Tabel 5. Frekuensi Micronuclei (MN) pada Binucleated Cell (BNC) sel
limfosit pada kelompok kontrol dan studi penduduk Mamuju ...………...….. 28
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data Nuclear Division Index (NDI) kelompok kontrol ...…. 47
Lampiran 2. Data Nuclear Division Index (NDI) kelompok studi ... 48
Lampiran 3. Data Micronuclei (MN) kelompok kontrol ...………... 49
Lampiran 4. Data Micronuclei (MN) kelompok studi ....…...…..… 50
Lampiran 5. Data Nucleoplasmic Bridge (NPB) kelompok kontrol ...……... 51
Lampiran 6. Data Nucleoplasmic Bridge (NPB) kelompok studi ....…...….… 52
Lampiran 7. Data Nuclear Bud (NBUD) kelompok kontrol ...….…. 53
Lampiran 8. Data Nuclear Bud (NBUD) kelompok studi …...…...…. 54
Lampiran 9. Data 8-shaped kelompok kontrol ...…...….. 55
Lampiran 10. Data 8-shaped kelompok studi …...….... 56
Lampiran 11. Uji statistik Nuclear Division Index (NDI) ...…..…....…... 57
Lampiran 12. Uji statistik Micronuclei (MN) ...……..…... 59
Lampiran 13. Uji statistik Nucleoplasmic Bridge (NPB) ... 62
Lampiran 14. Uji statistik Nuclear Bud (NBUD) ...……… 64
Lampiran 15. Uji statistik 8-shaped ...…. 66
1 1.1. Latar Belakang
Manusia dapat terpapar radiasi secara alami baik yang berasal dari radiasi kosmik maupun radiasi terrestrial akibat luruhan radionuklida primordial di kerak bumi. Menurut Kementerian Kesehatan (KEMENKES) (2017), radionuklida dari kerak bumi yang meluruh menghasilkan energi atau radiasi berupa partikel alfa dan beta, serta sinar (gelombang) gamma. Radionuklida dapat dideteksi dari dalam tanah, radioaktivitas lingkungan maupun paparan eksternal karena radiasi gamma yang bergantung pada kondisi geografis yang berbeda di masing-masing daerah (Gahrouei, Gholami & Setayandeh, 2013).
Beberapa wilayah di dunia memiliki tingkat radiasi alam yang tinggi atau High Natural Background Radiation Areas (HBRA), seperti di daerah Ramsar-Iran, Guarapari-Brasil, Kerala-India, Yangjiang-Cina dan Mamuju, Indonesia. Mamuju, Sulawesi Barat merupakan daerah HBRA dengan konsentrasi Th-232 terttinggi mencapai 3400 Bq/kg (rerata nasional 45Bq/kg), konsentrasi K-40 tertinggi mencapai 1500 Bq/kg (rerata nasional 142 Bq/kg), serta dengan dosis radiasi gamma lingkungan tertinggi mencapai 10.000 nSv/jam (rerata nasional 56 nSv/jam) (Pudjadi, 2016). Desa Ahu dan Salletto, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat sebagai Desa studi memiliki radiasi alam berupa radiasi gamma dengan rerata dosis mencapai 4,3 mSv/tahun, sedangkan Desa Topoyo, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat sebagai Desa kontrol memiliki rerata dosis radiasi gamma mencapai 0,6 mSv/tahun (Syaifudin, 2018). Menurut United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR) (2010), batas normal paparan dosis radiasi gamma, yaitu 1 mSv/tahun.
Radiasi pengion yang disebabkan oleh radiasi alam dapat menyebabkan kerusakan pada sel dan jaringan yang jika terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan kegagalan multi-organ hingga kematian (Singh, Newman, Romaine, Hauer-Jensen & Pollard, 2016). Paparan radiasi dengan dosis sub-mematikan dapat menginduksi kerusakan sel dan subselular pada organisme hidup (Garrison & Uyeki, 1988). Radiasi terutama sinar gamma yang mengenai Deoxyribonucleic Acid (DNA) dapat mengionisasi basa nukleat dan gula yang menyebabkan
2 kerusakan pada untai tunggal dan untai ganda DNA (Zhang, Guo, Qi, Shao & Liang, 2014). Sejumlah perubahan atau kerusakan yang timbul dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan resiko akibat radiasi pada tubuh, antara lain kerusakan pada kromosom yang berpotensi membentuk tumor atau kanker (Hall & Giaccia, 2012).
Penelitian efek biologis dari radiasi pengion bergantung pada indikator atau biomarker sitogenetik yang digunakan untuk mendapatkan pemahaman mengenai mekanisme yang terjadi pada berbagai tingkat kerusakan sistem biologi. Uji sitogenetik menggunakan metode Cytokinesis Block Micronuclei Cytome (CBMN Cyt) pada sel limfosit dapat dijadikan sebagai biomarker karena kerusakan sel mudah untuk dikenali dan dinilai serta hasilnya dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat. Informasi mengenai kejadian seluler lainnya seperti apoptosis dan nekrosis juga dapat diperoleh secara bersamaan dari slide sampel yang sama (Fenech, 2007).
Sel limfosit darah tepi merupakan sel yang paling umum digunakan untuk biodosimetri. Biodosimetri adalah prediksi dosis radiasi pengion yang diterima seseorang berdasarkan perubahan materi biologis dalam tubuh (Timmins & Julie, 2011). Sel limfosit darah memiliki sifat yang sensitif terhadap radiasi, sehingga mudah mengalami kerusakan pada bagian DNA. Analisis kelainan sitogenetik menggunakan biomarker dilakukan dengan uji CBMN Cyt untuk mengamati Micronuclei (MN), Nucleoplasmic Bridge (NPB), Nuclear Bud (NBUD), dan 8-Shaped (Rana, Raj & Sarwat, 2010).
Kelainan sitogenetik disebabkan oleh ketidakstabilan kromosom yang berakibat pada ketidaktepatan perlekatan kinetokor-mikrotubulus dan keberadaan kromosom yang tertinggal selama anafase (Thompson & Compton, 2011). Kerusakan, kehilangan dan penataan ulang kromosom adalah peristiwa awal yang penting pada sel kanker (Kimura, Umegaki, Higuchi, Thomas & Fenech, 2004). Hal tersebut dapat diinduksi oleh stres genotoksik seperti klastogen atau aneugen, yaitu suatu agen yang menyebabkan kerusakan kromosom (klastogen) dan yang bekerja pada kerusakan spindel (aneugen) (Torres, Covarrubias, Zamora, Torres, García et al. 2007).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai uji sitogenetik di Mamuju, Sulawesi Barat diantaranya, yaitu penelitian Ramadhani, Sardini, Lubis, Masnelli & Syaifudin (2016) yang mengevaluasi proliferasi limfosit penduduk Desa Botteng, Mamuju, Sulawesi Barat menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan studi, serta usia dan jenis kelamin tidak memiliki korelasi dengan proliferasi sel limfosit. Penelitian Purnami, Lubis, Suryadi & Syaifudin (2020) mengenai nilai Mitotic Index (MI) dan Nuclear Division Index (NDI) di Desa Ahu dan Salletto, Mamuju, Sulawesi Barat menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan studi, serta jenis kelamin perempuan memiliki nilai NDI yang lebih rendah daripada laki-laki. Hingga saat ini, belum ditemukan publikasi ilmiah mengenai evaluasi kelainan sitogenetik menggunakan biomarker MN, NPB, NBUD, dan 8-Shaped pada penduduk Desa Ahu dan Salletto, Mamuju, Sulawesi Barat dengan faktor korelasi usia dan jenis kelamin. Penggunaan biomarker dari kelainan sitogenetik tersebut dapat digunakan untuk prognosis awal potensi kanker dan mengevaluasi kualitas lingkungan yang diterima penduduk Mamuju, Sulawesi Barat.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana efek radiasi alam tinggi terhadap sel melalui pembentukan MN, NPB, NBUD, dan 8-Shaped yang dipengaruhi faktor usia dan jenis kelamin pada sel limfosit penduduk di Mamuju, Sulawesi Barat?
1.3. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah radiasi alam tinggi berpengaruh terhadap pembentukan MN, NPB, NBUD, dan 8-Shaped yang dipengaruhi faktor usia dan jenis kelamin pada sel limfosit penduduk di Mamuju, Sulawesi Barat.
1.4. Tujuan
Tujuan pada penelitian ini adalah menganalisis pengaruh radiasi alam tinggi terhadap sel melalui pembentukan MN, NPB, NBUD, dan 8-Shaped yang dipengaruhi faktor usia dan jenis kelamin pada sel limfosit darah penduduk di
4 Mamuju, Sulawesi Barat.
1.5. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini mengetahui efek radiasi alam tinggi serta pengaruh faktor usia dan jenis kelamin terhadap kelainan sitogenetik penduduk Mamuju, Sulawesi Barat untuk prognosis awal potensi kanker dan menilai kualitas lingkungan yang diterima dalam jangka waktu panjang.
