BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Amandemen konstitusi yang terjadi, setelah jatuhnya Orde Baru,
merupakan salah satu wujud dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap
juga sebagai tindakan nyata reformasi kelembagaan yang dibutuhkan dalam
praktek konsolidasi demokrasi setelah mengalami fase pemerintahan otoriter
Orde Baru. Sejak itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang
lebih terbuka dan demokratis dan ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan
politik. Perubahan mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945
diantaranya adalah rekrutmen pejabat negara, baik yang duduk di legislatif
maupun eksekutif, pusat maupun daerah yang dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum.
Pemilihan umum diakui sebagai sebuah arena untuk membentuk
pemerintahan demokrasi perwakilan serta menggelar pergantian pemerintahan
secara berkala dan damai. Dalam sistem politik demokrasi, salah satu unsur
pentingnya adalah penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dan
kepala eksekutif di tingkat nasional dan lokal harus dilakukan secara bebas dan
adil. Pemilihan umum juga merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi
atau kontestasi antaraktor politik untuk meraih kekuasaan, partisipasi politik
rakyat untuk menentukan liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara1.
Urgensi pemilu dalam sistem politik demokrasi, setidaknya dilandasi atas
empat argumentasi. Pertama, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara
negara, baik yang duduk dalam lembaga legislatif maupun eksekutif di pusat dan
daerah. Mereka ini bertindak atas nama rakyat dan
mempertanggung-jawabkannya kepada rakyat. Kedua, pemilihan umum merupaka prosedur dan
1
mekanisme pemindahan perbedaan aspirasi dan pertentangan kepentingan dari
masyarakat ke dalam penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah,
untuk kemudian dibicarakan dan diputuskan secara beradab. Ketiga, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme perubahan politik secara teratur dan
tertib, dilakukan secara periodik baik perubahan sirkulasi elit politik maupun
perubahan arah dan pola kebijakan publik. Keempat, pemilihan umum juga dapat digunakan sebagai prosedur dan mekanisme engineering untuk mewujudkan tatanan politik dan pola prilaku politik yang disepakati.2
Karena itu, pentingnya melihat pemilu sebagai bentuk perubahan
kelembagaan politik yang diatur dalam UUD 1945, dan diberlakukan baik pada
tingkat nasional maupun lokal. Untuk perubahan pengaturan institusi politik di
tingkat lokal dilakukan sebagai bentuk akomodasi tuntutan lokal agar dapat
menjamin pelaksanaan otonomi yang lebih luas dalam manajemen
sumber-sumber daya lokal serta mengalokasikan pelaksanaan kekuasaan ekonomi dan
politik. Di dalam Pasal 18 UUD 1945 diatur tentang kewenangan daerah propinsi
dan kabupaten/kota dalam mengatur dan mengurus kepentingan sendiri (otonomi
daerah) bukan karena pemberian pemerintah pusat ataupun pendelegasian
kewenangan pemerintahan dari presiden, melainkan merupakan pengakuan
negara. Berbagai urusan pemerintahan telah didesentralisasikan ke
daerah-daerah diantaranya adalah pemilihan kepala daerah-daerah hukum di provinsi dan
kabupaten/kota secara langsung.
Dengan disahkannya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
maka sejak Juni 2005 pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh
rakyat. Ini melengkapi pengalaman pemilu legislatif dan presiden yang
berlangsung tahun 2004 dengan UU No. 12/2003 dan UU No. 23/2003. Sejalan
dengan semangat konstitusi yang menegaskan penggunaan sistem presidensil,
di tingkat nasional presiden dipilih langsung, maka di daerah pun (sebagai sub
sistem) dalam memilih gubernur/bupati/walikota juga mengikuti pola tersebut,
dipilih langsung oleh rakyat. Politik desentralisasi yang didesain tersebut
menegaskan tentang perubahan yang signifikan terhadap peran rakyat dalam
rekrutmen pejabat publik maupun dalam kebijakan publik. Karena kebijakan
desentralisasi sebelumnya di bawah UU No. 29/1999 menentukan kepala daerah
yang dipilih sepenuhnya oleh DPRD, bukan oleh rakyat secara langsung. Situasi
politik pada saat itu memunculkan kekecewaan beberapa elemen masyarakat
karena tidak berjalannya fungsi DPRD sebagai wakil rakyat. Diantara fungsi yang
tidak berjalan adalah menyerap aspirasi rakyat untuk menentukan siapa yang
bakal menjadi pemimpinnya. Karena itu, proses politik di daerah masih
didominasi oleh DPRD. Posisi rakyat masih marjinal, yang ditandai dengan
tersumbatnya aspirasi rakyat dalam proses pemilihan kepala daerah. Akibat
selanjutnya dari proses pemilihan kepala daerah dalam praktiknya sarat dengan
persoalan seperti money politics, konflik antara massa dan aparat, maupun konflik antara pendukung calon kepala daerah.3 Atas dasar itu dan karena
adanya perubahan sistem pemilu legislatif dan pemilihan langsung presiden
maka diikuti juga dengan pemilihan kepala daerah secara langsung pula.
Praktiknya baru terwujud setelah dilakukannya revisi UU No. 22/1999 menjadi
UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
Ketika awal diberlakukannya pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung,
antusiasme masyarakat menyongsongnya tampak begitu tinggi. Situasi ini tidak
saja karena adanya kesempatan bagi masyarakat untuk memilih dan
menentukan secara langsung kepala daerahnya, melainkan juga berkenaan
dengan begitu besarnya harapan atau ekspektasi terhadap para kepala daerah
hasil pilkada langsung. Akumulasi kekecewaan terhadap praktik pemerintahan
lokal selama sekitar lima tahun terakhir tampaknya menjadi faktor penting di balik
harapan besar masyarakat tersebut.
Hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas, pada awal-awal
diberlakukannya pilkada langsung yakni Februari 2005, terhadap sekitar 1000
responden di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua menunjukkan
tingginya harapan masyarakat akan munculnya kepala daerah yang lebih
berkualitas dalam pilkada langsung mendatang.4 Tingginya angka harapan itu
mencapai 90,9 persen di Kalimantan, 84,1 persen di Sumatera, 82,9 persen di
Sulawesi, 71,1 persen di Jawa, dan 64,3 persen di Papua. Namun, dalam waktu
3
Beberapa kasus pemilihan kepala daerah oleh DPRD tahun 2000 lihat “Evaluasi Otonomi Daerah”. dalam Kompas, 30 Desember 2001. hal 6.
dua bulan ke depan atau April 2005, jajak pendapat yang dilakukan di media
yang sama menunjukkan kecenderungan yang menurun bahkan dengan
persentase yang cukup drastis. Tingka keyakinan masyarakat terhadap
kemampuan kepala daerah hasil pilkada langsung merosot tinggal 49,1 persen.
Sebagian masyarakat lainnya, dalam persentasi hampir berimbang (43,4
persen), memberikan penilaian ”tidak yakin” bahwa kepala daerah hasil pilkada
mendatang mampu memperbaiki kehidupan demokrasi di daerah.5
Hasil jajak pendapat tersebut mengindikasikan menurunnya tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap kepala daerah hasil pilkada langsung. Hal ini
dimungkinkan karena berkaitan dengan kekecewaan banyak pihak terhadap
format pilkada langsung. Terdapat beberapa asumsi yang menyebabkan
fenomena politik lokal ini terjadi. Pertama, pemilihan secara langsung ternyata tidak memutus mata rantai oligarki partai yang harus diakui cenderung mewarnai
kehidupan partai-partai di DPRD. Kepentingan partai-partai dan bahkan
kepentingan segelintir elit partai acapkali dimanipulasi sebagai kepentingan
kolektif masyarakat.6 Praktek-praktek seperti ini sebenarnya mengindikasikan
adanya kepentingan lama yang cukup terbina pada masa Orde Baru, karena
semua keputusan dilakukan oleh elit-elit tertentu yang memiliki kekuasaan politik,
perbedaannya hanya pada besaran ruang lingkupnya.
