• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor psikologi yang mempengaruhi intensi merokok pada remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor psikologi yang mempengaruhi intensi merokok pada remaja"

Copied!
195
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Disusun oleh :

SHELI ROSDIANA

NIM: 106070002183

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ii

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat

memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

SHELI ROSDIANA

NIM: 106070002183

Di bawah bimbingan:

Pembimbing I

Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi NIP: 19730328 200003 203

Pembimbing II

Desi Yustari Muchtar, M.Psi NIP: 19821214 2008012 006

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

iii

Skripsi yang berjudul “FAKTOR-FAKTOR PSIKOLOGIS YANG MEMPENGARUHI INTENSI MEROKOK PADA REMAJA” telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 16 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 16 Juni 2011

Sidang Munaqosyah

Dekan / Pembantu Dekan Bidang Akademik / Ketua merangkap Anggota Sekretaris

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP: 130 885 522 NIP: 19561223 198303 2 001

Anggota:

Drs. Rachmat Mulyono, M.Si, Psi NIP: 19650220 199903 1 003

Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi NIP: 19730328 200003 203

Gazi Saloom, M.Si NIP: 19711214 200701 1 014

(4)

iv Nama : Sheli Rosdiana

NIM : 106070002183

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudulFaktor-faktor Psikologis Yang Mempengaruhi Intensi Merokok Pada Remajaadalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 16 Juni 2011

(5)

v

MOTTO:

“Dream, faith, fight

.

-

Donny Dhirgantoro, 5 cm

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

.”

- Alam Nasyrah (94:6)

Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu

hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia

"

- Yassin (36:82)

PERSEMBAHAN:

Skripsi ini ku persembahkan untuk kedua orang tua tercinta, atas segala kasih

(6)

vi (D)156 halaman + Lampiran

(E)Faktor-faktor Psikologis yang Mempengaruhi Intensi Merokok pada Remaja

(F) Jumlah perokok remaja di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup tajam. Hal tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari dengan semakin sering ditemukannya remaja yang merokok ditempat umum. Intensi merokok merupakan prediktor untuk mengetahui perilaku merokok pada remaja, sehingga untuk mengurangi dan melakukan pencegahan akan peningkatan jumlah perokok pada remaja diperlukan informasi mengenai faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi intensi merokoknya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor psikologis mana yang paling besar dan signifikan mempengaruhi intensi merokok pada remaja. Intensi merokok yang dimaksud adalah niat seseorang untuk mencoba atau merokok di masa yang akan datatang. Faktor-faktor psikologis yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu sikap, norma subjektif, perceived behavioral control, kelekatan dengan ayah, kelekatan dengan ibu, kelekatan dengan teman, self-esteem, pengetahuan mengenai rokok, usia. Variabel kategorik yang ikut diteliti dalam penelitian ini yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status merokok pada orang tua.

Penelitian kuantitatif kuantitatif dengan analisis regresi ini melibatkan 270 responden Sekolah Bakti Mulya 400 Jakarta. Sampel yang digunakan adalah remaja yang berusia 13-18 tahun. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan menggunakan

purposive sampling. Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan alat ukur yang disusun peneliti berdasarkan salient belief, yaitu pada skala sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control. Alat ukur pengetahuan disusun dari Global Youth Tobacco Survey (2006). Alat ukur self esteem yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari skala baku yang dikembangkan oleh Rosergnberg (1965), alat ukur intensi merokok yang dikembangkan oleh Fishbein, Ajzen & Hanson, dan alat ukur

Inventory of Parent and Peer Attachment yang dikembangkan Armsden & Greenberg (1987).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh faktor psikologis sikap, norma subjektif, perceived behavioral control, pengetahuan, self-esteem, kelekatan dengan ayah, kelekatan dengan ibu, kelekatan dengan teman, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status merokok pada orang tua terhadap intensi merokok pada remaja dengan sumbangan 56,1% terhadap bervariasinya intensi merokok. Adapun variabel yang paling besar memberikan sumbangan terhadap bervariasinya intensi merokok adalah variabel sikap, perceived behavior control, dan kelekatan dengan ibu. Penulis menyarankan untuk menyertakan aspek psikologis lain yang mungkin dapat mempengaruhi intensi merokok pada penelitian selanjutnya.

(7)

vii

Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan untuk kehadirat Allah SWT, hanya dengan izin-Nyalah dapat mengantarkan peneliti pada jalan kesuksesan dan keberhasilan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman, kepada keluarga, sahabat dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya.

Melalui perjalanan panjang yang dilalui peneliti dalam upaya menyelesaikan kuliah dan skripsi ini disertai dengan segala kekurangan dan kelemahan peneliti, dan diwarnai dengan berbagai cobaan, tantangan, rintangan, dan penuh perjuangan serta kesabaran yang telah mengari peneliti banyak hal dalam hidup. Dan akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan berkat bimbingan, arahan, dukungan, masukan, do’a, dan banyak bantuan yang diberikan kepada peneliti dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala ketulusan hati peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajaran dekanat lainnya yang Insya Allah tiada hentinya berusaha menciptakan lulusan-lulusan Fakultas Psikologi yang semakin baik dan berkualitas.

2. Ibu Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi dan Ibu Desi Yustari Mucthar, M.Psi, dosen pembimbing I dan II, yang telah membimbing, mengarahkan, memberikan saran serta semangat dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas wawasan, saran, nasehat dan waktu yang telah diberikan beliau kepada penulis.

3. Ibu S.Evangeline Suaidy, M.Psi, Pembimbing Akademik penulis.

4. Bapak Drs. Rachmat Mulyono, M.Si,Psi dan Gazi Saloom, M.Si, penguji dalam sidang munaqosyah.

5. Seluruh dosen dan karyawan Staf Tata Usaha Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam menjalani perkuliahan dan menyelesaikan skripsi.

(8)

viii

responden yang telah bersedia untuk mengisi kuesioner penelitian.

7. Kedua orang tuaku tercinta dan tersayang, Papa, Rastam Rustam dan Mama, Supiyah, yang selalu memberikan bantuan moril dan materil, yang tak pernah jenuh membimbingku, mendoakanku, menyemangatiku engan segala ketulusan kasih sayang, kesabaran, perhatian, dan pengertian yang selama ini diberikan dalam hidupku. Terima kasih atas kesabaran Mama dan Papa dalam menanti kelulusanku selama ini.

8. Untuk kakak terbaikku, Tenny Rosyaria Sari dan Devi Rosmeila Sari atas segala kebaikan, kasih sayang, dukungan, bantuan moril dan materil, yang mungkin belum bisa penulis balas.

9. Untuk Ahmad Triesna Yanda, terima kasih atas semua dukungan, kesabaran, motivasi, pengertian, kasih sayang, perhatiannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas kesabaranmu menanti kelulusanku ini.

10. Sahabat-sahabatku tersayang, Amalia Puspita Hardini, Kadek Tantiyana, terima kasih untuk semangatmu, motivasi, dukungan dan nasehatmu yang selalu ada kapanpun peneliti butuhkan. Untuk Tia, Henny, Rara, sahabat seumur hidupku, Nadia, Eva, Fadliya, untuk keceriaan dan kebersamaan kalian yang selalu menjadi penyemangat peneliti dalam hidup.

11. Sahabat seperjuangan selama menimba ilmu di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dara, Hanny, Rudhi, Peras, Adiyo, Aji, Adit, Isni, Rika, Danny, Nuran, Pipin, Hanny, Suci, Shiro, Reza, Sarah atas segala pelajaran dalam hidup,

12. Teman-teman Psikologi angkatan 2006 kelas A angkatan 2006. Terima kasih telah menjadi tempat belajar, tempat berdiskusi dan tempat berbagi ilmu selama ini.

(9)

ix

Akhir kata, besar harapan penulis semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi siapa saja yang membaca.

