• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.1 Kelangsungan Hidup Relatif ( Relative Percent Survival /RPS)

Pengamatan terhadap kelangsungan hidup ikan mas dilakukan pada saat vaksinasi dan pengamatan terhadap kelangsungan hidup relatif dilakukan pascauji-tantang hingga akhir penelitian. Selama vaksinasi, tidak terjadi kematian pada ikan sehingga nilai kelangsungan hidupnya 100% pada semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin yang diberikan melalui pakan pada ikan tidak mengganggu kesehatan ikan dan terjamin tingkat keamanannya (Ellis, 1988).

Respons tanggap kebal ikan yang telah divaksin dilakukan dengan menginjeksi filtrat KHV sebanyak 0,1 mL/ekor ikan secara intramuskular, sedangkan kontrol negatif diinjeksi dengan 0,1 mL/ekor ikan dengan larutan PBS. Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai kelangsungan hidup relatif yang bervariasi pada setiap perlakuan (data selengkapnya pada Lampiran 8 ). Kelangsungan hidup relatif terendah dimiliki oleh perlakuan A sebesar 23,33±13,32% dan kelangsungan hidup relatif tertinggi dimiliki oleh perlakuan C sebesar 84,60±13,32% (P<0,05).

Tabel 1. Kelangsungan hidup relatif (RPS) ikan mas yang diberi vaksin DNA anti-KHV dengan frekuensi pemberian pakan berbeda

No Perlakuan Mortalitas(%) RPS (%)

1 A 33,33 ± 5,77 23,07 ± 13,32a

2 B 20,00 ± 10,00 53,84 ± 23,07ab

3 C 6,67 ± 5,77 84,60 ± 13,32b

4 K 43,33 ± 5,77 -

Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap baris menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05)

Keterangan :

A = Vaksinasi satu kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV B = Vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV C = Vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV K = Tanpa vaksin dan ikan diuji tantang dengan KHV

Keteranga A : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV B : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV C : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV K- : tanpa vaksinasi dan injeksi dengan PBS (K-), dan

K+ : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).

Gambar 1. Pola kematian ikan mas selama uji tantang (30 hari) dengan KHV.

Gambar 1 menunjukkan pola kelangsungan hidup ikan mas selama uji tantang, dari hari pertama pascauji-tantang hingga hari ke-30. Kematian ikan mas diawali oleh perlakuan A pada hari ke-5 diikuti oleh kontrol positif, perlakuan B serta C pada hari ke-18. Puncak kematian terjadi pada hari ke-18 pascauji-tantang dengan jumlah 4 ekor dari perlakuan A, 4 ekor dari perlakuan B, 1 ekor dari perlakuan C, dan 7 ekor dari perlakuan kontrol positif sehingga total kematiannya sebesar 16 ekor ikan (Lampiran 8). Pada perlakuan kontrol negatif tidak terjadi kematian hingga akhir penelitian sehingga kelangsungan hidupnya 100%.

3.1.2 Gejala Klinis

Pengamatan gejala klinis dilakukan selama vaksinasi dan pascauji-tantang hingga akhir penelitian yaitu hari ke-30. Pengamatan dilakukan setiap 2 kali sehari pada saat pemberian pakan, namun pengamatan secara rinci pascauji- tantang dilakukan setiap dua hari sekali. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat stres pada ikan. Berdasarkan pengamatan tersebut, pada saat vaksinasi ikan terlihat sehat dan tidak ada tanda-tanda ikan sakit. Pengamatan terhadap ikan yang sakit dilihat dari nafsu makan, tingkah laku dan perubahan fisik yang tidak

normal pada tubuhnya. Gejala klinis yang pertama kali muncul adalah terjadinya penurunan nafsu makan pada ikan. Penurunan nafsu makan dilihat dari jumlah konsumsi pakan ikan pascauji-tantang (Lampiran 9). Jumlah konsumsi pakan ikan cenderung menurun dari hari pertama hingga hari ke-21 pascauji-tantang. Ikan yang pertama kali mengalami penurunan nafsu makan adalah ikan pada perlakuan B, kemudian kontrol positif, perlakuan A, dan perlakuan C. Penurunan jumlah konsumsi pakan terbesar terjadi pada perlakuan kontrol positif sebesar 45,91% Hal ini terjadi hingga hari ke-21 dan terjadi peningkatan nafsu makan kembali pada hari ke-22 hingga akhir penelitian.