Kedua, pilkada langsung belum juga menurunkan praktik-praktik tentang fenomena korupsi, kolusi, dan politik uang antara para calon, partai politik, dan
DPRD di balik proses pemilihan kepala daerah.7 Fenomena ini disinyalir terjadi
karena adanya kepentingan tertentu dari kelompok dan pribadi sebagai akibat
dari kesepakatan yang dibangun pada saat proses pilkada berlangsung. Ketiga, pilkada langsung memunculkan indikasi kuat munculnya
kepentingan-kepentingan lama yang didasarkan atas pertarungan yang tajam, keras, dan
5 Lihat “Kualitas Calon Pemimpin Daerah Diragukan”, dalam Kompas. 9 April 2005. hal. 8. 6 Tentang kecenderungan munculnya oligarki partai dalam kehidupan politik lokal era reformasi,
lihat misalnya, Moch. Nurhasim. ed. 2002. Kualitas Keterwakilan Politik: Kasus Sumbar, Jateng, Jatim, dan Sulsel. Jakarta: Pusat Penelitian Politik. LIPI.
7
berkepanjangan diantara elit-elit lokal yang sejatinya berasal dari kekuatan lama
yang dipupuk pada masa Orde Baru.8
Realitas tersebut kemudian menimbulkan persoalan baru bagi
demokratisasi yang sedang dibangun di Indonesia terutama di tingkat lokal.
Format pilkada langsung yang diharapkan dapat memenuhi tuntutan praktik
demokrasi yang lebih substansial sekaligus memastikan bahwa desentralisasi
serta otonomi daerah diselenggarakan secara lebih berkualitas masih menjadi
pertanyaan besar.
Terdapat implikasi positif dan negatif atau setidaknya terdapat gejala
anomali yang terjadi dalam praktek politik lokal di Indonesia. Implikasi positipnya
antara lain adalah munculnya partisipasi politik rakyat misalnya kebebasan pada
pemilu. Sedangkan, implikasi negatif atau setidaknya anomali yang terjadi dalam
penyelenggaraan demokrasi adalah bahwa demokrasi yang dibangun di negeri
ini hanya sebatas pada demokrasi formal yang dibangun sejak akhir 1990-an.
Namun, pengembangan unsur-unsur demokrasi yang lebih substantif – seperti
aturan main, prosedur dan institusi demokratik perlu didukung oleh suatu budaya
demokrasi yang sering diperankan oleh kemampuan elit dalam menterjemahkan
kebijakan-kebijakan politik – belum berjalan dengan baik. Akibatnya sering
terjadi kelumpuhan politik salah satu penyebabnya adalah karena munculnya
kepentingan-kepentingan lama yang telah dipupuk di bawah patronase Orde
Baru. Gejala negatif atau anomali ini menjadi penting untuk dicermati dalam
rangka membangun demokrasi yang lebih substantif.
Kelompok-kelompok yang berada di bawah patronase Orde Baru itu bisa
berbentuk institusi atau perorangan yang berfungsi sebagai penjaga kepentingan
ekonomi dan politik mereka. Salah satu bentuk institusi tersebut adalah
organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila, FKPPI, dan lain sebagainya,
sedangkan perorangan adalah pengusaha yang bergantung pada kontrak
negara. Ketika terjadi perubahan politik di Indonesia tahun 1997, dengan tingkat
adaptasi yang sangat baik mereka masuk ke dalam sistem demokrasi prosedural
yang baru itu. Proses adaptasi tersebut terjalin dari tingkat nasional sampai ke
tingkat lokal.9 Meskipun di tingkat lokal terjadi perubahan desain desentralisasi,
namun mereka dapat menjadi bagian dari desain tersebut. Perubahan itu juga
cenderung mengabaikan secara empiris tentang kepentingan yang melekat
dalam lembaga-lembaga politik lokal itu dan pengaruhnya terhadap jalannya
pemerintahan lokal. Adanya indikasi mengenai pertarungan yang tajam, keras
dan berkepanjangan di antara koalisi-koalisi kepentingan yang lebih luas
sehingga dapat menyebabkan proses perubahan desentralisasi memiliki masalah
tersendiri dalam mengembangkan demokrasi yang substantif tersebut10. Diantara
permasalahan itu adalah adanya kepentingan dari elit lama yang berperan.
Desain desentralisasi memiliki banyak hal yang sama dengan teori modernisasi
gaya lama, yang sangat mengandalkan inisiatif elit-elit teknokrat-birokrat atau
golongan pengusaha dengan versi kontemporer yang berkedok sebagai teori
pilihan rasional dan teori modal sosial11. Artinya, bahwa peran elit menjadi
penting dalam politik desentralisasi di Indonesia.
Vedi R. Hadiz kemudian menyatakan bahwa politik desentralisasi banyak
diperankan oleh mereka yang menduduki lapis bawah dari jaringan patronase
Orde Baru yang menggurita itu12. Terutama untuk kepentingan ekonomi seperti
penguasaan pekerjaan di daerah yang bersumber dari APBD dan APBN,
sedangkan kepentingan politik seperti memenangkan pemilu DPRD dan
pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Masa Orde Baru jaringan ini
menyebar dari Istana Cendana hingga ke daerah-daerah, kota-kota dan
desa-desa. Kendati sistem sentralisasi ini tidak ada lagi, namun elemen-elemennya
telah menata kembali diri mereka di dalam jaringan patronase baru yang bersifat
desentralistik, lebih cair dan saling bersatu satu sama lain. Bahkan deretan
kepentingan yang sekarang memperebutkan kekuasaan di tingkat lokal tampak
9
Mengenai pandangan ini banyak kajian atau tulisan-tulisan tentang perkembangan politik lokal di Indonesia sejak 1998, terutama kajian mengenai hasil-hasil Pemilu legislatif 2004 dan Pilkada yang dilaksanakan di beberapa tempat kabupaten dan kota di Indonesia. Lihat misalnya Pradjarta Dirdjosanjata dan Nico L Kana. eds. 2006, Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004, Pustaka Pelajar, Yogyakartarta.
10 Dari evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah, terdapat beberapa kasus yang lebih banyak
disebabkan karena permainan kepentingan elit lokal misalnya konflik paska pilkada sebanyak 65%, perburuan akses sumber daya ekonomi di daerah 22%, serta isu-isu lainnya 13%. Lihat Kompas, 3 Juli 2007, Evaluasi Otonomi Daerah.
11
Ben Fine. 2001. Social Capital Versus Social Theory: Political Economy and Social Science at the Turn of the Millennium. London; Routledge.
lebih bervariasi daripada masa Orde Baru13. Di dalamnya termasuk para pialang
dan bandar politik yang ambisius, birokrat negara yang lihai, kelompok-kelompok
pebisnis baru yang berambisi tinggi, serta beraneka ragam gengster politik, kaum
kriminal, dan barisan keamanan sipil14. Kebanyakan dari kelompok ini dibesarkan
oleh rezim lama sebagai operator dan pelaksana di lapangan. Mereka ini
kemudian menjadi elit-elit yang berperan dalam proses keberhasilan dan
kegagalan dari pembangunan demokrasi di tingkat lokal yang sedang dilakukan
di Indonesia.
Di bawah Orde Baru, sudah menjadi rahasia umum bahwa kekuasaan elit
lokal, seperti yang disebutkan di atas, juga bersumber dari kedekatan mereka
dengan komandan militer lokal. Hal ini memungkinkan mereka untuk
menjalankan aktivitas-aktivitas menguntungkan seperti perjudian dan jaringan
perlindungan yang kebal hukum. Perubahan kedudukan militer sejak reformasi
tidak berarti putusnya keterkaitan ini. Dalam perjalanan sepuluh tahun reformasi
dan gejala politik desentralisasi yang telah dilaksanakan dengan berbagai revisi
dari UU No. 22/1999 ke UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah maka
gejala politik lokal diwarnai dengan interaksi politik dan kepentingan lokal yang
lebih banyak diperankan oleh elit-elit yang tidak termasuk dalam kategori
pembangunan demokrasi formal yang bersifat linier tersebut. Perkembangan dari
penataan institusi lokal kebanyakan tidak mencerminkan situasi politik yang
menguntungkan bagi masyarakat lokal. Sulit untuk membayangkan bahwa
elit-elit dengan kategori tersebut ternyata mendapatkan tempat yang
menguntungkan di bidang politik.
