BAB 2 Kajian Teori ................................................................................... 16-60
2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Merokok
2.2.4. Kelekatan dengan Orang Tua dan Teman ( Attachment )
2.2.4.1. Attachment sebagai pengaruh yang diberikan lingkungan keluarga
Beberapa penelitian (dalam Sarafino, 1990) mengemukakan bahwa seseorang mulai merokok dipengaruhi oleh orang tua atau saudara yang merokok yang dapat ditiru berdasarkan pembelajaran sosial. Attachment of parent and peer dapat dilihat sebagai pengaruh pembelajaran sosial pada remaja untuk meniru perilaku yang didapatkan dari keluarga dan lingkungan pergaulan.
Keluarga adalah aspek dukungan sosial yang penting bagi kesehatan remaja. Tingkah laku sehat yang positif terutama dapat dilakukan bila remaja mengembangkan perasaan otonomi dalam konteks keluarga yang suportif. Selain
memberikan dukungan sosial, orang tua dan saudara-saudara yang lebih tua adalah model penting bagi kesehatan remaja (Elliott, 1993, dalam Santrock).
Beberapa studi mengenai pengaruh keluarga memiliki pengaruh langsung dalam memunculkan awal perilaku merokok pada remaja. Selain memberikan pengaruh secara langsung, keluarga juga memiliki peranan secara tidak langsung dalam mempengaruhi remaja untuk merokok, salah satunya adalah meniru perilaku merokok yang dilakukan oleh keluarganya. Adapun beberapa alasan pentingnya menguji variabel ini adalah:
a. Konflik dalam hubungan orang tua-anak dapat menghasilkan hubungan orang tua-anak yang negatif yang akan meningkatkan resiko remaja untuk merokok. Apabila orang tua memiliki hubungan yang baik, mendukung (suportif), dan memstimulasi hubungan yang baik dengan anak-anaknya, maka akan mengurangi kecenderungan remaja untuk merokok.
b. Beberapa studi menemukan hubungan yang kuat antara perilaku merokok pada orang tua dengan awal mula muncul perilaku merokok pada remaja
Selain keluarga, teman sebaya dan teman lainnya juga memainkan peranan penting dalam tingkah laku sehat remaja (Millstein, 1993, dalam Santrock). Sejumlah penelitian telah menemukan adanya hubungan antara tingkah laku yang tidak sehat pada remaja dengan teman-temannya, namun hubungan ini belum tentu sebab akibat, remaja yang memiliki kemampuan yang terbatas untuk menahan diri dari tantangan sering kali akhirnya melakukan tingkah laku beresiko karena desakan teman-temannya.
2.2.4.2. Pengertian Attachment
Menurut Bowlby (1988), attachment merupakan suatu hubungan atau interaksi antara dua individu yang merasa terikat kuat satu sama lain dan masing-masing melakukan sejumlah hal untuk melanjutkan hubungan tersebut. Perilaku attachment merupakan tingkah laku dimana individu berusaha untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan individu lainnya.
Oleh karena itu, attachment merupakan kecenderungan yang stabil dari perasaan, pemikiran, dan perilaku untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan seseorang atau orang tertentu yang memberikan potensi subjektif rasa aman dan terlindungi terhadap fisik dan psikis. Masa remaja merupakan masa transisi yang penting dalam tahap perkembangan yang membutuhkan eksplorasi dan kemandirian dalam bentuk fisik dan psikis yang diberikan oleh orang tua.
2.2.4.3. Aspek-aspek Attachment
Menurut Armsden dan Greenberg (1987) terdapat tiga landasan konstruk dalam teori kedekatan (attachment), yaitu:
a. Komunikasi (Communication)
Hubungan komunikasi orang tua-anak bergantung pada kedekatan yang dibangun dan berlangsung terus menerus sejak dini. Hubungan komunikasi tersebut terjadi pada tahapan perkembangan yang berbeda-beda. Komunikasi hubungan timbal balik antara orang tua dengan anak menciptakan relasi emosional yang kuat sehingga remaja mencari kenyamanan dan nasihat orang tua ketika dibutuhkan. Pada masa remaja juga terdapat masalah yang akan
menyebabkan kerenganggan hubungan orangtua-anak, maka dari itu, keterbukaan antara orang tua dengan anak dapat menciptakan “iklim emosi yang positif”. Perbedaan komunikasi pada remaja meliputi perbedaan
komunikasi dengan ayah, ibu, dan teman sebaya. b. Kepercayaan (Trust)
Aspek kedua dalam teori attachment yaitu kepercayaan. Menurut Armsden & Greenberg, 1987), kepercayaan dapat didefinisikan sebagai perasaan aman dan keyakinan terhadap orang lain yang akan memenuhi kebutuhannya. Kepercayaan merupakan hasil dari hubungan yang kuat bagi mereka yang bergantung terhadap orang lain. Lebih lanjut, kepercayaan merupakan komponen dari hubungan yang kuat antara remaja dengan figur kelekatan yang menitikberatkan pada ketersediaan pengetahuan saat dibutuhkan dari figur kelekatan.
