• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan yang terjadi di tingkat lembaga-lembaga politik lokal tentunya memiliki implikasi terhadap eksistensi elit yang sedang berkuasa dan kelompok-kelompok yang ingin melakukan perubahan. Untuk melihat keterlibatan elit

59

Garry, Stoker. 1991. The Politics of Local Government. Second Edition. London: The MacMillan Press Ltd Houndmills. Besing Stoke. Hampshir.

organisasi pemuda/preman di kota Medan – sebagai bagian kelompok penguasa lama dalam menguasai perangkat lembaga politik lokal seperti partai politik lokal, DPRD, dan eksekutif yang baru – maka akan dikemukakan pandangan dari Moska dan Bottomore. Keduanya berpendapat tentang dinamika perputaran yang terjadi di kalangan elit. Perputaran ini mengacu pada proses di mana individu-individu berputar di antara elit dan nonelit ataukah mengacu pada proses di mana elit satu digantikan oleh elit yang lain. Teori ini menjelaskan bahwa dalam situasi lingkungan sekitar yang berubah, baik secara ekonomi dan politik, setiap elit akan berusaha mempertahankan eksistensinya sebagai kelompok yang berkuasa dan menduduki posisi-posisi komando serta berhak dalam memutuskan suatu persoalan.

Dalam konteks demikian, Moska misalnya menerangkan bahwa perputaran elit terjadi akibat adanya kondisi sosial dari karakteristik individu elit tersebut. Menurut Moska lebih dari apapun tradisi dan lingkungan menjadi sesuatu yang membuat mereka terus berada pada strata tertentu dalam masyarakat.60 Artinya, bahwa Mosca dan orang-orang yang sepemikiran dengannya (seperti Pirene dan Schumpeter) melihat kelompok sosial baru dapat terbentuk atau yang lama bertahan akibat adanya perubahan ekonomi, politik atau kultural. Bagi mereka yang menjalani aktivitas yang sangat vital untuk masyarakat luas cenderung akan bertahan dalam posisi yang kuat, sehingga pada saatnya bisa membuat atau ikut dalam perubahan sistem politik dan struktur sosial secara keseluruhan.61 Dalam penelitian ini, teori Mosca tersebut secara khusus akan memberi perhatian elit-elit yang berperan dalam organisasi pemuda/preman dalam konteks perubahan politik lokal yang terjadi di Indonesia. Sehingga pembahasan ini akan mengarah pada apa yang harus dan telah dilakukan oleh elit-elit tersebut untuk mempertahankan eksistensi mereka dalam satu perubahan politik.

Bottomore sendiri, dalam konteks elit, lebih operatif untuk melihat eksistensi elit dalam perubahan ekonomi, sosial, dan politik. Bottomore memberi perhatian pada peran intelektual, manajer, dan birokrat. Dari ketiga profesi

60

Mosca, sebagaimana ditulis oleh T.B. Bottomore. 2006. Elite dan Masyarakat. terjemahan. Jakarta: Akbar Tanjung Institut. hal. 68.

tersebut, menurut Bottomore, tidak satu pun yang dapat membentuk elit kekuasaan secara independen. Sebesar apapun kekuatan mereka membuat kebijakan, mereka pada akhirnya tetap tunduk pada kontrol otoritas politik dan konflik antar partai.

Di negara demokratis, kontrol merupakan salah satu alat yang membuat mekanisme demokrasi menjadi efektif.62 Kontrol yang dimaksud adalah seperangkat nilai (baca: ideologi) dalam bentuk konsep atau program yang diajukan oleh kelompok-kelompok fungsional tersebut agar bisa dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan politik. Pendekatan Bottomore dapat dijadikan sebagai dasar bahwa kelompok-kelompok elit yang tergabung dalam organisasi-organisasi harus masuk dalam otoritas politik seperti partai politik dan legislatif. Ini merupakan bentuk penerapan dari konsep demokrasi.