Jakarta, 16 Juni 2011

(10)

x

Lembar Pengesahan Pembimbing ... ii

Lembar Penyataan Orisinalitas ... iv

Motto dan Persembahan ... v

Abstrak ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Bagan ... xv

Daftar Gambar ... xix

BAB 1 Pendahuluan ... 1-15 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 12

1.2.1. Pembatasan masalah ... 12

1.2.2. Perumusan masalah ... 13

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

1.3.1. Tujuan Penelitian ... 13

1.3.2. Manfaat Penelitian ... 13

1.3.2.1. Manfaat teoritis ... 13

1.3.2.2. Manfaat praktis ... 14

1.4. Sistematika Penulisan ... 14

BAB 2 Kajian Teori ... 16-60 2.1. Intensi Merokok ... 16

2.1.1. Teori Intensi ... 16

2.1.1.1. Definisi intensi ... 16

2.1.1.2. Spesifikasi intensi ... 17

(11)

xi

2.1.1.5. Faktor-faktor yang melatarbelakangi intensi ... 27

2.1.2. Intensi Merokok ... 29

2.1.2.1. Definisi perilaku merokok ... 29

2.1.2.2. Definisi intensi merokok ... 30

2.1.2.3. Pengukuran intensi merokok... 31

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Merokok ... 31

2.2.1. Sikap ... 32

2.2.1.1. Definisi sikap ... 32

2.2.1.2. Aspek-aspek sikap ... 33

2.2.1.3. Terbentuknya sikap ... 33

2.2.1.4. Pengukuran sikap ... 34

2.2.2. Norma Subjektif ... 35

2.2.2.1. Definisi norma subjektif ... 35

2.2.2.2. Aspek-aspek norma subjektif ... 36

2.2.2.3. Terbentuknya norma subjektif ... 36

2.2.2.4. Pengukuran norma subjektif ... 37

2.2.3. Perceived Behavioral Control ... 37

2.2.3.1. Definisi perceived behavioral control ... 37

2.2.3.2. Aspek-aspek perceived behavioral control ... 38

2.2.3.3. Terbentuknya perceived behavioral control ... 38

2.2.3.4. Pengukuran perceived behavioral control ... 39

2.2.4. Kelekatan dengan Orang Tua dan Teman (Attachment) .... 40

2.2.4.1. Attachment sebagai pengaruh keluarga ... 40

2.2.4.2. Pengertian attachment ... 42

2.2.4.3. Aspek-aspek attachment ... 42

(12)

xii

2.2.5.3. Pengukuran self-esteem ... 46

2.2.6. Pengetahuan ... 46

2.2.6.1. Definisi pengetahuan ... 46

2.2.6.2. Aspek-aspek pengetahuan ... 47

2.2.7. Pengaruh Demografis ... 48

2.2.7.1. Usia ... 48

2.2.7.2. Jenis kelamin ... 48

2.2.7.3. Tingkat pendidikan ... 48

2.2.7.4. Status merokok pada orang tua ... 49

2.2.7.5. Status merokok pada remaja ... 49

2.3. Remaja ... 50

2.3.1. Definisi Remaja ... 51

2.3.2. Karakteristik Remaja ... 51

2.3.3. Tugas Perkembangan pada Masa Remaja ... 52

2.4. Kerangka Berpikir ... 55

2.5. Hipotesis ... 59

BAB 3 Metode Penelitian ... 61-118 3.1. Pendekatan Penelitian ... 61

3.2. Populasi dan Sampel ... 61

3.2.1. Populasi ... 61

3.2.2. Sampel ... 62

3.2.2.1. Teknik pengambilan sampel ... 62

3.3. Variabel dan Definisi Variabel Penelitian ... 63

3.3.1. Variabel Penelitian ... 63

3.3.2. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional Variabel .... 63

3.3.2.1. Variabel Terikat (Dependent Variabel) ... 63

3.3.2.2. Variabel Bebas (Independent Variabel) ... 64

(13)

xiii

3.5.1.Alat Ukur Penelitian ... 69

3.5.2. Pengujian Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 78

3.5.2.1. Uji Validitas Skala Intensi Merokok ... 79

3.5.2.2. Uji Validitas Skala Sikap ... 82

3.5.2.3. Uji Validitas Skala Norma Subjektif ... 86

3.5.2.4. Uji Validitas Skala Perceived Behavioral Control .. 90

3.5.2.5. Uji Validitas Skala Pengetahuan ... 96

3.5.2.6. Uji Validitas Skala Self-esteem ... 98

3.5.2.7. Uji Validitas Skala Inventory of Parent and Peer Attachment ... 99

3.5.2.7.1. Inventory of FatherAttachment ... 100

3.5.2.7.2. Inventory of Mother Attachment ... 104

3.5.2.7.3. Inventory of Peer Attachment ... 109

3.6. Prosedur Pengumpulan Data ... 113

3.6.1. Persiapan Penyusunan Alat Ukur ... 113

3.6.2. Persiapan Pengambilan Data ... 114

3.6.3. Pelaksanaan Pengambilan Data ... 114

3.7. Metode Analisis Data ... 115

BAB 4 Hasil Penelitian ... 119-143 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 119

4.2. Analisis Deskriptif ... 123

4.3. Uji Hipotesis ... 125

4.3.1. Uji Hipotesis Analisis Regresi dari Variabel Penelitian... 125

4.3.2. Pengujian Proporsi Varians Untuk Masing-masing Independent Variabel ... 132

BAB 5 Kesimpulan, Diskusi, dan Saran ... 144- 152 5.1. Kesimpulan ... 144

(14)

xiv

(15)

xv

Tabel 3.3 Blue Print Skala Evaluation Outcome ... 70

Tabel 3.4 Blue Print Skala Normative Belief ... 71

Tabel 3.5 Blue Print Skala Motivation to Comply ... 72

Tabel 3.6 Blue Print Skala Control Belief ... 72

Tabel 3.7 Blue Print Skala Power of Control Belief ... 73

Tabel 3.8 Blue Print Skala IPPA of father and Mother ... 73

Tabel 3.9 Blue Print Skala IPPA of Peer ... 74

Tabel 3.10 Blue Print Skala Self-esteem ... 74

Tabel 3.11 Blue Print Skala Pengetahuan ... 75

Tabel 3.12 Bobot Nilai Jawaban Skala Intensi Merokok ... 75

Tabel 3.13 Bobot Nilai Jawaban Skala Behavioral Belief, Normative Belief, Control Belief, dan Self-esteem ... 76

Tabel 3.14 Bobot Nilai Jawaban Skala Evaluation Outcome ... 76

Tabel 3.15 Bobot Nilai Jawaban Skala Motivation to Comply dan Skala Power of control Belief... 77

Tabel 3.16 Bobot Nilai Jawaban Skala Pengetahuan ... 77

Tabel 3.17 Bobot Nilai Jawaban Skala Inventory of Parent and Peer Attachment ... 77

Tabel 3.18 Muatan Faktor Item Intensi Merokok ... 80

Tabel 3.19 Matriks Korelasi Antar Kesalahan Pengukuran Pada Butir-butir Item Intensi Merokok ... 81

Tabel 3.20 Muatan Faktor Item Faktor-1 dan Faktor-2 Behavioral Belief ... 83

Tabel 3.21 Muatan Faktor Item Evaluation Outcome... 85

Tabel 3.22 Muatan Faktor Item Faktor-1 dan Faktor-2 Normative Belief ... 88

Tabel 3.23 Muatan Faktor Item Motivation to Comply ... 89

Tabel 3.24 Muatan Faktor Item Faktor-1 Control Belief ... 91

Tabel 3.25 Muatan Faktor Item Faktor-2 Control Belief ... 92

(16)

xvi

Tabel 3.30 Muatan Faktor Item Faktor-1 IPPA of Father ... 101

Tabel 3.31 Muatan Faktor Item Faktor-2 IPPA of Father ... 102

Tabel 3.32 Muatan Faktor Item Faktor-3 IPPA of Father ... 104

Tabel 3.33 Muatan Faktor Item Faktor-1 IPPA of Mother ... 105

Tabel 3.34 Muatan Faktor Item Faktor-2 IPPA of Mother ... 107

Tabel 3.35 Muatan Faktor Item Faktor-3 IPPA of Mother ... 108

Tabel 3.36 Muatan Faktor Item Faktor-1 IPPA of Peer ... 110

Tabel 3.37 Muatan Faktor Item Faktor-2 IPPA of Peer ... 111

Tabel 3.38 Muatan Faktor Item Faktor-3 IPPA of Peer ... 112

Tabel 4.1 Jumlah Subjek Berdasarkan Usia ... 119

Tabel 4.2 Jumlah Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 120

Tabel 4.3 Jumlah Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 120

Tabel 4.4 Jumlah Subjek Berdasarkan Status Merokok Saat ini ... 121

Tabel 4.5 Jumlah Subjek Berdasarkan Pengalaman Merokok ... 121

Tabel 4.6 Jumlah Subjek Berdasarkan Usia Saat Pertama Kali Merokok ... 122

Tabel 4.7 Jumlah Subjek Berdasarkan Status Merokok Pada Orang Tua... 122

Tabel 4.8 Analisis Deskriptif Independent Sampel t Test ... 123

Tabel 4.9 R Square ... 126

Tabel 4.10 ANOVA Pengaruh IV Terhadap DV... 126

Tabel 4.11 Koefisien Regresi ... 127

Tabel 4.12 ANOVA Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Intensi Merokok ... 130