Perubahan tingkah laku ikan muncul pada ikan yang sakit, yaitu berenang di permukaan, kadang bergerombol di sekitar aerasi dan diam di dasar akuarium. Perubahan tingkah laku ikan mulai muncul pada hari ke-6 pascauji-tantang. Ikan yang pertama mengalami perubahan tingkah laku adalah ikan pada perlakuan A dan B, kemudian disusul dengan perlakuan kontrol positif dan perlakuan C. Ikan yang sakit juga memiliki gerak reflek yang lambat dan respons gerak yang lemah. Pada hari ke-18, gerakan ikan sudah mencapai puncak kondisi terlemah yang kemudian terjadi kematian. Ikan yang berhasil melewati kondisi tersebut mampu bergerak dengan normal kembali setelah hari ke-21. Ikan yang sehat memiliki kondisi fisik yang normal baik sisik, sirip, maupun insangnya. Insang normal berwarna merah cerah. Ikan yang terinfeksi KHV memiliki kondisi fisik yang tidak normal, yaitu terjadi perubahan warna kulit, kerusakan pada sirip ekor, dan nekrosis pada insang. Perbedaan ikan sakit dan ikan sehat disajikan dalam Gambar 2.

Abnormalitas yang terjadi pada kondisi fisik ikan yang terserang KHV adalah produksi lendir berlebih, terjadi bercak merah pada bagian punggung yang kemudian dilanjutkan oleh kulit melepuh disertai keluar darah dan nanah, sisik di sekitar anal rontok, sirip ekor dan dorsal geripis, hemoragi pada pangkal sirip ventral dan pektoral, serta anal, mata cekung, terjadi perubaan warna menjadi lebih gelap bergaris, insang bercabang, pucat, memutih seperti borok dan akhirnya terjadi kematian (Gambar 3).

Gambar 2. Kondisi fisik ikan mas pascauji-tantang dengan filtrat KHV. Badan dan insang ikan sehat (a), badan dan insang ikan terinfek KHV (b).

Perubahan fisik ikan mulai terlihat pada hari ke-5 pascauji-tantang, yaitu nekrosis insang pada perlakuan B kemudian disusul oleh perlakuan A dan kontrol positif pada hari ke-8. Pada hari ke-10, nekrosis mencapai 80% bagian insang untuk perlakuan B namun sekitar 30% pada perlakuan yang lain. Bercak pada punggung dan kerusakan sirip ekor terjadi pada hari ke-12 disertai dengan kulit melepuh pada beberapa ekor ikan di akuarium perlakuan kontrol positif. Jumlah ikan yang mengalami kerusakan fisik semakin bertambah hingga mengalami puncak terparah pada hari ke-18 pascauji-tantang, ini terjadi pada perlakuan A, B, C, dan kontrol positif. Pada perlakuan B dan C telah mengalami penyembuhan luka pada hari ke-21 pascauji-tantang. Pada hari yang sama, masih ditemukan ikan yang mengalami luka dengan jumlah yang cukup banyak pada perlakuan A dan kontrol positif. a b b b a a

                               

Gambar 3. Gejala klinis ikan yang terinfeksi KHV; a) sisik terlepas, b) bercak merah, c) terjadi perubahan warna kulit, d) berenang di permukaan, e) kulit melepuh, f) sirip ekor geripis, g) mata cekung, h) kerusakan insang.

