• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TANGGUNGJAWAB KELUARGA KATOLIK TERHADAP

A. Tanggungjawab Keluarga Katolik

2. Keluarga Katolik

a. Pengertian Keluarga Katolik

KWI (2011: 5) menyatakan bahwa keluarga merupakan buah dan sekaligus tanda kesuburan adikordrati Gereja serta memiliki ikatan yang mendalam sehingga keluarga disebut sebagai Gereja Rumah-tangga (Ecclesia Domestica). Sebutan ini selain memperlihatkan eratnya pertalian antara Gereja dan keluarga, juga menegaskan fungsi keluarga yang disebut sebagai bentuk yang terkecil dari Gereja.

Keluarga, yang didasarkan pada cintakasih serta dihidupkan oleh cinta kasih, merupakan persekutuan pribadi: suami dan istri, orang tua dan anak-anak, serta saudara-saudara. Kasih sejati dalam keluarga adalah kasih yang membuahkan kebaikan bagi semua anggota keluarga (FC art. 18). Pengertian keluarga ini memperlihatkan bahwa setiap manusia berasal dari keluarga. Dalam keluarga terdapat pribadi yang berbeda-beda, namun mereka hidup bersama dalam

cinta kasih. Setiap pribadi menunjukan cinta kasih melalui tindakan konkret untuk kebahagian, kesejahteraan, dan keselamatan keluarga (KWI 2011:10).

Keluarga tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, keluarga merupakan sel terkecil dari masyarakat luas. Konsili Vatikan II mengatakan: “karena Pencipta alam semesta telah menetapkan persekutuan suami-istri menjadi asal-mula dan dasar masyarakat manusia, maka keluarga merupakan sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat” (AA art. 11). Sebagai sel terkecil dalam masyarakat, keluarga mempunyai hubungan-hubungan yang amat penting dan organik dengan masyarakat, karena di dalam keluarga seluruh jaringan hubungan sosial dibangun (Paus Yohanes Paulus II, 1994:8). Melalui kehadiran dan peran anggota- anggotanya, keluarga menjadi tempat asal dan upaya efektif untuk membangun masyarakat yang memanusia dan rukun (FC art. 43)

Keluarga memiliki hubungan kedekatan atau relasi antar anggota- anggotanya. Dalam perkawinan dan keluarga terjalin serangkaian hubungan antar pribadi (FC art. 15). Setiap anggota keluarga dijalin oleh relasi yang bersifat personal dan fungsional. Yang dimaksud dengan relasi personal adalah relasi antar pribadi, yang tidak didasarkan pada kedudukan atau fungsi seseorang. Dalam keluarga, kedua relasi ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena hubungan fungsional dalam keluarga harus selalu personal juga, artinya harus selalu dalam semangat menerima yang lain sebagai pribadi yang bermartabat sama karena memiliki hak yang sama pula.

Pandangan mengenai keluarga di atas sejalan dengan pandangan Gereja dalam Katekismus Gereja Katolik yang mengartikan keluarga Katolik sebagai

persekutuan kodrati, di mana pria dan wanita di panngil untuk menyerahkan diri dalam cinta kasih melanjutkan kehidupan (KGK No. 2207). Artinya persekutuan pribadi-pribadi ini terjadi atas dasar pilihan dan keputusan sadar dan bebas antara seorang pria dan seorang wanita, serta diungkapkan dalam kesepakatan nikah. Mereka bersedia meninggalkan segalanya, termaksud orang tua dan sanak saudaranya untuk membangun persekutuan hidup dengan pasangannya.

Pria dan wanita dipanggil untuk senantiasa menumbuhkembangkan persatuan mereka dengan selalu setia pada janji perkawinan. Berkat janji perkawinan yang diucapkan, mereka tidak lagi dua melainkan satu daging. Dalam Mat 19:6 dikatakan “Demikianlah mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu, apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Sabda Yesus ini mengatakan bahwa suami-istri merupakan dua pribadi yang telah disatukan oleh Allah. Surat Santo Paulus kepada jemaat di Efesus (5:22-23) mengatakan suatu perkawinan dapat dikatakan sebagai sakramen, sebagai tanda dan rahmat hubungan antara Allah dan jemaat-Nya, bila perkawinan tersebut dilakukan secara sah oleh dua pribadi yang telah dibaptis dalam nama Yesus.

b. Keluarga Katolik adalah Gereja Rumah Tangga

KWI (2011: 15-18) menegaskan bahwa keluarga adalah Gereja rumah- tangga. Berkat Sakramen Baptis, suami-istri menerima tiga martabat Kristus, yakni martabat kenabian, imamat, dan rajawi. Berkat Sakramen Baptis pula, mereka menjadi anggota dan ikut membangun Gereja. Gereja bukan hanya merupakan sebuah komunitas basis Gerejawi yang mengambil bagian dalam karya

penyelamatan Allah. Keluarga adalah Gereja rumah tangga karena mengambil bagian lima tugas Gereja seperti diungkapkan KWI (2011: 15-17) antara lain:

1) Persekutuan (Koinonia)

Keluarga adalah persekutuan seluruh hidup antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang diperluas dengan kehadiran anak. Ciri pokok persekutuan tersebut adalah hidup bersama berdasarkan iman dan cinta kasih serta kesedian untuk saling mengembangkan pribadi satu sama lain (KWI, 2011:15-16). Cinta kasih merupakan kekuatan keluarga yang utama karena tanpa cinta kasih keluarga tidak dapat hidup, berkembang atau menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi-pribadi (FC art. 18).