Tabel 4.13 ANOVA Pengaruh Tingkat Pendidikan TerhadapIntensi Merokok 131 Tabel 4.14 ANOVA Pengaruh Statis Merokok Pada Orang Tua Terhadap Intensi Merokok ... 131

Tabel 4.15 Proporsi Varians Masing-masing Independent Variabel ... 132

Tabel 4.16 R Square Jenis Kelamin Terhadap Intensi Merokok ... 134

(17)

xvii

Tabel 4.21 Proporsi Varians Masing-masing Dimensi pada

(18)

xviii

Bagan 2.2 Teori Planned behavior Icek Ajzen (1988) ... 25 Bagan 2.3 Beliefs sebagai Fondasi Informasi dari Intensi dan Perilaku

dalam Teori Planned Behavior Icek Ajzen (2005) ... 27 Bagan 2.4 Peranan Faktor-faktor yang Melatarbelangi Perilaku dalam

(19)

xix

(20)

xx Lampiran 2 Kuisioner Penelitian

Lampiran 3 Contoh Syntax Analisis Faktor Konfirmatorik Intensi Merokok Analisis Faktor Konfirmatorik Behavioral Belief Faktor-1 Analisis Faktor Konfirmatorik Behavioral Belief Faktor-2 Analisis Faktor Konfirmatorik Normative Belief Faktor-1 Analisis Faktor Konfirmatorik Normative Belief Faktor-2 Analisis Faktor Konfirmatorik Control Belief Faktor-1 Analisis Faktor Konfirmatorik Control Belief Faktor-2

Analisis Faktor Konfirmatorik Power of Control Belief Faktor-1 Analisis Faktor Konfirmatorik Power of Control Belief Faktor-2 Analisis Faktor Konfirmatorik Pengetahuan

Analisis Faktor Konfirmatorik Self-esteem

Analisis Faktor Konfirmatorik Trust of Father

Analisis Faktor Konfirmatorik Communication of Father

Analisis Faktor Konfirmatorik Alienation of Father

Analisis Faktor Konfirmatorik Trust of Mother

Analisis Faktor Konfirmatorik Communication of Mother

Analisis Faktor Konfirmatorik Alienation of Mother

Analisis Faktor Konfirmatorik Trust of Peer

Analisis Faktor Konfirmatorik Communication of Peer

Analisis Faktor Konfirmatorik Alienation of Peer

Lampiran 4 Matriks Korelasi Kesalahan Pengukuran masing-masing

Independent Variabel

Lampiran 5 Data Mentah Field Study

(21)

BAB 1

PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini, peneliti akan membahas mengenai latar belakang penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan dari perkembangan masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang meliputi pertumbuhan biologis, perkembangan psikologis dan psikososial. Pertumbuhan biologis meliputi pertumbuhan tinggi badan yang terus bertambah dan proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi. Sedangkan perkembangan psikologis dan psikososial meliputi kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak dan kematangan menyesuaikan diri (Hurlock, 1990).

(22)

mencapai 60 juta perokok dan sebanyak 215 milyar batang rokok dikonsumsi selama satu tahun oleh penduduk Indonesia (Global Youth Tobacco Survey,

2006).

Suatu studi menegaskan bahwa kebanyakan orang mulai merokok saat berusia 11 dan 13 tahun dan 85% sampai 90% sebelum berusia 18 tahun (Leventhal dkk, 1988; Dhuyvettere, 1990). Dari hasil penelitian tersebut, tidak mengherankan jika peningkatan jumlah perokok di Indonesia juga terjadi pada remaja (Global Youth Tobaccco Survey, 2004). World Health Organization pada tahun 2000 sampai tahun 2008 mencatat sebesar 24,1% remaja pria dan 4,0% remaja wanita di Indonesia adalah perokok aktif (WHO, 2009).

Data World Health Organization (2009) juga menyebutkan jumlah perokok remaja laki-laki di Indonesia yang berusia 13-15 tahun mencapai 24,1%, dan sebesar 4,0% perokok remaja perempuan. Selanjutnya, survei yang dilakukan

Global Youth Tobacco Survey (2009) terhadap 3.319 pelajar berusia 13-15 tahun di Indonesia menemukan bahwa sebanyak 30,4% pelajar pernah merokok dengan persentase jumlah perokok laki-laki sebesar 57,8% dan jumlah perokok perempuan 6,4%.

Tidak hanya remaja yang berusia 13-15 tahun, peningkatan jumlah perokok di Indonesia juga terjadi pada remaja dengan rentang usia 15-18 tahun.

(23)

di atas 15 tahun mengalami peningkatan yaitu jumlah perokok laki-laki sebesar 65,9% dan perempuan 4,5% (WHO, 2009).

Salah satu penyebab peningkatan jumlah perokok pada usia remaja yaitu disebabkan usia seseorang saat pertama kali merokok yang semakin dini. Berdasarkan data Indonesian Young Adult Reproductive Health Survey (2007), sebesar 30% remaja mulai merokok saat usia 10 tahun ke atas, namun kebanyakan remaja merokok saat berusia 15-19 tahun dan lebih banyak terjadi pada remaja pria dibandingkan remaja wanita. Oleh karena itu, usia seseorang saat pertama kali mencoba rokok dapat menjadi penyebab munculnya intensi dan perilaku merokok pada remaja. Remaja yang mulai merokok sejak dini akan semakin ketergantungan pada nikotin di usia selanjutnya (Lloyd-Richardson, Papandonatos, Kazura, Stanton, & Niaura, 2002).

Selain itu, meningkatnya jumlah perokok pada remaja juga disebabkan kemudahan dalam memperoleh rokok dan tidak diberlakukannya peraturan khusus mengenai batasan usia yang diperbolehkan untuk membeli rokok. Hal tersebut didukung oleh fakta yang ditemukan Global Youth Tobacco Survey (2009) bahwa sebanyak 51,1% remaja membeli rokok di toko rokok dan 59,0% remaja membeli rokok di toko yang tidak memberlakukan batasan usia dalam membeli rokok.

(24)

menemukan remaja yang merokok di tempat umum, restoran, di pinggiran jalan, di pusat perbelanjaan, atau bahkan di sekolah. Namun sayangnya, peningkatan jumlah perokok tersebut menjadi masalah yang serius di Indonesia, terutama dengan adanya peningkatan dampak negatif yang diakibatkan dari pengunaan tembakau ini.

Beberapa ahli mengungkapkan bahwa rokok dapat menimbulkan berbagai penyakit atau gangguan kesehatan yang dapat terjadi baik pada perokok itu sendiri, maupun orang lain disekitarnya yang tidak merokok. Kandungan dalam rokok yang berupa nikotin, tar, dan zat adiktif dapat memberikan berbagai dampak negatif bagi kesehatan seperti kanker paru-paru, kanker mulut, kanker tenggorokan, penyakit jantung koroner, radang saluran pernapasan, pembengkakan paru-paru, penyakit kandung kemih, gangguan reproduksi, impotensi, gangguan kehamilan dan janin. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat pengunaan rokok dengan intensitas yang tinggi serta usia yang lebih dini saat mengkonsumsi rokok dapat menambah resiko kematian (Oskamp, 1984; McKim, 2007).

(25)

mengembangkan teori yang mampu memprediksi dan menjelaskan perilaku sehat pada individu, termasuk perilaku merokok, yang dinamakan teori planned behavior (Harakeh et.al, 2004). Teori ini berasumsi bahwa perilaku individu terjadi karena adanya intensi berperilaku yang mendahuluinya.

Beberapa studi menguji teori planned behavior, seperti hasil studi De Vries (1995, dalam Harakeh et.al, 2004) pada remaja yang menunjukkan bahwa intensi merokok menjadi prediktor yang kuat dalam menjelaskan perilaku merokok selanjutnya. Penelitian yang menguji sikap, norma subjektif, dan self-efficacy ini mengemukakan bahwa sikap positif terhadap rokok memprediksi peningkatan pengunaan rokok di kalangan remaja. Diantara tiga dasar pemikiran dalam teori planned behavior dalam studinya, De Vries berpendapat bahwa self-efficacy merupakan prediktor yang paling baik dalam memprediksi munculnya perilaku merokok, sehingga remaja dengan self-efficacy yang tinggi tidak akan mudah terpengaruh untuk merokok.