1.2. Perumusan Masalah
Pelaksanaan politik lokal di Indonesia, termasuk menyempurnakan
proses rekrutmen pejabat publik seperti pilkada misalnya, diyakini tidak memutus
munculnya adanya kepentingan lama dari sistem Orde Baru yang sering sekali
13Ibid.
14
menjadi penentu dalam proses politik di tingkat lokal. Kajian-kajian yang
membahas beberapa kasus tentang kekuasaan dan kepentingan lokal dengan
elit-elitnya, yang dipandang sebagai aktor-aktor politik yang tidak termasuk dalam
kategori pembangunan demokrasi formal namun memiliki peran signifikan, di
antaranya dilakukan oleh Ryter (2000), Lindsey (2002), dan Hadiz (2005)15. Di
kota Medan munculnya elit-elit politik paska runtuhnya Orde Baru, banyak yang
berasal dari tokoh organisasi kepemudaan seperti Ikatan Pemuda Karya (IPK),
Pemuda Pancasila (PP), Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia
(FKPPI), dan lain sebagainya. Kebanyakan anggota dari organisasi itu berprofesi
sebagai pengusaha kecil atau tingkat menengah yang paling tidak sebagian
bergantung pada proyek dan kontrak negara, politisi profesional dengan kaitan
khusus ke partai-partai politik yang sudah ada masa Orde Baru. Pada saat
reformasi sebagian dari mereka meningkat statusnya menjadi elit-elit baru karena
mendapat kompensasi berupa kemudahan akses terhadap lembaga-lembaga
politik lokal seperti DPRD, pemerintah kota, partai politik dan media massa, serta
beberapa kelompok kepentingan seperti lembaga-lembaga bisnis yang memiliki
keterkaitan dengan elit-elit organisasi tersebut16. Pemimpin organisasi pemuda
paramiliter di Medan ini sering memainkan peran sebagai operator politik selama
masa Orde Baru, melaksanakan fungsi intimidasi tidak resmi untuk rezim dan
para pejabatnya yang dilakukan bersama-sama dengan aparat terkait.
Ketika jatuhnya Orde Baru, keberadaan ketiga organisasi pemuda itu (PP,
IPK, dan FKPPI) ternyata tetap eksis dan menunjukkan aktivitas yang tidak jauh
berbeda pada saat sebelumnya. Di kota Medan, para pimpinan organisasi
15 L. Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New Order?”
Indonesia, 66, Oktober. L. Ryter. 2000. “A Tale of Two Cities”, Inside Indonesia 63 (July-September). http://www.serve.com/inside/edit63/loren1.hatml. dan T. Lindsey. 2002. “The Criminal State: Premanisme and the New Order”, dalam G. Lloyd dan S. Smith. (eds.). Indonesia Today: Challenges of History. Singapore: ISEAS. adalah pengamat yang menulis tentang politik premanisme di Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa tidak ada daerah lain yang sanggup menyaingi Sumatera Utara dalam soal liku-liku kekuatan politik dan pengaruh preman terutama interaksi politik mereka di tingkat lokal. Sedangkan Hadiz mengkaji tentang konstelasi kekuasaan dan Politik di Sumatera Utara paska Orde Baru yang dianggapnya sebagai bentuk reformasi yang tidak tuntas lihat Hadiz, op. cit. hal. 235-253.
16 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hadiz (2001), ketika paska turunnya Orde Baru, tentang
tersebut justru melakukan adaptasi dalam sistem politik yang telah berubah.
Secara politis, langkah awal yang dilakukan oleh ketiga organisasi tersebut
adalah dengan menyatakan dirinya sebagai organisasi yang bersifat independen
atau bebas secara politik. Sebagian besar elitnya menduduki posisi-posisi
penting di beberapa partai politik baru seperti PAN, Partai Demokrat, dan lain
sebagainya sebagai pengambil keputusan disamping Partai Golkar yang menjadi
bagian terpenting dalam aktivitas organisasinya. Sistem multi partai dan pemilu
paska Orde Baru, ternyata tidak begitu sulit bagi mereka untuk tetap menjadi
bagian dalam sistem politik yang baru itu. Ini dilakukan agar mereka tetap dapat
mengendalikan keputusan-keputusan penting yang diambil oleh otoritas politik
(eksekutif dan legislatif). Namun, dalam menjalankan aktivitas organisasi tetap
menggunakan cara-cara kekerasan, kepentingan uang, perjudian, intimidasi dan
menguasai satu kawasan (teritorial) tertentu. Meskipun terdapat beberapa
organisasi pemuda lainnya yang melakukan praktek premanisme (seperti AMPI,
Pemuda Panca Marga, Garda Banper, dan lain sebagainya), namun organisasi
ini berafiliasi dengan salah satu partai politik. Karena itu, PP, IPK, dan FKPPI17
ini menjadi fokus dari subjek analisis dalam penelitian ini.
Pada periodesasi desentralisasi di Indonesia berbagai upaya untuk
menguasai politik lokal mereka lakukan, termasuk ketika terjadi perubahan
mekanisme pemilihan Walikota Medan pada tahun 2005 yang dilakukan secara
langsung. Terlepas dari munculnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai
partai yang menguasai sebanyak 9 orang anggota DPRD kota Medan18. Namun,
keberhasilan Golkar dan partai Orde Baru lainnya sebagai pemain lama, dalam
mengusung Ketua DPRD kota Medan hasil Pemilu 2004 dari Fraksi Partai Golkar
dan memenangkan calon incumbent walikota Medan tahun 2005 (Abdillah)19,
17 Dalam beberapa bagian tulisan, penulis meminjam penggunaan istilah Vedi R. Hadiz tentang
organisasi pemuda/preman, maksudnya ditujukan kepada ketiga organisasi pemuda tersebut. 18 Dalam Pemilu Legislatif 2004 di Kota Medan PKS memperoleh kursi sebanyak 9 orang, kursi
terbanyak di DPRD Kota Medan, lalu PG, PDIP, dan PD mendapat 6 kursi, PAN dan PDS 5 kursi, PPP mendapat 4 kursi, PBR 3 kursi, dan Partai Patriot mendapat 1 kursi.
19 Abdillah adalah Walikota Medan yang terpilih dalam Pilkada Langsung Tahun 2005, yang
menunjukkan keahliannya dalam memerankan permainan politik lokal dan
menandakan mesin politiknya masih berjalan dengan baik. Banyak anggota PP,
IPK, dan FKPPI disebarkan di berbagai tempat sebagai alat pengaman bagi
partai politik dan tim-tim sukses calon walikota20. Mereka tidak mengalami
kesulitan untuk bersaing di bidang politik dengan kelompok-kelompok
prodemokrasi karena memiliki akses terhadap uang dan kekuasaan seperti
pimpinan partai politik dan anggota DPRD kota Medan berasal dari organisasi
pemuda/preman21. Atas dasar itu, penulis menganggap menarik dan perlu
melakukan penelitian yang diharapkan bisa menguraikan keterlibatan organisasi
pemuda/preman di kota Medan pada saat Pilkada Langsung tahun 2005 di kota
Medan. Sehingga, dapat diketahui cara-cara yang dilakukan oleh organisasi
pemuda/preman di kota Medan untuk tetap berperan dalam proses pemilihan
walikota Medan yang dilakukan secara langsung.
Hal tersebut penting dilihat karena pola-pola yang diterapkan, pada saat
pilkada langsung diberlakukan, memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda
ketika masa Orde Baru dan pada saat pemilihan kepala daerah antara tahun
1999 sampai 2005 yaitu adanya politik uang dan kekerasan untuk merebut
jabatan politik. Harusnya, dalam desain rekrutmen pejabat publik dan
demokratisasi saat ini, model-model seperti itu hendaknya tidak ada lagi dan
diharapkan berubah menjadi gerakan persuasif yang cenderung kepada
kepentingan rakyat. Keterlibatan organisasi pemuda/preman dalam pilkada
langsung tahun 2005 di kota Medan dalam penelitian ini diartikan sebagai
aktivitas mereka untuk mengusung ”jago”nya agar terpilih dalam pemilihan
langsung sebagai walikota Medan Periode 2005-2010. Ada beberapa aktivitas
yang dijadikan indikator untuk melihat keterlibatan organisasi pemuda/preman
dalam Pilkada Langsung Walikota Medan tahun 2005.