Persekutuan dalam keluarga akan terwujudkan dan makin sempurna berkat semangat berkorban yang besar. Dalam keluarga dibutuhkan sikap terbuka dan murah hati, bertenggang rasa, saling mengampuni dan saling berdamai (FC art. 21). Sikap saling memaafkan diwujudkan dengan memaafkan apabila ada anggota keluarga yang berbuat salah dan tetap menerima mereka meskipun memiliki keterbatasan, seperti anak yang nakal tetap diterima dengan penuh kasih sayang. Persekutuan dalam keluarga juga dapat diwujudkan dengan menciptakan saat-saat bersama, misalnya: doa bersama, kesetian dalam suka dan duka baik ketika sehat maupun sakit.

2) Liturgi (Leiturgia)

Kepenuhan hidup Katolik tercapai melalui sakramen dan hidup doa karena keluarga dapat bertemu dan berdialog dengan Allah. Suami istri mempunyai

tanggungjawab membangun kesejahteraan jasmani dan rohani bagi keluarganya dengan doa dan karya. Doa dalam keluarga yang dilakukan dengan setia akan memberi kekuatan iman dalam hidup mereka, terutama ketika mereka sedang menghadapi dan mengalami persoalan sulit dan berat, dan membuahkan rohani, yaitu relasi yang mesra dengan Allah (KWI, 2011:16).

Kegiatan rohani keluarga dapat dilakukan dalam bentuk Ekaristi bersama di Gereja, doa bersama dalam keluarga pada saat tertentu, seperti saat ulang tahun, mendoakan keluarga yang sudah meninggal, dan lain sebagainya. Kemudian bisa diadakan Ekaristi maupun ibadat keluarga.

3) Pewartaan Injil (Kerygma)

Keluarga merupakan Gereja Rumah Tangga sehingga ikut ambil bagian dalam tugas Gereja untuk mewartakan Injil. Keluarga hendaknya menyadari tugas perutusan itu dimana semua anggota mewartakan, dan menerima pewartaan Injil. Orang tua tidak sekedar menyampaikan Injil kepada anak-anak mereka, melainkan anakpun mempunyai kesempatan untuk menyampaikan Injil.

4) Pelayanan (Diakonia)

Keluarga merupakan persekutuan cinta kasih, maka keluarga dipanggil untuk mengamalkan cinta kasih. Keluarga Katolik menyediakan diri untuk melayani setiap orang sebagai pribadi dan anak Allah. Pelayanan keluarga hendaknya bertujuan memperdayakan mereka yang dilayani sehingga mereka dapat mandiri. Cinta kasih pun menjangkau lebih luas dari kalangan sesama yang seiman, karena “setiap orang adalah saudara atau saudari”.

5) Kesaksian Iman (Martyria)

Keluarga hendaknya berani memberi kesaksian imannya dengan perkataan maupun tindakan. Kesaksian iman itu dilakukan dengan berani menyurakan kebenaran, bersikap kritis terhadap berbagai ketidakadilan dan tindak kekerasan yang merendahkan martabat manusia serta merugikan masyarakat umum (KWI, 2011: 17-18).

c. Keluarga Katolik adalah Sel Terkecil di Masyarakat

Gereja mengakui bahwa keluarga adalah sel terkecil dalam masyarakat, karena di sana seluruh jaringan hubungan sosial dibangun. Melalui kehadiran dan peran anggota-anggotanya, keluarga menjadi tempat asal dan upaya efektif untuk membangun masyarakat yang manusiawi dan rukun (KWI, 2011:18). Dalam pangkuan keluargalah para warga masyarakat dilahirkan, di tengah keluarga pula mereka menemukan latihan pertama bagi keutamaan-keutamaan sosial, yang merupakan prinsip penjiwaan untuk kehidupan serta perkembangan masyarakat sendiri (FC art. 42).

Pengalaman persekutuan dan saling berbagi merupakan sumbangan pertama dan mendasar bagi masyarakat (FC art. 43). Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman kebersamaan dan saling berbagi dalam keluarga dapat menjadi bekal bagi anggota keluarga untuk melaksanakannya dalam hidup bermasyarakat.

