MUHAMMAD AZHAR PRATAMA
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
POTENSI Bacillus pumilus LA4P SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
MUHAMMAD AZHAR PRATAMA 11140950000056
PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ii
POTENSI Bacillus pumilus LA4P SEBAGAI AGEN PUPUK HAYATI MENGGUNAKAN LIMBAH INDUSTRI AGAR-AGAR DAN TEPUNG IKAN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
MUHAMMAD AZHAR PRATAMA 11140950000056
Menyetujui:
Mengetahui, Pembimbing I,
Ir. Jamal Basmal, M.Sc NIP. 195903241989031001
Pembimbing II,
Dr. Nani Radiastuti, M.Si NIP. 196509022001122001
Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Dr. Priyanti, M.Si NIP. 197505262000122001
iii
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “Potensi Bacillus pumilus LA4P sebagai Agen Pupuk Hayati menggunakan Limbah Industri Agar-Agar dan Tepung Ikan” yang ditulis oleh Muhammad Azhar Pratama, NIM 11140950000056 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Januari 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi.
Menyetujui :
Mengetahui, Penguji I,
Dr. Fahma Wijayanti, M.Si NIP. 196903172003122001
Penguji II,
Narti Fitriana, M.Si NIDN. 0331107403
Ketua Program Studi Biologi
Dr. Priyanti, M.Si NIP. 197505262000122001 Pembimbing I,
Ir. Jamal Basmal, M.Sc NIP. 195903241989031001
Pembimbing II,
Dr. Nani Radiastuti, M.Si NIP. 196509022001122001
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. NIP. 196904042005012005
iv
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Jakarta, Januari 2021
Muhammad Azhar Pratama 11140950000056
v ABSTRAK
Muhammad Azhar Pratama. Potensi Bacillus pumilus LA4P sebagai Agen Pupuk Hayati menggunakan Limbah Industri Agar-Agar dan Tepung Ikan. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Dibimbing oleh Ir. Jamal Basmal, M.Sc. dan Dr. Nani Radiastuti, M.Si.
Bacillus pumilus merupakan bakteri selulolitik yang dimanfaatkan untuk pengembangan pupuk hayati. Aplikasi B. pumilus LA4P sebagai bahan pupuk hayati dilakukan untuk mengurangi limbah padat yang terakumulasi di lingkungan. Penelitian ini bertujuan mengetahui potensi B. pumilus LA4P sebagai agen pupuk hayati pada limbah industri agar-agar (LIA) serta menemukan formulasi terbaik dari kombinasi LIA dan tepung ikan berdasarkan aktivitas selulase dan produksi fitohormon IAA. Penelitian meliputi uji pada media selektif pemecah fosfat, kalium, dan selulosa dan uji pertumbuhan sel, aktivitas selulase, dan produksi IAA dengan variasi konsentrasi LIA (1%,2%,3%) dan tepung ikan (0,1%;0,2%;0,3%) pada waktu inkubasi tertentu (hari ke-1,3,5,7,9,11). Hasil karakterisasi zona bening menunjukkan kemampuan bakteri memecah fosfat, kalium, dan selulosa diindikasikan zona bening di media selektif. Kombinasi perlakuan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sel, aktivitas selulase, dan produksi IAA (sig.<0,05). B. pumilus LA4P memiliki potensi sebagai agen pupuk hayati berbasis LIA. Formulasi terbaik yaitu perlakuan konsentrasi LIA 2% dengan penambahan tepung ikan 0,3% waktu inkubasi hari ke-11 dimana nilai aktivitas selulase yang dihasilkan sebesar 0,53 U/mL, sementara konsentrasi IAA yang dihasilkan sebesar 0,71 ppm.
Kata kunci : Bacillus pumilus LA4P, Limbah industri agar-agar, Pupuk hayati, Tepung ikan
vi ABSTRACT
Muhammad Azhar Pratama. Potential of Bacillus pumilus LA4P as Biological Fertilizer Agent used Agar-Agar Industrial Waste and Fish Meal. Undergraduate Thesis. Departement of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Advised by Ir. Jamal Basmal, M.Sc. and Dr. Nani Radiastuti, M.Si.
Bacillus pumilus was cellulolytic bacteria that used for biofertilizers development. B.pumilus LA4P application for biofertilizers used to reduce effort solid waste that accumulates in environment. This study aims to determined potential of B.pumilus LA4P as biofertilizer agent in agar-agar industrial waste and found best formulation of agar-agar industrial waste and fishmeal according incubation time for cellulase activity and IAA phytohormone production. This study contains halo zone method by tested bacteria ability on selective media for degradated phosphate, potassium, and cellulose, also quantitative method by measured cell growth, cellulase activity, and IAA production with variations in agar-agar industrial waste concentrations (1%,2%,3%) and fishmeal (0,1%;0,2%;0,3%) at certain incubation times (days 1,3,5,7,9,11). Results of B.pumilus LA4P characterization showed ability to degradated phosphate, potassium, and cellulose in presenced of halo zones in selective media. Results of variance analysis showed combination of factors had significant effect for bacterial cell growth, cellulase activity, and IAA production (sig.<0,05). Best formulation obtained the treatment combination of 2% agar-agar industrial waste with 0,3% fishmeal at eleventh day incubation while cellulase activity by 0,53 U/mL and IAA production by 0,71 ppm.
Keywords : Agar-agar industrial waste, Bacillus pumilus LA4P, Biofertilizer, Fish meal.
vii
Jakarta, Januari 2021
Penulis KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT sang Maha Pemberi Rahmat yang senantiasa melimpahkan nikmat dan karunia kepada semua makhlukNya tanpa terkecuali, serta memberi kemudahan bagi penulis dalam menyelesaikan proses penyusunan skripsi yang berjudul “Potensi Bacillus pumilus LA4P sebagai Agen Pupuk Hayati menggunakan Limbah Industri Agar-Agar dan Tepung Ikan”. Shalawat serta salam tidak lupa diberikan kepada Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wassalam, seorang rasul Allah yang membawa kebaikan bagi seluru umat manusia.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env.Stud. selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
2. Dr. Priyanti, M.Si selaku ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ir. Jamal Basmal, M.Sc selaku pembimbing I yang telah membantu memberi masukan dan bimbingannya dalam menyelesaikan penyusunan skripsi penulis. 4. Dr. Nani Radiastuti, M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu
untuk memberi masukan serta bimbingan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
5. Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan (BBRP2BKP), Slipi, Jakarta yang telah menerima penulis untuk melaksanakan penelitian dan memperoleh informasi.
6. Segenap dosen Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi atas ilmu pengetahuan dan ilmu hidup yang dengan ikhlas diajarkan kepada penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memiliki kontribusi dalam ilmu pengetahuan.