Kota Medan oleh KPK diantaranya kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran (Waspada, 7 Mei 2007) dan penyalahgunaan dana APBD Kota Medan Tahun 2005 (Kompas, 16 Juni 2007).
20 Pemberitaan media lokal di Medan seperti Waspada, SIB, dan Analisa pada periode menjelang
pelaksanaan pemilu 2004 dan Pilkada 2005 terlihat dalam beberapa foto media tersebut terpampang barisan pengamanan yang berasal dari PP, IPK, FKPPI, dan lain sebagainya yang sering digunakan oleh partai-partai politik baik pada saat kampanye maupun acara-acara khusus yang digelar untuk itu.
21 Data sementara yang diperoleh penulis dari berbagai sumber adalah Bangkit Sitepu, pengurus
Pertama, menawarkan bentuk dukungan baik secara organisatoris atau yang dilakukan oleh elit organisasi pemuda/preman dengan posisi sebagai
pengusung utama atau bagian dari partai yang mencalonkan walikota atau
bagian dari calon walikota Medan itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan
usulan-usulan yang ditawarkan pimpinan organisasi pemuda/preman kepada partai atau
calon Walikota Medan, sehingga organisasi pemuda/preman itu ikut secara aktif
sebagai tim inti atau bagian dari partai yang mencalonkan walikota atau bagian
dari tim calon walikota. Bagian ini akan menguraikan informasi langsung dari
pimpinan organisasi tentang alasan yang dikemukakan untuk mendukung satu
partai politik yang mencalonkan atau calon walikota Medan dan bagaimana
strategi dukungan itu dilaksanakan.
Kedua, bertindak sebagai inisiator atau melakukan pemaksaan dari seluruh, sebagian atau tindakan yang terpisahkan dari aktivitas yang dirancang
oleh partai politik yang mengusung calon walikota atau tim sukses yang dibentuk
untuk memenangkan pemilihan. Dari informasi ini akan kelihatan posisi
organisasi pemuda/preman dalam struktur pemenangan walikota, apakah
sebagai penentu atau hanya sebagai pelengkap dari struktur tersebut.
Ketiga, melakukan lobi-lobi secara intensif ke berbagai kalangan. Bagian ini akan menguraikan berbagai pertemuan yang digagas oleh organisasi
pemuda/preman untuk mendapatkan dukungan termasuk kesepakatan yang
dibangun dari dukungan itu. Lobi tersebut baik dilakukan secara vertikal (antar
pemain-pemain lokal) maupun horizontal (kepada pemerintah pusat dan partai
politik di tingkat nasional).
Keempat, indikasi kekuatan uang. Informasi ini akan mencoba menguraikan aliran dana yang diterima dan digunakan oleh organisasi
pemuda/preman. Kekuatan uang yang dimaksudkan di sini adalah pendanaan
yang diterima oleh pimpinan organisasi dari calon walikota untuk keperluan
keamanan dan mobilisasi dukungan massa. Ini penting dilihat karena salah satu
keinginan kelompok ini adalah selalu menunjukkan kekuatannya yang dilihat dari
kemampuannya untuk memaksa keinginannya kepada pihak yang bertentangan
Kelima, pengerahan massa dan penggunaan kekerasan. Pengerahan massa berkaitan tentang besarnya jumlah massa yang diorganisir dengan
identitas fisik yang selalu digunakan oleh organisasi pemuda/preman (seperti
baju seragam atau atribut lain) dalam kegiatan pilkada langsung di kota Medan.
Sedangkan penggunaan kekerasan dilihat dari adanya ancaman fisik (seperti
penculikan, pembunuhan, dan lain-lain) atau non fisik (seperti intimidasi,
pelecehan, dan lain-lain) yang dilakukan terhadap lawan-lawan politik baik pada
tingkat elit dan masyarakat bawah.
Keenam, melakukan penguasaan opini media dengan cara melakukan kontrol langsung terhadap pemberitaan media. Ini dilakukan agar segala
peristiwa yang berkaitan dengan pemilihan walikota dapat dikendalikan. Suara
pers yang kritis diharapkan dapat dikontrol dengan cara ”membeli” tulisan para
wartawan atau pimpinan media massa.
Untuk memudahkan peneliti melihat enam indikator yang diuraikan di atas
dalam menjelaskan keterlibatan organisasi pemuda dalam arena pilkada
langsung di kota Medan tahun 2005. Maka pertanyaan penelitian yang hendak
dijawab dan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dari keenam indikator yang diuraikan di atas, bentuk keterlibatan manakah
yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda dalam Pilkada Langsung
tahun 2005 di kota Medan?
2. Siapa tokoh dan organisasi pemuda mana yang berpengaruh pada saat
Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan?
3. Mengapa organisasi pemuda terlibat dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di
kota Medan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan fakta-fakta tentang
dalam Pilkada Langsung tahun 2005 di kota Medan. Penelitian ini juga
diharapkan dapat menjelaskan argumentasi yang mendasari keterlibatan
organisasi pemuda/preman dalam kasus Pemilihan Kepala Daerah Langsung
tahun 2004 kota Medan dengan menggunakan desain studi kasus. Dari informasi
itu, maka akan didapat cara-cara atau model yang digunakan. Kemudian akan
didapat juga informasi bahwa organisasi pemuda/preman yang sangat eksis
pada masa Orde Baru itu ternyata mengalami atau tidak mengalami kesulitan
untuk menyesuaikan diri pada saat terjadi perubahan politik yaitu ketika
mekanisme pemilihan kepala daerah diubah secara langsung pada tahun 2005 di
kota Medan.
1.4. Kerangka Teori
Untuk mengkaji keterlibatan politik yang dilakukan organisasi pemuda
dalam penelitian ini maka akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan
politik lokal dan sumber kekuasaan, kelompok elit dalam politik, demokratisasi,
partai politik dan kelompok kepentingan dalam pilkada serta penjelasan tentang
organisasi preman.
1.4.1. Politik Lokal dan Sumber-Sumber Kekuasaan
Politik lokal bukan hanya berurusan pada soal-soal administrasi publik
atau menekankan pada hubungan legal-formal pemerintahan semata. Selama
ini, diskusi mengenai politik lokal penekanannya hanya pada pemerintahan lokal
hasil dari suatu pemilihan umum saja atau pemilihan kepala daerah saja.
Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal-formal seperti itu
memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal secara lebih
utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi, politik, dan
sosial22.
Teori dan pendekatan atas politik lokal tergantung pada latar belakang
akademik dan ”mazhab” yang dianut. Paling tidak terdapat dua perspektif untuk
menjelaskan politik lokal yaitu pendekatan pluralisme dan pendekatan marxist.
Pendekatan pluralisme menjelaskan bahwa negara dijadikan sebagai tempat
untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang menuntut
adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan umum.
Sedangkan pendekatan marxist melihat bahwa kekuasaan berada pada satu
kelompok tertentu yang sangat dominan dan tidak menyebar serta memandang
bahwa negara dipandang sebagai institusi yang tidak netral. Dari dua
pendekatan itu, studi ini ingin menggunakan pendekatan pluralisme untuk melihat
kekuasaan yang ada di masyarakat lokal.
Dari perspektif pluralisme, pilkada langsung diharapkan dapat
mendukung tumbuhnya demokrasi dan berjalannya pemerintahan lokal yang
dekat dengan rakyat, karena partisipasi masyarakat lokal dilibatkan secara luas.
John Steward menyatakan bahwa memperkuat demokrasi lokal sangat penting
untuk mengatasi masalah-masalah yang disebabkan karena kuatnya sentralisasi
negara.23 Agar demokrasi lokal memiliki kualitas maka pejabat lokal harus dipilih
dengan mengikutsertakan partisipasi masyarakat lokal secara luas begitu juga
ketika mengambil keputusan. Stewart juga menjelaskan cara-cara yang harus
dilakukan oleh pejabat lokal tersebut adalah dengan membuat pendidikan politik
bagi rakyat kelas bawah, membuat keputusan yang bersifat lokal, dan melibatkan
partisipasi masyarakat lokal. Karena itu, peran local leader dan informal leader menjadi penting untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal.24 Kepala daerah,
dengan demikian, harus mengenali masyarakatnya sendiri yang plural dan
multikultural serta selalu menyediakan media untuk memfasilitasi
perbedaan-perbedaan tersebut.
