• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelompok perlakuan FHEMM dosis 34,28; 68,57; dan

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 78-84)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Efek Penghambatan Aktivitas Serum ALP FHEMM pada Tikus

4. Kelompok perlakuan FHEMM dosis 34,28; 68,57; dan

Pengukuran aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM bertujuan untuk melihat efek penghambatan aktivitas serum ALP FHEMM kajian jangka panjang 6 hari pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Evaluasi efek dari FHEMM dilihat dari ada tidaknya penurunan aktivitas serum ALP dibandingkan dengan kontrol negatif CMC-Na 1%. Peringkat dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah 34,28 mg/kgBB (dosis I), 68,57 mg/kgBB (dosis II), dan 137,14 mg/kgBB (dosis III).

Kelompok perlakuan FHEMM dosis I memiliki aktivitas serum ALP sebesar 169,2 ± 10,3 U/l (tabel V). Hasil uji statistik dengan uji Tuckey HSD (tabel VI) menunjukkan kelompok perlakuan FHEMM dosis I memiliki perbedaan bermakna (p = 0,033) terhadap kelompok kontrol karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB (244,4 ± 13,7 U/l), hal ini menunjukkan bahwa FHEMM dosis I mampu menghambat aktivitas serum ALP ditunjukkan dengan penurunan aktivitas serum ALP. Pada kelompok FHEMM dosis I, berdasarkan hasil uji statistik memiliki perbedaan tidak bermakna (p = 0,993) terhadap

kelompok kontrol negatif CMC-Na 1% (180,2 ± 6,8 U/l), hal ini berarti bahwa FHEMM dosis I mampu mengembalikan aktivitas serum ALP ke keadaan normal. Uraian diatas menunjukkan bahwa pemberian FHEMM dosis I memiliki efek penghambatan terhadap aktivitas serum ALP pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Efek penghambatan tersebut sebesar 117%.

Pada kelompok perlakuan FHEMM dosis II diperoleh nilai aktivitas serum ALP sebesar 204,0 ± 25,8 U/l (tabel V). Hasil uji statistik Tuckey HSD (tabel VI) menunjukkan adanya perbedaan tidak bermakna (p = 0,340) antara kelompok perlakuan FHEMM dosis II dengan kelompok kontrol karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB (244,4 ± 13,7 U/l). Hal ini berarti bahwa FHEMM dosis II tidak dapat menurunkan aktivitas serum ALP secara signifikan. Kelompok FHEMM dosis II memiliki perbedaan tidak bermakna (p = 0,826) dengan kelompok kontrol negatif CMC-Na 1% (180,2 ± 6,8 U/l). Ini menunjukkan bahwa walaupun pemberian FHEMM dosis II tidak mengalami penurunan aktivitas serum ALP pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida, namun aktivitas serum ALP yang dihasilkan sebanding dengan keadaan normal (kontrol negatif CMC-Na 1%). Hal ini dapat terjadi karena nilai variansi aktivitas serum ALP yang dihasilkan besar. Oleh karena itu dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penegasan dosis II untuk mengetahui aktivias serum ALP yang dihasilkan. Efek penghambatan tersebut sebesar 63%.

Kelompok perlakuan FHEMM dosis III memiliki nilai aktivitas serum ALP sebesar 106,4 ± 9,3 U/l (tabel V). Hasil uji statistik dengan uji Tuckey HSD (tabel VI), menunjukkan bahwa aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM dosis III mmiliki perbedaan bermakna (p = 0,000) dengan kelompok kontrol karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB (244,4 ± 13,7 U/l). Hal ini berarti bahwa FHEMM dosis III mampu menghambat aktivitas serum ALP ditunjukkan dengan penurunan aktivitas serum ALP secara signifikan. Data aktivitas serum ALP pada kelompok FHEMM dosis III memiliki perbedaan bermakna (p = 0,011) dengan kelompok kontrol negatif CMC-Na 1% (180,2 ± 6,8 U/l). Data aktivitas serum ALP menunjukkan bahwa FHEMM dosis III sudah mampu menurunkan aktivitas serum ALP sampai pada keadaan normal. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian FHEMM dosis III memiliki efek penghambatan terhadap aktivitas serum ALP pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Efek penghambatan tersebut sebesar 214%.

Hasil analisis uji statistik dengan uji Tuckey HSD (tabel VI) menunjukkan bahwa aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM dosis I memiliki perbedaan tidak bermakna (p = 0,500) terhadap aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM dosis II. Hal ini berarti bahwa penurunan aktivitas serum ALP akibat perlakuan FHEMM dosis I dan II sama secara statistik. Aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan dosis I memiliki perbedaan bermakna (p = 0,039) terhadap aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan dosis III. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan aktivitas serum ALP karena perlakuan FHEMM dosis I berbeda dengan penurunan

aktivitas serum ALP akibat perlakuan FHEMM dosis III. Aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM dosis II juga memiliki perbedaan bermakna (p = 0,001) terhadap aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM dosis III. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan aktivitas serum ALP pada kelompok perlakuan FHEMM dosis II dan III berbeda. Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa dosis pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari tidak memiliki kekerabatan dengan aktivitas penurunan kadar ALP pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. 