viii DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 3 1.3. Hipotesis ... 3 1.4. Tujuan Penelitian ... 3 1.5. Manfaat Penelitian ... 3 1.6. Kerangka Berpikir ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1. Pupuk Hayati ... 5
2.2. Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB) ... 7
2.2.1. Bakteri Penghasil Fitohormon ... 9
2.2.2. Bakteri Pelarut Fosfat ... 10
2.2.3. Bakteri Penambat Nitrogen ... 11
2.2.4. Bakteri Pelarut Kalium ... 11
2.2.5. Bakteri Pemecah Selulosa ... 12
2.3. Bacillus pumilus ... 12
2.4. Tepung Ikan ... 13
BAB III METODE PENELITIAN... 15
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 15
3.2. Alat dan Bahan ... 15
3.3. Rancangan Penelitian ... 15
3.4. Cara Kerja ... 16
3.4.1. Pembuatan Media Selektif dan Media Perlakuan ... 16
3.4.2. Pembuatan Pereaksi Dinitrosalisilat (DNS) ... 18
3.4.3. Pembuatan Kurva Standar Glukosa dan IAA ... 18
ix
3.4.5. Uji Potensi Pelarut Fosfat ... 19
3.4.6. Uji Potensi Pelarut Kalium ... 20
3.4.7. Uji Potensi Aktivitas Selulase ... 20
3.4.8. Perhitungan Sel Bakteri ... 20
3.4.9. Pengukuran Nilai Derajat Keasaman (pH) ... 21
3.4.10. Pengukuran Aktivitas Selulase pada Media Perlakuan ... 21
3.4.11. Pengukuran Konsentrasi Fitohormon IAA pada Media Perlakuan ... 22
3.5. Analisis Data ... 23
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
4.1. Potensi Pelarut Fosfat Bacillus pumilus LA4P ... 21
4.2. Potensi Pelarut Kalium B. pumilus LA4P ... 22
4.3. Aktivitas Selulase B. pumilus LA4P ... 23
4.4. Tingkat Pertumbuhan B. pumilus LA4P pada Media Perlakuan ... 25
4.5. Aktivitas Selulase B. pumilus LA4P pada Media Limbah Industri Agar-Agar (LIA) dan Tepung Ikan ... 29
4.6. Produksi Fitohormon Indole-3-Acetic Acid (IAA) B. pumilus LA4P pada Media Limbah Industri Agar-Agar (LIA) dan Tepung Ikan ... 33
4.7. Nilai Derajat Keasaman (pH) Media Limbah Industri Agar-Agar selama Masa Inkubasi ... 36
4.8. Perlakuan Terbaik dari Media Limbah Industri Agar-Agar (LIA) ... 38
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
5.1. Kesimpulan ... 40
5.2. Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian ... 4 Gambar 2. Morfologi mikroskopis B. pumilus dengan perbesaran mikroskop cahaya
2000x... ... 13 Gambar 3. Grafik pertumbuhan sel B. pumilus LA4P hasil interaksi antara
konsentrasi substrat dan waktu inkubasi ... 28 Gambar 4. Grafik aktivitas selulase B. pumilus LA4P hasil interaksi antara
konsentrasi substrat dan waktu inkubasi ... 32 Gambar 5. Grafik produksi IAA B. pumilus LA4P hasil interaksi antara konsentrasi
substrat dan waktu inkubasi ... 35 Gambar 6. Grafik nilai pH pada media perlakuan B. pumilus LA4P hasil interaksi
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kriteria baku mutu pupuk hayati tunggal untuk bakteri non simbiotik ... 5
Tabel 2.Persyaratan khusus pupuk hayati menurut fungsinya ... 6
Tabel 3. Rerata indeks pelarutan fosfat (masa inkubasi 5 hari) ... 21
Tabel 4. Rerata indeks pelarutan kalium (masa inkubasi 5 hari) ... 22
Tabel 5. Rerata indeks pelarutan selulosa ... 24
Tabel 6. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan konsentrasi substrat terhadap jumlah sel B. pumilus LA4P (108 CFU/mL) ... 25
Tabel 7. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan konsentrasi substrat terhadap aktivitas selulase B. pumilus LA4P (U/mL) ... 30
Tabel 8. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan konsentrasi substrat terhadap produksi IAA B. pumilus LA4P (ppm) ... 33
Tabel 9. Rerata nilai pH media berdasarkan konsentrasi substrat (LIA dan tepung ikan) dan waktu inkubasi ... 36
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Rancangan percobaan faktor perlakuan Limbah Industri Agar-Agar ... 51
Lampiran 2. Diagram alir penelitian ... 52
Lampiran 3. Kurva standar dan konsentrasi glukosa ... 53
Lampiran 4. Kurva standar dan konsentrasi IAA... 54
Lampiran 5. Data hasil uji kuantitatif isolat B. pumilus LA4P ... 55
Lampiran 6. Hasil statistik uji ANOVA ... 57
Lampiran 7. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan interaksi antar faktor substrat dan waktu inkubasi ... 60
Lampiran 8. Dokumentasi uji zona bening ... 68
Lampiran 9. Dokumentasi media perlakuan ... 69
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Produksi pengolahan industri agar-agar menghasilkan jumlah limbah yang cukup banyak, salah satunya hasil pengolahan produk agar-agar. Limbah padat industri agar-agar memiliki komposisi berupa 24% selulosa dan sejumlah mineral (Nurhayati & Kusumawati, 2014). Selulosa merupakan komponen kompleks pada tumbuhan yang sulit didegradasi secara alami (Chen, 2014). Komposisi selulosa tersebut membuat industri agar menghasilkan produk samping berupa limbah padat yang terakumulasi setiap hari dan berdampak pada lingkungan (Kumar et al., 2013).
Keberadaan limbah berupa produk akhir yang terakumulasi tersebut dapat menimbulkan permasalahan berupa pencemaran apabila tidak bisa diatasi dengan baik. Namun, produk akhir limbah tersebut memiliki prospek yang menjanjikan sehingga dapat dimanfaatkan secara ekonomis karena keunggulannya yang kaya akan unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan C) dan unsur hara mikro (Fe, Cu, Zn, Boron, Na, Cl, dan Mn) (Basmal et al., 2016). Salah satu pemanfaatan yang menjanjikan yaitu sebagai bahan baku dalam produksi pupuk hayati (biofertilizer) atau pupuk hayati. Penelitian Afif (2011) menunjukkan bahwa limbah industri agar-agar dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hayati media tanam hortikultura. Pemanfaatan limbah industri agar-agar tersebut dapat menjadi solusi untuk mengatasi pencemaran limbah industri agar-agar. Pupuk hayati dari limbah industri agar-agar banyak mengandung beberapa komponen kimia seperti lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang saling terikat kuat (Lestari et al., 2018). Pupuk hayati dari limbah industri agar-agar juga banyak mengandung zat pengatur tumbuh (ZPT), seperti auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat, dan etilen (Basmal, 2009). Kandungan tersebut membuat bakteri Bacillus pumilus LA4P memiliki kemungkinan untuk dimanfaatkan sebagai agen pupuk hayati.
B. pumilus merupakan bakteri yang mampu menghasilkan enzim selulolitik untuk menghidrolisis selulosa (Munifah et al., 2015). Berdasarkan penelitian Munifah et al. (2015), B. pumilus dapat dimanfaatkan untuk menghidrolisis lignin, selulosa, hemiselulosa, dan homoselulosa untuk produksi selulase dan zat pengatur tumbuh sehingga bisa dimanfaatkan lebih lanjut. B. pumilus kemungkinan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan limbah industri agar-agar termasuk untuk produksi selulase dan zat pengatur tumbuh sehingga bisa dimanfaatkan lebih lanjut. Selama ini B. pumilus identik sebagai bakteri yang berasosiasi dengan akar tanaman sehingga kemungkinan dapat digunakan menjadi bahan baku pupuk hayati (Sari et al., 2007).
Keberadaan bakteri sebagai agen pupuk hayati tentunya tidak lepas dari kebutuhan sumber nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Sumber nitrogen menjadi salah satu faktor penting untuk menunjang pertumbuhan bakteri. Sumber nitrogen yang bisa dimanfaatkan bakteri ada pada tepung ikan. Tepung ikan memiliki kadar protein hingga mencapai 59,13% (Haris & Nafsiyah, 2019). Sa’diyah et al. (2016) menyatakan tepung ikan belum terlalu dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya nelayan diakibatkan belum adanya pengetahuan dalam pemanfaatan tepung ikan dan tidak adanya alat-alat yang memadai untuk pengolahan, sehingga hanya menjadi sampah dan dibuang tanpa dimanfaatkan lebih lanjut. Hal ini juga berkaitan dengan belum optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya ikan dalam rangka menekan impor tepung ikan. Potensi sumberdaya ikan baru dimanfaatkan sebesar 62% dari total 6,7 juta ton potensi sumberdaya ikan (KKP, 2012). Tepung ikan diharapkan dapat menjadi bahan tambahan dalam formulasi pupuk hayati untuk dijadikan sumber protein bagi pertumbuhan bakteri.
Aplikasi B. pumilus LA4P untuk bahan-bahan pupuk hayati dilakukan sebagai upaya mengurangi jumlah limbah padat yang terakumulasi di lingkungan sehingga tidak menimbulkan pencemaran. Selain itu, pupuk hayati juga dapat menjadi alternatif pilihan di bidang pertanian untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia terutama pupuk kimia. Pemanfaatan limbah industri agar-agar menjadi pupuk hayati harus sesuai dengan kriteria baku mutu pupuk hayati berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 70 tahun 2011. Hal tersebut menjadikan
adanya sejumlah parameter uji seperti uji pelarut fosfat, uji pelarut kalium, uji aktivitas selulolitik, dan uji fitohormon IAA (Indole-3-Acetic-Acid) yang dilakukan supaya pupuk hayati berbahan dasar B. pumilus LA4P dan limbah industri agar-agar dapat memenuhi kriteria tersebut dengan kualitas yang lebih baik.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah B. pumilus LA4P memiliki aktivitas pertumbuhan sel, aktivitas selulase, dan produksi fitohormon IAA yang dipengaruhi limbah industri agar-agar ?
2. Formulasi apa yang terbaik dari kombinasi media berbahan baku limbah industri agar-agar untuk aktivitas selulase dan produksi IAA pada B. pumilus LA4P ?
1.3. Hipotesis
Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. B. pumilus LA4P memiliki aktivitas pertumbuhan sel, aktivitas selulase, produksi fitohormon IAA yang dipengaruhi limbah industri agar-agar.
2. Formulasi terbaik dari kombinasi media berbahan baku limbah industri agar-agar adalah kombinasi yang memenuhi kriteria Peraturan Menteri Pertanian nomor 70 tahun 2011 tentang pupuk hayati tunggal dan memiliki nilai aktivitas yang tinggi dalam waktu yang sama.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kemampuan B. pumilus LA4P sebagai agen hayati dalam produksi pupuk hayati berbasis limbah industri agar-agar.
2. Memperoleh formulasi terbaik dari kombinasi bahan baku pupuk hayati menggunakan limbah industri agar-agar dan B. pumilus LA4P.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pemanfaatan limbah industri agar-agar yang dilakukan oleh Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB) khususnya untuk B. pumilus. Selain itu, dapat meningkatkan nilai tambah limbah
industri agar-agar menjadi bernilai ekonomis dengan menerapkan prinsip zero waste concepts. Penelitian ini juga memberikan solusi alternatif untuk subtitusi pupuk kimia yang tidak ramah lingkungan.