Studi selanjutnya dilakukan Harakeh et.al (2004) yang berjudul Parental

factors and adolescent’s smoking behavior: An extention of the theory of planned

behavior. Studi tersebut menguji kualitas hubungan orang tua-anak, kontrol psikologis, kontrol ketegasan (strict control), pengetahuan orang tua, status merokok orang tua, sikap, norma subjektif dan self-efficacy. Hasil penelitian menemukan bahwa sikap positif terhadap rokok, self-efficacy yang rendah, dan

(26)

berhubungan dengan sikap negatif terhadap rokok, dan berhubungan dengan self-efficacy yang tinggi untuk tidak merokok, namun apabila salah satu orang tua mereka merokok, maka menimbulkan sikap positif terhadap rokok. Namun, variabel kontrol psikologis dan strict control tidak berpengaruh terhadap perilaku merokok.

Beberapa studi lain menduga bahwa perilaku awal untuk merokok pada remaja dikarenakan adanya tekanan langsung dari orang lain, seperti teman sebaya, yang membuat dirinya sulit menolak ketika ditawarkan rokok, sehingga Vitoria et.al (2009) melakukan penelitian yang berjudul The impact of social influence on adolescent intention to smoke: Combaining types and referents of

influence. Penelitian tersebut menguji norma subjektif, perceived smoking behavior, tekanan langsung untuk merokok dari orang lain, yang dikombinasikan dengan variabel orang tua (ayah, ibu), saudara kandung (kakak, adik), teman (sahabat, teman), dan guru.

(27)

variabel perceived behavior of peers, peer’s direct pressure to smoke, dan

parental norms secara signifikan memiliki pengaruh terhadap intensi merokok. Hasil dua penelitian yang konsisten dengan teori planned behavior

tersebut mengindikasikan bahwa variabel yang digunakan dalam teori ini sangat berguna dalam memprediksi apakah individu akan menggunakan rokok atau tidak (Baron & Byrne, 2003). Hal lain yang dapat ditarik garis besar adalah faktor pembentukan intensi dalam teori planned behavior, yaitu sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control bisa digunakan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berperilaku pada individu, khususnya dalam intensi merokok. Selain itu, Vitoria et al juga menyarankan perlunya dilakukan penelitian pada sampel yang berbeda dari sampel yang digunakan dalam penelitiannya.

Selain penelitian yang menguji teori planned behavior, terdapat penelitian lain yang meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok. Seperti penelitian yang dilakukan Loureiro, M.L., Sanz-de-Galdeano, A., & Vuri, D (2006) yang berjudul Smoking habits: Like father, like son, like mother, like daughter, menyimpulkan bahwa terdapat hubungan status merokok pada orang tua dengan perilaku merokok pada remaja. Hasil penelitian menemukan bahwa remaja perempuan mulai merokok dikarenakan pengaruh ibu yang merokok, begitu juga remaja pria yang merokok karena ayahnya merokok.

(28)

memprediksi awal mula remaja merokok (dalam Vitoria, Salgueiro, Silva & Vries, 2009).

Hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian Richardson et.al, (2002) mengenai Differentiating stages of smoking intensity among adolescents: Stage-specific psychological and social influences. Studi yang meneliti mengenai pengaruh sosial dalam tahapan awal intensi merokok pada remaja kelas 7 sampai kelas 12 ini menemukan bahwa awal perilaku merokok yang terjadi pada remaja wanita dipengaruhi oleh status merokok pada ibu, dan perilaku merokok pada remaja pria tidak dipengaruhi oleh status merokok pada ayah.

Meskipun dua hasil penelitian tersebut berbeda, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa status merokok pada orang tua memiliki peranan dalam menentukan remaja untuk menjadi perokok atau tidak. Selain mengenai pengaruh status merokok pada orang tua terhadap perilaku merokok pada remaja, terdapat pula faktor lain yang memiliki pengaruh terhadap intensi merokok pada remaja.

(29)

Dalam penelitian Richardson et.al (2002) juga diuji variabel demografis seperi jenis kelamin, etnis (suku bangsa), tingkat ekonomi (kesejahteraan), usia, tingkat pendidikan yang memiliki pengaruh terhadap intensi merokok pada remaja. Oleh karena itu, pengaruh variabel demografis tersebut dapat digunakan untuk mengetahui intensi merokok pada remaja.

Beberapa studi menunjukkan konsumsi tembakau lebih banyak dipengaruhi oleh faktor sosial seperti lingkungan pergaulan, terutama pada individu dengan tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah, atau suku bangsa yang minoritas. Penelitian lain mengindikasikan rendahnya self-esteem

berhubungan dengan intensi merokok. Remaja dengan self-esteem yang rendah, ketergantungan pada orang lain, memiliki kekuatan yang lemah, terasingkan dengan lingkungan sosial, memiliki hasil prestasi yang rendah, self-efficacy yang rendah, cenderung akan mudah untuk meniru perilaku merokok pada orang lain dan umumnya terjadi pada remaja wanita dibandingkan remaja pria (Taylor, 2003).

(30)

keluarga juga memicu timbulnya intensi merokok yang tinggi pada remaja (Conrad, et al, 1992).

Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Llyod-Richardson

et.al, (2002) mengenai pengaruh psikologis dan sosial dalam tahapan intensi merokok pada remaja yang salah satunya menguji variabel intrapersonal, keluarga, teman sebaya, depresi, kenakalan remaja, dan pengunaan alkohol. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa penggunaan alkohol secara signifikan berpengaruh terhadap tahapan intensi merokok, yaitu dari tahapan tidak pernah mencoba rokok ke tahapan coba-coba, sehingga pada penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan alkohol lebih menyebabkan munculnya perilaku merokok dibandingkan dengan pengaruh teman.

Penelitian tersebut juga menemukan bahwa faktor-faktor depresi, kenakalan remaja, dan keadaan teman yang merokok juga meningkatkan tahapan intensi merokok pada remaja. Selain itu, hasil penelitian juga menyatakan bahwa teman sebaya tidak memberikan pengaruh terhadap awal munculnya perilaku merokok, namun memberikan pengaruh bagi remaja untuk berada di tahap perokok regular, yaitu tahapan dimana remaja menjadi terbiasa untuk merokok dalam kehidupan sehari-hari.

(31)

Selain pengaruh sosial, pengaruh keluarga maupun pengaruh teman sebaya, studi lain yang dilakukan Rapeah, Munirah, & Latifah, et.al. (2008) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok pada remaja pria menemukan bahwa pengetahuan terhadap rokok, sikap terhadap rokok, status merokok teman, status merokok ayah, ras, pekerjaan orang tua, dan jurusan sekolah berhubungan dengan perilaku merokok pada remaja.

Hal lain yang dapat menjadi alasan mengapa jumlah perokok remaja terus meningkat sepanjang tahun adalah adanya efek stimulasi dari nikotin yang menyebabkan peningkatan perhatian, belajar, waktu reaksi dan kemampuan memecahkan masalah. Selain itu perokok juga melaporkan bahwa menghisap rokok dapat meningkatkan mood, menurunkan ketegangan dan menghilangkan rasa depresif (dalam Kaplan, Sadock & Grebb, 1997).

Oleh karena itu, intensi merokok menjadi penting untuk diteliti karena memberikan pengaruh langsung bagi sikap remaja terhadap rokok dan memberikan informasi mengenai perilaku merokok pada remaja yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan program pencegahan merokok sejak dini demi mengurangi jumlah perokok aktif pada remaja Indonesia. Alasan lain yaitu karena masa remaja merupakan masa transisi yang kritis bagi perkembangan individu sehingga diperlukan pemusatan perhatian terutama dalam perkembangan sosial remaja.

(32)

pada remaja. Alasan lain yang mendorong peneliti untuk melakukan penelitian ini karena masih sedikit pula penelitian yang meneliti tentang sikap, norma subjektif,

perceived behavioral control dengan menambahkan variabel faktor-faktor yang mempengaruhi intensi merokok. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud meneliti mengenai Faktor-faktor Psikologis yang Mempengaruhi Intensi Merokok pada Remaja.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan masalah

Untuk memfokuskan masalah dalam penelitian ini, maka peneliti memberikan batasan masalah sebagai berikut:

1. Intensi merokok yang dimaksud dalam penelitian ini adalah niat seseorang untuk merokok atau tidak merokok.

2. Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi intensi merokok yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu sikap, norma subjektif, perceived behavioral control, kelekatan dengan ayah, kelekatan dengan ibu dan kelekatan dengan teman, self-esteem, pengetahuan mengenai rokok, usia. Selain itu, peneliti juga menambahkan variabel kategorik jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status merokok pada orang tua untuk dilihat pengaruhnya terhadap intensi merokok.

