• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.1 Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi Desa Uruk Gedang .1Kelompok Leksikon Kayu .1Kelompok Leksikon Kayu

5.1.5 Kelompok Leksikon Rorohen

Data leksikon tumbuhan rorohen ‘sayuran’ yang diperoleh dari informan berjumlah 25 leksikon. Tidak semua tumbuhan sayuran ini ditanam untuk dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat, namun juga untuk dijual ke pasar tradisional. Namun di antara tanaman sayuran tersebut ada beberapa yang sudah sulit ditemukan karena sejak beberapa tahun belakangan tidak dibudidayakan lagi oleh masyarakat. Hal itu mengakibatkan responden usia yang lebih muda tidak memahami leksikon tersebut karena mereka tidak mengenal tumbuhan itu. Ada juga beberapa tumbuhan yang mereka tidak paham walaupun masih banyak ditemukan di daerah ini. Hal ini disebabkan oleh kurangnya penggunaan bahasa etnis dan pengenalan dari orangtua terhadap generasi muda. Mereka lebih mengenal tumbuhan sayuran itu dengan sebutan dalam bahasa etnis lain dan bahasa Indonesia. Sehingga dibutuhkan perhatian lebih dari orangtua agar lebih sering menggunakan bahasa etnis agar leksikon tersebut tidak benar-benar hilang dari pemahaman remaja dan generasi yang akan datang.

Tumbuhan arum ‘bayam’, buncis ‘buncis’, cemun ‘mentimun’, cemun

‘jipang’, kentang ‘kentang’, kol ‘kubis’, nasi-nasi ‘daun katu’, rias ‘kacang panjang’, ruku-ruku ‘kemangi’, sabi ‘sawi’, dan tuyung ‘terung’ merupakan sayuran yang sengaja ditanam untuk dijual. Jadi alasan utama masyarakat menanam jenis sayuran ini adalah karena bernilai ekonomi tinggi, dan masa panen

yang singkat. Namun pemahaman responden terhadap beberapa sayur-mayur tersebut sudah mengalami penyusutan pada generasi remaja. Di antara jenis sayur di atas, yang telah menyusut pemahaman remaja adalah arum, nasi-nasi, rias, ruku-ruku, dan tuyung. Kelompok remaja ini lebih mengenal sayuran tersebut dengan nama di luar bahasa etnis mereka yaitu BBT atau BI. Jadi dapat disimpulkan, penyebab penyusutan itu adalah kondisi sosial masarakat DUG yang berasal dari latarbelakang budaya yang berbeda mengakibatkan terjadinya kontak bahasa.

Bulung gadong kayu ‘daun singkong’ sangat banyak ditemukan di desa ini karena dapat tumbuh dengan mudah. Bulung gadong kayu ini merupakan sayur yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat setempat karena mudah didapat dan mudah untuk disajikan. Pemahaman responden untuk tumbuhan ini ada pada kategori mengenal. Bungke ‘sejenis kemangi, namun buahnya dapat digunakan untuk membekukan susu’ sebenarnya tidak banyak ditanam oleh masyarakat karena kurang diminati untuk dijadikan sayur dan buahnya juga tidak bermanfaat karena mereka tidak membutuhkannya untuk membekukan susu. Akhirnya banyak kelompok usia remaja yang tidak mengenal tumbuhan ini karena jarang dibudidayakan oleh masyarakat.

Genjer ‘genjer’ marupakan jenis sayur yang hidup di tanah yang basah. Kondisi lingkungan alam di desa ini yang berubah mengakibatkan jenis tumbuhan ini sudah jarang ditemukan karena kekeringan yang melanda desa ini. Namun tidak ada satu pun responden yang tidak pernah mendengar leksikon ini. Penyusutan pemahaman yang terjadi pada kelompok usia remaja kategori

mengenal ke kategori hanya pernah mendengar. Artinya leksikon ini belum benar-benar punah dari pemahaman mereka, tetapi hal itu bisa saja terjadi akibat perubahan kondisi alam yang telah diuraikan sebelumnya.

Kalondang, pariaia, dan tabu merupakan jenis gambas. Ukuran, bentuk, rasa, dan warna menjadi pembeda masing-masing tumbuhan ini. Tumbuhan ini memang kurang disukai oleh masyarakat. Terutama usia remaja tidak menyukai sayuran ini karean rasanya yang pahit. Kondisi ini mengakibatkan tanaman ini tidak banyak dibudidayakan oleh masyarakat, hanya ada beberapa penduduk saja yang membudidayakan tanaman ini. Masalah tersebut mengakibatkan pemahaman responden mengalami penyusutan pada setiap generasi. Selain karena sedikitnya jumlah tanaman ini dibudidayakan, penyebab lain adalah kelompok usia remaja tidak dapat membedakan tumbuhan tersebut, sehingga ketika mereka melihat tumbuhan ini, mereka menyebutnya dengan satu nama yaitu pariaia. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi penyempitan pemahaman pada generasi yang lebih muda.