 

3.1.3. Indeks Fagositosis

Pengamatan indeks fagositosis dilakukan setiap seminggu sekali dari mulai vaksinasi hingga minggu ketiga pascauji-tantang. Hasil pengamatan indeks fagositosis ditunjukkan pada Lampiran 10 dan Gambar 4.

a b c d e f g h a

Keterangan A : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV B : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV C : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV K- : tanpa vaksinasi dan ikan diinjeksi dengan PBS, dan

K+ : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).

Gambar 4. Indeks fagositosis pada masing-masing perlakuan pada saat pasca vaksinasi dan diuji tantang.

Gambar 4 menunjukkan aktivitas fagositosis sel darah putih pada perlakuan A, B, C, K-, dan K+. Pada pasca vaksinasi, nilai indeks fagositosis mengalami peningkatan pada masing-masing perlakuan hingga hari ke-21 pasca vaksinasi dan mengalami penurunan pada hari ke-28 sebelum uji tantang. Kenaikan aktivitas fagositosis terjadi pada hampir seluruh perlakuan hingga hari ke-56 kecuali pada perlakuan B dan C yang mengalami penurunan sebesar 15% pada perlakuan B dan 12% pada C.

3.1.4 Histopatologi

Gambar 5 menunjukkan histologi jaringan pada organ ginjal dan Gambar 6 menunjukkan histologi insang pada masing-masing perlakuan. Pada kontrol negatif tidak terdapat kelainan jaringan. Pada perlakuan A, C, dan kontrol positif ditemukan hiperplasia, hipertropi dan badan inklusi baik pada organ ginjal maupun organ insang. Pada perlakuan B tidak ditemukan badan inklusi, namun ditemukan kelainan berupa hipertropi dan hiperplasia pada kedua organ.

KeteranganA : tanpa vaksinasi dan ikan diinjeksi dengan PBS (K-)

B : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (A) C : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (B) D : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (C), dan E : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).

Gambar 5. Histopatologi ginjal ikan; Y) hipertropi; Z) badan inklusi (Bar pada semua Gambar=20 µm). E Z Y Y Z C Y Z D Z Y B A

Keterangan A : tanpa vaksinasi dan ikan diinjeksi dengan PBS (K-)

B : vaksinasi sekali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (A) C : vaksinasi dua kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (B) D : vaksinasi tiga kali dalam satu minggu dan uji tantang dengan KHV (C), dan E : tanpa vaksinasi dan uji tantang dengan KHV (K+).

Gambar 6. Histopatologi insang ikan; X) hiperplasia; Y) hipertropi; Z) badan inklusi (Bar pada semua gambar =20 µm).

3.1.5 Kualitas Air

Parameter kualitas air yang paling berbengaruh dan merupakan faktor pemicu terhadap serangan KHV adalah suhu sehingga pengamatan terhadap parameter ini dilakukan setiap dua kali sehari, yaitu setiap pagi dan sore hari.

A B X Y Z C X Y D Z Y X E X Z Y

Parameter kualitas air lainnya yang diamati adalah pH, DO, dan NH3-N. Pengamatan terhadap parameter kualitas air tersebut dilakukan pada awal dan akhir penelitian saja. Data kisaran kualitas air disajikan dalam Tabel 2, sedangkan data pengamatan suhu harian disajikan dalam Lampiran 11.

Tabel 2. Kisaran parameter kualitas air pemeliharaan ikan mas

Parameter kualitas air Suhu (°C) pH DO(mg/L)

NH3- N(mg/L)

Kisaran 17-23,5 7,9-8,3 6,6-7,2 0,04-0,06

3.2 Pembahasan

Sakit pada ikan adalah suatu kondisi dimana ikan dalam keadaan tidak normal yang ditandai dengan penurunan nafsu makan, kelainan pada respons tubuh baik gerak, mata, ekor maupun pertahanan hingga menyebabkan kelainan pada kondisi fisik ikan. Berdasarkan pengamatan ikan yang sakit karena infeksi KHV menunjukkan gejala penurunan nafsu makan sehingga ikan menjadi kurus dan kekurangan energi. Ikan yang kekurangan energi akan mudah terinfeksi patogen lain atau infeksi sekunder seperti bakteri, fungi dan parasit (Mudjiutami

et al., 2006). Kondisi ini yang kemudian akan menyebabkan abnormalitas pada tubuh ikan.