1.6. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dari penelitian ini adalah :
Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian yang menggambarkan latar belakang hingga
output penelitian
Limbah yang dihasilkan industri pengolahan agar-agar semakin meningkat
Pemanfaatan sebagai pupuk hayati
Bacillus pumilus LA4P solusi
Pertumbuhan bakteri
Menghasilkan ZPT
Potensi sebagai biofertilizer
Aktivitas selulolitik
Kriteria baku mutu Permentan No. 70
tahun 2011 output
Bahan baku pupuk hayati
5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pupuk Hayati
Pupuk hayati adalah produk biologi aktif terdiri atas mikroba yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah (Permentan, 2011). Mikroba yang digunakan berupa inokulan yang memiliki satu strain tertentu dan dapat pula lebih dari satu strain dalam satu inokulan. Perkembangan telah memungkinkan penambahan inokulan yang mengandung lebih dari satu kelompok fungsional mikroba. Pupuk hayati memiliki kriteria baku mutu (Tabel 1) yang tertera pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 70 tahun 2011.
Tabel 1. Kriteria baku mutu pupuk hayati tunggal untuk bakteri non simbiotik Parameter Syarat Teknis menurut Jenis Bahan Pembawa
Padat Cair
Bakteri * ≥ 1 x 108 CFU/g bobot kering ≥ 1 x 108 CFU/mL Aktinomiset* ≥ 1 x 106 CFU/g bobot kering ≥ 1 x 105 CFU/mL Fungi* ≥ 1 x 106 CFU/g bobot kering ≥ 1 x 105 CFU/mL Uji Fungsional*:
a. Penambat N b. Pelarut P
c. Pelarut unsur hara d. Pembentuk bintil akar
Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Patogenisitas Negatif
E. coli & Salmonella spp. < 1 x 103 CFU atau MPN/g atau mL
Kadar pH 5 - 8
Keterangan :
*) = Uji terhadap genus mikroba dan uji fungsional dilakukan sesuai dengan klaim yang terdapat pada produk
Adapun kriteria khusus pupuk hayati menurut fungsi dari pupuk hayati yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian No.70/Permentan/SR.140/10/2011 tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan khusus pupuk hayati menurut fungsinya
Fungsi Parameter Uji Kriteria Metode
Pengujian Penambat N2
a) simbiotik
Pembentukan lendir eksopolisakarida pada media karbohidrat dan pembentukan bintil akar
Positif bereaksi asam/basa pada media YEMA + kongo/bromtimol blue Plating media JNFB
b) hidup bebas Pembentukan pelikel/gelang pada media JNFB Positif pembentukan bintil akar Inokulasi tanaman Pelarut P dan fasilitator P
a) Zona pelarutan P Positif membentuk zona bening pada media agar Plating media Pikovskaya b) Pelarutan P Positif (≥ 10% selisih P) pada 0-48 jam Spektrofotometer c) % infeksi /kolonisasi tanaman inang Positif = ≥ 50% Pewarnaan Fuchsin Pemacu tumbuh
Produksi fitohormon Positif Spektrofotometer Penghasil antimikroba Terbentuknya zona bening Positif Plating Perombak bahan organik (dekomposer) a) Aktivitas selulase (kualitatif) (+) = terbentuk zona bening pada media agar
CMC Plating b) Aktivitas selulase (kuantitatif) ≥ 0,3 unit Fpase per mL Spektrofotometer
Pupuk hayati (biofertilizer) dapat dikatakan sebagai inokulan berbahan aktif mikroorganisme beserta substrat yang berfungsi menambat hara tertentu dan memfasilitasi ketersediaan hara di dalam tanah bagi tanaman (Simanungkalit et al., 2006). Beberapa jenis pupuk hayati yang umum dijumpai yaitu pupuk hayati pengikat nitrogen bebas, pupuk hayati penambat sumber fosfat, dan pupuk hayati mikoriza yang menghasilkan biohormon untuk tumbuhan. Pupuk hayati yang memiliki
mikroorganisme pengikat nitrogen bebas untuk diubah menjadi amoniak yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tanaman, antara lain Azotobacter sp., Azospirillum sp., Herbaspirillum sp., Rhizobium sp., Clostridium sp., Azolla sp., dan lain-lain. Biofertilizer sumber fosfat dan mineral lainnya (kalium, sulfur), seperti Bacillus sp., Pseudomonas sp., dan mikoriza (Sutariati et al., 2006). Kelompok mikroba ini menyediakan fosfat atau mineral lainnya dengan cara melarutkan fosfat (P) atau kalium (K) yang tidak larut menjadi fosfat atau kalium terlarut sehingga dapat diserap oleh tanaman. Mikroba-mikroba penyedia biohormon adalah Azotobacter sp., Azospirillum sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. Hormon-hormon yang dihasilkan sangat diperlukan oleh tanaman, baik untuk perkecambahan, pertumbuhan tunas dan batang, perpanjangan akar, pembungaan maupun pembuahan.
2.2. Plant Growth Promoting Bacteria (PGPB)
Rhizobakteri atau bakteri tanah yang memicu pertumbuhan tanaman pada umumnya disebut PGPB. Kloepper dan Schroth (1978) mendefinisikan bahwa PGPB merupakan bakteri tanah yang mampu berasosiasi dengan mengkolonisasi di bagian akar tanaman dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan memanfaatkan nutrisi yang ada di tanah. PGPB harus mampu hidup di bagian rizosfer yang kaya akan nutrisi. PGPB tunggal akan sering menunjukkan berbagai jenis tindakan termasuk untuk pengendalian biologis (Kloepper, 2003 ; Vessey, 2003). PGPB mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara langsung maupun tidak langsung dengan cara melepaskan zat pengatur tumbuh (ZPT) atau zat aktif biologis lainnya, mengubah tingkat hormon endogen, meningkatkan ketersediaan, dan penyerapan nutrisi melalui fiksasi atau mobilisasi unsur hara, mengurangi efek merugikan dari mikroorganisme patogen pada tanaman dan menggunakan berbagai mekanisme untuk memacu pertumbuhan tanaman (Nadeem et al., 2006).
Somers et al. (2014) mengklasifikasikan PGPB berdasarkan aktivitas fungsionalnya, yaitu sebagai biofertilizer, fitostimulator, rizoremediator, dan biopestisida. Beberapa kelompok bakteri seperti genus Rhizobium sp., Bradyrhizobium sp., Pseudomonas sp., Azotobacter sp., Bacillus sp., Klebsiella sp.,
Enterobacter sp., Xanthomonas sp., Serratia sp., dan beberapa genus lainnya, telah terbukti memfasilitasi pertumbuhan tanaman melalui berbagai mekanisme aksi (Khan, 2005 ; Akhtar & Siddiqui, 2009). Gray dan Smith (2005) menjelaskan bahwa PGPB yang berasosiasi berkisar pada tingkat kedekatan bakteri dengan akar dan kedekatan asosiasi. Hal tersebut secara umum dibagi ke dalam ekstraseluler (ePGPB) dan intraseluler (iPGPB). ePGPB menempati bagian rizosfer, pada bagian rhizoplane atau asangak, dan di ruang antara sel-sel korteks akar (Figueiredo et al., 2011). Contoh bakteri ePGPB diantaranya Agrobacterium sp., Arthrobacter sp., Azotobacter sp., Azospirillum sp., Bacillus sp., Burkholderia sp., Caulobacter sp., Chromobacterium sp., Erwinia sp., Flavobacterium sp., Micrococcous sp., Pseudomonas sp., Serratia sp., dan lain-lain (Bhattacharyya & Jha, 2012). iPGPB menempati bagian dalam sel akar umumnya pada bagian sel nodular khusus atau bintil akar (Figueiredo et al., 2011). Contoh bakteri iPGPB diantaranya Allorhizobium sp., Azorhizobium sp., Bradyrhizobium sp., Mesorhizobium sp., Rhizobium sp., dari famili Rhizobiaceae. Banyak bakteri iPGPB merupakan rizobakteri Gram-negatif (Bhattacharyya & Jha, 2012).
Bakteri yang dapat dimanfaatkan sebagai agen penyubur tanaman serta membantu pertumbuhan tanaman menunjukkan bahwasannya Allah menciptakan segala makhluk hidup bahkan dalam bentuk mikroskopis dengan berbagai manfaat. Dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 29 dinyatakan bahwa :
ىَتْسا َّمُث اًعْيِمَج ِض ْر َ ْلْا ًِف اَّم ْمُكَل َقَلَخ يِذَّلا َىُه
ىَسَفِءآَمَّسلا ًَلِا ي
مَس َعْبَس َّهُهى
ى
ٍت
مْيِلَعٍء ْيَش ِّلُكِب َىُه َو
( ٩٢ )
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikanNya tujuh langit dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al Baqarah: 29).
Ayat dalam Qur’an ini secara tersirat menjelaskan bahwasannya segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah memiliki manfaat untuk manusia termasuk mikroorganisme sekecil bakteri. Hal ini juga berkaitan dengan ayat Qur’an surat Al Baqarah ayat 26 yaitu :
يِيْحَتْسَي َلْ َالله َّنِا
اَهَق ْىَف اَمَف ًةَض ْىُعَب اَّم ًلًَثَم َب ِزْضَي نَا
...
