• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KEBERADAAN “HARTA” BAGI MASYARAKAT PINGGIRAN

III.3 Profil 7 Keluarga yang Bermukim di Pinggiran Sungai

III.3.2 Keluarga Arwi

Melalui Keluarga Arwi didapati informan dari Desi (27) seorang ibu rumah tangga berdarah Tamil dan Cina. Suaminya Arwi (39) seorang Tamil adalah seorang pekerja jaga malam di salah satu rumah makan di kawasan Petisah. Keluarga Arwi adalah Katolik, sementara ibu Mertuanya yakni ibu kandung dari Desi adalah hindu yang tinggal serumah bersama dengannya. Desi menceritakan bahwa ayahnya yang merupakan orang Tionghoa, sejak kecil

dirinya telah ditinggal mati bersama dua saudaranya yang lain. Keluarga Arwi tidak memiliki rumah sendiri di pemukiman pinggiran sungai, alias berstatus masih menyewa. Meskipun Desi dan ibunya sudah tinggal lumayan lama di wilayah tersebut yakni selama kurun waktu 10 tahun.

Setelah menikah dengan Arwi, mereka memutuskan untuk tetap tinggal bersama dengan Ibunda dari Desi yang juga telah menjadi ibu mertua dari Arwi. Dalam kehidupan sehari-hari rumah sewa yang ditinggali sebesar Rp 150 ribu perbulan sudah ikut dengan membayar listrik, diisi oleh 5 orang yang terdiri dari Desi, Arwi, Ibu dan dua orang anak buah hati dari Desi dan suaminya Arwi yang bernama Abel berusia 5 tahun dan yang paling kecil Rohan masih berusia 4 bulan. Dalam hal penghasilan keluarga Arwi mendapatkannya dengan pekerjaan sang suami sebagai seorang petugas jaga malam di salah satu rumah makan yang bernama rumah makan Djogja. Sementara Desi dan Ibunya berjualan cennil dan bubur yang sudah lama dilakoni bahkan sebelum Desi menikah.

Penghasilan Arwi sebagai seorang petugas jaga malam untuk perbulannya mendapatkan gaji sebesar Rp.800/bln. Sementara hasil dari berjualan bubur dan cennil yang dijual oleh ibunya terkadang tidak menentu, bisa saja dalam sehari dapat 20 ribu dan yang paling banyak bisa saja lebih dari 50 ribu. Penghasilan ini sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga Arwi dalam hal ini yang terutama adalah kebutuhan pokok untuk makan dan minum, sementara untuk hal lain yang lebih mewah sebut saja TV atau benda-benda yang nilainya berharga tinggi atau mahal masih diakui oleh Desi, untuk hal seperti itu masih dikesampingkan oleh keluarganya.

Terpenting bagi Keluarga Arwi menurut Desi adalah kebutuhan makan keluarga dapat terpenuhi dan terpenting adalah kerukunan dan kedamaian keluarga. Banyak yang kaya menurutnya tetapi tidak rukun dan sejahtera. Kehidupan yang sangat sederhana memang terbukti dari keadaan rumah yang tidak diisi dengan contohnya berupa barang-barang yang cukup berharga bagi kebanyakan orang, seperti TV, Kulkas, Kipas, ataupun barang-barang lainnya. Ruangan rumah hanya di isi oleh satu unit kasur besar, 2 buah kursi plastik, meja kayu panjang sebagai meja makan dan rak piring serta kompor minyak. Tetapi kehidupan yang tampak sederhana itu menjadi jawaban pasti akan prinsip yang diterapkan oleh Desi terbukti melalui perkataannya sebagai berikut :

“Gak penting sekarang mewah, beli barang kan, ini itu, yang penting makan sanggup, itu saja lha. Suami kerja, ngumpulin uang. Urusan harta nanti aja, belakangan, yang penting anak-anak makan, sekolah, sehat , nanti lama-lama baru mikirin soal uang yang banyak, anak-anak masih kecil, mereka dulu lha yang diutamain. Siapa yang gak mau punya banyak duit kan? Tapi untuk sekarang harta kakak yang nomor satu keluarga”.