Mbecih dan tabunggala juga merupakan jenis labu namun perbedaan ukuran yang kecil dan besar membuat nama keduanya berbeda. Labu ukuran yang lebih kecil dan umumnya hanya untuk dikonsumsi sebagai sayuran dinamai

mbecih, sedangkan labu ukuran besar yang dahulu dimanfaatkan juga sebagai tempat menyimpan beras dinamai tabunggala. Pada kedua tumbuhan ini juga telah terjadi penyusutan dalam pemahaman responden remaja. Mereka juga tidak dapat membedakan nama untuk kedua tumbuhan ini. Untuk menamai kedua tumbuhan ini mereka menyebut dengan nama jelok yang merupakan bahasa Batak

Toba. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungann sosial seperti yang telah diuraikan di awal.

Mberrung, tobis, pitola, pulung, dan santung merupakan jenis sayur yang sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat. Hal itu mengakibatkan masyarakat jarang sekali membudidayakan tumbuhan ini, kecuali santung ‘jantung pisang’ yang banyak ditemukan namun tidak begitu disukai oleh masyarakat untuk disajikan sebagai sayur. Mberrung sudah sangat dibudidayakan sehingga berdampak pada hilangnya leksikon ini dari pemahaman responden remaja. Begitu juga halnya dengan pitola dan pulung telah mengalami penyusutan dari pemahaman beberapa responden remaja yang ada pada kategori mengenal, hanya mendengar, dan ada yang tidak pernah mendengar sama sekali.

Turbangen adalah tumbuhan sayur yang biasa dikonsumsi oleh seorang wanita yang baru melahirkan. Walaupun begitu, tumbuhan ini masih banyak ditemukan di daerah ini. Karena jenis sayuran ini biasa dikonsumsi oleh seorang yang baru melahirkan, maka pemahaman responden terhadap tumbuhan ini juga menjadi menyusut terutama pada kategori reamaja. Hal ini memang bukan diakibatkan karena mereka tidak pernah mengonsumsi sayuran tersebut, tetapi diakibatkan oleh kondisi sosial masyarakat DUG membuat beberapa di antara mereka lebih mengenal dengan sebutan dalam bahasa etnis lain yaitu bangun-bangun. Namun mereka mengaku pernah mendengar nama tumbuhan tersebut, sehingga penyusutan pemahaman itu hanya sampai pada kategori pernah mendengar saja. Artinya leksikon turbangen belum hilang dari pemahaman mereka. Kondisi ini menuntut orangtua agar lebih memperkenalkan bahasa etnis

kepada generasi remaja. Jika hal ini terus dibiarkan,bukan tidak mungkin bahasa etnis merekaakan hilang akibat kontak bahasa dengan bahasa etnis yang lain.

5.2 Relasi Semantis Leksikon Flora Bahasa Pakpak Dairi

Relasi semantis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan kemaknaan antara sebuah leksikon atau satuan bahasa dengan leksikon yang lain atau hubungan struktural di antara leksikon-leksikon. Relasi semantis yang terbentuk dari LFBPD di DUG adalah homonim, antonim, meronimi, dan hiponim.

5.2.1 Antonim

Antonim merupakan sebutan untuk dua hal yang memiliki makna yang bertentengan. Antonim juga dapat diartikan sebagai ungkapan yang maknanya merupakan kebalikan dari uangkapan lain yang bersifat dua arah.

Berdasarkan data, diperoleh 2 leksikon yang mengandung pertentangan makna yaitu, leksikon tabunggala dan mbecih.

(1) tabunggala X mbecih

Leksikon tabunggala digunakan untuk menamai ‘labu’ yang memiliki ukuran yang besar, dan leksikon mbecih digunakan untuk menamai ‘labu’ ukuran yang lebih kecil.

Dari kedua leksikon tersebut terlihat bagaimana masyarakat menggunakan istilah yang berbeda untuk menyebut satu benda yang sama hanya karena

ukurannya yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dalam Bahasa Pakpak mengenal istilah antonim.

5.2.2 Homonim dan Homograf A. Homonim

Homonim merupakan nama sama untuk benda atau hal lain. Secara semantik, pengertian homonim suatu ungkapan yang bentuk dan pelafalannya sama dengan ungkapan lain, tetapi memiliki makna yang berbeda.

Berdasarkan data LFBPD yang diperoleh, terdapat leksikon dengan pengucapan atau lafalnya sama, tulisannya sama, namun memiliki makna yang berbeda. Kata atau leksikon yang memiliki ciri seperti ini disebut homonim.