1.6. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dari penelitian ini ditampilkan dalam bentuk bagan (Gambar 1).
Radiasi alam yang diterima penduduk Mamuju dapat menimbulkan kerusakan sel dan subselular serta kerusakan kromosom
Lokasi penduduk Mamuju, yaitu: 1. Desa Ahu dan Salletto (HBRA) 2. Desa Topoyo (NBRA)
MN, NPB, NBUD, dan 8-Shaped digunakan sebagai biomarker pada penduduk Mamuju yang terpapar
Dosis radiasi alam di Mamuju, Sulawesi Barat melebihi angka rerata dosis radiasi nasional
Hasil evaluasi dianalisis untuk mengetahui efek dan korelasi dari usia dan jenis kelamin terhadap kelainan sitogenetik pada penduduk Mamuju, Sulawesi Barat
Faktor yang mempengaruhi: 1. Jenis kelamin
2. Usia
Data yang diperoleh akan bermanfaat untuk menginisiasi studi epidemiologi lanjut dengan skala besar dan terintegrasi dengan KEMENKES
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian evaluasi kelainan sitogenetik (Micronuclei, Nucleoplasmic Bridge, Nuclear Bud dan 8-Shaped) dalam limfosit darah penduduk Mamuju, Sulawesi Barat akibat paparan radiasi alam tinggi
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Radiasi
Berdasarkan International Atomic Energy Agency (IAEA) (2011), radiasi adalah pancaran energi berupa partikel atau gelombang elektromagnetik (foton) dari sumber radiasi. Secara garis besar radiasi digolongkan ke dalam radiasi pengion dan radiasi non-pengion. Radiasi pengion adalah jenis radiasi yang dapat menyebabkan proses ionisasi (pembentukan ion positif dan ion negatif) apabila berinteraksi dengan materi. Ionisasi juga diartikan sebagai proses menghilangkan satu atau lebih elektron dari atom yang kemudian dapat menghasilkan efek biologis yang signifikan. Radiasi non pengion adalah gelombang elektromagnetik dengan energi yang tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya ionisasi pada materi yang dilintasinya (Alatas, Hidayati, Akhnadi, Purba & Purwadi et al., 2016).
Partikel alfa, beta, sinar gamma, sinar X dan neutron termasuk ke dalam radiasi pengion. Setiap jenis radiasi memiliki karakteristik yang berbeda. Sinar X dan gamma merupakan radiasi yang memiliki kemampuan mengeluarkan elektron dari orbitnya pada sebuah atom. Radiasi pengion dianggap berbahaya karena atom yang terionisasi dapat menyebabkan terjadinya radikal bebas (Odum, 1971). Radiasi alfa dan beta mampu merambat pada sel hidup. Partikel alfa dapat dihentikan oleh lapisan kulit mati, namun berbahaya karena dapat menghasilkan sejumlah besar ionisasi lokal yang dapat menyebabkan mutasi dan mengganggu metabolisme sel. Partikel beta adalah elektron dengan kecepatan tinggi. Meskipun jauh lebih kecil dari partikel alfa, namun dapat merusak jaringan dan dapat menyebabkan mutasi yang memengaruhi fungsi sel (Stalter & Howarth, 2012). Sinar gamma memiliki karakteristik yang mirip dengan x-ray, yaitu mampu merambat pada sel hidup dengan mudah. Sinar gamma memiliki energi yang cukup untuk mengionisasi materi dan karenanya dapat merusak sel-sel hidup. Kerusakan yang dihasilkan dalam sel atau jaringan sebanding dengan jumlah radiasi yang diserap. Efek merugikan dari sinar gamma tergantung pada jumlah, energi, dan jarak organisme dari sumber radiasi. Intensitas radiasi berkurang secara eksponensial dengan meningkatnya jarak (Stalter & Howarth, 2012).
Efek biomedis jangka panjang dari radiasi pengion merupakan masalah kompleks yang tidak hanya mempengaruhi radiobiologi, tetapi juga bidang sosial dan ekonomi. Berdasarkan penelitian Bissett dan McLaughlin (2010), bahwa >60% radiasi pengion yang diterima seseorang setiap tahun dapat disebabkan oleh sumber radiasi alam. Oleh karena itu, menjaga keselamatan penduduk dari radiasi alam adalah salah satu tantangan kritis dalam ekologi. 2.1.1. Radiasi Alam di Mamuju, Sulawesi Barat
Mamuju dengan populasi penduduk berjumlah 336.772 jiwa merupakan daerah High Background Radiation Areas (HBRA), di mana total radiasi kosmik dan radioaktivitas alami di dalam tanah, udara, air, dan faktor lingkungan lainnya dapat meningkatkan dosis efektif tahunan kepada penduduk melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan (Hendry et al., 2009). Beberapa daerah di dunia yang dianggap HBRA, yaitu Ramsar (Iran), Guarapari (Brasil), Kerala (India), dan Yangjiang (Cina) (Sadiq & Termizi, 2015). Dosis efektif tahunan rata-rata dari paparan radiasi alam di seluruh dunia saat ini sekitar 2,4 mSv (Mortazavi, Ghiassi-Nejad, Ikushima, Assaie, Heidary et al., 2003).
Kawasan Mamuju telah dipelajari secara intensif untuk eksplorasi uranium sejak 2013 (Sukadana & Syaeful, 2016). Tingkat dosis yang direkam mencapai 2.800 nSv/h (Iskandar, Syarbaini & Kusdiana, 2014). Wilayah Mamuju dikenal sebagai wilayah dengan tingkat dosis radiasi tinggi yang disebabkan oleh Naturally Occurring Radioactive Material (NORM) yang memiliki kandungan uranium (238U) dengan rata-rata 25 ppm eU, sedangkan kelimpahan rata-rata di kerak bumi adalah 3 ppm eU. Beberapa daerah di Mamuju memiliki tingkat dosis radiasi gamma lebih dari 400 nSv/jam, yaitu Desa Ahu, Takandeang, Botteng, Pengasaan, Tande-Tande, dan Mamunyu. Tiga wilayah (Tande-Tande, Takandeang, dan Botteng) digunakan untuk pemukiman, sementara Ahu, Pengasaan, dan Mamunyu juga terdiri dari hutan dan gulma (Syaeful, Sukadana & Sumaryanto, 2014). Desa Ahu dan Salletto memiliki rerata dosis radiasi gamma mencapai 4,3 mSv/tahun dan rerata konsentrasi radon mencapai 154 Bq/m3 (Syaifudin, 2018). menurut United Nations Scientific Committee on the Effects of Atomic Radiation (UNSCEAR) (2010), paparan dosis radiasi gamma yang diizinkan, yaitu 1 mSv/tahun dan konsentrasi radon yang diizinkan mencapai 300
8 Bq/m3. Hal tersebut juga didukung oleh BATAN (2016), bahwa Mamuju merupakan daerah dengan konsentrasi Th-232 tertinggi mencapai 3400 Bq/kg (rerata nasional 45Bq/kg), konsentrasi K-40 tertinggi mencapai 1500 Bq/kg (rerata nasional 142 Bq/kg), serta dengan dosis radiasi gamma lingkungan tertinggi mencapai 10.000 nSv/jam (rerata nasional 56 nSv/jam). Pada Desa Topoyo (NBRA) sebagai lokasi objek kelompok kontrol memiliki dosis radiasi gamma 0,6 mSv/tahun dan masih dalam batas normal.
2.1.2. Efek Radiasi
Radiasi pengion dapat menyebabkan kerusakan pada sel dan jaringan yang jika terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan kegagalan multi-organ dan mampu menyebabkan kematian (Singh et al., 2016). Penelitian Donnelly, Nemhauser, Smith, Kazzi, Farfan et al. (2010) melaporkan bahwa dosis radiasi 0,35 Gy dapat menyebabkan penyakit pada manusia, sedangkan dosis 6-8 Gy dapat mematikan hampir 100% individu. Menurut Odum (1971), dosis 100 Gy dapat membunuh semua individu dewasa. Toksisitas radionuklida tergantung pada penyerapan, distribusi dalam tubuh, waktu paruh, eliminasi paruh waktu dan jenis radiasi yang dipancarkan.