( ٩٢ )Artinya : “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu....”
Maksud dari ayat tersebut menyatakan bahwa perumpamaan yang lebih rendah dari nyamuk, yaitu makhluk hidup kecil berupa mikroorganisme termasuk bakteri.
2.2.1. Bakteri Penghasil Fitohormon
Bakteri dapat memperbaiki pertumbuhan akar dan memacu pertumbuhan tanaman dengan memproduksi fitohormon seperti auksin (IAA) (Sutariati et al., 2006 ; Sutariati & Wahab, 2010), giberelin dan sitokinin (Kloepper et al., 2007). Studi yang dilakukan Sutariati et al. (2006), menunjukkan bahwa beberapa jenis rhizobakteri yang diuji (dari kelompok Bacillus spp., Pseudomonas spp., dan Serratia spp.) terbukti mampu memproduksi IAA dalam media dengan penambahan asam amino L-triptofan. Menurut Patten dan Glick (1996), 80% mikroorganisme yang diisolasi dari rizosfer berbagai tanaman memiliki kemampuan untuk mensistesis dan melepaskan IAA sebagai metabolit sekunder.
IAA (Indole-3-Acetic-Acid) merupakan hormon tumbuh yang memegang peranan penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Mikroba yang mampu menghasilkan IAA dapat meningkatkan pertumbuhan dan perpanjangan akar sehingga permukaan akar menjadi lebih luas dan akhirnya tanaman mampu menyerap nutrisi dari dalam tanah lebih banyak (Boiero et al., 2007). IAA berfungsi mendorong pemanjangan sel batang pada konsentrasi 0,9 g/L; di atas konsentrasi tersebut IAA akan menghambat pemanjangan sel batang (Rostiana & Seswita, 2007). IAA memacu protein yang ada di membran plasma sel tumbuhan untuk memompa ion H+ ke dinding sel. Ion H+ mengaktifkan enzim sehingga memutuskan beberapa ikatan silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding sel. Sel tumbuhan kemudian memanjang akibat air yang masuk secara osmosis. Setelah proses pemanjangan ini terjadi, sel terus tumbuh dengan mensintesis kembali material dinding sel dan sitoplasma (Basmal, 2009).
2.2.2. Bakteri Pelarut Fosfat
Fosfat merupakan nutrisi penting untuk pertumbuhan tanaman setelah nitrogen, dimana tersedia di tanah dalam bentuk organik dan anorganik (Khan et al., 2009). Meskipun banyak tersedia fosfat, namun bentuk yang tersedia untuk tanaman sangat rendah. Hal ini disebabkan karena tanah berfosfat yang tersedia dalam bentuk yang tidak larut atau tidak dapat dipecahkan. Tanaman menyerap fosfat hanya dalam dua bentuk yang dapat larut, yaitu ion monobasik (H2PO4) dan ion diabasik (HPO2)
(Bhattacharyya & Jha, 2012).
Beberapa hasil penelitian di bidang bioteknologi tanah dan tanaman, mendapatkan formula biofertilizer berbasis mikroba yang dapat menyediakan fosfat untuk pertumbuhan tanaman. Kelompok mikroba pelarut fosfat tersebut berasal dari kelompok bakteri, diantaranya Pseudomonas sp., Bacillus sp., Brevibacterium sp., dan Serratia sp. Beberapa genus bakteri lainnya yang juga dilaporkan mampu melarutkan fosfat adalah Rhodococcus sp., Arthrobacter sp., Chryseobacterium sp., Gordonia sp., Phyllobacterium sp., Delftia sp. (Chen et al., 2006), Azotobacter sp. (Kumar et al., 2001), Enterobacter sp., Pantoea sp., dan Klebsiella sp. (Chung et al., 2005).
Aktivitas pelarutan fosfor ditentukan oleh kemampuan mikroba untuk melepaskan metabolit seperti asam organik, yang dilakukan melalui pengkelatan kation terikat fosfat dengan kelompok hidroksil dan karboksil mereka, yang kemudian diubah menjadi bentuk larut (Sagoe et al., 1998). Bakteri melepaskan fosfat terikat melalui produksi asam organik yang memiliki berat molekul rendah terutama glukonat dan asam ketoglukonat (Deubel et al., 2000), disamping itu juga melalui penurunan pH rizosfer. pH rizosfer diturunkan melalui produksi proton atau pelepasan bikarbonat (keseimbangan anion / kation) dan perubahan gas (O2 / CO2).
Asam-asam organik yang dihasilkan oleh mikroba, melarutkan fosfat tidak larut dengan menurunkan pH, mengkelat kation dan bersaing dengan fosfat yang terserap dalam tanah (Nahas, 1996).
2.2.3. Bakteri Penambat Nitrogen
Nitrogen merupakan nutrisi utama tanaman, yang dapat menjadi faktor pembatas dalam proses budidaya pertanian jika tidak tersedia bagi tanaman. Fiksasi biologis nitrogen tidak hanya dapat dilakukan melalui simbiosis dengan tanaman inang, berbagai mekanisme fiksasi lainnya juga dapat dilakukan oleh kelompok bakteri PGPB. Azoarcus sp., Beijerinckia sp., Klebsiella pneumoniae, dan Pantoea agglomerans dilaporkan mampu memfiksasi N2 atmosfer dalam tanah (Riggs et al.,
2001) dan membuatnya tersedia bagi tanaman. Fiksasi N2 secara biologis yang
mengubah nitrogen menjadi amonia menggunakan sistem enzim kompleks mikroorganisme pemfiksasi nitrogen yaitu nitrogenase (Kim & Rees, 1994).
Proses fiksasi N2 dilakukan oleh kompleks nitrogenase (Kim & Rees, 1994).
Nitrogenase terdiri atas dua komponen yaitu komponen I (dinitrogenase atau protein Fe-Mo) dan komponen II (dinitrogenase reduktase atau protein Fe). Nitrogenase dikode oleh sekitar 20 gen nif (Lee et al., 2000), diantara 20 gen nif tersebut, gen nifH merupakan gen terpenting yang dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan nitrogenase karena menyandi subunit pembentuk kompleks nitrogenase (Choo et al., 2003). Gen nifH mengkode komponen II pada nitrogenase yang merupakan homodimer dengan berat molekul 70 kilo Dalton (kDa) (Caton, 2007).
2.2.4. Bakteri Pelarut Kalium
Bakteri pelarut kalium dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga dapat dijadikan sebagai pupuk hayati yang ramah lingkungan. Berbagai macam bakteri yaitu Pseudomonas sp., Burkholderia sp., Acidothiobacillus ferrooxidans, Bacillus mucilaginosus, B. edaphicus, B. circulans, dan Paenibacillus sp. telah dilaporkan dapat melarutkan kalium di dalam tanah (Lian et al., 2002 ; Li et al., 2006 ; Liu et al., 2012).
Bakteri-bakteri pelarut kalium ini ditemukan dapat melarutkan kalium di tanah dalam bentuk batuan larut dan mineral silikat dengan cara memproduksi dan mengekskresikan asam organik secara langsung, kemudian dilepaskan pada batuan K atau ion silikat yang dapat membuat K larut sehingga dapat diserap oleh tanaman
(Parmar & Sindhu, 2013).Pelarutan mineral silikat oleh mikroba ini disebabkan oleh produksi asam organik seperti asam oksalat dan asam tartarat serta karena produksi polisakarida yang membantu dalam pemecahan mineral untuk melepaskan kalium (Sheng & He, 2006).
2.2.5. Bakteri Pemecah Selulosa
Bakteri pemecah selulosa atau bakteri selulolitik merupakan bakteri yang mampu menghasilkan selulase dan menghidrolisis selulosa menjadi produk yang lebih sederhana, pada umumnya dijumpai di habitat yang kaya akan selulosa (Murtiyaningsih & Hazmi, 2017). Beberapa genus bakteri yang memiliki kemampuan selulolitik adalah Bacillus sp., Clostridium sp., Flavobacterium sp., Pseudomonas sp., Vibrio sp., Citrobacter sp., Serratia sp., Klebsiella sp., Enterobacter sp., dan Aeromonas sp. (Anand, et al., 2010).
Bakteri selulolitik dapat mendegradasi selulosa karena menghasilkan enzim dengan spesifikasi berbeda. Enzim tersebut akan menghidrolisis ikatan (1,4)-β-D-glukosa pada selulosa. Enzim selulase adalah enzim yang dapat menghidrolisis selulosa dengan memutus ikatan glikosidik β-1,4 dalam selulosa, selodektrin, selobiosa, dan turunan selulosa lainnya menjadi gula sederhana atau glukosa (Munifah, 2017).