(33)

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dan batasan masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah variabel-variabel psikologis sikap, norma subjektif, perceived behavioral control, kelekatan dengan ayah, kelekatan dengan ibu, kelekatan dengan teman, self-esteem, pengetahuan mengenai rokok, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status merokok pada orang tua memiliki pengaruh terhadap intensi merokok pada remaja?

2. Variabel psikologis manakah yang memiliki pengaruh paling besar dan signifikan terhadap intensi merokok?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan dan mengetahui faktor-faktor dominan yang mempengaruhi intensi merokok pada remaja.

1.3.2 Manfaat penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu:

1.3.2.1 Manfaat teoritis

(34)

1.3.2.2 Manfaat praktis

 Bagi remaja, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan mengenai faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi intensi merokok pada remaja.

 Bagi orangtua, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi mengenai faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi intensi merokok pada anak-anaknya, sehingga berguna sebagai pengawasan dan pencegahan pengunaan rokok.

 Penelitian ini diharapkan memberikan data dan informasi mengenai

faktor-faktor yang mempengaruhi intensi merokok pada remaja yang dapat digunakan bagi tenaga pendidik dan sekolah guna mengawasi, memberikan informasi, dan mengarahkan siswa ke perilaku hidup yang lebih sehat serta untuk melakukan program pencegahan rokok sejak dini.

1.4 Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini terdiri dari lima bab. Adapun perincian setiap bab adalah: BAB 1 : Pendahuluan

Dalam bab pendahuluan ini akan dibahas mengenai latar belakang

(35)

BAB 2 : Kajian Teori

Dalam bab kajian teori ini akan dipaparkan mengenai teori intensi merokok, teori faktor-faktor yang mempengaruhi intensi merokok, teori remaja, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

BAB 3 : Metodologi Penelitian

Dalam bab metodologi penelitian ini akan dibahas mengenai populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data.

BAB 4 : Hasil Penelitian

Dalam bab empat ini, akan dibahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi tiga bagian yaitu, gambaran

umum subjek penelitian, analisis deskriptif, dan hasil pengujian hipotesis penelitian.

BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

(36)

BAB 2

KAJIAN TEORI

Dalam bab kajian teori ini akan dipaparkan mengenai teori intensi merokok, teori faktor-faktor yang mempengaruhi intensi merokok, teori remaja, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

2.1. Intensi Merokok

Sebelum membahas mengenai intensi merokok, maka ada baiknya peneliti mengemukakan teori mengenai intensi terlebih dahulu.

2.1.1. Teori Intensi

2.1.1.1. Definisi intensi

Menurut Chaplin (1999), intensi dapat didefinisikan sebagai maksud, pamrih, keinginan, tujuan, suatu perjuangan guna mencapai satu tujuan, ciri-ciri yang dapat dibedakan dari proses-proses psikologi, yang mencakup referensi atau kaitannya dengan suatu objek.

Fishbein & Ajzen (1975) mengatakan “We have defined intention as a

person’s location on a subjective probability dimension involving a relation

between himself and some action. A behavioral intension, therefore, refers to a

person’s subjective probability that they will perform some behavior.” Kami

(37)

Ajzen (1988) mengatakan “Intentions are assumed to capture the motivational factors that have an impact on a behavior; they are indications of

how hard people are willing to try, of how much of an effort they are planning to

exert, in order to perform the behavior.” Intensi diasumsikan untuk

menggambarkan faktor-faktor motivasional yang memiliki dampak pada perilaku seseorang, yakni merupakan indikasi seberapa kuat seseorang berusaha keras untuk mencoba dan seberapa jauh ia merencanakan usahanya untuk menampilkan perilaku.

Fishbein & Ajzen (1975) mengindikasikan intensi sebagai kesiapan seseorang untuk mewujudkan perilaku tertentu dan dianggap anteseden langsung dari sebuah perilaku. Jika suatu perilaku berada dibawah kendali kemauan, maka usaha orang tersebut akan terwujud sebagai tindakan. Hal ini berarti bahwa disposisi yang paling dekat berhubungan dengan kecenderungan untuk berperilaku secara khusus adalah intensi untuk menampilkan perilaku yang dimaksud.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian intensi adalah niat atau pandangan subjektif seseorang dalam merencanakan dan mencoba objek sikap tertentu untuk memunculkan sebuah perilaku.

2.1.1.2 Spesifikasi intensi

(38)

1. Perilaku (behavior), yaitu perilaku spesifik (khusus) yang akan diwujudkan secara nyata.

2. Target objek (target), yaitu sasaran yang akan dituju oleh perilaku. Elemen ini dapat dibedakan atas: particular object (misalnya nama); a class of object

(misalnya jabatan atau kedudukan); dan any object, yaitu orang pada umumnya.

3. Situasi (situation), yaitu dalam situasi bagaimana perilaku itu diwujudkan. Dalam hal ini situasi dapat diartikan sebagai lokasi atau situasi suasana. 4. Waktu (time), yaitu menyangkut kapan suatu perilaku akan diwujudkan.

Waktu ini dibagi atas: periode waktu yang telah tertentu, dan periode waktu yang tak dibatasi

Dari uraian di atas, maka intensi merupakan perilaku yang bersifat spesifik (khusus), dalam arti sebagai keyakinan seseorang tentang sejauhmana taraf kesulitan atau kemudahan untuk mewujudkan perilaku dalam situasi serta adanya periode waktu dalam memformulasikan niat untuk menampilkan perilaku tertentu.

2.1.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perwujudan intensi

(39)

1. Faktor internal

Berbagai macam faktor internal bagi seseorang dapat mempengaruhi kesuksesan perwujudan intensi berperilaku, adapun faktor tersebut yaitu:

a. Informasi, keterampilan dan kemampuan

Seseorang yang berniat untuk mewujudkan kemungkinan perilaku, disamping mencoba untuk melakukannya, memperlihatkan bahwa ia kekurangan kebutuhan akan informasi, keterampilan dan kemampuan. Sehingga kurangnya informasi, keterampilan dan kemampuan dapat menyebabkan kegagalan dalam usaha untuk mewujudkan intensi berperilaku.

b. Emosi dan kompulsi

Ketidakcocokan keterampilan, kemampuan dan informasi dapat menghasilkan masalah bagi kontrol perilaku, namun biasanya diasumsikan bahwa masalah ini dapat diatasi, seperti pada perilaku kompulsif. Perilaku kompulsif ini dilakukan meskipun intensi dan usaha yang selaras dilakukan untuk melakukan perilaku yang sebaliknya.

2. Faktor eksternal

Kontrol seseorang terhadap pencapaian tujuan-tujuan perilaku dipengaruhi oleh situasi atau faktor lingkungan yang berada diluar individu, yaitu:

a. Kesempatan

(40)

perilaku, seperti seseorang yang berusaha untuk mewujudkan suatu intensi namun gagal karena keadaan lingkungan sekitar menghalanginya. Lingkungan dapat menghambat perilaku untuk mewujudkan perilaku dan akan memaksa untuk merubah rencana, namun tidak selalu dapat merubah intensi seseorang.

b. Ketergantungan pada yang lain

Pada saat perwujudan perilaku tergantung pada tindakan orang lain, ada potensi kontrol yang tidak sempurna terhadap perilaku atau tujuan. Ketidakmampuan untuk berperilaku sesuai dengan intensi dikarenakan ketergantungan pada kebutuhan seseorang tidak mempengaruhi intensi dari motivasi. Kurangnya kesempatan dan ketergantungan pada orang lain seringkali hanya membawa pada perubahan yang sementara pada intensi.