Pengamatan terhadap kelangsungan hidup ikan dilakukan pada masa vaksinasi (7 hari), pasca vaksinasi (28 hari), dan pascauji-tantang (30 hari). Pasca vaksinasi dilakukan pemeliharaan selama 28 hari agar sistem imun ikan dapat terbentuk secara sempurna. Sistem imun yang sempurna menyebabkan ikan dapat memberikan respons tanggap kebal terhadap infeksi KHV. Pada penelitian ini, vaksin diberikan secara oral yang dicampurkan ke dalam pakan ikan. Keuntungan pemberian vaksin secara oral adalah dapat digunakan secara massal, digunakan untuk berbagai ukuran ikan, dan tidak menimbulkan cekaman (Ellis, 1988). Hasil pengamatan selama 28 hari menunjukkan tidak terjadi gejala infeksi KHV dan tidak ditemukan adanya kematian pada msing-masing perlakuan sehingga pemberian vaksin melalui pakan ini dapat dikatakan aman bagi ikan.

Dosis vaksin yang diberikan pada masing-masing perlakuan mengacu pada Yulianti (2011) adalah sama, yaitu 7,6 ng dengan kepadatan bakteri 108 cfu/mL. Sedangkan yang membedakan pada tiap perlakuan adalah frekuensi vaksin yang

diberikan. Pemberian vaksin satu kali dalam satu minggu untuk Perlakuan A, pemberian vaksin dua kali dalam satu minggu untuk perlakuan B, pemberian vaksin tiga kali dalam satu minggu untuk perlakuan C, dan kontrol tanpa pemberian vaksin.

Respons tanggap kebal ikan yang telah divaksin dilakukan dengan menginjeksi filtrat KHV dengan konsentrasi 10-2 sebanyak 0,1 mL tiap ekor ikan pada hari ke-29 pasca vaksinasi. Kematian ikan diawali oleh perlakuan A pada hari ke-5 dan diikuti oleh perlakuan B, C, dan kontrol positif pada hari ke-18 pascauji-tantang (Gambar 1). Kematian terbanyak terjadi pada hari ke-18 pascauji-tantang. Ini lebih lambat dari penelitian Hayati (2009) dan Zahro (2010) yang melaporkan bahwa kematian massal ikan yang terinfeksi KHV terjadi pada hari ke-9 dan ke-10 pascauji-tantang. Hal ini diduga karena sebelum hari ke-17 terjadi penurunan suhu air pada beberapa akuarium yang terletak tepat di bawah AC (air conditioner), yaitu mencapai 16,5°C sehingga dapat mengurangi tingkat virulensi virus terhadap inang (Lampiran 13). Pada hari ke-17 suhu ruangan dinaikkan menjadi 20°C. Pokorova et al. (2005) dalam ulasannya menguatkan bahwa KHV inaktif pada suhu di bawah 18°C dan di atas 24°C.

Kelangsungan hidup relatif ikan pada perlakuan A dengan frekuensi pemberian satu kali dalam satu minggu memiliki nilai yang sangat kecil sebesar 23,33%. Kelangsungan hidup relatif perlakuan A lebih rendah daripada B dan C diduga karena keberadaan vaksin pada pakan perlakuan yang diberikan tidak dapat membangkitkan respons imun pada ikan sehingga ikan tidak dapat melawan virus yang telah menginfeksinya. Yulianti (2011) menguatkan bahwa pemberian pakan bervaksin 2 kali dalam satu minggu menunjukkan persistensi yang lebih tinggi daripada pemberian pakan bervaksin satu kali dalam satu minggu sehingga pemberian pakan bervaksin dua kali satu dalam minggu dapat menginduksi respons imun ikan mas.