2.3. Bacillus pumilus
Bacillus pumilus merupakan jenis bakteri yang termasuk ke dalam famili Bacillaceae. Bakteri B. pumilus berbentuk batang, tergolong bakteri Gram-positif, dan bersifat anaerobik. Bakteri ini dapat ditemukan di tanah dan beberapa koloni menempati area perakaran tumbuhan karena memiliki mekanisme antibakteri dan antifungi. Seperti pada bakteri Gram-positif lainnya, lapisan peptidoglikan B. pumilus diselubungi oleh asam teikoik dan lipoteikoik. Asam ini memiliki komposisi berupa poliglikosilfosfat dengan unit monosakarida dan disakarida (Potekhina et al., 2011). Hal inilah yang memudahkan permukaan sel B. pumilus menyerap Ca2+ dan Mg2+ masuk ke dalam sel. Keseimbangan di dalam sel membuat B. pumilus dapat tahan di
lingkungan oligotrofik, tahan H2O2, infeksi bahan kimia, dan kondisi lainnya
(Nicholson et al., 2000 ; Parvathi et al., 2009). B. pumilus dapat bersimbiosis dengan tumbuhan untuk membantu pertumbuhan sejumlah tanaman dari bagian rizosfer, seperti Capsicum annuum L. dan Triticum aestivum (Joo et al., 2004 ; Sari et al., 2007). Hal ini dikarenakan B. pumilus dapat berperan sebagai bakteri fiksator nitrogen (N2) menjadi amonia (NH2) (Hernandez et al., 2009).
Gambar 2. Morfologi mikroskopis B. pumilus LA4P dengan perbesaran mikroskop cahaya 2000x (sumber: dokumentasi pribadi, 2018)
B. pumilus dapat juga berbahaya jika menginfeksi manusia. Tahun 2006 ditemukan 3 kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh B. pumilus. Hal ini disebabkan karena B. pumilus menghasilkan kompleks lipopeptida yang disebut pumilacidin yang dapat memberikan efek racun pada sel epitel tubuh (From et al., 2007). Bakteri ini memiliki gen cesA dan cesB yang mengkode sintesis cereulide. Cereulide merupakan dodecadepsipeptida yang bersifat toksik bagi manusia (Parvathi et al., 2009).
2.4. Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan hasil olahan ikan segar yang diolah dengan beberapa perlakuan, seperti pencucian, pengukusan, pengepresan, pengeringan, dan
penggilingan atau penepungan (Purnanila, 2010). Kualitas tepung ikan yang diolah dengan pemanasan berlebihan dapat menyebabkan terjadinya reaksi pencokelatan dan terjadi penurunan kadar protein sehingga menyebabkan kerusakan (Assadad et al., 2015).
Salah satu produk tepung ikan yang ekonomis dan potensial untuk diolah adalah tepung ikan rucah. Ikan rucah merupakan ikan-ikan kecil hasil tangkapan sampingan yang belum termanfaatkan secara baik. Ikan rucah dapat dimanfaatkan menjadi bahan pakan dengan pengolahan menjadi tepung ikan (Handajani et al., 2013). Tepung ikan yang berasal dari ikan rucah kaya akan asam amino, energi, asam lemak, serta mineral (Utomo et al., 2013).
Tepung ikan rucah mengandung berbagai komponen seperti protein (51%-58%), air (5-6%), abu (13-17%), serat (1-3%), lemak (12-14%), kalsium (4-5%), fosfor (4,13-4,65%), dan garam (0,36-0,65%) (Assadad et al., 2015). Unsur-unsur tersebut dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai kofaktor dalam proses aktivitas metabolik (Ramkumar et al., 2016).
15 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium bioteknologi, laboratorium mikrobiologi, dan laboratorium kimia Balai Besar Riset Pengolahan Produk Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP), Petamburan, Jakarta Pusat dari bulan September 2018 sampai Februari 2019.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain laminar air flow (ESCO Fume Hood), autoklaf (Hirayama HVA85), timbangan analitik, shaking incubator, microsentrifuge, spektrofotometer UV-Vis (Spectronic GenesysTM), vorteks, mikroskop (Olympus), pH indicator, mikropipet 10-1000 µl, Colony Counter, hot plate, microplate 96-well flat bottom, dan thermoblock.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain akuades, Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), media karboksimetil selulosa (CMC), isolat bakteri Bacillus pumilus LA4P stok kultur BBRP2BKP, limbah industri agar-agar (LIA) sampel PT Agarindo Bogatama, pewarna merah Kongo 0,1%, NaCl 1 M, NaOH 1%, H2SO4, 80 mL air destilat, 1 g NaClO2, 0,5 mL CH3COOH pekat, HNO3 3,5%,
H3BO3, media Pikovskaya, media Aleksandrov, tepung ikan, K2Cr2O7 1 N, , Plate
Count Agar (PCA), pereaksi Salkowski, pereaksi dinitrosalisilat (DNS) dan L-triptofan.
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan bakteri B. pumilus LA4P sebagai variabel terikat. Variabel yang digunakan yaitu limbah industri agar-agar (LIA) dan tepung ikan. LIA yang digunakan yaitu sebanyak 1%, 2%, dan 3%, sementara tepung ikan rucah yang digunakan yaitu sebanyak 0,1%, 0,2%, dan 0,3%.
Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut :
L1T1 = LIA 1%, tepung ikan 0,1% + isolat B. pumilus LA4P
L1T2 = LIA 1%, tepung ikan 0,2% + isolat B. pumilus LA4P
L1T3 = LIA 1%, tepung ikan 0,3% + isolat B. pumilus LA4P
L2T1 = LIA 2%, tepung ikan 0,1% + isolat B. pumilus LA4P
L2T2 = LIA 2%, tepung ikan 0,2% + isolat B. pumilus LA4P
L2T3 = LIA 2%, tepung ikan 0,3% + isolat B. pumilus LA4P
L3T1 = LIA 3%, tepung ikan 0,1% + isolat B. pumilus LA4P
L3T2 = LIA 3%, tepung ikan 0,2% + isolat B. pumilus LA4P
L3T3 = LIA 3%, tepung ikan 0,3% + isolat B. pumilus LA4P
Setiap perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan dengan subulangan sebanyak tiga kali. Parameter yang diamati yaitu pertumbuhan sel bakteri dengan metode Total Plate Count (TPC), aktivitas enzim selulase, produksi hormon IAA, dan nilai pH pada media perlakuan.
3.4. Cara Kerja
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan kerja, diantaranya preparasi (pembuatan media selektif dan perlakuan, pembuatan pereaksi, dan kurva standar), peremajaan isolat bakteri, uji zona bening (uji pelarut fosfat, uji pelarut kalium, dan uji selulolitik), analisis pertumbuhan bakteri, analisis tingkat aktivitas selulase, analisis nilai produksi IAA, dan pengukuran pH media (Lampiran 2.).
3.4.1. Pembuatan Media Selektif dan Media Perlakuan
Media selektif yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya media kultur NB, media kultur NA, media padat Pikovskaya, media padat Aleksandrov, dan media padat CMC 1%. Media perlakuan yang digunakan yaitu media kombinasi LIA dan tepung ikan.
Media NB sebanyak 13 g dilarutkan dalam 1 L akuades. Media dipanaskan menggunakan hotplate hingga homogen. Media yang sudah homogen disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit. Prosedur pembuatan media
NA sama dengan prosedur pembuatan NB namun menggunakan 28 g media NA yang dilarutkan dalam 1 L akuades.
Media Pikovskaya merupakan media selektif yang digunakan untuk mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam melarutkan fosfat dari sumber anorganik. Komposisi media yang digunakan mengacu pada Permentan (2011) dengan memodifikasi sumber fosfat. Bahan-bahan yang digunakan yaitu glukosa (10 g/L), NaCl (0,2 g/L), KCl (0,1 g/L), MgSO4.7H2O (0,1 g/L), MnSO4 (4 mg/L), FeSO4
(2 mg/L), CaHPO4 (5 g/L), (NH4)2SO4 (0,5 g/L), yeast extract (0,5 g/L), dan agar (15
g/L). Semua bahan baku dilarutkan dalam 1 L akuades dan dihomogenkan kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
Media Aleksandrov merupakan media selektif yang digunakan untuk mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam melarutkan kalium. Komposisi media yang digunakan mengacu pada Angraini (2015) dengan memodifikasi sumber kalium. Bahan-bahan yang digunakan yaitu glukosa (5 g/L), MgSO4.7H2O (0,5 g/L), FeCl3 (6
mg/L), CaCO3 (0,1 g/L), CaHPO4 (2 g/L), KCl (3 g/L), dan agar (20 g/L). Semua
bahan baku dilarutkan dalam 1 L akuades dan dihomogenkan kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit.
Media perlakuan yang digunakan berbahan dasar LIA dan tepung ikan. Pembuata media perlakuan bertujuan untuk mengetahui potensi pertumbuhan dan aktivitas B. pumilus LA4P dalam memproduksi selulase dan fitohormon IAA. Komposisi media perlakuan diadaptasi dari penelitian Munifah (2017) dan dimodifikasi.
Komposisi bahan-bahan yang digunakan yaitu LIA (0,5 g atau 1 g atau 1,5 g) disesuaikan seperti pada perlakuan, tepung ikan (0,05 g atau 0,1 g atau 0,15 g) (disesuaikan seperti pada perlakuan), glukosa (0,05 g), KH2PO4 (0,05 g), MgSO4 (25
mg), NaCl (25 mg), FeSO4 (0,5 mg), MnSO4 (0,5 mg), NH4NO3 (15 mg),
CaCl2.2H2O (2 mg), dan akuades (45 mL). Media disterilisasi pada suhu 121°C
selama 15 menit. Media yang telah steril ditambahkan L-triptofan steril 0,1% (5 mL) sebagai prekursor IAA. Media dihomogenkan dan dikocok secara perlahan.