Dalam studi ini, akan dilihat bahwa eksistensi organisasi pemuda/preman itu akan tetap ada jika mereka masuk ke dalam otoritas politik yang ada seperti partai politik dan legislatif. Karena sesunggunya kelompok-kelompok fungsional tersebut selalu bergabung dengan kelompok kepentingan atau partai politik dan justru bisa kedua-duanya untuk mendapatkan kekuasaan politik. Dalam konteks studi ini, yang dimaksud dengan kelompok kepentingan adalah organisasi pemuda/preman. Sedangkan kelompok fungsional itu adalah orang-orang yang duduk sebagai pimpinan atau elit organisasi pemuda/preman tersebut.

1.4.5. Demokratisasi

Bertahannya kekuatan lama dalam transisi demokrasi, seperti yang dialami Indonesia dapat dilihat dari O’Donnel dan Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule63. Keduanya berpendapat bahwa:

”... transisi dari suatu rezim otoriter menuju ’sesuatu yang lain’ yang belum jelas. Sesuatu itu bisa jadi adalah ditegakkannya demokrasi politik,

62Ibid. hal 85-111.

63 Literatur tentang hal ini sangat banyak. Namun, cirri-ciri pokoknya secara ringkas dan padat dipaparkan dalam Guillermo O’ Donnell dan Philippe C. Schmitter. 1986. Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies. Baltimore: John Hopkins University Press.

bisa jadi pula pemulihan kembali suatu bentuk pemerintahan otoriter baru yang lebih kejam. Bisa jadi pula akhirnya adalah semata-mata kekacauan, yakni rotasi pemerintahan secara berganti-ganti namun gagal memberikan suatu solusi yang mapan atau prediktabel terhadap masalah-masalah pelembagaan kekuasaan politik. Transisi-transisi tersebut bisa juga berkembang menjadi merebaknya konfrontasi-konfrontasi kekerasan...”64

Teori tersebut kelihatan sangat menekankan pada ’unsur-unsur kebetulan dan tidak memprediksikan implikasi yang akan muncul, serta keputusan-keputusan krusial yang diambil secara tergesa-gesa dengan informasi yang tidak memadai. Premis yang digunakan didasarkan pada situasi-situasi yang tidak menentu yang sering menandai keruntuhan rezim-rezim otoriter. Karena itu, titik berat pemikiran ini adalah pakta-pakta elit yang muncul dalam proses negosiasi dan penataan transisi sistem politik. Untuk melihat proses berlangsungnya transisi demokrasi, Huntington mengenalkan empat model proses transisi itu berlangsung menuju ke bentuk demokrasi yaitu transformasi (transformation), penggantian (replecement), intervensi (intervention), dan transplasi (transplacement).65

Pada model transformasi, pemerintah meliberalisasi sistem politik yang ada, demokrasi datang dari atas. Transisi ini terjadi ketika negara (state) kuat dan masyarakat sipil (civil society) lemah. Model transisi yang kedua adalah penggantian, di mana pemerintah dipaksa menyerahkan kekuasaannya dan digantikan oleh kekuatan-kekuatan oposisi, demokratisasi muncul dari bawah. Transisi model ini terjadi ketika negara lemah dan masyarakat sipil kuat. Model ketiga adalah campuran antara transformasi dan penggantian. Model ini terjadi karena pemerintah masih kuat dan kekuatan-kekuatan oposisi tidak cukup kuat untuk menggulingkan penguasa yang ada. Jadi, sebuah proses negosiasi berlangsung antara pemerintah dan oposisi untuk menentukan transformasi sistem politik bertahap menuju sistem politik yang lebih demokratis. Model keempat adalah intervensi, model ini adalah transisi menuju demokrasi yang dipaksakan oleh kekuatan dari luar (bisa dari negara lain).

64 O’ Donnell dan Schmitter. 1993. Transisi Menuju Demokrasi, Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jilid III. Penerjemah Nurul Agustina. Jakarta: LP3ES. hal. 3

65

Samuel Huntington dalam Arif Budiman. dkk. 2000. Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indonesia. Penerjemah Haryono (Koordinator). Yogyakarta: PT. Bayu Indra Grafika. hal. 52-53.