Radiasi gamma dapat berpengaruh secara langsung terhadap DNA dengan cara mengionisasi basa nukleat dan gula yang menyebabkan kerusakan DNA untai tunggal dan ganda (Zhang et al., 2014). Hal tersebut sebagian besar dimediasi melalui peningkatan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) (Reily, 1994; Weiss, 1997). Reactive Oxygen Species dapat menginduksi produksi radikal bebas seperti radikal hidrogen, hidroksil, oksigen tunggal dan radikal peroksil. Produksi ROS menghasilkan modifikasi kimia protein dan lipid yang menyebabkan kerusakan sel dan menimbulkan ketidakstabilan genom dan menyebabkan terjadinya mutagenesis, karsinogenesis, dan kematian sel (Kalpana, Devipriya, Srinivasan & Menon, 2009).
Studi status kesehatan penduduk HBRA adalah sumber potensial informasi tentang efek paparan dosis rendah tingkat kronis. Terdapat dua pendapat berbeda mengenai efek merugikan dari paparan radiasi dosis rendah. Pendapat pertama menyatakan bahwa radiasi dosis rendah menimbulkan bahaya dan tidak ada ambang batas dosis untuk menghasilkan efek samping. Pendapat kedua
menyatakan terdapat ambang batas dosis untuk menghasilkan efek samping yang menekankan pada efek menguntungkan berdasarkan hormon yang dihasilkan dan terjadinya fenomena respons adaptif (Mortazavi & Mozdarani, 2012).
Radio Adaptive responsse (RAR) didefinisikan sebagai respons biologis dimana paparan radiasi terhadap organisme dapat menginduksi mekanisme pertahanan (imunitas) terhadap efek merugikan dari paparan radiasi berikutnya (Choi, Wong, Cheng & Yu, 2011; Wodarz, Sorace & Komarova, 2014). Penelitian Alakoç (2011) melaporkan bahwa paparan radiasi alam yang tinggi menyebabkan keterlambatan dalam siklus sel dan menghambat mitosis limfosit darah perifer. Secara umum, sensitivitas sel dan jaringan tertentu terhadap radiasi pengion berbanding lurus dengan tingkat mitosis dan tingkat diferensiasi sel/ jaringan dalam tubuh. Sel yang berdiferensiasi lebih lambat relatif lebih resisten dan kurang sensitif terhadap radiasi pengion akut. Sel-sel sistem hematopoietik, gametosit dalam jaringan reproduksi, dan sel-sel lapisan usus adalah sel yang paling sensitif terhadap radiasi pengion, sedangkan sel-sel sistem saraf pusat secara signifikan resisten dari pada sel-sel tersebut (Singh et al., 2018).
2.2. Limfosit Darah
Biomarker adalah fitur objektif yang dapat dinilai untuk menentukan perkembangan biologis, patologis, atau terapeutik spesifik inang. Biomarker diperlukan untuk menilai dosis radiasi yang diserap setelah kejadian radiologis atau peristiwa paparan radiasi yang disengaja (Pannkuk, Fornace & Laiakis, 2017). Sel limfosit darah tepi sebagai sel yang paling sensitif terhadap radiasi pengion dapat bersirkulasi pada seluruh tubuh sehingga kerusakan yang terjadi dalam darah tepi akan mewakili kerusakan yang terjadi di dalam tubuh. Hal tersebut dikarenakan fungsi sel limfosit yang mengharuskan sel tersebut melakukan pembelahan terus menerus, sehingga saat terkena radiasi sel tersebut mudah rusak (IAEA, 2011). Menurut Carrol (2011), sel dan jaringan yang memiliki radiosensitivitas tinggi adalah limfosit, eritroblas, lensa mata, oosit dan spermatogonia. Seseorang yang memiliki limfosit lebih tinggi dapat memiliki angka bertahan hidup lebih tinggi dan terbebas dari penyakit tumor. Hal tersebut
10 dikarenakan sel limfosit terutama sel T yang berperan dalam kekebalan anti tumor (Kitayama et al, 2011).
Sel limfosit berperan penting untuk pertahanan kekebalan yang diperoleh (adaptif). Limfosit berasal dari sel-sel punca di dalam sumsum tulang. Limfosit yang bermigrasi dari sumsum tulang ke timus untuk berkembang menjadi dewasa adalah sel T dan limfosit yang menjadi dewasa di dalam sumsum tulang (bone marrow) berkembang sebagai sel B. Kedua tipe sel berkontribusi dalam immunological memory, respons yang ditingkatkan terhadap molekul asing yang telah dijumpai sebelumnya (Campbell, Reece, Urry, Cain & Wasserman et al., 2010). Stimulasi sistem imun dengan radiasi dosis rendah merupakan proses yang kompleks mengenai reaksi antarsel dan transduksi sinyal dalam sel imun yang mengarah pada aktivasi dan proliferasi limfosit T. Secara singkat, aktivasi dan proliferasi limfosit T melibatkan aktivasi langsung Antigen Presenting Cell (APC) dan T lymphocyte cell (TLC) atau melalui Reactive Oxidative Species (ROS). Radiasi dosis rendah dapat merangsang molekul kostimulatori B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86) dan ekspresi sekresi Interleukin-12 (IL-12) oleh APC. Radiasi dosis rendah juga mengatur ekspresi CD28, menurunkan CTLA-4 pada TLC dan menekan produksi IL-10. Peningkatan regulasi pada B7-1 dan B7-2 bersama dengan CD28 dapat meningkatkan regulasi TLC. Pengawasan imun serta proses reaksi lainnya seperti perbaikan DNA, apoptosis sel yang rusak dan antioksidan merupakan bagian dari pertahanan dan respons adaptif yang diaktifkan oleh radiasi dosis rendah (Ramadhani, Purnami, Nurhayati, Pudjaji & Syaifudin, 2018). 2.3. Kelainan Sitogenetik
Radiasi alam dianggap sebagai sumber utama paparan radiasi pengion yang dapat mengganggu homeostasis jaringan melalui kelainan genetik di dalam sel yang terakumulasi secara terus-menerus, terutama pada sel radiosensitif yang diikuti gangguan pembelahan sel dan dapat mengakibatkan hilangnya fungsi jaringan tersebut (Luo, Urata, Hasan, Goto & Guo et al., 2016). Penggunaan biomarker dari kerusakan kromosom, seperti Micronuclei (MN), Nucleoplasmic Bridge (NPB), Nuclear Bud (NBUD) dan 8-Shaped dibutuhkan untuk mengetahui respons limfosit darah manusia terhadap radiasi alam tinggi. Penelitian efek
biologis dari radiasi pengion juga bergantung pada informasi proliferasi sel yang dianalisis menggunakan standar Nuclear Division Index (NDI) dengan cara menghitung rasio jumlah sel nukleat saat mitosis pada waktu tertentu (Gambar 2).
Gambar 2. Sel limfosit penduduk Mamuju (A) Mononukleat (M1); (B) Binukleat (M2); (C) Trinukleat (M3); (D) Tetranukleat (M4) sebagai dasar perhitungan Nuclear Division Index (NDI) (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Nuclear Division Index dapat menggambarkan proliferasi sel dalam kultur sebagai ukuran sitotoksisitas umum (Ali & Muttar, 2014). Pengujian ini dapat mengungkapkan peran gen dalam perkembangan siklus sel setelah dipengaruhi oleh paparan radiasi (Lusiyanti, Kurnia, Suvifan, Sardini & Purnami et al., 2017). Tingkat kerusakan sel akibat paparan radiasi dapat dianalisis melalui pengamatan kerusakan kromosom pada limfosit darah perifer dengan cara membiakannya. Dimana sel dalam kondisi G0 yang kemudian dilanjutkan dengan stimulasi siklus sel dengan phytohemaglutinin (PHA), sehingga sel mengalami proliferasi. Penambahan sitokalasin B akan memblokade sel saat telofase, sehingga kelainan-kelainan pada kromosom dapat diamati dengan jelas pada Binucleated Cell (BNC) setelah proses pewarnaan. Hal ini sangat berguna untuk mempelajari pengaruh radiasi terhadap respons kromosom manusia. Kriteria dalam memilih BNC, yaitu:
a. Sel harus terdiri dari 2 nukleat (binukleat).
A B
12 b. Dua nukleus dalam sel binukleat harus memiliki membran nukleat yang utuh
dan terletak dalam batas sitoplasma yang sama.
c. Dua nukleus dalam sel binukleat harus memiliki ukuran yang sama, pola pewarnaan, dan intensitas pewarnaan yang sama.
d. Dua nukleus di dalam sel binukleat tidak terhubung atau terkadang memiliki satu atau lebih jembatan nukleoplasma halus, yang tidak lebih lebar dari 1/4 dari diameter nukleat.
e. Dua nukleus utama dalam sel binukleat dapat bersentuhan tetapi idealnya tidak saling tumpang tindih. Sel dengan dua inti yang tumpang tindih hanya dapat dinilai jika batas kedua nukleus dapat dibedakan.
f. Batas atau membran sitoplasma sel binukleat harus utuh dan dapat dibedakan dengan jelas dari batas sitoplasma sel yang berdekatan (IAEA, 2011).