3.4.2. Pembuatan Pereaksi Dinitrosalisilat (DNS)
Pereaksi DNS memiliki peran sebagai indikator pereaksi dalam proses pengukuran aktivitas enzim selulase. DNS sebanyak 1 g dilarutkan dalam 20 mL NaOH 2 N secara perlahan hingga homogen dan larutan berwarna jingga. DNS dihomogenkan kembali dengan mencampurkan KNaC4H4O6.4H2O (30 g) yang telah
dilarutkan dalam 50 mL pure water. Campuran yang telah larut tersebut ditambahkan fenol (0,2 g). Larutan yang telah homogen dimasukkan ke dalam labu ukur bervolume 100 mL dan ditambahkan sedikit pure water secara perlahan hingga mencapai batas tera.
3.4.3. Pembuatan Kurva Standar Glukosa dan IAA
Pembuatan kurva standar glukosa dimulai dengan membuat larutan stok 100 ppm (5 mg gula standar (glukosa) dalam 50 mL akuades). Serial standar glukosa yang dibuat adalah 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90 ppm hasil pengenceran dari larutan stok standar glukosa 100 ppm. Setiap 1 mL larutan standar glukosa ditambahkan dengan 1 mL pereaksi DNS. Larutan dihomogenkan dan dipanaskan dalam air mendidih pada suhu ±100°C selama 15 menit di dalam waterbath. Larutan didinginkan dan absorbansi diukur pada panjang gelombang 540 nm. Kurva standar terbentuk dari hubungan antara nilai absorbansi yang dihasilkan (sumbu-y) dengan konsentrasi larutan (sumbu-x) sehingga dihasilkan sebuah persamaan regresi (Lampiran 3).
Pembuatan kurva standar IAA dimulai dengan membuat larutan stok 100 ppm (5 mg standar IAA dalam 50 mL akuades). Serial standar IAA yang dibuat adalah 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90 ppm hasil pengenceran dari larutan stok standar IAA 100 ppm. Setiap 1 mL larutan standar IAA ditambahkan dengan 1 mL pereaksi Salkowski (komposisi: 2 mL FeCl3 0,5 M, 49 mL akuades, 49 mL HClO4). Larutan
dihomogenkan dan diinkubasi pada ruang gelap dengan suhu ruang selama 30 menit. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 530 nm. Kurva standar terbentuk dari hubungan antara nilai absorbansi yang dihasilkan (sumbu-y) dengan konsentrasi larutan (sumbu-x) sehingga dihasilkan sebuah persamaan regresi (Lampiran 4).
3.4.4. Peremajaan Isolat Bacillus pumilus LA4P
Isolat diremajakan pada media NB, NA, dan CMC padat. Isolat diinokulasi pada 100 mL media NB secara aseptis dan diinkubasi dalam shaking incubator selama 24 jam pada suhu 37°C. Sebanyak 100 µL kultur cair umur 24-48 jam dipindahkan ke dalam media NA secara aseptis dengan metode sebar (spread plate) lalu diinkubasi selama 24-48 jam pada suhu 37°C. Isolat dimurnikan dengan metode gores (streak) pada media NA untuk diamati ciri morfologi koloni isolat yang diinginkan. Koloni diamati secara mikroskopik menggunakan pewarna Gram menggunakan mikroskop cahaya. Isolat yang telah murni dipindahkan ke dalam media NA miring untuk dijadikan stok isolat. Isolat diremajakan kembali pada media CMC untuk dilakukan uji konfirmasi aktivitas selulolitik.
3.4.5. Uji Potensi Pelarut Fosfat
Uji potensi pelarut fosfat dilakukan dengan menggunakan media selektif Pikovskaya. Media agar Pikovskaya (SubbaRao, 1982) dibuat dengan formulasi 10 g glukosa, 5 g Ca3(PO4)2, FePO4 atau sumber P lainnya, 0,5 g (NH4)2SO4, 0,1 g
MgSO4.2H2O, sedikit MnSO4, sedikit FeSO4, 0,5 g ekstrak ragi, dan 15 g agar
kemudian dilarutkan dalam akuades sampai volume 1 L. Setelah media padat agar Pikovskaya dituang dalam cawan petri, kultur bakteri diinokulasikan dengan cara mengambil satu ose koloni bakteri pada kultur dan diinkubasi pada suhu 30°C selama 3 sampai 6 hari. Hasil positif menunjukkan adanya zona bening di sekeliling koloni. Indeks pelarutan fosfat diukur dengan menggunakan rumus berikut :
IP = ( ) ( )
( )
Keterangan : IP = Indeks Pelarutan 3.4.6. Uji Potensi Pelarut Kalium
Analisis isolat bakteri dalam melarutkan kalium dilakukan dengan metode mengacu pada Angraini (2015). Analisis dilakukan dengan menumbuhkan isolat
bakteri pada media Aleksandrov (5 g glukosa, 0,5 g MgSO4.7H2O, 0,006 g FeCl3, 0,1
g CaCO3, 2 g Ca3PO4, 3 g feldspar (sebagai sumber K), dan 20 g agar-agar dalam 1 L
akuades, pH 8) dan diinkubasi pada suhu 28°C selama 3-7 hari. Setelah inkubasi, kemudian diamati zona bening yang terbentuk di sekitar koloni dan diukur dengan mistar atau jangka sorong lalu dihitung masing-masing indeks pelarutan (IP) kalium untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam melarutkan kalium dengan menggunakan rumus berikut:
IP = ( ) ( )
( )
Keterangan : IP = Indeks Pelarutan
3.4.7. Uji Potensi Aktivitas Selulase
Uji potensi aktivitas selulase dilakukan dengan menggunakan media CMC padat dan mengacu pada prosedur yang diadaptasi dari Munifah (2017). Koloni bakteri yang tumbuh dipindahkan pada media CMC padat, kemudian diinkubasi selama 5 hari pada suhu kamar. Pewarnaan merah Kongo 0,1% diberikan sebanyak 15 mL dan didiamkan selama 30 – 60 menit lalu dibilas dengan NaCl 1 M sebanyak 2-3 kali kemudian didiamkan selama 15 menit. Adanya aktivitas selulase ditunjukkan dengan adanya zona bening. Indeks aktivitas selulase ditentukan dengan mengukur diameter zona bening dan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
IP = ( ) ( )
( )
Keterangan : IP = Indeks Pelarutan
3.4.8. Perhitungan Sel Bakteri
Perhitungan sel bakteri dilakukan dengan metode Total Plate Count (TPC). Metode perhitungan TPC dimodifikasi dari Purnomo (2016). Perhitungan metode TPC dilakukan dengan mengambil larutan starter sebanyak 1 mL dilarutkan ke dalam 9 mL air suling sehingga diperoleh pengenceran 10-1. Pengenceran dilakukan secara berurutan 10-2, 10-3, 10-4, 10-5, 10-6, 10-7, dan 10-8 kemudian 3 pengenceran terakhir
masing-masing diinokulasi dengan cara spread plate pada media PCA dengan 3 kali ulangan. Masing-masing inokulum diinkubasi pada suhu 28°C selama 48 jam. Jumlah koloni bakteri yang tumbuh dihitung menggunakan colony counter dengan persyaratan perhitungan 30-300 koloni. Jumlah bakteri dihitung dengan cara mengalikan jumlah koloni yang terhitung dengan faktor pengenceran. Persamaan yang digunakan untuk menghitung jumlah sel bakteri (CFU/mL) adalah sebagai berikut :
Perhitungan jumlah sel bakteri (CFU/mL) =
Keterangan :
CFU/mL = Colony Forming Unit per mililiter (satuan internasional perhitungan jumlah sel bakteri)
F1 = inokulan yang dituang (0,1 mL) FP = Faktor Pengenceran
3.4.9. Pengukuran Nilai Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH media LIA diukur menggunakan kertas pH indicator. Perubahan warna pada kertas pH indicator menunjukkan adanya perubahan kondisi pH yang terjadi selama masa inkubasi. Pengukuran nilai pH disesuaikan dengan waktu pengambilan sampel. Pengulangan pengukuran pH dilakukan sebanyak tiga kali untuk tiap perlakuan.
3.4.10. Pengukuran Aktivitas Selulase pada Media Perlakuan
Aktivitas enzim selulase diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang (λ) 540 nm. Pengukuran aktivitas selulase disesuaikan dengan waktu pengambilan sampel untuk mengetahui konsentrasi substrat dan waktu inkubasi optimum untuk memproduksi enzim selulase. Prosedur dilakukan dengan mengadaptasi metode Munifah (2017).