Tabel 5.1 Homonim ‘Tuyung’

(2)

Leksikon tuyung I digunakan untuk menyebut nama buah ‘terong belanda’ atau ‘tiung’, sedangkan tuyung II digunakan untuk menyebut sayur ‘terong’.

Tabel 5.2 Homonim ‘Rias’

(3)

Leksikon rias I merupakan nama sayuran yaitu ‘kacang panjang’, sedangkan leksikon rias II merupakan sebutan untuk tumbuhan yang bunganya digunakan sebagai penambah rasa asam pada masakan.

Leksikon Pengucapan Tulisan Makna

tuyung I [tuyung] tuyung terung belanda

tuyung II [tuyung] tuyung terung

Leksikon Pengucapan Tulisan Makna

rias I [rias] rias kacang panjang

Tabel 5.3 Homonim ‘Cemun’

(4)

Leksikon cemun I merupakan sebutan untuk ‘mentimun’, sedangkan leksikon cemun II merupakan nama jenis sayur merambat atau sering disebut ‘labu siam’.

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa leksikon tuyung I dan

tuyung II, antara leksikon rias I dan rias II, dan antara leksikon cemun I dan

cemun II memiliki hubungan yang disebut homonim.

B. Homograf

Selain homonim, ada juga data leksikon flora yang diperoleh mengandung hubungan yang memiliki persamaan dari segi tulisan, namun memiliki makna dan cara pengucapan yang berbeda. Hubungan seperti ini disebut dengan istilah homograf.

Tabel 5.4 Homograf ‘Tuba’

(5)

Dari data tersebut terlihat ada dua leksikon dengan penulisan yang sama, namun cara pengucapan atau lafal yang berbeda serta makna yang berbeda. Leksikon tuba I yang digunakan untuk menyebut jenis ‘pohon’ diucapkan [tuba], sedangkan leksikon tuba II yang bermakna ‘andaliman’ diucapkan [tu;ba].

Leksikon Pengucapan Tulisan Makna

cemun I [cemun] cemun mentimun

cemun II [cemun] cemun labu siam

Leksikon Pengucapan Tulisan Makna

tuba I [tuba] tuba jenis pohon

5.2.3 Hiponim

Hiponim kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih khusus atau disebut kata khusus. Untuk kata yang ruang lingkup maknanya yang lebih luas disebut hipernim atau kata umum.

Dari data LFBPD yang telah dikumpulkan, maka diperoleh beberapa leksikon yang memiliki hubungan hiponim dan hipernim. Leksikon tersebut adalah mpiangi ‘meranti’, kayu bangunen(kayu bangunan), paku (paku), tambar

(tanaman obat), anyamen (tumbuhan anyaman), nakan pinaken (pakan ternak), pola (nira), gelaga (gelagah),parasit (tumbuhan parasit), dan gambas (gambas).

(6) bane

mpiangi

hori

Gambar 5.1 Hiponim Mpiangi

(7) api-api bintatar celmeng dalung-dalung hori meang meddang mpiangi jati kakembu

kayu bangunen kambuaren

keccing kayu bane kayu ndelleng kimang linjomaroker sampenur simarhuni siterngem sona tuba

(8) arsam dangke jambang lipan paku licin paku rugi-rugi sapilpil tanggiang

Gambar 5.3 Hiponim Paku

(9) alum-alum endet gatap jerango tambar lancing sarindan sindruma singgaren

Gambar 5.4 Hiponim Tambar ‘Tumbuhan Obat’

(10) bangkuang

kiki

anyamen hipon-hipon raso

Gambar 5.5 Hiponim Anyamen

(11) alah-alah

alum-alum nakan pinakan komil

oma

Gambar 5.6 Hiponim Nakan Pinaken

(12) riman

pola ndurur

pola

(13) berhu gelaga lahi

sanggar

Gambar 5.8 Hiponim Gelagah

(14) sarindan

parasit simerpage-page peldang

Gambar 5.9 Hiponim Parasit

(15) kalondang

gambas pariaia tabu

Gambar 5.10 Hiponim Gambas

5.2.4 Meronim

Meronim merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebagian atau keseluruhan hubungan leksikal. Dari data yang diperoleh, terdapat beberapa leksikon yang masuk ke dalam contoh meronim.

(16) galuh

galuh lambat santung

Gambar 5.11Meronim Galuh

(17) pelia

pote

pulung

Gambar 5.12 Meronim Pote

(18) lambat

pola mare-mare

pola

Berdasarkan diagram di atas, maka dapat disimpulkan bahwa BPD memiliki bentuk relasi leksikal jenis meronim untuk kategori leksikon flora meskipun jumlahnya sangat sedikit. Sementara itu, dari 200 leksikon yang diperoleh, tidak ada satu leksikon pun yang memiliki relasi semantis jenis sinonim, homofon, dan polisemi.

5.3 Pemahaman Masyarakat DUG Terhadap Leksikon Flora Bahasa