Perlakuan C dengan frekuensi vaksinasi tiga kali dalam satu minggu memiliki nilai kelangsungan hidup relatif tertinggi sebesar 84,6%. Hal ini diduga karena gen glikoprotein yang diberikan dapat dikenali oleh sistem imun sehingga terbentuk antibodi dan menginduksi terbentuknya sel memori sehingga dengan adanya sel memori ini akan mempercepat waktu pembentukan respons sekunder

terhadap serangan antigen yang sama. Vaksinasi melalui pakan mampu diterima dan menunjukkan hasil yang baik. Hasil penelitian Miyazaki et al. (2008) tentang pemberian vaksin liposom melalui pakan buatan juga mampu meningkatkan kelangsungan hidup ikan mas hingga 74% yang dipelihara selama 21 hari. Dengan demikian vaksinasi melalui pakan dengan frekuensi 3 kali dalam seminggu efektif dalam meningkatkan kelangsungan hidup ikan mas dan dapat menjadi alternatif pengendalian infeksi pada ikan mas dan koi pada pembudidaya dalam skala massal.

Data yang mendukung kelangsungan hidup relatif ikan adalah gejala klinis yang timbul pascauji-tantang, indeks fagositosis, dan histopatologi pada insang dan ginjal ikan (Gambar 2, 3, 5, dan 6). Data tersebut berkaitan erat dengan nilai kelangsungan hidup relatif yang didapat selama penelitian (Tabel 1).

Perubahan fisik yang terjadi pada ikan yang terinfeksi KHV adalah pada bagian punggung terjadi bercak merah yang kemudian melepuh, beberapa sisik di sekitar anal terkelupas, pendarahan pada sirip pektoral, ventral dan anal, kerusakan pada sirip ekor, terjadi perubahan warna kulit menjadi kehitaman bergaris, dan kerusakan pada lamela insang. Perlakuan C menghasilkan ikan yang mengalami perubahan fisik dengan jumlah yang paling sedikit dibandingkan perlakuan A, B, dan kontrol positif. Beberapa penelitian terhadap ikan yang diinfeksi KHV pun menunujukkan gejala klinis dan perubahan fisik yang sama. Hendrik et al. (2005) menyebutkan bahwa tanda-tanda ikan koi yang terinfeksi KHV adalah terjadi perubahan warna tubuh, nekrosis pada filamen insang, mata cekung, dan produksi lendir yang berlebih. Demikian juga disebutkan oleh Sunarto et al. (2005), ikan mas yang terinfeksi KHV menunjukkan gejala respons ikan yang lemah, lesu, kehilangan keseimbangan dan megap-megap, kulit melepuh, terjadi pendarahan pada operkulum, sirip, ekor dan perut, serta terjadi kerusakan pada filamen insang.

Penurunan nafsu makan pada ikan uji terjadi sejak hari ke-3 pascauji- tantang, sedangkan gejala klinis baru terlihat pada hari ke-5, yaitu peningkatan produksi lendir dan kerusakan pada insang (perlakuan B). Masa inkubasi virus pada penelitian ini tergolong cepat karena membutuhkan waktu hanya 5 hari. Masa inkubasi virus KHV tergantung pada kondisi lingkungan perairannya,

terutama suhu air (Tabel 2). Pada penelitian ini suhu air akuarium berkisar 17- 23,5 °C. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Antychowicz et al. (2005) bahwa gejala-gejala serangan KHV di Polandia sering terjadi pada suhu berkisar 17-24 °C, namun tidak menunjukkan adanya kematian pada suhu 17 °C. Puncak gejala klinis terparah terjadi pada hari ke-18 pascauji-tantang. Nekrosis insang dan luka-luka pada kulit punggung ikan pada saat ini mengalami puncak terparah yang menuju pada banyaknya kematian ikan.