Sebanyak 100 µL supernatan sampel dan 100 µL CMC 1% dituang ke dalam microtube dan dihomogenkan menggunakan vorteks. Sampel diinkubasi selama 30 menit dalam suhu ruang kemudian ditambahkan dengan 200 µL pereaksi DNS dan dihomogenkan kembali. Sampel dipanaskan dalam thermoblock pada suhu ±95ºC
selama 15 menit, kemudian didinginkan. Sebanyak 100 µL sampel diletakkan pada microplate 96-well untuk dilakukan pengukuran absorbansi menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Nilai absorbansi yang terukur dimasukkan ke dalam persamaan berikut : Absorbansi = ((As-Ab)-(Ak-Ab)) Keterangan : As = absorbansi sampel Ab = absorbansi blanko Ak = absorbansi kontrol
Kadar glukosa (nilai x) (mg/L) diperoleh dengan memasukkan nilai absorbansi (nilai y) yang telah diukur ke dalam persamaan kurva standar glukosa. Aktivitas selulase dalam memecah glukosa dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
Aktivitas selulase (U/mL) = ( )
Keterangan :
V = volume enzim (0,1 mL) t = waktu inkubasi (30 menit)
BM = berat molekul glukosa (180 Dalton)
Perlakuan pada kontrol tidak terlalu berbeda dengan blanko. Keduanya dilakukan dengan metode dan tahapan yang sama. Perlakuan pada kontrol dilakukan inaktivasi enzim terlebih dahulu dengan memanaskan enzim selama 15 menit menggunakan thermoblock pada suhu ±95°C. Perlakuan pada blanko menggunakan akuades untuk direaksikan dengan substrat. Pengulangan pengukuran aktivitas selulase dilakukan sebanyak tiga kali untuk tiap perlakuan.
3.4.11. Pengukuran Konsentrasi Fitohormon IAA pada Media Perlakuan
Konsentrasi hormon IAA diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang (λ) 530 nm. Pengukuran konsentrasi hormon IAA disesuaikan dengan waktu pengambilan sampel untuk mengetahui konsentrasi substrat dan waktu inkubasi optimum untuk memproduksi hormon IAA. Prosedur ini dilakukan dengan mengadaptasi dari prosedur A’ini (2013).
Sebanyak 75 µL supernatan sampel diletakkan pada microplate 96-well. Sampel ditambahkan 150 µL pereaksi Salkowski lalu dihomogenkan. Sampel diinkubasi di dalam ruang gelap pada suhu ruang selama 30 menit. Nilai absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Konsentrasi fitohormon IAA pada sampel diperoleh dari persamaan kurva standar IAA murni. Tahapan yang sama juga dilakukan pada larutan blanko. Pengulangan pengukuran konsentrasi hormon IAA dilakukan sebanyak tiga kali untuk tiap perlakuan.
4.5. Analisis Data
Analisis data yang telah diperoleh dilakukan dengan metode deskriptif dan statistik. Analisis deskriptif dilakukan pada pengujian karakteristik zona bening B. pumilus LA4P, yaitu pada uji pelarut fosfat, kalium, dan selulosa. Data dideskripsikan sesuai dengan hasil keberadaan zona bening pada pengujian.
Analisis statistik dilakukan dengan tujuan mengetahui pengaruh interaksi perlakuan. Data dianalisis menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) dengan uji ANOVA batas kepercayaan 95% (α = 0,05). Nilai signifikansi ditentukan pada taraf 5%. Nilai signifikansi (sig. <0,05) menunjukkan bahwa H0
ditolak dan H1 diterima. Perlakuan yang berpengaruh nyata kemudian dilanjutkan
dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari tiap perlakuan.
21 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Potensi Pelarut Fosfat Bacillus pumilus LA4P
Uji potensi pelarut fosfat dilakukan pada media Pikovskaya dengan CaHPO4
sebagai sumber fosfat. Penggunaan media selektif Pikovskaya dilakukan untuk mengetahui kemampuan B. pumilus LA4P dalam melarutkan fosfat.
Tabel 3. Rerata indeks pelarutan fosfat (masa inkubasi 5 hari) Ulangan Diameter Koloni
(cm) Diameter Zona Bening (cm) Diameter Total (cm) Indeks Pelarutan Fosfat 1 1,65 0,85 2,50 0,52 2 2,40 1,45 3,85 0,60 3 2,35 1,40 3,75 0,60 Rerata 2,13±0,42 1,23±0,33 3,37±0,75 0,57±0,05
Hasil yang ditunjukkan pada media Pikovskaya menunjukkan adanya zona bening di sekitar koloni bakteri (Lampiran 8.a). Pengamatan zona bening menunjukkan rerata diameter zona bening yang dihasilkan B. pumilus LA4P sebesar 1,23±0,33 dan rerata diameter koloni sebesar 2,13±0,42 sehingga nilai rerata indeks pelarutan fosfat sebesar 0,57±0,05 (Tabel 3). Indeks pelarutan tersebut menunjukkan B. pumilus LA4P memiliki kekuatan daya hambat kategori sedang sebab indeks mencapai antara 0,5-1,0 berdasarkan kriteria Susanto et al. (2012). Penelitian Larasati et al. (2018) yang mengisolasi bakteri pelarut fosfat dari tanah gambut menunjukkan B. pumilus PG3TT.1 memiliki indeks mencapai 1,28 dan termasuk dalam kategori daya hambat fosfat yang kuat. Penelitian Mihalache et al. (2018) yang mengisolasi bakteri pelarut fosfat dari rizosfer tanaman kacang juga menunjukkan B. pumilus R10 memiliki indeks pelarutan 1,33±0,88 dan termasuk dalam kategori daya hambat kuat. Hal ini menunjukkan B. pumilus LA4P memiliki potensi sebagai bakteri pelarut fosfat.
Pelarutan fosfat yang dilakukan B. pumilus tak lepas dari aktivitasnya dalam menghasilkan asam-asam organik seperti suksinat, asam sitrat, glutamat, laktat, malat, oksalat, glioksalat, fumarat, dan tartarat (Raharjo et al., 2007). Asam-asam organik tersebut berperan sebagai katalisator dan memungkinkan asam-asam organik membentuk senyawa kompleks dengan sejumlah kation sehingga terjadi pelarutan fosfat menjadi bentuk yang tersedia untuk tanaman (Wulandari, 2001). B. pumilus mampu menghasilkan asam organik, diantaranya adalah vanilin (Su et al., 2011), asam laktat (Li et al., 2018), serta asam-asam nonaktik dan homononaktik yang menjadi unit pembentuk antibiotik (Han et al., 2014). Penelitian Setiawati et al. (2014) menunjukkan bahwa keberadaan asam laktat dengan nilai yang tinggi sebagai asam organik mempengaruhi peningkatan aktivitas fosfatase pada bakteri pelarut fosfat.
4.2. Potensi Pelarut Kalium B. pumilus LA4P
Uji pelarut kalium dilakukan pada media Aleksandrov dengan KCl sebagai sumber kalium. Penggunaan media selektif Aleksandrov dilakukan untuk mengetahui kemampuan B. pumilus LA4P dalam melarutkan kalium. KCl merupakan sumber kalium yang lebih mudah tersedia di alam dan mudah dilarutkan (Sebayang et al., 2015).
Tabel 4. Rerata indeks pelarutan kalium (masa inkubasi 5 hari) Ulangan Diameter Koloni
(cm) Diameter Zona Bening (cm) Diameter Total (cm) Indeks Pelarutan Kalium 1 0,30 0,18 0,48 0,60 2 0,47 0,03 0,50 0,06 3 0,48 0,07 0,55 0,15 Rerata 0,42±0,1 0,09±0,08 0,51±0,04 0,27±0,29
Hasil yang ditunjukkan pada penelitian ini yaitu pada uji pelarut kalium terlihat adanya zona bening yang memastikan bahwa isolat bakteri dapat melarutkan kalium (Lampiran 8.b). Rerata diameter zona bening yang dihasilkan B. pumilus
LA4P sebesar 0,09±0,08 dan rerata diameter koloni sebesar 0,42±0,1 sehingga nilai rerata indeks pelarutan kalium sebesar 0,27±0,29 (Tabel 4). Indeks pelarutan tersebut menunjukkan B. pumilus LA4P memiliki kekuatan daya hambat kategori rendah sebab diameter indeks dibawah 0,5 berdasarkan kriteria Susanto et al. (2012). Hal ini diduga karena sejumlah sel bakteri memproduksi polisakarida dalam jumlah yang tidak banyak, sehingga interaksi sel dengan molekul pada media selektif tergolong rendah dan menyebabkan proses pemecahan kalium juga rendah. Man et al. (2014) menyatakan dalam penelitiannya bahwa pembentukan biofilm hasil produksi polisakarida pada permukaan feldspar kalium meningkatkan pelarutan melalui proses pelepasan K, Si, dan Al dalam lingkup kontak bakteri-mineral.