Studi transisi umumnya terfokus pada peran aktor, termasuk elit lama, untuk menjelaskan proses tersebut. Sorensen lebih lanjut mengatakan, sangat jarang terjadi transisi menuju demokrasi didasari oleh kekalahan mutlak para elit yang berdiri di belakang pemerintahan otoriter sebelumnya. Pada sebagian besar kasus, transisi menuju demokrasi didasarkan atas negosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang mendukung rezim otoriter. Dukungan elit pada demokrasi seringkali didasarkan pada kepentingan pribadi. Oleh karena itu, dukungan tersebut bersifat rapuh dan kondisional. Dalam negosiasi yang menyertai transisi menuju demokrasi, elit akan mencoba untuk menyimpan kartunya dalam rangka memastikan bahwa lembaga-lembaga demokrasi yang disiapkan tidak mengancam kepentingan dasar mereka.66

Melihat model transisi di Indonesia dari tiga model tersebut, Arief Budiman memprediksi bahwa transisi melalui jalur transplasi, yakni negosiasi antara pemerintah dengan kelompok-kelompok oposisi menjadi model yang paling mungkin.67 Transisi menuju demokrasi bukanlah proses dalam semalam. Secara umum, seperti dikatakan Soronsen, transisi menuju pemerintahan demokratis merupakan sebuah proses yang kompleks dan bersifat jangka panjang dan melibatkan sejumlah tahapan.68

Jika dikaitkan dengan desentralisasi, transisi demokrasi di Indonesia berlangsung secara bersamaan. Dalam tulisan yang ekstrim, disampaikan oleh Vedi R. Hadiz, bahwa tercerai berainya Orde Baru sama sekali tidak diikuti – dan barangkali tidak bersifat sementara – dengan tampilnya sebuah rezim demokratis, di mana transparansi, akuntabilitas, aturan hukum atau keadilan sosial menduduki tempat tertinggi. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia tidak dapat dihubungkan dengan gambaran ideal praktik-praktik demokrasi liberal, melainkan lebih dekat dengan bentuk pemerintahan demokratik yang disokong politik uang, bosisme, kriminalitas, dan kekerasan, sebagaimana terjadi di Thailand atau Filipiha.69 Transisi dalam desentralisasi ini kemudian tidak

66Ibid. hal. 49-50. 67Ibid. hal. 59.

68 Georg Soronsen. 1989. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & CCSS. hal. 42.

69 Lihat Daniel Arghiros, Democracy, Development, and Decentralization in Provincial Thailand, sebagaimana ditulis dalam Vedi R. Hadiz. Op. Cit. hal. 256-257.

menunjukkan tanda-tanda menuju suatu rezim liberal demokratik yang lebih baik. Bahkan, tahap ini boleh jadi bukan merupakan transisi sama sekali, dalam arti pola-pola dan dinamika-dinamika pokok dari penggunaan kekuasaan sosial, ekonomi dan politik, yang telah dimapankan pada masa-masa sebelumnya akan tetap bertahan selama beberapa waktu ke depan. Dengan kata lain, berbagai bentuk kekerasan, pembelian suara, serta tuduhan atas pembunuhan politik dan penculikan, mungkin bukan merupakan gejala dari perkembangan yang mengarah pada terbentuknya sistem liberal-demokratik70.

Dari uraian Hadiz tersebut, organisasi pemuda (PP, IPK, dan FKPPI) sering terlibat dalam aktivitas premanisme itu. Ketika adanya pemilu, pemilihan kepala daerah di kota Medan, anggota organisasi pemuda itu dimobilisasi secara khusus untuk alasan keamanan yang disewa oleh kelompok tertentu. Dengan otot dan uang, mereka secara potensial juga mampu mempengaruhi keputusan politik di tingkat lokal seperti digunakannya kekuatan organisasi pemuda itu untuk mengamankan beberapa keputusan organisasi sampai ke tingkat yang paling bawah.

Dokumen terkait