Pilkada langsung dalam konteks politik lokal, diharapkan dapat
memperkuat kedudukan kepala daerah sekaligus mengurangi intervensi DPRD
agar ”transaksi politik” yang melahirkan ”money politics” dapat dimimalisir. Namun, yang terjadi di berberapa negara-negara berkembang, praktek pemilihan
23
John Stewart. 1996. “Democracy and Local Government”. dalam Paul Hirst and Sunil Khilnani (eds). 1996. Reinventing Democracy, Oxford: Blackwell Publisher. hal. 39.
kepala daerah secara langsung justru menjadi penyebab kasus-kasus korupsi
dan ketidakefektifan pemerintahan daerah. Secara teoritik, hal tersebut dapat
dijelaskan dari karakteristik elit politik lokal di negara-negara berkembang. Oleh
Manor dan Crook, elit politik lokal dicerminkan dengan apa yang disebut sebagai
”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh sekelompok elit.25 Tidak adanya oposisi yang kuat menyebabkan distribusi
kekuasaan selalu didominasi oleh kelompok-kelompok yang sudah tertentu. Itu
sebabnya, terjadi kooptasi kekuasaan oleh segelintir penguasa. Di sinilah
pendekatan pluralisme menjadi penting yaitu bahwa negara dijadikan sebagai
tempat untuk memahami dan menjelaskan beragam kegiatan kelompok yang
menuntut adanya pembagian kekuasaan seperti misalnya melalui pemilihan
umum.
Atas dasar itu, studi ini hendak menggunakan pendekatan pluralisme
dengan melihat kekuasaan sebagai titik sentralnya. Untuk membahas tentang
kekuasaan tersebut, maka akan dilihat sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara
untuk memperoleh serta mempertahankan kekuasaan. Perjalanan kekuasaan
yang efektif bergantung pada tipe-tipe sumber kekuasaan yang tersedia. Untuk
memperoleh kepatuhan, para pemimpin politik biasanya memperluas persediaan
sumber daya mereka dan menggunakan secara lebih efisien sumber daya yang
telah mereka miliki.
Sumber-sumber kekuasaan harus dimiliki oleh seseorang atau
sekelompok orang agar dapat menggunakan kekuasaan itu. Sumber-sumber
kekuasaan itu dapat berupa kedudukan, kekayaan, kepandaian atau
keterampilan, dan kepercayaan atau agama.26 Sementara Charles F. Andrain
membedakan lima tipe sumber daya kekuasaan yaitu sumber daya fisik,
ekonomi, keahlian dan personal. Dengan menggunakan sumber-sumber
kekuasaan itu, seseorang atau sekelompok orang dapat mempengaruhi orang
lain untuk mengikuti kehendak atau keinginannya. Andrain juga menjelaskan
perbedaan motif kepatuhan dalam masing-masing tipe sumber daya kekuasaan.
25 Dikutip dari Eko Prasojo. “Otonomi Daerah, Pilkada Langsung dan Democratic Decentralization. dalam M. Zaki Mubarak, M. Agus Susilo, Agung Pribadi. (eds.) 2006 Blue Print Otonomi Dareah Indonesia. Jakarta: The YHB Center.
Tipe-tipe sumber kekuasaan dan motif kepatuhan tersebut, dijelaskan Andrain,
dapat dilihat dalam tabel 1.1. di bawah ini.
Tabel 1.1:
Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan27
Tipe Sumber Daya Contoh Sumber Daya Motivasi untuk Mematuhi
Fisik Senjata: senapan, bom, rudal B “berusaha menghindari cedera fisik” yang disebabkan oleh A
Ekonomi Kekayaan, pendapatan, kontrol atas barang dan jasa
B “berusaha memperoleh kekayaan” dari A
Normatif Moralitas, kebenaran, tradisi, relijius, legitimasi, wewenang
B “mengakui bahwa A mempunyai hak moral untuk mengatur” prilaku B Personal Karisma pribadi, daya tarik,
persahabatan, popularitas
B “mengidentifikasi diri merasa tertarik” dengan A
Ahli Informasi, pengetahuan,
intelejensi, keahlian teknis
B “merasa bahwa A mempunyai pengetahuan dan keahlian yang lebih” Keterangan: A adalah pemegang kekuasaan, B merupakan objek kekuasaan.
Dari sumber-sumber kekuasaan yang dikemukakan oleh Andrain, maka
sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemuda itu (PP, IPK,
dan FKPPI) berasal dari fisik dan ekonomi. Aspek fisik karena para pimpinan
organisasi pemuda itu sering sekali menggunakan senjata sebagai kekuatan
ancaman terhadap orang lain (premanisme). Dari sisi ekonomi, kekuasaan
diperoleh dengan memberikan pekerjaan kepada para pemuda yang tidak
memiliki pekerjaan sebagai penjaga keamanan, petugas parkir atau sebagai
penjual lotre (perjudian) seperti KIM, togel dan lain sebagainya. Fenomena
tersebut hampir mirip dengan teori local strongmen yang dikemukakan oleh Migdal serta teori John T. Sidel tentang bossism.
Jika merujuk pada Migdal tentang kemunculan local strongmen, salah satu sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi pemuda/preman
diantaranya adalah dari kekayaan yang dimiliki oleh pimpinannya sebagai tuan
tanah atau orang kaya.28 Migdal mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal
yang berhasil melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini, Migdal mengatakan:
”... Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang
27 Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana. Yogya. hal. 132.
menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibu kota atau dikeluarkan oleh pelaksana peraturan yang kuat”.29
Mengenai fenomena orang kuat lokal tersebut, Migdal memiliki tiga
argumentasi yang saling berkaitan. Pertama, orang kuat lokal tumbuh subur di
dalam masyarakat ”mirip jaringan” yang digambarkan sebagai ”sekumpulan
campuran (melange) organisasi-organisasi sosial nyaris mandiri” dengan kontrol sosial yang efektif ”terpecah-pecah”. Pola kontrol sosial khusus terpecah-pecah
ini, menurut dugaan, acapkali diakui melebur dalam pemerintahan kolonial dan
penyatuannya di dalam perkuburan kelas-kelas pemilik tanah besar. Singkat
kata, berkat struktur masyarakat mirip jaringan, orang kuat lokal memperoleh
pengaruh signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para
birokrat lokal yang digambarkan Migdal sebagai ”segitiga penyesuaian”.30
Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan
beberapa komponen penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup”
penduduk setempat. Dengan kondisi seperti itu, orang kuat bukan saja memiliki
legitimasi dan memperoleh banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi
juga hadir untuk memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa
yang diberikan. Para penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi
mereka dengan istilah ”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”.
Pola ini kemudian juga terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai
patron yang memberi kebaikan personal bagi klien yang melarat dan para
pengikut di daerah kekuasaan mereka.
Ketiga, berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan
sumber daya negara merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam
melaksanakan pelbagai kebijakan. Orang kuat lokal membatasi otonomi dan
kapasitas negara, penyebab kelemahan negara ”dalam menjalankan tujuan
berorientasi perubahan sosial, serta memperbesar ketakterkendalian dan
kekacauan. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi dan pertumbuhan
amat tergantung pada penyusunan dan pelaksanaan kebijakan negara yang
saling bertautan efektif.
Berbeda dengan Migdal, Sidel melihat bahwa fenomena yang disebutnya
sebagai Bosisme merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya
ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan
rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai,
pengusaha, militer, dan preman.31
Tabel 1.2:
Perbandingan Kerangka Teori Migdal dan Sidel tentang Kemunculan Local Strongmen dan Bossism32
menguasai sebuah arena State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton University Pres; dan Sidel. 1999. Capital, Coercion, and Crime: Bossism in the Phillipines. Stanford California: Stanford University Press.