Indeks fagositosis merupakan ingesti bahan partikel terutama bakteri atau virus ke dalam sitoplasma sel darah. Pola peningkatan persentase indeks fagositosis menunjukkan adanya peningkatan total leukosit termasuk monosit yang dapat merangsang produksi limfosit (Amrullah, 2004).Pengamatan terhadap nilai indeks fagositosis dilakukan setiap seminggu sekali baik pada masa vaksinasi maupun pascauji-tantang. Berdasarkan Gambar 4 dapat diketahui kecenderungan aktivitas fagositosis pada saat pasca vaksinasi dan pascauji-tantang. Pada pasca vaksinasi nilai indeks fagositosis pada masing-masing perlakuan hampir sama, mengalami peningkatan pada hari ke-21 dan mengalami penurunan pada hari ke- 28. Indeks fagositosis perlakuan A dan kontrol positif memiliki kecenderungan peningkatan yang sama pascauji-tantang, yaitu terus mengalami kenaikan hingga hari ke-56. Hal ini sejalan dengan kelangsungan hidupnya yang masih mengalami penurunan hingga memasuki minggu ke-3 pascauji-tantang (Gambar1). Berbeda dengan hal tersebut, perlakuan B dan perlakuan C mengalami penurunan pada hari ke-56 pascauji-tantang. Indeks fagositosis perlakuan B dan C berbanding terbalik dengan kelangsungan hidupnya yang cenderung mulai stabil pada minggu ke-3 hingga akhir penelitian (Gambar 1). Hal ini diduga karena adanya reaksi antibodi yang timbul akibat pemberian vaksin. Nuryati (2010) melaporkan hal yang sama, bahwa vaksinasi mampu membangkitkan kekebalan seluler maupun humoral, yaitu antibodi.

Nilai indeks fagositosis berkaitan dengan perluasan infeksi dari suatu penyakit. Apabila sel-sel fagosit bekerja secara optimal maka perluasan infeksi di dalam tubuh dapat dibatasi dengan baik. Namun sebaliknya jika aktivitas fagositosis menurun dikarenakan suatu hal, maka sifat infeksi akan menyebar ke seluruh tubuh (Ekandaru & Tjokronegoro, 1983). Pada perlakuan B dan C, tapi

pada hari ke-56 mengalami penurunan, hal ini diduga karena adanya penyembuhan luka dan sudah tidak terjadi perluasan infeksi. Sebaliknya pada perlakuan A dan kontrol positif, pada hari ke-56 masih mengalami kenaikan aktifitas fagositosis. Hal ini berkorelasi dengan abnormalitas ikan yang masih terjadi hingga waktu tersebut. Berdasarkan pengamatan hingga hari ke-56, pada perlakuan A dan kontrol positif masih ditemukan ikan yang mengalami luka pada kulit punggung hingga akhirnya melepuh. Di samping itu ditemukan juga ikan yang mengalami pendarahan pada sirip anal dan pektoralnya.

Mekanisme fagositosis dibagi menjadi dua tahap, yaitu attactment phase, waktu terjadi peristiwa penempelan partikel oleh membran sel fagosit, dan

ingestion phase termasuk di sini destruksi dan intracelluler killing (Gambar 7) (Bellanti, 1978 dalam Ekandaru & Tjokronegoro, 1983). Secara terperinci fase- fase dalam mekanisme fagositosis adalah kemotaksis sel fagosit menuju daerah yang mengalami infeksi atau kerusakan, proses opsonisasi melalui aktivasi sistem komplemen, penempelan organisme di sel fagosit pada C3b pada Fc-reseptor

(Gambar 8), proses mengunyah dan vakuolisasi, perubahan metabolisme interseluler, degranulasi lisosom, dan proses mencerna serta intracellular killing.

Gambar 7. Mekanisme fagositosis memperlihatkan ingesti dan proses mencerna (Bellanti, 1978 dalam Ekandaru & Tjokronegoro, 1983).

Gambar 8. Skema Fc dan C3b-reseptor pada permukaan sel fagosit (Bellanti, 1978 dalam Ekandaru & Tjokronegoro, 1983).