2.3.1. Micronuclei (MN)
Micronuclei (MN) merupakan biomarker dari kerusakan DNA yang banyak digunakan dalam pemantauan lingkungan untuk mendeteksi agen genotoksik (Silva, Silva, Silva, Amâncio & Melo, 2011). Micronuclei terbentuk akibat paparan mutagen, termasuk radiasi yang mengakibatkan kerusakan kromosom atau disfungsi spindel (Syaifudin, Defiyandra, Nurhayati, Purnami & Pudjaji, 2018). Beberapa MN kemungkinan juga berasal dari kerusakan NPB saat anafase, kromosom cincin, penyatuan kromatid saudara atau kromosom yang berfusi dengan telomer (Gisselsson, Bjork, Hoglund, Mertens & Dal et al., 2001; Hoffelder, Luo, Burke, Watkins & Gollin et al., 2004). Hal tersebut diinduksi oleh stres genotoksik seperti klastogen atau aneugen, yaitu suatu agen yang menyebabkan kerusakan kromosom (klastogen) dan yang bekerja pada kerusakan spindel (aneugen) (Torres, Covarrubias, Zamora, Torres, García et al. 2007).
Micronuclei mengacu pada inti berukuran kecil yang terbentuk dari satu atau beberapa kromosom yang tidak dimasukkan ke dalam salah satu inti anak selama pembelahan sel (Fenech, Knasmueller, Bolognesi, Bonassi & Holland et al., 2016). Pengujian menggunakan MN dapat dijadikan alat untuk menilai kerusakan DNA, cacat pada mitosis, respons stres dan ketidakstabilan genom individu. Pada umunya, MN digunakan untuk mempelajari aktivasi kekebalan setelah kerusakan
DNA (Bartsch, Knittler, Borowski, Rudnik & Damme et al., 2017; Harding, Benci, Irianto, Discher & Minn et al., 2017; Mackenzie, Carroll, Martin, Murina & Fluteau et al., 2017). Berbagai mekanisme molekuler dapat mengarah pada pembentukan MN, termasuk kerusakan DNA untai ganda, gangguan respons perbaikan DNA, replikasi DNA yang tidak tepat, bahan kimia dan gangguan mitosis sel. Hal-hal tersebut terjadi melalui penghambatan polimerisasi mikrotubulus atau gangguan sentromer (Shimizu, 2011). Ketidakstabilan genom adalah pendorong umum dalam pembentukan MN dan evolusi kanker (Ye, Regan, Liu, Alemara & Heng, 2018)
Secara mikroskopis, MN tampak sebagai inti yang berukuran kurang dari sepertiga diameter inti utama, berbentuk bulat atau oval dengan tepi halus, tidak bertumbukan atau memiliki hubungan dengan inti utama, serta memiliki warna, tekstur, pembiasan yang sama dengan inti utama (Gambar 3).
Micronuclei terbentuk saat mitosis di antara metafase dan anafase. Pada saat metafase semua kromosom akan berjejer di ekuator kemudian masing-masing akan diikat sentromernya oleh benang spindel lalu ditarik ke kedua kutub pada saat anafase. Apabila dalam proses antara metafase dan anafase terdapat kerusakan nukleus, maka akan menghasilkan fragmen kromosom yang tidak mengandung sentromer (asentrik), fragmen tersebut tidak dapat ditarik ke kutub sehingga akan tertinggal di salah satu sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Saat telofase, MN yang terbentuk akan mendapatkan perlakuan sama halnya dengan inti sel utama, yaitu mengalami proses pembentukan membran inti. Proses tersebut menjadikan MN yang terbentuk akan terpisah sempurna dari inti sel utama (Ramadhani & Restadiawati, 2013).
Gambar 2. Micronuclei (MN) pada Binucleated Cell (BNC) sel limfosit (Rodrigues et al., 2018)
14 Menurut IAEA (2011), secara morfologi MN identik dengan nukleat tetapi lebih kecil dan harus sesuai dengan kriteria berikut:
a. Diameter MN pada sel limfosit sel darah manusia biasanya memiliki variasi antara 1/16 dan 1/3 dari diameter sel nukleat, masing-masing sesuai dengan 1/256 dan 1/9 dari area salah satu inti utama dalam sel binukleat.
b. MN adalah non-refraktil dan karenanya dapat dengan mudah dibedakan dari artefak seperti pewarnaan partikel.
c. MN tidak tersambung atau terhubung dengan nukleat.
d. MN dapat menyentuh tetapi tidak tumpang tindih dengan MN lain dan batas MN harus dibedakan dari batas nukleat.
e. MN biasanya memiliki intensitas pewarnaan yang sama dengan inti utama tetapi kadang-kadang pewarnaan mungkin lebih intens.
2.3.2. Nucleoplasmic Bridge (NPB)
Nucleoplasmic Bridge (NPB) merupakan biomarker dari kerusakan DNA selain MN yang berasal dari kromosom disentrik dan terbentuk melalui kesalahan perbaikan kerusakan DNA. Nucleoplasmic Bridge terbentuk di antara sel BNC yang memungkinkan sentromer kromosom disentrik ditarik ke kutub sel yang berlawanan dan diselubungi oleh membran inti selama anafase. Nucleoplasmic Bridge juga dapat dihasilkan melalui ujung patahan kromosom yang tidak bisa diperbaiki dan menghasilkan kromatid cincin yang direplikasi (Fenech, Kirsch, Natarajan, Surralles & Crott et al,. 2011) (Gambar 4). Menurut Syaifudin (2016), setelah terpapar radiasi, kromosom dapat menjadi sticky (lengket) dengan formasi sesaat atau permanen berupa jembatan antar-kromosom yang mencegah pemisahan kromosom normal selama mitosis dan transkripsi informasi genetik.
Mekanisme NPB lainnya adalah akibat berfusinya telomer yang dikaitkan dengan pemendekan telomer atau kerusakan urutan telomer (Pampalona, Soler, Genesca & Tusel, 2010). Telomer adalah struktur penting pada ujung kromosom yang menjaga keutuhan kromosom dan berasosiasi dengan protein yang melindunginya dari degradasi oleh enzim, kehilangan informasi genetik, penggabungan kromosom dan apoptosis (Raynaud, Sabatier, Philipot, Olaussen & Soria, 2008). Pemendekan telomer menimbulkan penyatuan ujung kromosom
homolog dan kromosom non homolog (end to end fusion) pada waktu perbaikan DNA, membentuk kromosom yang tidak stabil (Kong, Lee & Wang, 2013).
Gambar 4. Nucleoplasmic Bridge (NPB) pada Binucleated Cell (BNC) sel limfosit (Dokumentasi Pribadi, 2020)
Berdasarkan IAEA (2011), NPB memiliki karakteristik berikut:
a. Lebar NPB mungkin sangat besar tetapi biasanya tidak melebihi 1/4 dari diameter inti dalam sel.
b. NPB juga harus memiliki karakteristik pewarnaan yang sama dengan inti utama.
c. Pada kesempatan yang jarang, lebih dari satu NPB dapat diamati di dalam sel binukleat.
d. Sel binukleat dengan NPB dapat mengandung satu atau lebih MN.
e. Sel binukleat dengan satu atau lebih NPB dan tidak memiliki MN juga dapat diamati.
2.3.3. Nuclear Bud (NBUD)
Nuclear Bud adalah tonjolan yang mewakili mekanisme kemungkinan adanya amplifikasi gen (Fenech, 2006). Pembelahan sel mamalia somatik yang diploid normalnya mampu menghasilkan 2 sel anak sebagai hasil dari proses mitosis yang ketat dan terkontrol dengan baik. Beberapa kelainan selama proses perkembangan dapat menghasilkan distribusi kromosom yang tidak seimbang. Nukleus menghilangkan kelebihan DNA yang diamplifikasi dengan proses aktif yang memusatkan DNA yang diamplifikasi ke titik perifer nukleus. Kelebihan DNA ini dikeluarkan dari sel dengan ekstrusi MN dari sitoplasma yang mengarah ke pembentukan NBUD. Proses NBUD terjadi selama fase-S yang dicirikan dengan
16 morfologi yang menyerupai MN, namun dengan pengecualian bahwa mereka dikaitkan oleh tangkai yang sempit atau lebar tergantung pada tahap proses pembentukan tunas (Shimizu, Shimuara & Tanaka, 2000) (Gambar 5). Penelitian Haaf, Raderschall, Reddy, Ward & Radding et al. (1999) menyatakan bahwa NBUD yang terputus tangkainya dapat membentuk MN. Nuclear Bud juga dapat terbentuk ketika NPB antara dua inti putus dan sisanya menyusut kembali menuju inti (Utani, Kohno, Okamoto & Shimizu, 2010). Berdasarkan penelitian Bytyqi (2018), tidak ada kromosom spesifik yang membentuk NBUD meskipun kebanyakan NBUD menunjukkan konten kromatin.