Tentang perkembangan bossism di Indonesia, Sidel melihat bahwa itu terjadi seiring dengan melemahnya kontrol Pusat terhadap daerah paska
jatuhnya Orde Baru. Kebijakan desentralisasi telah mengakhiri kontrol efektif
pusat yang mencegah pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira menengah militer
untuk membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang mandiri. Ini telah
memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk
memperoleh dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.33
Dalam kasus di Banten misalnya, pola hubungan birokrat, bos-bos partai,
pengusaha, dan aparat dalam mengusai politik lokalnya didasarkan atas dua,
yaitu hubungan patron klien dan berdasarkan hubungan simbiosis mutualisme.
Kontrol yang dilakukan oleh tokoh Jawara di Banten dilakukan terhadap pejabat
publik dan civil society.34
Berkembangnya bossism lokal tersebut di sisi lain menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan
penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah (intergovernmental relation), antara negara dan masyarakat (state society relation); dan antara masyarakat dan masyarakat (society-society relation). Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan antarlevel pemerintahan, baik secara
vertikal maupun horizontal, dalam kewenangan mengatur dan mengurus.
33 T. Sidel. “Bosisme...” Op. Cit. hal. 85.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada kesetaraan
antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan
kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan
antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat
terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.
Saat ini, untuk melihat fenomena local strongmen atau bossim di beberapa daerah di Indonesia sangat beragam. Di Banten disebut jawara, di
Betawi disebut jagoan, di Madura disebut Blater, di Medan disebut Preman, dan
lain sebagainya. Praktek-praktek premanisme banyak dilakukan oleh organisasi
pemuda di Medan, terutama ketika ingin merrbut satu kedudukan. Dalam
menganalisa keterlibatan organisasi pemuda/preman di Medan, teori Sidel
tentang local bossism dapat membantu merumuskan kerangka berpikir yang akan digunakan dalam penelitian ini, terutama terkait dengan sumber kekuasaan
dan cara penggunaan kekuassaan yang dilakukan oleh kelompok
pemuda/preman. Di kota Medan pada masa desentralisasi sekarang ini, para
anggota DPRD kota Medan didominasi oleh kelompok-kelompok preman yang
saling bersaing. Beberapa diantara mereka memiliki hubungan erat dengan para
pensiunan perwira angkatan bersenjata dan kepolisian dan tidak sedikit dari
mereka yang berasal dari organisasi pemuda seperti Pemuda Pancasila (PP),
Ikatan Pemuda Karya (IPK) dan lain sebagainya.
Fenomena munculnya preman di kota Medan tidak terkait dengan
lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam bahasa Sidel, beroperasinya
dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos
partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol monopolistik
terhadap kekuatan koersif dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah teritorial
mereka.
Agar eksistensi kekuasaan para pimpinan organisasi pemuda/preman itu
tetap berlangsung, ada beberapa teori yang menjelaskan tentang bagaimana
kekuasaan tersebut dilakukan dan dipertahankan. Untuk menjelaskannya akan
dilihat dari teori yang dikemukakan oleh Charles F. Andrain, Maswadi Rauf, dan
dibedakan atas dua yaitu dengan cara paksaan/penindasan/koersif atau
konsensus/persuasif.
Andrain menyatakan bahwa dari untuk menyelesaikan sebuah pergulatan
dominasi atau konflik dari sumber kekuasaan tersebut, maka digunakanlah
kekuasaan paksaan atau kekuasaan berdasarkan konsensus. Andrain
menjelaskan,
Mereka yang menekankan aspek-aspek pemaksaan dari kekuasaan biasanya memandang politik dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Mereka milihat para pelaku politik mengenjar tujuan-tujuan yang tidak diminati oleh keseluruhan komunitasnya. Satu pihak memperoleh keuntungan, sedangkan pihak lain merugi. Sebaliknya, para analis yang menekankan aspek-aspek konsensus lebih banyak mengaitkan kekuasaan dengan usaha mengatasi perlawan bukannya dengan kegiatan-kegiatan koordinasi. Mereka melihat para pelaku politik mengusahakan pencapaian tujuan-tujuan bersama.
Penggunaan kekuasaan paksaan atau konsensusual sangat ditentukan
dari sumber kekuasaan yang dimiliki. Karena sumber kekuasaan yang dimiliki itu
maka dapat digunakan untuk memberi sanksi atau memberi penghargaan. Di
samping itu, sumber daya kekuasaan digunakan untuk menjamin kepatuhan
orang atau kelompok lain terhadap orang atau kelompok yang memiliki
menguntungkan orang lain, penyebaran informasi yang merugikan orang lain
pengetahuan dan keterampilan
Sumber: Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 140.
Kekuasaan paksaan, menurut Andrain biasanya memandang politik
dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Sering sekali tujuan itu
diperoleh dengan cara yang tidak diinginkan oleh komunitasnya. Satu pihak
memperoleh keuntungan sedangkan pihak lain merasa dirugikan.35
Untuk melihat penyelesaian konflik, Maswadi Rauf menjelaskan bahwa
penyelesaian konflik dapat digunakan dengan cara persuasif dan koersif.
Penyelesaian konflik yang dilakukan dengan cara koersif adalah melalui
penggunaan kekerasan fisik atau ancaman kekerasan fisik. Berkaitan dengan
kekerasan fisik ini, Maswadi Rauf mengatakan,
“Kekerasan fisik mencakup penggunaan benda-benda fisik untuk merugikan secara fisik, menyakiti, melukai, atau membunuh fihak lain. Penggunaan kekerasan fisik atau ancaman penggunaannya menimbulkan rasa takut pihak yang akan dikenali yang berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Pengaruh itu adalah berupa diikutinya keinginan pihak yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.” 36
Hal yang hampir serupa juga dikemukakan oleh Gramsci yang
menyatakan bahwa cara dominasi atau penindasan merupakan cara yang dapat
dilakukan untuk melaksanakan kekuasaan. Seorang individu, kelompok, atau
negara jika ingin memperoleh dan mempertahankan kekuasaan maka ia harus
mempunyai atau memiliki akses terhadap instrumen kekerasan.37
Merujuk pada teori di atas, tentunya, dapat disebutkan bahwa model
penyelesaian koersif lah yang sering dilakukan oleh organisasi pemuda (Pemuda
Pancasila, IPK, dan FKPPI) tersebut dalam menyelesaikan konflik. Cara-cara
seperti kekerasan, ancaman, menyakiti dan bahkan membunuh, juga dilakukan
oleh organisasi pemuda/preman untuk memperoleh dan mempertahankan
35Ibid. hal. 137.
36 Maswadi Rauf. 2001. Konsensus dan Konflik Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. hal. 11-12.
kekuasaannya. Mereka melakukan intimidasi, ancaman, perkelahian kepada
orang-orang yang dianggap menjadi lawannya. Praktek-praktek kekerasan lebih
sering ditemukan dalam segala aktivitas organisasi pemuda di kota Medan.
Dalam politik lokal perspektif pluralisme, organisai pemuda yang keras ini
kemudian terlibat dalam institusi politik yang berusaha merebut kekuasaan pada
jabatan-jabatan publik.
1.4.2. Oganisasi Pemuda/Preman dalam Politik
Organisasi pemuda/preman yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah sebagai suatu organisasi pemuda besar yang umumnya merupakan
wadah bagi aktivitas preman38. Sedangkan preman adalah sebutan untuk
anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan tindakan kriminil39. Kata
preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum lelaki yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut adalah
lelaki bebas yang tidak dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan
jaman pengertian preman mengalami perubahan. Kunarto menyebut Preman
sebagai orang atau individu atau kelompok orang yang tidak berpenghasilan
tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti, mereka hidup atas dukungan
orang-orang yang terkena pengaruh orang-orang yang takut secara fisik maupun
psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan tidak terikat pada norma dan nilai
yang ada dalam masyarakat serta memiliki kecenderungan melakukan
tindakan-tindakan kriminal. Sikap, tindakan-tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut
sebagai premanisme.40
Lyron Ryter, seorang pengajar dari Cornell University, meneliti tentang
kehidupan preman dan politik yang disebutnya sebagai politik gangster di kota
Medan dan Jakarta pada tahun 1998-2004.41 Hasil penelitiannya menjelaskan
bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku premanisme masuk ke
wilayah politik formal. Perilaku ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang erat
38
Pengertian ini sebagaimana yang ditulis oleh Vedi R. Hadiz, Op. Cit. hal. 249.