Gambar 5 dan Gambar 6 menunjukkan histopalogi ginjal dan insang dari perlakuan A, B, C, kontrol positif dan kontrol negatif. Insang pada kontrol negatif tidak menunjukkan gejala infeksi KHV atau ginjal dan insang tersebut dalam kondisi normal. Namun pada perlauan A, B, C, dan kontrol positif ditemukan abnormalitas pada filamen insang seperti hiperplasia, hipertropi, dan ditemukannya badan inklusi yang mengindikasikan infeksi virus. Demikian juga dengan hipertropi dan badan inklusi yang ditemukan pada organ ginjal. Santika (2007) dan Giri (2008) menemukan hal yang sama pada preparat histologinya, ikan yang terinfeksi KHV ditemukan insang yang hipertropi, hiperplasia dan adanya badan inklusi di antara lamella insang. Menurut Sunarto et al. (2005) pembentukan badan inklusi merupakan kondisi hipertopi pada inti yang disebabkan oleh penumpukan virion-virion dalam inti sel.

Hiperplasia dan hipertropi pada insang dapat menyebabkan pembengkakan antar lamela sehingga dapat mengganggu proses pertukaran gas dan terganggunya respirasi ikan. Rusaknya insang dan kurangnya suplai oksigen akan menyebabkan kematian ikan mas yang terinfeksi KHV (Tamba, 2007). Hipertopi pada ginjal dapat mengganggu proses penyaringan darah sehingga menimbulkan penumpukan zat beracun di dalam tubuh yang kemudian akan menyebabkan keracunan pada ikan. Hipertopi pada ginjal perlakuan C ditemukan lebih sedikit daripada

perlakuan lainnya hal ini berbanding lurus dengan nilai RPS yang dihasilkan oleh perlakuan C, namun lebih tinggi dari perlakuan A, B, dan kontrol positif.

Parameter kualitas air yang diamati pada penelitian ini adalah suhu, pH, DO, dan NH3-N (Tabel 2 dan Lampiran 11). Berdasarkan parameter tersebut, yang paling berpengaruh terhadap serangan infeksi KHV adalah suhu sehingga pengamatannya dilakukan setiap hari. Nilai parameter kualitas air pada penelitian ini masih dalam kisaran yang masih dapat ditolerir oleh ikan (SNI, 1999) dan suhu air mampu meningkatkan virulensi KHV, yaitu oksigen terlarut, pH, NH3-N, dan suhu berturut-turut adalah 7,9-8,3 mg/L, 6,6-7,2, 0,04-0,06 mg/L, dan 17-23,5°C.

Usaha budidaya ikan tidak terlepas dari aspek eknomi yang harus benar- benar diperhitungkan untuk menghindari kerugian. Demikian juga dengan biaya pengadaan vaksin jika akan diterapkan pada pembudidaya. Berdasarkan perhitungan biaya perbanyakan vaksin (Lampiran14), untuk satu kali vaksinasi membutuhkan biaya pengadaan vaksin sebesar Rp.68,2/mL/ekor ikan, sehingga untuk dua kali vaksinasi membutuhkan 2 kali Rp. 68,2 atau sama dengan Rp. 136,6/ekor ikan dan untuk 3 kali vaksinasi membutuhkan biaya Rp. 204,6/ekor ikan. Penggunaan vaksin efektif dalam meningkatkan kelangsungan hidup ikan sehingga akan berbanding lurus dengan keuntungan yang didapat. Berdasarkan analisis usaha yang terlampir pada Lampiran 14, perlakuan C dengan mengeluarkan tiga kali biaya pengadaan vaksin menghasilkan keuntungan paling besar dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Lebih lagi jika dibandingkan dengan ikan yang tidak divaksin, walaupun modal yang dikeluarkan lebih sedikit karena tidak ada biaya untuk pengadaan vaksin, namun dengan asumsi kelangsungan hidup 56,66% tidak menghasilkan keuntungan bahkan merugi hingga lebih dari satu juta rupiah.

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Pemberian pakan bervaksin dengan frekuensi tiga kali dalam satu minggu

Dokumen terkait