Gambar 5. Nuclear Bud (NBUD) pada Binucleated Cell (BNC) sel limfosit penduduk Mamuju (Dokumentasi Pribadi, 2020)
2.3.4. Eight Shaped
Kelainan sitogenetik akibat paparan radiasi yang paling sedikit dipelajari adalah nukleus berbentuk halter (8-Shaped) (Kravtsov, Livanova, Belyakov & Fedortseva, 2018). Menurut Deshuillers, Raskin, Messick & Pelger-huët (2014), 8-Shaped dicirikan dengan kedua nukleus yang menyatu bersama, menyerupai dumbbell atau angka delapan (Gambar 6). Secara morfologis, munculnya 8-Shaped dapat dikaitkan dengan pembentukan kromosom disentrik dan cincin (Nikiforov, Fedortseva, Monosova, Iartseva & Kravtsov, 2000). Penelitian Gisselsson, Bjork, Hoglund, Mertens & Dal et al. (2001) menyatakan bahwa paparan radiasi dengan dosis tinggi dapat memicu pembentukan kromosom disentrik selama anafase yang menyebabkan terjadinya kelainan seluler yang berbeda secara visual.
Penelitian Lopez, Barinova, Onishi, Pobiega & Pringle et al. (2015), menyatakan bahwa semua anomali nuklei yang muncul dalam sel sebagai respons terhadap efek radiasi memiliki mekanisme pembentukan yang serupa. Mekanisme ini didasarkan pada pengenalan istirahat untai ganda molekul DNA dengan radiasi pengion. Eight shaped juga dapat dikaitkan dengan morfologi amitosis, dimana komponen inti didistribusikan secara tidak merata antara inti anak (Flemming, Stand, Bonnet’s, 1892). Ukuran 8-Shaped tidak meningkat dibandingkan dengan sel nuklei yang normal dan area yang ditempati oleh 8-Shaped secara visual sama dengan area yang ditempati oleh dua nuklei yang terpisah. Penelitian Zeegers, Venkatesan, Koh, Low & Srivastava et al. (2017) menyatakan bahwa frekuensi terbentuknya 8-Shaped bergantung pada dosis radiasi yang diperoleh.
Gambar 6. Eight-Shaped pada Binucleated Cell (BNC) sel limfosit penduduk Mamuju (Dokumentasi Pribadi, 2020)
18 BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-September 2020. Pengambilan sampel darah dilakukan di Desa Ahu, Salletto, dan Topoyo, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Preparasi, pembiakkan dan pengamatan sampel darah dilakukan di Laboratorium Radiobiologi Molekuler dan Laboratorium Sitogenetik Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi (PTKMR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Pasar Jum’at, Jakarta Selatan.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah lemari asam, Biological Safety Cabinet, Laminar Air Flow (LAF), inkubator, sentrifuge, freezer, mikroskop cahaya Nikon Eclipse 100, pipet pasteur, object glass, cover glass, syringe, tabung kultur, tabung vacutainer, penyangga preparat, tabung erlenmeyer, gelas ukur, dan hand tally counter.
Bahan yang dibutuhkan adalah sampel darah penduduk Mamuju, Sulawesi Barat, pewarna giemsa, heparin, RPMI-1640 yang dilengkapi L-Glutamin & Hepes (Gibco), Fetal Bovine Serum (FBS) (Gibco), Penicillin-Streptomycin (Gibco), Phytohaemagglutinin (PHA) (Gibco), sitokalasin B, KCl, larutan fiksatif karnoy (metanol:asetat glasial = 10:1), larutan fiksatif Ringer-karnoy (1:1), dan minyak imersi.
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional case control study. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan karakteristik responden, yaitu penduduk asli berusia 14-80 tahun, sehat jasmani dan rohani, tidak dalam masa kehamilan, dan tidak sedang menerima tindakan radioterapi dan radiodiagnostik. Responden diberikan penjelasan mengenai prosedur penelitian dan melakukan pemeriksaan kesehatan fisik. Protokol penelitian telah disetujui oleh Badan Pengkajian Komite Etik di Lembaga
Penelitian Kesehatan Nasional Kementerian Kesehatan RI di Jakarta dengan nomor LB.0201/2/KE.063/2018. Sampel darah dibagi ke dalam dua kelompok yang masing-masing terdiri atas 15 sampel, yaitu kelompok kontrol, responden yang bermukim di daerah radiasi alam normal (Desa Topoyo) dan kelompok studi, responden yang bermukim di daerah radiasi alam tinggi (Desa Ahu dan Salletto). 3.4. Cara Kerja
Metode sitogenetik yang digunakan adalah Cytokinesis Block Micronucleus Cytome (CBMN Cyt) berdasarkan protokol Laboratorium Radiobiologi Molekuler dan Laboratorium Sitogenetik PTKMR-BATAN dalam Syaifudin (2018) untuk mengamati pembentukan NDI, MN, NPB, NBUD, dan 8-Shaped.
3.4.1. Pengambilan Sampel Darah
Sampel darah diambil sebanyak 9 ml secara intravena menggunakan jarum suntik steril dan ditampung ke dalam 2 tabung vacutainer berisi heparin sebagai antikoagulan. Sampel darah dibawa ke laboratorium PTKMR BATAN untuk dilakukan pemeriksaan dalam jangka waktu maksimum 48 jam dalam suhu ruang. 3.4.2. Pembiakkan Sel Darah Limfosit
Preparasi dilakukan di dalam Biological Safety Cabinet. Dimasukkan 4,5 ml larutan RPMI-1640 yang telah diperkaya dengan 0,1 ml L-Glutamin dan buffer HEPES, 0,8 ml Fetal Bovine Serum (FBS), 0,1 ml Penicillin-Streptomycin, 0,5 ml sampel darah dan 0,1 ml Phytohaemagglutinin (PHA) ke dalam tabung kultur. Tabung kemudian ditutup secara tidak rapat dan disimpan dalam inkubator 37oC yang dialiri CO25% selama 72 jam. Pada jam ke-44 sejak dikultur, ditambahkan 15 μl sitokalasin B ke dalam biakan dan kembali diinkubasi. Biakan akan dipanen pada jam ke-72 sejak dikultur.
3.4.3. Pemanenan Sel Limfosit
Sampel darah yang telah dibiakkan selama 72 jam, dipindahkan ke tabung sentrifus dan disentrifus dengan kecepatan 800 rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang, kemudian ditambahkan 6 ml larutan hipotonik (0,56%
20 KCI) dingin ke dalam endapan yang diperoleh, dihomogenkan, dan disentrifus kembali dengan kecepatan yang sama. Kemudian, supernatan dibuang dan ditambahkan 5 ml larutan fiksatif Ringer-karnoy (1:1) lalu disentrifus dengan kecepatan 800 rpm selama 8 menit. Supernatan dibuang dan ditambahkan 5 ml laruntan fiksatif karnoy (metanol:asam asetat = 10:1), disentrifus dengan kecepatan 800 rpm selama 8 menit. Kemudian, supernatan dibuang dan ditambahkan 5 ml larutan fiksatif karnoy lalu disimpan semalaman dalam freezer. 3.4.4. Preparasi dan Pewarnaan Preparat
Setelah difiksasi beberapa kali, maka akan diperoleh endapan sel limfosit berwarna putih yang mengandung MN. Endapan sel limfosit tersebut diteteskan pada preparat sebanyak 3 tetes dan dikeringkan. Setelah kering, preparat diberi pewarna Giemsa 4% dan didiamkan selama 8-10 menit. Kemudian preparat dibilas dan dicelupkan ke dalam akuades dan dikeringkan, preparat ditutup dengan cover glass menggunakan perekat entellan dan siap untuk diamati dengan mikroskop cahaya.
3.5. Pengamatan
Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya Nikon Eclipse 100. Proliferasi sel limfosit diamati menggunakan standar NDI dengan menghitung sel mononukleat (M1), binukleat (M2), trinukleat (M3), dan tetranukleat (M4) per 1000 sel. Standar NDI dapat dihitung menggunakan rumus:
NDI = M1+2M2+3M3+4M4
N
Keterangan: M1 = mononukleat; M2 = binukleat; M3 = trinukleat; M4 = tetranukleat; N = jumlah keseluruhan sel (1000 sel).
Pengamatan MN dilakukan dengan mencatat jumlah MN per 1000 Binucleated Cell (BNC). Frekuensi MN dihitung menggunakan rumus:
FMN= 1MN + 2MN2 + 3MN3 + 4MN4 + ...