Berdasarkan hasil yang diperoleh, hipotesis yang disusun peneliti diterima karena sediaan FHEMM kajian jangka panjang 6 hari mampu memberikan efek penghambatan yang signifikan terhadap aktivitas serum ALP pada tikus betina galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida, yaitu pada dosis 137,14 mg/kgBB.

Karbon tetraklorida merupakan hepatotoksin yang digunakan pada penelitian ini. Toksisitas karbon tetraklorida terjadi akibat biotransformasi karbon tetraklorida menjadi radikal bebas triklorometil (CCl3•) oleh enzim CYP2E1 di dalam hati (Weber, dkk., 2003). Radikal bebas merupakan senyawa yang mempunyai elektron tidak berpasangan, sehingga menyebabkan senyawa ini sangat reaktif dan berenergi tinggi (Fessenden dan Fessenden, 1986). Di dalam tubuh radikal bebas triklorometil (CCl3•) bereaksi dengan berbagai zat-zat biologis penting seperti asam amino, nukleotida, asam lemak, protein, asam nukleat, dan lipid. Reaksi ini akan meningkat ketika ada oksigen, radikal bebas triklorometil (CCl3•) apabila bereaksi dengan oksigen akan membentuk radikal

bebas triklorometil peroksi (CCl3O2 •) yang lebih reaktif. Radikal bebas triklorometil peroksi (CCl3O2 •) akan dengan sangat cepat untuk mencari atom hidrogen agar menjadi stabil, radikal ini akan memutus atom hidrogen dari

polyunsaturated fatty acids (PUFA), hal ini merupakan awal dari proses

peroksidasi lipid (Weber, dkk., 2003).

Peroksidasi lipid akibat karbon tetraklorida berpengaruh secara signifikan terhadap sintesis protein, sekresi protein, dan sekresi lipoprotein, yang mana lipoprotein berfungsi untuk transport lipid. Akibat adanya gangguan pada proses transport lipid yaitu terjadi perlemakan hati (steatosis). Proses peroksidasi lipid dapat menyebabkan rusaknya fungsi sel dan cedera pada sel hati yang dapat ditandai dengan kenaikan aktivitas serum hati, salah satunya adalah ALP (Weber, dkk., 2003).

Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor). Senyawa ini dapat mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Terdapat 3 jenis antioksidan, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan primer merupakan antioksidan yang diproduksi secara alami didalam tubuh seperti glutation peroksidase (GSH). Antioksidan sekunder merupakan antioksidan yang tidak diproduksi secara alami di dalam tubuh, biasanya banyak ditemukan di tanaman, seperti tanin, flavonoid, dan metabolit sekunder lainnya. Antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair (Winarsi, 2007).

Efek penghambatan terhadap aktivitas serum ALP yang dihasilkan dari pemberian FHEMM ini diduga karena adanya aktivitas antioksidan di dalam

FHEMM, khususnya tanin. Tanin merupakan senyawa fenolik yang jumlahnya mendominasi dalam kandungan metabolit sekunder tanaman dan juga merupakan salah satu senyawa antioksidan sekunder yang memiliki kemampuan untuk menangkal radikal bebas (Zhang dan Lin, 2008). Senyawa tanin di dalam FHEMM akan menstabilkan radikal bebas triklorometil (CCl3•) dan radikal bebas triklorometil peroksi (CCl3O2•) dengan cara menyumbangkan atom H dari gugus hidroksil sehingga radikal bebas triklorometil (CCl3•) dan radikal bebas triklorometil peroksi (CCl3O2•) menjadi lebih stabil dan tidak reaktif. Kestabilan kedua senyawa tersebut menyebabkan terhentinya proses peroksidasi lipid sehingga dapat mencegah terjadinya steatosis yang ditandai dengan terjadinya penghambatan peningkatan aktivitas ALP.

Senyawa model hepatotoksin yang digunakan pada penelitian ini adalah karbon tetraklorida yang dapat menyebabkan kerusakan hati berupa steatosis, sehingga peneliti hanya dapat menyimpulkan bahwa pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari dapat memberikan efek penghambatan aktivitas serum ALP pada kondisi steatosis. Pada penelitian ini belum dapat ditentukan apakah pemberian FHEMM jangka panjang 6 hari dapat memberikan efek penghambatan aktivitas serum ALP pada jenis kerusakan hati lainnya, seperti nekrosis. Menurut Jollow (cit., Olaleye, Amobonye, Komolafe, dan Akinmoladun, 2014) parasetamol dapat menyebabkan nekrosis hepatik. Oleh karena itu, peneliti menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan senyawa model hepatotoksin lain, seperti parasetamol yang dapat

menyebabkan nekrosis. Selain itu, sebagai data pendukung perlu dilakukannya uji histopatologi terhadap organ hati hewan uji.

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 78-84)

Dokumen terkait