Penelitian Yachana (2017) menunjukkan indeks zona bening pelarutan kalium pada B. pumilus tergolong rendah dan membutuhkan waktu 8,3 jam setelah seminggu inokulasi untuk melihat zona bening, namun tingkat pelarutan pada media mengandung KCl lebih tinggi dibandingkan dengan media menggunakan bubuk mika. Menurut Zaidi et al. (2009), B. pumilus sebagai bakteri pelarut kalium mampu memproduksi asam organik seperti glukonat dan 2-ketoglukonat. Asam organik tersebut akan menurunkan pH sehingga melepas ikatan kalium dengan unsur hara lainnya. Mikroba dapat melarutkan kalium dari ikatan kalium tak larut pada suatu media melalui sekresi asam organik. Kemampuan asam organik melarutkan kalium dapat menurun seiring dengan menurunnya stabilitas asam organik (Basak & Biwas, 2009). Bakteri pelarut kalium juga melepaskan ion K dari mineral K untuk menurunkan pH tanah dengan membentuk kompleks ion Si4+, Al3+, Fe2+, dan Ca2+ yang berasosiasi dengan mineral K. Penelitian Etesami et al. (2017) menunjukkan bakteri pelarut kalium melapukkan batuan flogopit melalui penempelan unsur pada alumunium dan asam terlarut pada jaringan kristal.
4.3. Aktivitas Selulase B. pumilus LA4P
Uji aktivitas selulase dilakukan pada media carboxymethyl cellulose (CMC) untuk mengetahui kemampuan B. pumilus LA4P dalam memecah selulosa. Hasil
yang ditunjukkan yaitu pada uji aktivitas selulase terlihat adanya zona bening yang menunjukkan bahwa B. pumilus LA4P merupakan bakteri selulolitik (Lampiran 8.c).
Zona bening pada media selektif disebabkan terjadinya hidrolisis CMC. Hidrolisis CMC menyebabkan selulosa terdegradasi menjadi gugus yang lebih sederhana bahkan sudah dimanfaatkan oleh bakteri. Visualisasi zona bening terjadi disebabkan antara congo red dan selulosa memiliki ikatan kovalen sehingga media yang tidak mengandung selulosa tidak akan terwarnai akibat dari pemanfaatan selulosa oleh bakteri selulolitik (Mushoffa, 2012).
Tabel 5. Rerata indeks pelarutan selulosa Ulangan Diameter Koloni
(cm) Diameter Zona Bening (cm) Diameter Total (cm) Indeks Pelarutan Selulosa 1 1,30 2,00 3,30 1,54 2 1,10 3,00 4,10 2,73 3 0,90 2,00 2,90 2,22 Rerata 1,1±0,2 2,33±0,58 3,43±0,61 2,16±0,6
Pengamatan zona bening menunjukkan rerata diameter zona bening yang dihasilkan B. pumilus LA4P sebesar 2,33±0,58 dan rerata diameter koloni sebesar 1,1±0,2 sehingga nilai rerata indeks pemecah selulosa sebesar 2,16±0,6 (Tabel 5). Indeks pelarutan tersebut menunjukkan B. pumilus LA4P memiliki kekuatan daya hambat kategori tinggi sebab diameter indeks mencapai lebih dari 1,0 berdasarkan kriteria Susanto et al. (2012). Penelitian Rawway et al. (2018) menunjukkan isolat bakteri B. pumilus memiliki indeks pemecah selulosa mencapai 1,33 atau lebih dari 1,0. Penelitian Padaria et al. (2013) juga menunjukkan indeks pemecah selulosa yang tinggi menggunakan B. pumilus NAIMCC-B-01415 yaitu mencapai 2,68.
Degradasi selulosa secara alami dapat dilakukan oleh bakteri aerobik. Mikroorganisme aerobik dapat menghasilkan enzim selulase nonkompleks yang terdiri atas endoglukanase, eksoglukanase, dan glukosidase yang bekerja secara sinergis untuk menghidrolisis selulosa (Wilson, 2011). Endoglukanase mempunyai afinitas yang tinggi terhadap substrat CMC karena menghidrolisis ikatan glikosidik β-1,4 secara acak (Sakti, 2012). Studi molekuler pada B. pumilus menunjukkan
keterkaitan gen CysB dalam proses degradasi selulosa. CysB diketahui menjadi regulator transkripsi dalam mengaktivasi transkripsi untuk sintesis L-sistein dari asam organik (Gremel et al., 2008). Studi tersebut diperkuat penelitian Padaria et al. (2013) yang menunjukkan perbandingan isolat B. pumilus TL5 dengan penambahan sistein terjadi degradasi CMC sehingga membentuk zona bening pada media tumbuh, sementara isolat tanpa sistein tidak membentuk zona bening atau tidak terjadi degradasi selulosa pada media tumbuh.
4.4. Tingkat Pertumbuhan B. pumilus LA4P pada Media Perlakuan
Pengujian tingkat pertumbuhan sel secara kuantitatif dilakukan untuk mengetahui masa pertumbuhan optimum B. pumilus LA4P selama berada pada media perlakuan dengan variasi konsentrasi LIA dan konsentrasi tepung ikan. Pengujian ini diharapkan dapat menemukan formulasi terbaik hasil kombinasi konsentrasi LIA dan konsentrasi tepung ikan yang sesuai dengan kriteria minimum Peraturan Menteri Pertanian nomor 70 tahun 2011.
Tabel 6. Hasil uji lanjut DMRT berdasarkan konsentrasi substrat (LIA dan tepung ikan) terhadap jumlah sel B. pumilus LA4P (108 CFU/mL).
Konsentrasi LIA
Konsentrasi Tepung
Ikan
Jumlah Sel (log CFU/mL)
H1 H3 H5 H7 H9 H11
1% (L1)
0,1% (T1) 9,31a-f 14,26a-i 10,51a-f 6,86a-e 10,43a-f 9,52e-k
0,2% (T2) 11,07a-f 16,87d-k 16,08c-k 18,72f-l 11,68a-f 11,11a-f
0,3% (T3) 15,23b-k 16,33c-k 10,84a-f 22,09g-m 11,01a-f 11,26i-m
2% (L2)
0,1% (T1) 7,22a-e 8,27a-f 4,36a 5,50a-b 5,88a-c 6,03a-c
0,2% (T2) 10,91a-f 10,32a-f 12,67a-h 17,01d-k 8,89a-f 7,71a-e
0,3% (T3) 10,27a-f 6,71a-e 11,48a-f 14,48a-j 9,06a-f 7,94a-e
3% (L3)
0,1% (T1) 29,56m 23,35i-m 22,67h-m 24,93k-m 14,14a-i 12,03a-g
0,2% (T2) 24,59j-m 6,50a-d 16,14c-k 12,47a-h 11,68a-f 7,85a-e
0,3% (T3) 27,71l-m 11,82a-g 5,92a-c 4,38a 14,82a-k 6,49a-d
Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05)
LIA = limbah industri agar-agar (konsentrasi 1%, 2%, 3%) T = tepung ikan (konsentrasi 0,1%; 0,2%; 0,3%)
Hasil analisis sidik ragam diperoleh nilai Sig. (0,000) ≤ 0,05 dengan variabel konsentrasi LIA dan konsentrasi tepung ikan serta interaksi secara simultan ketiga faktor perlakuan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan sel bakteri B. pumilus LA4P. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan sel B. pumilus LA4P dipengaruhi oleh variasi konsentrasi LIA dan konsentrasi tepung ikan pada media uji.
Hasil uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) berdasarkan interaksi ketiga faktor perlakuan tertera pada Tabel 6. Hasil DMRT tersebut menunjukkan rerata jumlah sel tertinggi yang dihasilkan terjadi pada kelompok perlakuan konsentrasi LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,1% (L3T1) pada waktu
inkubasi hari ke-1, yaitu sebesar 29,56±0,09 x 108 CFU/mL. Jumlah sel terendah yang dihasilkan terjadi pada kelompok perlakuan konsentrasi LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,3% (L3T3) pada waktu inkubasi hari ke-7, yaitu sebesar
4,38±0,07 x 108 CFU/mL.
Formulasi perlakuan LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,1% (L3T1)
pada waktu inkubasi hari ke-1 tidak berbeda nyata dengan beberapa formulasi yang menggunakan perlakuan LIA sebanyak 3% dan 0,1% tepung ikan, diantaranya yaitu LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,1% (L3T1) pada hari ke-3, hari ke-5, dan
hari ke-7. Hal ini menunjukkan pertumbuhan bakteri optimal pada rentang waktu inkubasi 1-7 hari. Kondisi ini disebabkan karena bakteri sudah mampu memanfaatkan nutrisi pada substrat untuk fase pertumbuhan dengan maksimal. Ketersediaan nutrisi dianggap mencukupi dan kondisi lingkungan kultur sesuai dengan pertumbuhan sel bakteri karena jumlah bakteri yang tidak terlalu berbeda signifikan (Masithah et al., 2011). Formulasi perlakuan LIA 3% dengan penambahan tepung ikan 0,1% (L3T1)
pada waktu inkubasi hari ke-1 juga tidak berbeda nyata dengan formulasi perlakuan LIA 3% dengan penambahan tepung ikan sebanyak 0,2% (L3T2) pada hari ke-1 dan
penambahan tepung ikan 0,3% (L3T3) pada hari ke-1. Hal ini disebabkan karena
bakteri mulai melakukan pertumbuhan eksponensial dengan memanfaatkan nutrisi dari substrat LIA.
Hasil yang tertera pada Tabel 6. formulasi terbaik hasil interaksi dari faktor konsentrasi LIA dan konsentrasi tepung ikan terhadap pertumbuhan sel bakteri B.