Dengan kata lain, adanya kepercayaan terhadap figur kelekatan dikarenakan situasi positif masa lalu yang berhubungan dengan kepercayaan. Kepercayaan menjadi komponen yang penting dalam menciptakan hubungan pertemanan yang baik. Remaja ingin merasa dekat dan dapat dipercaya atau mempercayai orang lain yang menjadi figure kelekatan.
c. Keterasingan (Alienation)
Aspek ketiga yaitu keterasingan. Keterasingan berhubungan dengan menghindari diri dan penolakan. Kelekatan akan menjadi kurang terjamin ketika timbul satu kesadaran akan perasaan bahwa figur kelekatan tidak tersedia.
2.2.4.4. Pengukuran attachment
Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat kedekatan (attachment) hubungan sosial diadaptasi dari Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA) yang disusun oleh Armsden & Greenberg (1987). IPPA dipilih karena instrumen ini disusun berdasarkan teori kedekatan yang sejajar dengan tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh keluarga dalam menentukan intensi merokok.
2.2.5. Self-esteem
2.2.5.1. Definisi self-esteem
Self-esteem merupakan suatu kebutuhan mendasar bagi remaja karena berfungsi sebagai kontributor utama dalam proses kehidupan bagi tercapainya pengembangan hidup yang sehat dan mengandung nilai-nilai kelangsungan hidup.
Chaplin (2006) menyamakan istilah self-esteem dengan self evaluation, yaitu suatu penilaian atau pertimbangan yang dibuat seseorang mengenai diri sendiri.
Menurut James (1980, dalam Baron & Bryne, 2003), self-esteem adalah evaluasi terhadap diri sendiri dalam rentang dimensi positif dan negatif.
Menurut Minchinton (1995), self-esteem adalah harga yang ditempatkan individu pada dirinya berdasarkan pada setuju atau tidak setuju dari diri dan perilaku diri sendiri.
Rosenberg (dalam Brown, Dutton & Cook, 2001) mendefiniskan self-esteem sebagai suatu sikap positif atau negatif terhadap suatu objek khusus, yaitu diri.
Santrock (2003) mendefinisikan self-esteem sebagai dimensi penilaian (evaluatif) global dari kepribadian atau suatu penilaian atau pencitraan diri yang mengacu pada suatu bidang keterampilan yang berbeda dan penilaian diri secara umum.
Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa self-esteem
adalah evaluasi perasaan dan penilaian individu terhadap dirinya, kehidupannya dan kaitannya dengan orang lain yang memiliki peran penting dan pengaruh besar terhadap sikap dan perilaku individu.
2.2.5.2. Aspek-aspek self-esteem
Menurut Brown, Dutton & Cook (2001), aspek-aspek self-esteem yaitu:
a. Global self-esteem, merupakan variabel keseluruhan dalam diri individu secara keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi. b. Self-evaluation, merupakan bagaimana cara seseorang dalam mengevaluasi
variabel dan atribusi yang terdapat pada diri mereka. Misalnya ada seseorang yang kurang yakin kemampuannya di sekolah, maka bisa dikatakan bahwa ia memiliki self-esteem yang rendah dalam bidang akademis, sedangkan seseorang yang berpikir bahwa dia terkenal dan cukup disukai oleh orang lain, maka bisa dikatakan memiliki self-esteem sosial yang tinggi.
c. Feeling of self-worth, merupakan keadaan emosi yang muncul sebagai hasil dari konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan self-esteem atau menurunkan self-esteem.
2.2.5.3. Pengukuran self-esteem
Self-esteem seringkali diukur sebagai sebuah peringkat dalam dimensi yang berkisar dari negatif sampai positif atau dari rendah sampai tinggi. Hal ini dilakukan dengan meminta responden untuk mengindikasikan self ideal mereka seperti apa, self mereka yang sebenarnya, dan kemudian meneliti perbedaan diantara keduanya. Semakin besar perbedaan antara self dengan idealnya, maka semakin rendah self-esteem.
Pengukuran self-esteem dapat dilakukan dengan menggunakan alat ukur (skala) baku yang disusun oleh Rosernberg (1965) yang sudah teruji validitas dan
reliabilitasnya (α = .73, Laible, Carlo & Roesch, 2004). Self-esteem scale ini dirancang secara global, yaitu merupakan variabel keseluruhan dalam diri individu secara keseluruhan dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi dengan mengoptimalkan administrasi yang mudah, ekonomis unidimensional dan memiliki face validity yang baik.