2.1.1.4 Teori Intensi

Adapun teori-teori yang membahas mengenai intensi adalah sebagai berikut:

2.1.1.4.1. Teori Reasoned Action

Menurut teori reasoned action, pembentukan intensi merupakan fungsi dari dua determinan yang menjadi prediktor penentu dalam memunculkan intensi berperilaku, yaitu:

(41)

b. Determinan kedua adalah faktor yang bersifat sosial, yaitu norma subjektif (subjective norms) yang merupakan persepsi seseorang terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku

Fishbein & Ajzen (1975) menjelaskan bahwa keyakinan mengenai suatu perilaku dapat dibentuk melalui pengalaman langsung dengan objek sikap. Keyakinan mengenai konsekuensi dari perilaku ditentukan keyakinan itu sendiri dan intensi untuk memunculkan suatu perilaku pada diri individu biasanya terlebih dahulu diawali dengan mengevaluasi belief-nya. Kerangka konsep mengenai teori reasoned action dapat dilihat dibawah ini:

Bagan 2.1. Teori Reasoned Action Fishbein & Ajzen (1975)

Konsep kerja dalam teori reasoned action (Fishbein & Ajzen, 1975) mengemukakan bahwa terdapat dua determinan utama dalam menentukan intensi melalui belief-nya, yaitu:

1. Sikap seseorang terhadap objek sikap ditentukan melalui behavioral beliefs

(keyakinan-keyakinan mengenai berbagai konsekuensi dalam memunculkan sikap).

Behavioral Belief

Subjective norm

Behavior Intention Attitude

toward the behavior

(42)

2. Norma subjektif ditentukan melalui normative beliefs (keyakinan-keyakinan terhadap pemikiran referen atau rujukan dalam menampilkan atau tidak menampilkan perilaku yang dipertanyakan).

Menurut teori reasoned action, kedua komponen utama yang menentukan intensi perilaku seorang individu dapat memberikan pertimbangan empiris. Secara simbolis, rumus utama teori dapat diwakili sebagai berikut:

B ~ I = (AB) w1 + (SN) w2

Pada rumus diatas, B (behavior) adalah perilaku; I adalah intensi untuk mewujudkan perilaku BI; AB (attitude) adalah sikap terhadap terwujudnya perilaku

B; SN (subjective norm) adalah norma subjektif; dan w1 dan w2 adalah pertimbangan yang menentukan secara empiris (Fishbein & Ajzen, 1975).

Selanjutnya, Fishbein & Ajzen (1975) mengemukakan bahwa intensi berperilaku adalah sebuah fungsi jumlah yang dipengaruhi oleh dua variabel: 1. Yang pertama, AB, adalah sikap terhadap terwujudnya perilaku tertentu

dibawah seting lingkungan yang ada, ia merupakan sebuah fungsi persepsi tentang konsekuensi terwujudnya perilaku itu, dan evaluasi seseorang terhadap konsekuensi yang terjadi. Sehingga rumusannya seperti dibawah ini:

A

B

=

=1 ��
(43)

2. Yang kedua, SN, adalah komponen normatif yang berhubungan dengan pengaruh sosial terhadap perilaku. Keseluruhan norma subjektif ditentukan oleh persepsi tentang harapan mengenai rujukan individu-individu atau kelompok tertentu yang menjadi rujukan, dan melalui motivasi seseorang untuk tunduk terhadap harapan tersebut (motivation to comply). Secara simbolik dapat dilihat pada rumusan dibawah ini:

SN = =1

Dimana bi adalah kepercayaan normatif atau normative belief seperti

kepercayaan seseorang bahwa kelompok atau individu (i) yang menjadi rujukan pemikiran harus atau tidak untuk diwujudkan menjadi perilaku B; mi

adalah motivasi untuk tunduk atau motivation to comply dengan rujukan dari

i; dan n adalah jumlah rujukan yang relevan.

2.1.1.4.2. Teori Planned Behavior

Dalam Ajzen (2005) dijelaskan bahwa intensi terkadang memprediksi perilaku dengan lebih akurat, namun tidak berarti menyediakan banyak informasi tentang alasan dari sebuah perilaku sehingga ada pengembangan dari teori reasoned action.

(44)

Perbedaannya adalah terdapat tiga rumusan dalam teori planned behavior

yaitu sikap dan norma subjektif (sesuai dengan teori reasoned action) dan menambahkan konstruk tambahan yaitu perceived behavioral control

(pemahaman kontrol perilaku).

Konstruk ini menunjuk pada pemahaman akan kemudahan atau kesulitan dalam menampilkan perilaku dan diasumsikan sebagai cerminan akan pengalaman masa lalu sebagai antisipasi tehadap hambatan dan rintangan. Semakin favorable sikap dan norma subjektif terhadap perilaku, dan semakin baik perceived behavioral control maka semakin kuat bagi individu untuk menampilkan intensi berperilaku dibawah pertimbangannya.

Menurut Ajzen (1988), sesuai dengan teori planned behavior, intensi (dan perilaku-perilaku) adalah fungsi dari tiga penentu dasar:

1. Sifat dasar manusia, yaitu sikap terhadap perilaku yang dimiliki seseorang. 2. Refleksi pengaruh sosial, yaitu persepsi seseorang mengenai tekanan sosial

untuk mewujudkan atau tidak mewujudkan perilaku dibawah pertimbangan-timbangan

3. Isu-isu pengontrol, yaitu perasaan self-efficacy atau kemampuan untuk mewujudkan perilaku, dinamakan persepsi kontrol perilaku (perceived control behavior).

(45)

Kerangka kerja dari teori planned of behavior dapat dilihat pada bagan 2.2 dibawah ini:

Bagan 2.2. Teori Planned Behavior Icek Ajzen (1988)

Bagan 2.3 menunjukkan dua hal utama dari teori planned behavior yaitu:

1. Pertama, teori planned behavior berasumsi bahwa perceived behavioral control memiliki implikasi motivasional bagi intensi. Seseorang yang percaya apakah mereka tidak memiliki sumber atau kesempatan untuk mewujudkan perilaku tertentu sepertinya tidak akan mewujudkan intensi berperilaku, walaupun jika mereka memiliki sikap terhadap perilaku yang baik dan percaya pentingnya orang lain akan menerima perwujudan perilaku mereka.

Ajzen (2005) mengharapkan ikatan antara perceived behavioral control dan intensi tidak diperantarai oleh sikap dan norma subjektif. Harapan tersebut ditunjukkan pada tanda panah antara perceived behavioral control dengan intensi. Tanda panah putus-putus pada bagan 2.2 mengindikasikan bahwa hubungan antara perceived behavioral control yang diharapkan timbul

Attitude toward the

behavior

Subjective norm

Perceived behavioral control

(46)

hanya ada ketika persetujuan antara persepsi kontol dan kontrol sebenarnya yang dimiliki seseorang terhadap perilaku.

2. Kedua yaitu kemungkinan hubungan yang langsung antara perceived behavioral control dan intensi. Perwujudan perilaku tidak hanya bergantung pada motivasi untuk melakukannya, namun juga melalui kontrol adekuat terhadap perilaku yang dipertanyakan. Perceived behavioral control dapat mempengaruhi perilaku secara tidak langsung, melalui intensi, dan dapat pula digunakan untuk memprediksi perilaku secara langsung karena ia dapat dianggap perwakilan atau bagian substitusi untuk mengukur kontrol sebenarnya.

Menurut Ajzen (1988), terdapat tiga jenis beliefs yang dianggap sebagai

antecedent (hal-hal yang mendahului) intensi yaitu: behavioral beliefs yang diasumsikan mempengaruhi sikap terhadap perilaku, normative beliefs yang menyusun dasar determinan norma subjektif, dan control beliefs yang menjadi dasar bagi persepsi dari kontrol perilaku.

Belief-belief ini dapat didasarkan akan pengalaman masa lalu terhadap perilaku, namun biasanya dipengaruhi oleh informasi dari orang kedua tentang perilaku tersebut, melalui pengamatan dan pemberitahuan dari teman, atau melalui faktor lain yang meningkatkan atau mengurangi kesulitan persepsi dalam menampilkan perilaku yang dipertanyakan.

(47)

perceived behavioral control terhadap perilaku semakin baik. Teori planned behavior dengan tambahan belief-belief dapat dilihat dibawah ini:

Bagan 2.3. Beliefs sebagai Fondasi Informasi dari Intensi dalam Teori

Planned Behavior Icek Ajzen (2005)

2.1.1.5 Faktor-faktor yang melatarbelakangi intensi

Ajzen (2005) dalam teori planned of behavior menyebutkan bahwa banyak variabel yang mungkin berhubungan atau mempengaruhi kepercayaan yang seseorang pegang, seperti umur, jenis kelamin, etnis, status sosial ekonomi, pendidikan, kebangsaan, agama, keanggotaan, kepribadian, suasana hati, emosi, sikap, dan nilai secara umum, intelegensi, anggota kelompok tertentu, pengalaman masa lalu, paparan informasi, dukungan sosial, kemampuan coping dan lainnya.