Keterangan: MN1 = 1 mikronukleus dalam BNC; MN2 = 2 mikronukleus dalam BNC; MN3 = 3 mikronukleus dalam BNC; MN4 = 4 mikronukleus dalam BNC; N BNC = jumlah keseluruhan BNC.
Pengamatan NPB, NBUD dan 8-Shaped dilakukan dengan mencatat jumlah masing-masing sel tersebut per 1000 BNC.
3.6. Analisis Data
Data NDI (Lampiran 1 dan 2) dan kelainan sitogenetik (Lampiran 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10) yang diperoleh dari pengamatan pada kelompok kontrol dan studi dianalisis menggunakan Independent T Test untuk mengetahui perbandingan nilai rerata antara kelompok kontrol dan studi. Selanjutnya, digunakan uji One-Way Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh faktor usia dan jenis kelamin terhadap NDI dan kelainan sitogenetik. Pada uji One-Way ANOVA, jenis kelamin dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu laki-laki dan perempuan serta usia dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu usia 0-30 tahun, 31-50 tahun dan >51 tahun. Sebelum data diuji, digunakan Kolmogorov-Smirnov test untuk mengetahui normalitas dan homogenitas data. Seluruh pengujian statistik dilakukan dengan aplikasi IBM SPSS untuk Windows versi 25.0 dengan taraf kepercayaan 95%.
22 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Proliferasi Sel Limfosit Penduduk Mamuju
Efek biologis dari radiasi pengion bergantung pada informasi proliferasi sel limfosit yang dianalisis menggunakan standar NDI dengan cara menghitung rasio jumlah sel nukleat saat mitosis. Nuclear Divison Index dapat menggambarkan proliferasi sel limfosit dalam kultur sebagai ukuran sitotoksisitas umum (Ali & Muttar, 2014). Apabila sel gagal membelah selama periode blok sitokinesis dan mengalami mononukleasi, maka peristiwa dicirikan dengan nilai NDI 1,0, sedangkan sel yang menyelesaikan pembelahan dicirikan dengan nilai NDI 2,0. Jika sel menyelesaikan lebih dari satu pembelahan inti selama fase blok sitokinesis dan mengandung lebih dari dua inti, maka dicirikan dengan nilai NDI >2,0. Sel dengan kerusakan kromosom yang lebih besar akan mati sebelum pembelahan sel (Fenech, 2007).
Nilai rerata NDI menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan studi (p<0,05). Kelompok studi memiliki nilai rerata NDI lebih tinggi daripada kelompok kontrol (Tabel 1; Lampiran 11B). Nilai NDI yang tinggi pada kelompok studi disebabkan oleh jumlah M1 yang rendah, kondisi yang menandakan bahwa sel berhasil membelah. Hal ini sesuai dengan penelitian Fenech (2007), bahwa nilai rerata NDI yang direkomendasikan, yaitu (1,2-2,2), sehingga nilai rerata NDI pada kelompok studi dan kontrol masih berada dalam batas normal.
Tabel 1. Nilai rerata Nuclear Division Index (NDI) sel limfosit pada kelompok kontrol dan studi penduduk Mamuju
Keterangan: M1= mononukleat; M2 = binukleat; M3 = trinukleat; M4 = tetranukleat; N = jumlah keseluruhan sel; SD = standar deviasi, T-Test p<0,05 (berbeda secara signifikan)
Kelompok Jumlah TotalM1 TotalM2 TotalM3 TotalM4 n NDI Mean NDI ± SD(%) p-Value Kontrol 15 7277 6686 508 549 15,020 24,34 1,62 ± 0,06
0,028 Studi 15 6354 6524 592 631 14,101 25,12 1,67 ± 0,04
Peningkatan stimulasi mitogenik limfosit darah pada kelompok studi menunjukkan efek kumulatif paparan kronis dari bahan radiologi yang memungkinkan terjadinya Radio Adaptive response (RAR) pada penduduk. Radio Adaptive response didefinisikan sebagai respons biologis dimana paparan radiasi terhadap organisme dapat menginduksi mekanisme pertahanan (imunitas) terhadap efek merugikan dari paparan radiasi berikutnya (Choi, Wong, Cheng & Yu, 2011; Wodarz, Sorace & Komarova, 2014).
Peningkatan atau penurunan nilai NDI bergantung pada kemampuan proliferasi sel (Ionescu, Ciocirlan, Becheanu, Nicolaie & Ditescu et al., 2011). Sel-sel dengan kerusakan kromosom yang lebih besar akan mati sebelum pembelahan sel atau mungkin lebih kecil kemungkinannya untuk memasuki fase pertumbuhan sel (Surova & Zhivotovsky, 2013). Penelitian Alakoç & Eroğlu (2011) menyatakan, terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi nilai NDI, yaitu jumlah sel yang berpartisipasi dalam interfase dan panjang relatif interfase pada tahapan mitosis. Penelitian Purnami, Lubis, Suryadi & Syaifudin (2020) mengenai nilai NDI di Desa Ahu dan Salletto menyatakan bahwa nilai NDI kelompok studi lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Peningkatan ini disebabkan oleh respons adaptif yang mendorong sel melakukan pembaruan proliferasi lebih cepat di bawah efek genotoksik radiasi alam. Pernyataan tersebut didukung penelitian Sinitsky & Druzhinin (2014) terkait NDI di Kemerovo, Rusia, bahwa indeks proliferasi yang mencirikan laju pembelahan sel lebih tinggi ditemukan pada kelompok yang tinggal di daerah dengan konsentrasi radon tinggi daripada kelompok yang tinggal di daerah dengan konsentrasi radiasi normal. Hal tersebut disebabkan mekanisme untuk pembaruan sel lebih cepat terjadi pada orang yang tinggal di bawah efek genotoksik.
Berdasarkan pengaruh faktor usia dan jenis kelamin terhadap nilai NDI, usia tidak berpengaruh terhadap nilai NDI baik pada kelompok studi maupun kontrol (p>0,05). Faktor jenis kelamin berpengaruh terhadap kelompok studi (p<0,05), namun tidak berpengaruh pada kelompok kontrol (p>0,05) (Tabel 2; Lampiran 11C dan 11D).
24 Tabel 2. Pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap Nuclear Division Index (NDI)
sel limfosit penduduk Mamuju
Tingginya nilai rerata NDI pada perempuan menunjukkan bahwa perempuan memiliki respons adaptif yang lebih baik daripada laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian Fan, Dong, Zhao, Liu, Yao, & Zhu et al. (2014), bahwa perempuan cenderung memiliki respons antibodi, tingkat imunoglobulin basal dan jumlah sel B yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan, baik anak-anak maupun orang dewasa memiliki jumlah rasio sel T CD4 / CD8 dan sel B yang lebih tinggi daripada pria (Uppal, Verma, & Dhot, 2003). Secara umum diketahui bahwa hormon pria, yaitu testosteron bersifat imunosupresif, sedangkan hormon perempuan, yaitu estrogen, menstimulasi respons imun (Sakiani, Olven, & Kovacs, 2013). Gen pada kromosom X juga mengatur fungsi kekebalan dan memainkan peran penting dalam memodulasi perbedaan jenis kelamin dalam perkembangan penyakit terkait kekebalan, seperti mengatur protein TLR-7 dan TLR-8 hingga reseptor sitokin dan faktor transkripsi (Libert, Dejager, & Pinheiro, 2010)
Penelitian Nurhayati, Purnami, & Syaifudin (2016); Syaifudin, Defiyandra, Nurhayati, Purnami, & Pudjaji (2018) mengenai NDI penduduk Desa Botteng,
Parameter n Rerata NDI ± SD (%) P-Value
Kontrol Usia 0-30 4 1,63 ± 0,07 0,866 31-50 7 1,61 ± 0,10 >51 4 1,63 ± 0,02 Jenis Kelamin Laki-laki 8 1,61 ± 0,10 0,573 Perempuan 7 1,63 ± 0,04 Studi Usia 0-30 3 1,68 ± 0,47 0,880 31-50 7 1,67 ± 0,48 >51 5 1,67 ± 0,40 Jenis Kelamin Laki-laki 8 1,65 ± 0,04 0,017 Perempuan 7 1,70 ± 0,02
Mamuju, menunjukkan bahwa perempuan memiliki nilai rerata NDI yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perbedaan fisiologis pada tubuh perempuan dan laki-laki dapat mempengaruhi proses pembelahan sel (Heuser, Andrade, Peres, Braga, & Chies, 2008). Prevalensi kerusakan DNA juga dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan gaya hidup seperti merokok, minum alkohol, jam kerja yang panjang, kurang tidur, jenis diet dan stres psikologis yang berkontribusi pada peningkatan dan perkembangan penyakit yang diakibatkannya, termasuk kanker (Huang, Huang, Weng, Nakamaya, & Morito, 2009).