39
Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta: Lintas Media. hal. 560.
40 Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah. hal. 40-41. 41
antara militer dengan organisasi pemuda, yang melakukan tindakan kriminal,
untuk memegang posisi penting di partai politik dan lembaga parlemen. Kekuatan
preman di Indonesia bukan terletak pada bentuk fisik sebagai orang yang kuat
dan selalu melakukan tindakan kekerasan. Justru kelebihan preman adalah
selalu terlepas dari sangsi hukum karena memberikan dukungan kepada jaringan
politik yang ada. Karena itu, paska jatuhnya pemerintahan Soeharto, mereka
tidak lagi hanya mendukung Golkar tetapi dibebaskan untuk masuk ke partai
politik manapun. Seiring dengan perjalanan waktu mereka kemudian menduduki
posisi penting di partai politik seperti PDI-P, PAN, dan parpol lainnya. Mereka
kemudian terdaftar sebagai calon anggota legislatif baik di tingkat nasional dan
lokal karena jaringan politik yang terbentuk. Ketika Pemilu 1999 dan 2004 para
preman itu diharapkan oleh pimpinan parpol agar dapat mengumpulkan massa
sebagai bentuk show of force pada kegiatan-kegiatan partai seperti kampanye dan bertugas di tempat pemungutan suara ketika pemilu berlangsung.42
Penelitian Ryter di kota Medan tentang gengster politik ini juga melihat
bahwa ketika jatuhnya Orde Baru, kekuatan organisasi pemuda yang melakukan
aktivitas preman seperti Pemuda Pancasila, IPK dan lain sebagainya, tidak serta
merta juga melemah. Mereka justru masuk ke wilayah-wilayah lembaga politik
formal seperti partai politik dan legislatif di kota Medan. Mereka digunakan oleh
pimpinan parpol karena dianggap mampu untuk memobilisasi massa,
menggunakan kekerasan, intimidasi yang juga digunakan oleh militer untuk
mengontrol daerah kekuasaan selama Orde Baru. Tidak ada yang baru dalam
praktek demokrasi lokal di Indonesia. Yang terjadi adalah lembaga-lembaga
politik yang baru muncul namun lebih banyak dikuasai oleh pemain-pemain lama
dari jaringan Orde Baru itu.
Dari penelitian Ryter tersebut dapat dikatakan bahwa aktivitas para
preman yang berpolitik tersebut memiliki beberapa karakteristik yang terorganisir
atau aktivitas preman yang diorganisasikan. Pertama, kegiatan yang dilakukan oleh preman itu bukan atas dasar kepentingan ideologis, melainkan lebih
didasarkan pada kekuatan uang dan kekerasan. Kedua, organisasi preman itu mengikutsertakan sejumlah orang untuk kegiatan-kegiatan sosial dan politik.
Ketiga, mengorganisir satu basis massa yang sifatnya perintah untuk kepentingan keuntungan baik yang bersifat legal dan illegal.43
Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Vedi R. Hadiz pada tahun 1999
khususnya pada kasus pemilihan walikota Medan tahun 1999 oleh DPRD kota
Medan. Hadiz melihat bahwa kekuatan preman secara khusus mendapat tempat
yang baik dalam sebuah sistem kekuasaan. Aktivitas preman ini terorganisasi
pada pemuda yang ketika Orde Baru menjalankan fungsi-fungsi sebagai operator
politik. Tindakan organisasi pemuda/preman ini memiliki kemampuan untuk
melakukan, atau paling tidak mengancam, tindak kejahatan dan memiliki kendali
keamanan bagi aparatur negara tingkat lokal. Karena alasan itu juga, mereka
kemudian memiliki kepentingan untuk menguasai politik lokal dengan ikut terlibat
dalam pemilihan walikota Medan tahun 1999. Bentuk keterlibatan yang mereka
lakukan adalah melakukan intimidasi para anggota legislatif dan para pendukung
calon pesaing dengan cara kekerasan, penculikan, dan bahkan mengancam
untuk membunuh.44
Apa yang diungkapkan oleh Ryter tersebut hampir sama dengan
penelitian Howard Abadinsky, yang meneliti tentang organized crime di beberapa kota di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Asia dari tahun 1940–1980-an.
Abadinsky kemudian menuliskan karakteristik organized crime sebagai berikut:
“.... organized crime is a nonideological enterprise involving a number of persons in close social interaction, organized on a hierarchical basis, has a limited or exclusive membership, perpetuitous, uses illegal violence and bribery, demonstates specialization/divition labour, monopolistic, and governed by explicit rules and regulations”. 45
Yang menarik dari karakteristik tersebut adalah nonideological. Abadinsky menjelaskannya sebagai berikut:
“.... an organized crime group does not have political goals nor is it motivated by ideological concern; it goals are money and power. While political involvement may be part of the group’s activities, its purpose is to
43 Ryter tidak membuat secara rinci tentang poin-poin dari karakteristik itu. Karakteristik ini
penulis susun dari hasil penelitian Ryter untuk memudahkan melihat indikator dari organisasi preman.
44
Vedi R. Hadiz. Op. Cit. hal 246-247.
gain protection or immunity for its illegal activities. This distinguishes groups of persons who may be organined and violating the law to further their political from organized crime.”46
Uang dan kekuasaan dalam organized crime merupakan tujuan dari kelompok ini. Meskipun mereka terlibat dalam aktivitas politik, namun tujuannya
hanya untuk memperoleh perlindungan dari semua aktivitas organisasi yang
mereka lakukan. Karakteristik demikian setidaknya dapat membedakan
organisasi kejahatan seperti ini dengan organisasi lainnya dalam melakukan
aktivitas sosial.
Di Indonesia kekerasan dan kriminalitas tampaknya erat kaitannya
dengan perkembangan suatu wilayah. Beragam sebab dan latar belakang
menjadi alasan munculnya berbagai kejahatan yang diorganisir. Birokrasi yang
belum berjalan efektif dan normal, minimnya lapangan pekerjaan,
ketidakmampuan kepolisian menangani masalah keamanan, adalah beberapa
sebab tidak tuntasnya masalah kekerasan dan kriminalitas. Belum lagi,
pertarungan politik antar elit juga sering terjadi dan menyeret masyarakat ke
dalam konflik diantara mereka, termasuk para preman yang memiliki pengaruh
dan jumlah massa yang tidak sedikit.
Kekerasan dan kriminalitas tampaknya bukan sekadar masalah
sosial-ekonomi, tetapi di dalamnya juga menyangkut aspek-aspek politik. Sekalipun
wilayah para preman berbeda dari kaum politisi, namun terdapat hubungan
antara kriminalitas dan politik, dan juga dengan militer47, seperti yang terjadi pada
masa Orde Baru. Pemimpin organisasi pemuda/preman memainkan peran
sebagai operator politik selama masa Orde Baru, melaksanakan fungsi intimidasi
tidak resmi untuk rezim dan para pejabatnya yang dilakukan bersama-sama
dengan aparat keamanan terkait. Di bawah Orde Baru, sudah menjadi rahasia
umum bahwa kekuasaan organisasi pemuda berakar dari kedekatan mereka
dengan komandan militer lokal. Hal ini memungkinkan mereka menjalankan
aktivitas-aktivitas menguntungkan seperti perjudian dan jaringan perlindungan
46Ibid
47
yang kebal hukum. Perubahan kedudukan militer sejak reformasi di Indonesia,
tidak berarti putusnya keterkaitan ini.48
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sidel tentang bossism, menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah
teritori mereka. Para kelompok bossism ini beroperasi dalam bayangan rezim
daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha,
militer, dan preman.49
Para preman secara khusus mendapat tempat yang baik dalam sebuah
sistem kekuasaan yang di dalamnya kemampuan untuk melakukan, atau paling
tidak mengacam, tindak kejahatan menjadi sesuatu yang penting untuk
mengendalikan keamanan bagi aparatur negara tingkat lokal. Mereka secara
khusus dicari, mengingat militer telah dipaksa mundur dari peran politik mereka.