Faktor-faktor yang melatarbelakangi ini dibagi ke dalam kategori personal, sosial dan informasi. Teori planned behavior mengenali potensi yang penting ini sebagai faktor yang melatarbelakangi. Teori-teori seperti ini bukan merupakan

Subjective norm

Perceived behavioral

control

Behavior Intention

Normative Beliefs

X

Motivation to comply

Control Beliefs X

Infulence of Control Belief

Attitude toward behavior Behavioral Beliefs

X

(48)

bagian dari model planned behavior namun dapat menggantikannya dengan mengidentifikasikan faktor-faktor yang melatarbelakangi yang relevan dan dengan demikian memperdalam pemahaman tentang penentu-penentu perilaku.

Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang berbeda dapat memiliki informasi yang berbeda tentang isu-isu yang berbeda, informasi yang menyediakan dasar bagi kepercayaan mereka tentang konsekuensi sebuah perilaku, tentang pengharapan normatif, tentang pentingnya seseorang, tentang penghalang yang dapat mencegah mereka dalam mewujudkan perilaku. Peranan faktor-faktor tersebut dapat dilihat dibawah ini:

Bagan 2.4. Peranan Faktor-faktor yang Melatarbelangi Perilaku dalam

Teori Planned Behavior Icek Ajzen (2005)

Garis terputus-putus yang terdapat dalam gambar 2.5 menjelaskan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi yang diberikan dapat mempengaruhi sikap,

(49)

normatif, atau kontrol kepercayaan, namun tidak ada hubungannya antara faktor-faktor yang melatarbelakangi dengan keyakinan atau beliefs. Faktor-faktor yang melatarbelakangi tersebut adalah sebagai sikap umum yang mempengaruhi intensi dan perilaku secara tidak langsung melalui dampaknya pada keyakinan terhadap perilaku, normatif atau kontrol perilaku dan dampaknya pada sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control.

2.1.2 Intensi Merokok

Sebelum membahasa mengenai pengertian intensi merokok, penulis ingin menjelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian rokok.

2.1.2.1 Definisi perilaku merokok

McKim (2007) mengatakan bahwa daun tembakau merupakan golongan dari tumbuhan nicotiania yang memiliki dua sub golongan yaitu rustica dan tabacum. Namun sumber utama tembakau berasal dari nicotiana tabacum.

Gurung (2006) mendefiniskan rokok sebagai daun kering (tembakau) yang dibungkus kertas kecil berbentuk silinder dan dibakar serta dihirup ke paru-paru. Menurutnya, penggunaan rokok dilakukan dengan cara membakar pada salah satu ujung yang biasa disebut sumbu rokok, dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup melalui mulut pada ujung lain, atau biasa disebut ujung penghisap.

(50)

dijumpai. Nikotin adalah obat yang bersifat adiktif, yaitu suatu bahan atau zat yang apabila digunakan dapat menimbulkan kecanduan dan ketergantungan.

Sarafino (1990) mengemukakan pengertian perilaku merokok, “the people

living here would set fire to leaves – rolled up or in pipes – and draw in the smoke

through their mouths..the leaves these people used were tobacco.” Individu dapat

membakar dedaunan yang dilinting atau diletakkan pada pipa kecil dan menghisapnya melalui mulut mereka, dedaunan yang digunakan yaitu tembakau. Perilaku tersebut dikatakan sebagai perilaku merokok.

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok adalah kegiatan membakar dan menghisap rokok melalui mulut yang dihirup melalui saluran pernapasan dan dilakukan secara berulang-ulang.

2.1.2.2 Definisi intensi merokok

Menurut Sarafino (1990), perilaku merokok merupakan kegiatan membakar, menghisap dan memegang rokok yang dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan intensi menunjukkan seberapa kuat seseorang bersedia mencoba, seberapa jauh ia merencanakan untuk melakukannya (Fishbein & Ajzen, 1975).

(51)

2.1.2.3 Pengukuran intensi merokok

Berdasarkan teori planned behavior, maka pengukuran intensi dapat dilakukan melalui:

B ~ I = (AB) w1 + (SN) w2 + (PBC) w3

Pada rumus diatas, B (behavior) adalah perilaku; I adalah intensi untuk mewujudkan perilaku BI; AB (attitude) adalah sikap terhadap terwujudnya perilaku

B; SN (subjective norm) adalah norma subjektif; PBC (perceived behavioral

control) adalah persepsi kontrol perilaku; dan w1, w2 dan w3 adalah pertimbangan yang menentukan secara empiris (Ajzen, 2005).

Secara keseluruhan, intensi dapat diukur secara langsung dengan menanyakan subjek untuk mengindikasikan apakah ia akan menampilkan perilaku yang positif atau negatif terhadap objek sikap tertentu, situasi dan waktu dimana perilaku tersebut diwujudkan.

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi intensi merokok

(52)

2.2.1. Sikap

2.2.1.1. Definisi sikap

Fishbein & Ajzen (1975) mendefinisikan sikap sebagai “An attitude represents a

person’s general feeling of favorableness or unfavorableness toward some

stimulus object.” Suatu sikap merupakan perasaan umum seseorang berupa perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek sikap.

Menurut Sarlito W. Sarwono (2009), sikap merupakan proses evaluasi yang sifatnya internal atau subjektif, yang berlangsung dalam diri seseorang dan tidak dapat diamati secara langsung. Sikap dapat diketahui melalui pengetahuan, keyakinan, perasaan, dan kecenderungan tingkah laku seseorang terhadap objek sikap.

Menurut Fishbein & Ajzen (1975), sikap merupakan konsep yang dibentuk oleh tiga komponen, adapun komponen tersebut yaitu:

1. Kognisi, yaitu sebagai tempat pengetahuan, pendapat, keyakinan, dan pikiran tentang suatu objek, meliputi opini dan keyakinan (beliefs).

2. Afek, yaitu suatu perasaan atau evaluasi terhadap objek, meliputi perasaan dan evaluasi (sikap).

(53)

2.2.1.2. Aspek-aspek sikap

Menurut Fishbein & Ajzen (1975), aspek-aspek sikap terdiri atas:

1. Behavioral belief, yaitu keyakinan-keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap suatu perilaku tertentu dan merupakan keyakinan yang akan mendorong munculnya sikap. Setiap behavioral belief terhubungkan dengan perilaku terhadap suatu hasil tertentu, atau terhadap sifat lainnya, atau atribut lainnya seperti hasil yang didapat saat terjadinya suatu perilaku.

2. Outcome evaluation, yaitu evaluasi yang berbentuk positif atau negatif terhadap perilaku yang diminati atau yang akan dipilih untuk ditampilkan berdasarkan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya. Evaluasi masing-masing hasil yang menonjol memberikan sumbangan terhadap sikap dalam proporsi terhadap kemungkinan subjektifitas seseorang bahwa perilaku akan menghasilkan hasil tertentu.

2.2.1.3 Terbentuknya sikap

Menurut Sarlito W. Sarwono (2009), sikap dibentuk melalui proses belajar sosial, yaitu proses dimana individu memperoleh informasi, tingkah laku, atau sikap baru dari orang lain. Adapun pembentukan sikap melalui empat macam pembelajaran adalah:

(54)

menjadi suatu isyarat bagi rangsang yang kedua. Lama-kelamaan, orang akan belajar jika stimulus pertama muncul, maka akan diikuti oleh stimulus kedua. 2. Pengondisian intrumenral (instrumental conditioning)

Proses pembelajaran terjadi ketika suatu perilaku mendatangkan hasil yang menyenangkan bagi seseorang, maka perilaku tersebut akan diulang kembali. Sebaliknya, bila perilaku mendatangkan hasil yang tidak menyenangkan bagi seseorang, maka perilaku tersebut tidak akan diulang lagi atau dihindari. 3. Belajar melalui pengamatan (observational learning learning by example)

Proses pembelajaran dengan cara mengamati perilaku orang lain, kemudian dijadikan sebagai contoh untuk berperilaku serupa.

4. Perbandingan sosial (social comparison)

Proses pembelajaran dengan membandingkan orang lain untuk mengecek apakah pandangan kita mengenai suatu hal adalah benar atau salah. Kita menyamakan diri kita dengan mengambil ide-ide dan sikap-sikap mereka.

2.2.1.3. Pengukuran sikap

Proses terbentuknya sikap terhadap tingkah laku dijelaskan melalui expectancy-value model. Model ini merupakan model deskriptif yang menggambarkan bagaimana belief yang berbeda-beda dan evaluasi terhadap atribut-atributnya dikombinasikan dan diintegtrasikan sehingga menjadi suatu evaluasi tentang objek (Fishbein dan Ajzen, 1975).