Untuk soal barang, Desi mengaku tidak punya dan tidak terlalu ambil pusing. Hal itu sudah jelas dengan perkataannya yang ada diatas. Seiring dengan itu, keputusan untuk berhidup hemat tapi tidak sengsara juga diterapkan olehnya guna keadaan yang lebih baik di kemudian hari. Sesuatu barang yang mahal bukan menjadi orientasinya. Berhemat juga dilakukannya dengan sengaja menyewa rumah di Gang Soor, dekat dengan pinggiran sungai. Keadaan rumah yang semi permanen sudah lumayan bagi dirinya, Arwi suaminya dan Ibundanya. Dengan uang sewa yang cukup dinilai murah sudah ikut dengan listrik, hal itu sudah

meringankan beban hidup. Sewa yang cukup murah dapat dengan tariff segitu karena pemakain arus listrik yang tidak banyak, maklum barang atau alat yang membutuhkan tenaga arus listrik yang banyak tidak dimiliki. Selain itu air tidak ada, mereka membeli se embernya Rp.500 perak itupun untuk makan, minum, dan cuci piring.

Sedikit menyinggung aktivitas sehari-harinya yang saban hari di rumah terus menjaga si kecil Rohan yang berhubung masih menyusui, kebosanan pun sering melanda dirinya.

“Bosan dirumah terus, gak ada TV, kalo ada TV pasti menonton ada hiburan. Kemarin punya TV, tapi rusak jadi sudahlah, di biarin gak pake dulu. Kalo mau nonton si Abel (putrid sulungnya) pergi ke tetangga aja sambil main, tunggu dibelikan TV ama bapaknya”, katanya.

Ditanya soal keputusan tinggal di lingkungan pinggiran sungai, telah terjawab seperti diatas bahwa dirinya dan ibunya sudah lama tinggal dan mengenal lokasi tersebut secara pasti, kemudian harga sewa rumah yang cukup bersahabat dengan kondisi yang layak yang belum tentu didapatkan rumah murah layak huni di tempat lain, selain itu alasan terjangkau tempat kerja, dan berada di pusat kota, serta terjangkau dari segala fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai. Disinggung juga soal pendapatnya akan tempat tinggalnya yang kumuh dan liar, maka dia mengakui setuju kalau lingkungan pemukiman pinggiran sungai yang ditempatinya serta penduduk yang lain, memang bisa disebut kumuh.

Alasannya sangat awam yakni, mendirikan rumah di pinggiran sungai yang tidak pantas untuk dihuni, memang kurang layak, selain itu, rumah yang

berpadat-padatan menimbulkan kesan sumpek dan jorok, terlebih rumah-rumah yang masih non permanen dan sangat sederhana masih banyak, maka pantas dia mengatakan kalau pemukimannya masih kumuh. Sementara untuk perkara liar, diapun sangat setuju sekali. Pasalnya lingkungan itu adalah pinggiran sungai yang masih menjadi milik pemerintah, tidak pantas sebenarnya mendirikan alam karena itu akan merusak. Tetapi orang tinggal di kota sudah menjadi hal yang biasa setiap sudut kota dipenuhi karena kepadatannya. Tempat yang tidak ber ijin seperti pinggiran sungai pun jadi pemukiman yang bisa ditinggali walaupun keberadaannya liar, suatu waktu bisa digusur oleh pemerintah.

Untuk soal harta, pandangannya sesungguhnya sudah diperoleh dari bagian isi yang tertuang diatas yakni sesuatu yang berharga bagi keluarganya bukanlah terbatas pada uang, atau benda yang berharga atau materi, akan tetapi lebih kepada sesuatu yang sifatnya non materi yakni Keluarga, kesehatan dan harapan hidup yang lebih baik di masa depan.