Di samping menyediakan tenaga bagi calon-calon pejabat, para pemimpin
organisasi pemuda – karena mereka memimpin usaha-usaha gelap yang
menguntungkan – juga mampu membantu permintaan bantuan dana politik.
Dengan otot dan uang, mereka secara potensial mampu mempengaruhi
keputusan politik dan perdebatan di parlemen lokal, termasuk yang berkaitan
dengan alokasi kontrak dan sumber daya lainnya. Karena itu, organisasi
pemuda/preman ini menjadi bagian integral dalam praktik penyelenggaraan
demokrasi baru di Indonesia. Di Medan praktek-praktek seperti yang disebutkan
di atas banyak diperankan oleh PP, IPK, dan FKPPI. Untuk penelitian ini,
organisasi pemuda yang dimaksud adalah Pemuda Pancasila, Ikatan Pemuda
Karya, dan FKPPI. Sebagian bagian dari kelompok kepentingan, organisasi
pemuda tersebut memiliki peran yang cukup signifikan dalam pilkada langsung
terutama kaitannya dengan partai politik. Berikut akan dijelaskan kedudukan
kelompok kepentingan dan partai politik dalam pilkada langsung.
48 Vedi R. Hadiz. Op. Cit. hal. 250.
1.4.3. Partai Politik dan Kelompok Kepentingan dalam Pilkada Langsung di Indonesia
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung
merupakan tradisi politik baru di Indonesia yang diatur dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah.
Penyelenggaraan pilkada langsung di Indonesia sudah diselenggarakan
mulai Juni 2005. Namun, dalam evaluasinya menyimpan berbagai persoalan
krusial diantaranya adalah dari aspek esensi pilkada langsung, permainan
kepentingan elit politik, dan problem legitimasi. Apabila disepakati bahwa
demokrasi substansial terutama ditentukan oleh variabel kinerja dan akuntabilitas
para elit yang terpilih secara demokratis, maka optimisme bahwa pilkada
menjanjikan pemimpin daerah yang lebih berkualitas dan bertanggung jawab –
dibandingkan oleh DPRD – mungkin belum terwujud. Haris misalnya melihat
kepala daerah hasil pilkada diperkirakan akan dijepit oleh kepentingan politik
yang justru bisa mengancam kelangsungan agenda demokrasi, demokratisasi
dan otonomi daerah itu sendiri. Kepentingan politik itu mencakup pertama, kepentingan pemilik uang yang mendanai kebutuhan sang kepala daerah ketika
calon menjadi calon dalam proses pilkada langsung. Kedua, kepentingan partai politik dan kelompok kepentingan yang merasa berjasa telah menominasikan
sang kepala daerah pada masa pencalonan ketika penyelenggaraan pilkada50.
Permasalahan kepentingan politik dalam pilkada langsung
mengakibatkan produk pilkada belum tentu menjanjikan kualitas demokrasi lokal
dan tata pemerintahan daerah yang lebih baik. Karena itu, masyarakat lokal
kelihatannya harus siap kecewa, bukan karena kepala daerah produk pilkada
belum tentu menjanjikan, melainkan juga karena terbatasnya ruang bagi publik di
dalam format kebijakan desentralisasi yang baru. Orientasi pemerintah lokal
(pemda dan DPRD) dalam era pilkada langsung bukanlah pada aspirasi dan
50 Syamsuddin, Haris. 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Otonomi Daerah di Indonesia.
kepentingan rakyat, tetapi cenderung akan bergerser untuk melayani
kepentingan elit yang oligarkis.
Dari pendekatan kelembagaan, pelaksanaan pilkada langsung dapat
dilihat dari dua intitusi yang berperan dalam memainkan kepentingan politik di
tingkat lokal yaitu partai politik (parpol) dan kelompok kepentingan. Setiap partai
politik memiliki kaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
beberapa kelompok kepentingan atau kelompok strategis lainnya, begitu juga
sebaliknya. Keterkaitan itu tentunya dilakukan untuk menjaring aspirasi rakyat
atau masa pemilih (konstituen), yang sangat beragam tuntutannya, dari
masing-masing parpol dan kelompok kepentingan. Dalam kaitan ini, Stewart menjelaskan
banyak lembaga-lembaga otoritas lokal seperti partai politik dan kelompok
kepentingan mengembangkan berbagai forum untuk memberi penekanan
tentang keberagaman untuk mengenal masyarakat lokal di satu wilayah.51 Di
Indonesia misalnya, kelompok kepentingan atau civil society dapat dijadikan sebagai mediation group bagi parpol untuk melakukan pertemuan-pertemuan publik dalam berbagai bentuk.
Namun, di negara-negara berkembang, interaksi kedua institusi ini selalu
berada dalam bingkai kepentingan elit yang menguasai partai politik dan
kelompok kepentingan. Secara teoritik kemacetan komunikasi politik antara elit
dengan rakyat dapat dijelaskan dari karakterisitk elit politik lokal yang disebut
sebagai ”close knit power”, yaitu kekuasaan yang cenderung tertutup dan didominasi oleh sekelompok elit. Karena itu, kooptasi kekuasaan dilakukan oleh
segelintir elit penguasa. Penjelasan teori ini kemudian akan mendukung teori
Sidel tentang bosisme yaitu rezim daerah selalu dilakukan oleh persekutuan
birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.
Peranan parpol sangat berpengaruh dalam proses pilkada langsung.
Karena partai politik memiliki segenap fungsi seperti agregasi dan artikulasi
kepentingan, pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen politik52. Peranan
partai politik dalam pilkada langsung menjadi ukuran penting untuk menilai
51 James Stewart. “Op. Cit. hal. 51. 52
keberhasilan partai politik melaksanakan fungsi-fungsi tersebut sehingga dapat
menjadi pertanda adanya parpol modern. Demokrasi memberikan fungsi-fungsi
tersebut agar parpol dapat menjalankan peran perantara dalam hubungan state dan society. 53 Dalam pilkada langsung fungsi rekrutmen parpol sangat berperan.
Dalam UU No. 32/2004 menempatkan parpol sebagai pemegang peranan
penting untuk melakukan fungsi rekrutmen politik dalam pemilihan kepala
daerah54. Artinya, bahwa undang-undang tersebut menganut paradigma
modernisme partai, yakni bahwa seleksi kepemimpinan pejabat publik
dikendalikan melalui mekanisme partai politik sebagaimana terbukti berjalan
dengan sangat baik di Amerika Serikat, Inggris maupun Australia.55 Dalam pasal
59 diatur bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan wajib membuka
kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon yang memenuhi syarat dan
selanjutnya memproses bakal calon melalui mekanisme yang demokratis dan
transparan, yakni dengan memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
Jika menggunakan kriteria ini, maka seharusnya parpol dalam proses rekrutmen
harus mengedepankan asas akseptabilitas dan kredibilitas.
Akseptabilitas menyangkut tentang kemampuan seorang pemimpin dalam
menguasai sumber daya politik yang menjadi basis bagi kegiatannya, baik
secara legal maupun aktual. Di Indonesia misalnya parlemen (parpol), kelompok
Islam, pelaku usaha, LSM. Sedangkan kredibilitas menyangkut tentang
komitmen, kejujuran dan kepercayaan, keberanian, kemauan untuk bertanggung
jawab atas kemauannya, ketenangan batin, keahlian, keterampilan dan
profesionalitas.56
Tugas partai politik itu kemudian adalah memunculkan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah yang memenuhi syarat akseptabilitas serta
kredibilitas melalui fungsi rekrutmennya. Fungsi tersebut dapat dijalankan oleh
53Ibid. hal. 14-15.
54 Lihat ketentuan Pasal 59 Ayat (2) UU No. 32/2004. Peraturan ini akan direvisi karena keputusan
dari Mahkamah Konstitusi yang membenarkan calon independen ikut dalam pilkada langsung. Pada saat tulisan ini dibuat revisi tersebut masih dalam proses pembahasan.
55