(55)

Dimana A adalah sikap terhadap perilaku B; bi adalah behavioral beliefs (kemungkinan subjektif) yang mewujudkan perilaku B yang akan menghasilkan i;

ei adalah evaluation outcome (hasil evaluasi) i; dan jumlahnya datang dari behavioral beliefs (kepercayaan perilaku) yang dapat diperoleh pada saat itu.

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan mengalikan probabilitas subjektif atau kekuatan kepercayaan (belief strength) seseorang bahwa perilaku yang dilakukannya menghasilkan konsekuensi tertentu dengan evaluasinya (outcome evaluation) terhadap setiap konsekuensi tersebut dan menjumlahkan agar diperoleh nilai total seperangkat belief.

Jadi, sikap seseorang terhadap tingkah laku tersebut merupakan fungsi dari

belief-belief-nya, bahwa dilakukannya tingkah laku tersebut akan menghasilkan konsekuensi-konsekuensi tertentu (behavioral belief) dan juga oleh evaluasinya tentang konsekuensi-konsekuensi tersebut (evaluation outcome).

2.2.2 Norma Subjektif

2.2.2.1 Definisi norma subjektif

Fishbein & Ajzen (1975) mendefinisikan norma subjektif sebagai keyakinan seseorang mengenai pengaruh lingkungan sosial terhadap dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu.

(56)

subjektif, yaitu sejauhmana individu bersedia melakukan suatu perilaku berdasarkan orang-orang yang berarti bagi individu.

Dengan demikian, untuk menentukan keyakinan normatifnya maka individu mempertimbangkan pendapat orang lain tentang perilakunya. Jadi, norma subjektif ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh dari lingkungan sosial individu terhadap perilaku seseorang.

2.2.2.2 Aspek-aspek norma subjektif

Aspek norma subjektif menurut Fishbein dan Ajzen (1975) terbagi menjadi: 1. Keyakinan normatif (normative belief), yaitu keyakinan yang berhubungan

dengan harapan dan keinginan dari referen yang dianggap penting baginya mengenai sebuah perilaku yang mempengaruhi seorang individu untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut.

2. Motivasi untuk mematuhi (motivation to comply), yaitu motivasi seorang individu untuk mengikuti harapan orang lain atau sekelompok orang atau referen untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku.

2.2.2.3 Terbentuknya norma subjektif

(57)

dianggap penting baginya mengharapkan individu untuk tidak melakukan perilaku tertentu, maka individu tidak akan melakukan atau menghindari perilaku tersebut.

Dalam kebanyakan perilaku, seseorang sering melihat pada rujukan atau referen, yaitu orang yang dianggap penting yang membuat mereka termotivasi dan menuruti pemikiran dari rujukan tersebut, seperti dari orang tua, tunangan, teman terdekat, rekan kerja, sesuai dengan perilaku yang dituju, atau dari para ahli.

2.2.2.3. Pengukuran norma subjektif

Hubungan antara kepercayaan normatif dan norma subjektif diekspresikan secara simbolis dalam rumus dibawah ini:

SN

Dimana SN adalah subjective norm (norma subjektif); ni adalah normative beliefs (kepercayaan normatif) yang dirujuk oleh i; mi adalah motivation to comply atau motivasi seseorang untuk mengikuti rujukan i; dan jumlahnya adalah jumlah

normative beliefs (kepercayaan normatif) yang dapat diukur.

Norma subjektif dapat diukur secara langsung dengan meminta responden untuk mengukur bagaimana kebanyakan orang yang penting bagi mereka akan setuju terhadap perilaku yang dilakukan.

2.2.3 Perceived Behavioral Control

2.2.3.1 Definisi perceived behavioral control

(58)

laku. Menurut Franzoi (2006), perceived behavioral control adalah persepsi mengenai kemudahan atau kesulitan individu dalam menampilkan perilaku.

Menurut Sarlito W. Sarwono (2009), perceived behavioral control

diasumsikan mencerminkan pengalaman masa lalu dan antisipasi terhadap hambatan yang mungkin terjadi ketika melakukan sebuah perilaku.

Dari berbagai definisi diatas maka dapat disimpulkan perceived behavioral control merupakan persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan dalam menampilkan perilaku yang merupakan bagian dari pengalaman masa lalu dan antisipasi terhadap hambatan yang mungkin terjadi.

2.2.2.3 Aspek-aspek perceived behavioral control

Adapun komponen dan aspek perceived behavioral contol (dalam Francis, 2004) adalah:

1. Control beliefs, yaitu seberapa besar kontrol terhadap perilaku yang dimiliki individu untuk menghalangi atau memfasilitasi dalam menampilkan perilaku. 2. Power of control beliefs, yaitu seberapa besar atau kecil kemungkinan pengaruh control keyakinan seseorang untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku.

2.2.2.4 Terbentuknya perceived behavioral control

(59)

tertentu serta persepsi individu yang lebih menekankan atau mempertimbangkan beberapa hambatan realistis yang ada dalam menampilkan tingkah laku.

Perceived behavioral control mencerminkan pengalaman masa lalu dan rintangan-rintangan yang diantisispasikan dalam menampilkan tingkah laku. Semakin besar kemampuan dan kesempatan yang dimiliki dan semakin kecil rintangan atau hadangan yang mereka miliki, maka semakin besar perceived behavioral control yang dimiliki individu.

Perceived behavioral control biasanya juga dipengaruhi oleh informasi dari orang kedua tentang perilaku, dengan mengobservasi pengalaman dari rekan-rekan dan teman, serta faktor lainnya yang meningkatkan atau menurunkan persepsi tentang kesulitan dalam perwujudan perilaku tertentu.

Semakin banyak sumber yang dibutuhkan dan kesempatan seseorang yang ia miliki, dan lebih sedikit penghalang atau penghambat yang mereka antisipasi, semakin baik perceived behavioral control.

2.2.2.5 Pengukuran perceived behavioral control

Menurut Ajzen (2005), perceived behavioral control dapat diukur melalui dua cara, yaitu dengan mengukur belief-belief individu tentang kemampuan dan kesempatan yang dimiliki untuk menampilkan tingkah laku tertentu. Cara kedua adalah dengan mengukur secara langsung kontrol yang dimiliki individu dalam menampilkan tingkah laku tertentu.

(60)

digunakan adalah pengukuran dengan cara pertama melalui belief-belief individu tentang faktor-faktor yang menghambat dan mendorong mereka untuk melakukan tingkah laku.

Perceived control behavior dapat diukur dengan rumus berikut ini: PBC ∞

Dimana PBC adalah perceived behavioral control (persepsi kontrol perilaku); ci adalah control belief yang diberikan oleh faktor i; pi adalah kekuatan dari faktor i untuk memfasilitasi atau menghambat terjadinya perilaku; dan hasilnya dapat dilihat dari jumlah control beliefs yang dapat diukur.

Pengukuran langsung perceived behavioral control dapat dilakukan dengan cara lain, yaitu menanyakan responden apakah mereka yakin bahwa mereka sanggup untuk mewujudkan perilaku yang diminatinya.

2.2.4. Kelekatan dengan Orang Tua dan Teman (Attachment)

2.2.4.1. Attachment sebagai pengaruh yang diberikan lingkungan keluarga

Beberapa penelitian (dalam Sarafino, 1990) mengemukakan bahwa seseorang mulai merokok dipengaruhi oleh orang tua atau saudara yang merokok yang dapat ditiru berdasarkan pembelajaran sosial. Attachment of parent and peer dapat dilihat sebagai pengaruh pembelajaran sosial pada remaja untuk meniru perilaku yang didapatkan dari keluarga dan lingkungan pergaulan.

(61)

memberikan dukungan sosial, orang tua dan saudara-saudara yang lebih tua adalah model penting bagi kesehatan remaja (Elliott, 1993, dalam Santrock).

<

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.3
Tabel 3.15
Tabel 3.24
+7

Referensi

Dokumen terkait

dapat dirujuk ketika Rasulullah saw membuat sebuah perjanjian yang dikenal dengan “Piagam Madinah” yang memberikan aturan hidup bagi masyarakat Islam pendatang ( muhajirin )

Meskipun perpustakaan bermanfaat sebagai salah satu sumber belajar untuk semua mata pelajaran (termasuk pelajaran sejarah), namun dalam kenyataan ada kecenderungan

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

manta sendiri dipilih karena ikan ini jarang sekali dipakai untuk dijadikan sebuah motif dalam dunia tekstil. Ikan pari manta memiliki keunikan fisik yang berbeda dengan ikan