Tidak berpengaruhnya faktor usia terhadap nilai NDI dapat disebabkan oleh respons adaptif pada penduduk. Penelitian Ramadhani, Nurhayati, Rahardjo, Pudjadi & Syaifudin (2018) mengenai NDI penduduk Desa Takandeang, Mamuju, menyatakan bahwa usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap NDI. Indeks mitosis yang diukur untuk proliferasi seluler memberikan korelasi negatif dengan usia individu (Ganguly, 1993). Kapasitas proliferasi sel tidak dapat dipertanggungjawabkan dari perubahan pola naik turunnya ketidakstabilan kromosom seiring bertambahnya usia (Milosevic, Grujicic, Novakovic, Arsenijevic & Marinkovic, 2002) .
Pada penelitian lain, faktor usia berpengaruh terhadap nilai NDI. Penelitian Garm, Moreno, Bürkle, Petersen & Bohr et al. (2013) menyatakan bahwa usia lanjut berpengaruh terhadap perkembangan proliferasi sel karena adanya penurunan efisiensi fisiologis yang mengakibatkan ketidakseimbangan homeostatis dan timbulnya penyakit yang melekat pada proses penuaan. Proses ini dikaitkan dengan peningkatan ketidakstabilan genom karena berkurangnya kapasitas untuk memperbaiki DNA yang rusak. Perubahan pada gen yang terlibat dalam pengendalian proliferasi sel, diferensiasi sel, perbaikan dan apoptosis sel dapat mengakibatkan timbulnya potensi kanker (Thomas, Holland, Bolognesi, Kirsch & Bonassi et al., 2009).
4.2. Kelainan Sitogenetik
Frekuensi rerata kelainan sitogenetik menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok studi pada variabel MN dan 8-Shaped (p<0,05). Pada MN dan 8-Shaped, nilai rerata pada kelompok studi lebih tinggi daripada
26 kelompok kontrol. Pada NPB dan NBUD, nilai rerata menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan studi (p>0,05) karena sedikitnya jumlah sel yang ditemukan untuk jenis kelainan sitogenetik ini (Tabel 3; Lampiran 12B, 13B, 14B, 15B).
Tabel 3. Frekuensi rerata kelainan sitogenetik sel limfosit pada kelompok kontrol dan kelompok studi penduduk Mamuju
Keterangan: SD = standar deviasi; *p<0,05 (berbeda signifikan)
Faktor usia dan jenis kelamin pada kelompok studi dan kelompok kontrol tidak berpengaruh terhadap seluruh variabel kelainan sitogenetik (p>0,05) (Tabel 4).
Tabel 4. Pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap kelainan sitogenetik sel limfosit pada kelompok kontrol dan studi penduduk Mamuju
Kelompok Rerata MN ± SD (%) Rerata NPB ± SD (%) Rerata NBUD ± SD (%) Rerata 8-Shaped ± SD (%) Kontrol 4,33 ± 2,63 0,07 ± 0,25 0,00 ± 0,00 2,67 ± 2,09 Studi 10,93 ± 4,81* 0,13 ± 0,35 0,13 ± 0,35 7,53 ± 2,13*
Parameter n P-ValueMN P-ValueNPB P-ValueNBUD 8-ShapedP-Value
Kontrol Usia 0,113 0,600 0 0,408 0-30 4 31-50 7 >51 4 Jenis Kelamin Laki-laki 8 0,336 0,302 0 0,263 Perempuan 7 Studi Usia 0,159 0,764 0,313 0,674 0-30 3 31-50 7 >51 5 Jenis Kelamin 0,957 Laki-laki 8 0,179 0,926 0,385 Perempuan 7
4.2.1. Micronuclei (MN)
Frekuensi rerata MN menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok studi dan kontrol (p<0,05) (Tabel 3). Frekuensi MN pada kelompok studi memiliki jumlah yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol (Tabel 5). Frekuensi MN pada kelompok studi dan kontrol masih dalam ambang batas normal berdasarkan standar IAEA (2001) dan Fenech (2007), bahwa frekuensi MN pada sel limfosit normal, yaitu 0-30 sel per1000 BNC. Pernyataan tersebut juga didukung penelitian Lindberg, Wang, Jarventaus, Falck, Norppa et al. (2006) bahwa kisaran frekuensi MN pada sel limfosit normal, yaitu 2-36 sel per1000 BNC. Berdasarkan hasil pengamatan, hanya ditemukan MN1, MN2, dan MN3 pada BNC sel limfosit kelompok studi dan kontrol penduduk Mamuju (Gambar 7).
Tabel 5. Frekuensi Micronuclei (MN) pada Binucleated Cell (BNC) sel limfosit kelompok kontrol dan studi penduduk Mamuju
Faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai MN pada kelompok studi dan kontrol (p>0,05) (Tabel 4; Lampiran 12C, 12D, 12E dan 12F). Respons adaptif pada penduduk Desa Ahu dan Salletto dapat menjadi penyebab tidak berpengaruhnya usia dan jenis kelamin terhadap radiosensitivitas sel. Radio Adaptive Response dapat terjadi pada masyarakat yang tinggal di daerah radiasi alam tinggi (Mohammadi, Taghavi, Gharaati, Masoomi & Ghiassi, 2006). Sesuai dengan penelitian Ramadhani, Purnami, Nurhayati, Pudjaji & Syaifudin (2018), bahwa radiosensitivitas tidak terkait dengan usia dan jenis kelamin pada penduduk yang tergolong resisten. Penelitian Syaifudin, Defiyandra, Nurhayati, Purnami dan Pudjaji (2018) mengenai frekuensi MN penduduk Desa Botteng, Mamuju melaporkan bahwa usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap frekuensi MN.
Kelompok TotalMN1 TotalMN2 TotalMN3 TotalMN TotalBNC FMN
Kontrol 58 8 0 66 15,000 0.066
Studi 151 9 4 164 15,000 0.164
Keterangan: MN1 = 1 mikronukleus dalam BNC; MN2 = 2 mikronukleus dalam BNC; MN3 = 3 mikronukleus dalam BNC; MN4 = 4 mikronukleus dalam BNC; N = jumlah keseluruhan BNC
28
Gambar 7. Micronuclei (MN) pada Binucleated Cell (BNC) sel limfosit penduduk Mamuju. (A); MN1 (B); MN2 (C);MN3 (Dokumentasi Pribadi, 2020) Pada penelitian lain, dilaporkan bahwa usia berpengaruh terhadap peningkatan MN. Penelitian Karuppasamy, Ramachandran, Kumar, Kumar & Koya et al. (2016), peningkatan MN dapat terjadi seiring bertambahnya usia karena terjadinya peningkatan fragmen asentrik yang diinduksi baik secara endogen ataupun klastogen yang tidak dapat diperbaiki oleh sel. Hal serupa didukung oleh penelitian Kazimírová, Barancoková, Dzupinková, Wsólová & Dusinská (2009) bahwa faktor usia dan jenis kelamin dapat dikaitkan dengan terjadinya kerusakan genetik yang dipengaruhi oleh aktivitas dan gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok yang dapat mempengaruhi proses fisiologis tubuh. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan frekuensi MN, yaitu efek kumulatif dari mutasi gen yang terlibat dalam perbaikan DNA, penyimpangan numerik dan struktural pada kromosom yang disebabkan oleh paparan genotoksin, nutrisi yang tidak memadai, serta berbagai faktor gaya hidup yang tidak sehat (Fenech & Bonassi 2011).
4.2.2. Nucleoplasmic Bridge (NPB)
Frekuensi rerata NPB menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kelompok studi dan kontrol (p>0,05). Kelompok studi memiliki frekuensi NPB yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol (Tabel 3). Pada kelompok studi, frekuensi NPB yang ditemukan berjumlah 2 sel per15.000 BNC dan pada kelompok kontrol hanya ditemukan 1 sel per15.000 BNC. Frekuensi NPB pada kelompok studi dan kontrol masih dalam ambang batas normal berdasarkan penelitian Fenech (2007), bahwa frekuensi NPB pada sel limfosit normal, yaitu 0-10 sel per1000 BNC.
Respons adaptif dapat menjadi penyebab sedikitnya pembentukan NPB pada kelompok studi. Frekuensi NPB dapat dipengaruhi oleh kebiasaan mengonsumi alkohol (Evans & Fenech, 2011). Hal serupa dilaporkan oleh penelitian Meenakshi, Sivasubramanian & Venkatraman (2016), bahwa frekuensi NPB memiliki korelasi yang signifikan terhadap kebiasaan merokok, namun hingga saat ini hanya ada sedikit penelitian tentang NPB dalam limfosit darah manusia. Penelitian McHugh, Lopez, Ho, Spitz & Etzel et al. (2013) melaporkan bahwa pasien kanker mengalami peningkatan jumlah NPB dalam limfosit darah perifer terlepas dari jenis kankernya.
Faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai NPB pada kelompok studi dan kontrol (p>0,05) (Tabel 4; Lampiran 13C, 13D, 13E, dan 13F). Hal tersebut menunjukkan terjadinya respons adaptif pada penduduk Desa Ahu dan Salletto yang resisten terhadap radiosensitivitas sel. Penelitian Altuntas & Bitgen (2012) melaporkan bahwa NPB dapat diandalkan untuk biodosimetri peningkatan dosis dalam respons setelah paparan radiasi dan tidak terpengaruh oleh jenis kelamin.
4.2.3. Nuclear Bud (NBUD)
Frekuensi rerata NBUD menunjukkan tidak adanya perbedaan antara kelompok studi dan kontrol (p>0,05). Kelompok studi memiliki frekuensi NBUD yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol (Tabel 3). Pada kelompok studi hanya ditemukan 2 sel NBUD per15.000 BNC, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ditemukan NBUD. Frekuensi NBUD pada kelompok studi dan kontrol menunjukkan nilai NBUD masih dalam ambang batas normal yang mengacu pada penelitian Lindberg, Wang, Jarventaus, Falck, Norppa et al. (2006), bahwa frekuensi rerata NBUD pada sel limfosit normal, yaitu 19 sel per1000 BNC. Hal tersebut didukung oleh penelitian Fenech (2007), bahwa frekuensi NBUD pada sel limfosit normal, yaitu 0-5 sel per1000 BNC. Respons adaptif dapat menjadi penyebab sedikitnya pembentukan NBUD pada penduduk Desa Ahu dan Salletto. Frekuensi NBUD dapat dijadikan data pendukung biodosimetri, namun belum banyak publikasi jurnal ilmiah mengenai hal tersebut.
30 Faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai NBUD (p>0,05) (Tabel 4; Lampiran 14C, 14D, 14E dan 14F). Hal ini menunjukkan bahwa faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap radiosensitivitas sel penduduk di Desa Ahu dan Salletto karena terjadinya respons adaptif pada penduduk. Hingga saat ini, belum ditemukan penelitian yang mengungkapkan pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap pembentukan NBUD.
4.2.4. Eight-Shaped (8-Shaped)
Frekuensi rerata 8-Shaped menunjukkan adanya perbedaan antara kelompok kontrol dan studi (p<0,05). Kelompok studi memiliki frekuensi 8-Shaped yang lebih tinggi daripada kelompok kontrol (113;40) (Tabel 3), namun belum ditemukan publikasi ilmiah yang melaporkan standar normal nilai 8-Shaped. Pembentukan 8-Shaped kemungkinan berkorelasi dengan kemampuan mitosis sel jika ditinjau berdasarkan kelainan visualnya yang dapat terjadi akibat kegagalan berpisah nukleat sel limfosit. Kegagalan berpisah pada nukleat dapat terjadi akibat gagalnya pembelahan protein kohesin pada kromosom dan polimerisasi tubulin pada mikrotubulus saat anafase. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh kadar siklin dan Cyclin dependent kinase (Cdk) sebagai kompleks yang berkontribusi dalam mengatur perakitan gelendong mitotik pada siklus sel. Peningkatan 8-Shaped kemungkinan berbanding lurus dengan peningkatan laju proliferasi sel limfosit, sehingga tingginya frekuensi NDI kelompok studi berbanding lurus dengan frekuensi 8-Shaped yang tinggi pada kelompok studi.
Penelitian Flemming, Stand, Bonnet’s (1892) menyatakan 8-Shaped dapat dikaitkan dengan morfologi amitosis, dimana komponen inti didistribusikan secara tidak merata antara inti anak. Penelitian Gisselsson, Bjork, Hoglund, Mertens & Dal et al. (2001) menyatakan, bahwa paparan radiasi dengan dosis tinggi dapat memicu pembentukan kromosom disentrik selama anafase yang menyebabkan terjadinya kelainan seluler yang berbeda secara visual. Hingga saat ini, belum ditemukan publikasi ilmiah mengenai pembentukam 8-Shaped secara jelas baik yang disebabkan oleh proses amitosis ataupun akibat pembentukan kromosom disentrik.
Faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai 8-Shaped (p>0,05) (Tabel 4; Lampiran 15C, 15D, 15E dan 15F). Hal ini menunjukkan bahwa faktor usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap radiosensitivitas sel penduduk di Desa Ahu dan Salletto karena terjadinya respons adaptif pada penduduk. Hingga saat ini, belum ditemukan penelitian yang mengungkapkan pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap pembentukan 8-Shaped.
Radiasi alam tinggi berpengaruh terhadap pembentukan MN dan 8-Shaped kelompok studi, namun keduanya masih dalam ambang batas normal berdasarkan jumlah masing-masing standar frekuensi yang ditetapkan. Respons adaptif pada penduduk dapat menjadi penyebab sedikitnya frekuensi yang ditemukan pada masing-masing variabel. Hal tersebut juga didukung oleh tidak berpengaruhnya faktor usia dan jenis kelamin terhadap seluruh kelainan sitogenetik dikarenakan radiosensitivitas tidak bergantung pada penduduk yang tergolong resisten.
32 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Kesimpulan penelitian ini adalah frekuensi biomarker MN, NPB, NBUD dan 8-shaped pada kelompok studi lebih tinggi daripada kontrol, tetapi masih dalam rentang yang normal. Paparan kronis radiasi alam tinggi dan faktor usia serta jenis kelamin tidak mempengaruhi kelainan sitogenetik (MN, NPB, NBUD, dan 8-Shaped) pada sel limfosit darah penduduk Desa Ahu dan Salletto, Mamuju, Sulawesi Barat.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian kontinuitas mengenai respons adaptif pada penduduk Desa Ahu dan Saletto, Mamuju, Sulawesi Barat dengan penambahan jumlah sampel penelitian berskala besar disertai pengukuran faktor kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol pada penduduk.
33
Alakoç, C & Eroğlu, HE. (2011). Determining mitotic index in peripheral lymphocytes of welders exposed to metal arc welding fumes. Turk J Biol. 35: 325-30
Alatas, Zubaidah., Lusiyanti, Yanti., Purnama, Sofiati., Ramadhani, Dwi., L, Masnelly., AS, Viria. (2012). Respon sitogenetik penduduk daerah radiasi alam tinggi di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia, 13 (1):13–26.
Alatas, Z., Hidayati, S., Akhadi, M., Purba, M., Purwadi, D., Ariyanto, Ariyanto, S., Winarno, H., Syahril. (2016). Buku pintar nuklir. Jakarta: BATAN Press.
Ali, A.K & Muttar, A.J. (2014). Evaluation of micronucleus, nuclear division index and sister chromatid exchanges in human lymphocyte for local samples of Al-Tuwaitha region-Iraq. Iraqi Journal of biotechnology. 13(2), 173-185.
Altuntas, Hamiyet Domez & Bitgen, Nazmiye. (2012). Evaluation of the genotoxicity and cytotoxicity in the general population in Turkey by use of the cytokinesis block micronucleus cytome assay. Elsevier. 748(1-2):1-7.
Bartsch, K., Knittler, K., Borowski, C., Rudnik, S., Damme, M., Aden, K., Spehlmann, M.E., Frey, N., Saftig, P., Chalaris, A. (2017). Absence of RNAse H2 triggers generation of immunogenic micronuclei removed by autophagy. Hum. Mol. Genes. 26:3960–3972.
Bissett RJ, McLaughlin JR. (2010). Radon. Chronic Dis Can. 29:38–50.
Campbell, Neil A., Reece. Jane B., Urry, Lisa A., Cain, Michael L., Wasserman, Steven A., Minorsky, Peter V., Jackson, Robert B. (2010). Biologi. Edisi kedelapan jilid 3. Jakarta: Erlangga.
Choi, V. W. Y., Wong, M. Y. P., Cheng, S. H., & Yu, K. N. (2011). Dosimetric study of radioadaptive responsse of Zebra fish embryos using PADC-Film substrates. Radiation Measurements. 46:1795–1798.
Donnelly, E. H., Nemhauser, J. B., Smith, J. M., Kazzi, Z. N. Farfan, E. B., Chang, A. S., and Naeem, S. F. (2010). Acute radiation syndrome: assessment and management. Southern Medical Journal. 103(6):541-546.
Deshuillers P, Raskin R, Messick J. Pelger-huët. (2014). The frequency of lymphocytes containing dumbbell shaped nuclei depends on ionizing radiation dose and correlates with appearance of chromosomal aberrations anomaly in a Cat. Vet Clin Pathol. 43:337-41.