Keluarga menjadi asal dan upaya saling “memanusiakan” dan “mempribadikan” masyarakat (FC art. 43). Oleh karena itu, keluarga Katolik

diharapkan dapat menyumbangkan keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai Katolik yang dimiliki dan dihayatinya. Anggota keluarga diharapkan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan dalam masyarakat dan menunjukkan nilai-nilai Katolik yang dimiliki dan dihayatinya. Melalui keterlibatan mereka dapat tercipta masyarakat yang manusiawi dan rukun.

d. Ciri-ciri Keluarga Katolik

Selain merupakan sel terkecil dalam masyarakat luas, keluarga Katolik juga merupakan bagian utuh dari Gereja. Sebagian dari Gereja, keluarga Katolik ikut ambil bagian dalam tugas perutusan Gereja, yakni mewartakan dan menyebarluaskan Injil. Maka dari itu, keluarga juga sering disebut Gereja kecil (FC art. 21). Sebagai Gereja kecil, keluarga Katolik memiliki ciri-ciri yang khas, yakni membentuk persekutuan pribadi-pribadi, monogam dan tak terceraikan (Rukiyanto dan Esti Sumarah, 2014: 63-65).

1) Membentuk Persekutuan Pribadi-pribadi

Keluarga mempunyai peranan membentuk persekutuan pribadi-priabdi. Membentuk persekutuan pribadi berarti membangun antarpribadi dalam komunitas yang berdasarkan pada cinta kasih. Pribadi yang bersekutu atau bersatu adalah pertama-tama suami dan istri, kemudian orang tua dan anak-anak serta sanak saudara. Pribadi-pribadi yang hidup dalam keluarga memerlukan dasar untuk mempersatukan mereka. Dasar yang mengikat persatuan mereka adalah cinta kasih. Cinta kasih merupakan dasar kekuatan dan tujuan akhir hidup keluarga. Tanpa dilandasi dan diperkokoh dengan cinta kasih, keluarga tidak

dapat hidup berkembang atau menyempurnakan persekutuan pribadi-pribadi (FC art. 18)

“Cinta merupakan dasar kehidupan keluarga Kristiani” (Wignyasumarta, 2000: 13). Artinya keluarga Kristiani harus memperkembangkan cinta itu agar tumbuh menjadi persekutuan antarpribadi. Sebab cinta yang mempersatukan saumi istri adalah cinta yang ekslusif. Cinta suami istri juga bersifat tak terceraikan, karena dilandaskan pada cinta yang total, dituntut demi kesejahteraan anak, serta dikehendaki Allah menjadi lambang cinta Allah dan Kristus pada umat-Nya (Kristianto dalam Rukiyanto dan Esti Sumarah 2014: 65). Perempuan dan laki-laki berperan sebagai suami dan istri dan juga sebagai ayah dan ibu terhadap anak-anak mereka. Kehadiran anak dalam keluarga mereka memang patut dilindungi, dihargai, dan dicintai. Martabat pribadi anak-anak mereka diakui dan dijadikan pusat perhatian orang tua.

2) Monogam dan Tak Terceraikan

Pernikahan adalah persekutuan hidup yang dibangun oleh seorang pria dan seorang wanita (Monogami). Terbentuknya persekutuan itu pertama kali dijalin dan berkembang oleh persekutuan suami-istri melalui janji perkawinan. Mereka ini „bukan lagi dua melainkan satu‟ (Mat 19:6). Kutipan ini memberi gambaran bahwa pasangan suami-istri senantiasa menjaga keutuhan hubungan mereka berdua. Kesatuan cinta yang mereka bina sepenuhnya hanya dapat terwujud dalam ikatan satu pria dan wanita berlangsung sepanjang hidup (kekal tak terceraikan). Maka sifat poligami (memiliki istri lebih dari satu), dengan berbagai alasan apapun sangat bertentangan dengan kehendak Allah (GS art. 49).

Persekutuan suami-istri menjadikan mereka dipanggil oleh Allah untuk tumbuh dan berkembang dalam persekutuan yang mereka bina lewat kesetian dalam janji pernikahan untuk saling menyerahkan diri seutuhnya (FC art. 19). Persekutuan suami-istri tidak hanya ada ciri kesatuan melainkan tak terceraikan. Kesatuan yang tak terceraikan ini sekaligus menuntut kesetian yang utuh dari kedua pihak baik dari suami maupun dari istri dan kepentingan anak-anak (GS art. 48). Demi kepenuhan cinta menuju kesempurnaannya, dan demi kesejahteraan anak serta tuntutan sakramental, bahwa cinta suami-istri merupakan lambang cinta Allah dan Kristus kepada jemaat-Nya yang bersifat kekal, maka perceraian secara tegas ditolak oleh Kristus sendiri Rukiyanto dan Sumarah (2014: 65). Sebuah pernikahan tentu membawa konsekuensi atasnya. Janji nikah yang diikrarkan oleh kedua mempelai membuktikan bahwa cinta mereka pun dituntut menuju kesempurnaan serta kesejahteraan anak. Hubungan cinta keduanya juga merupakan gambaran hubungan cinta Allah dan Kristus kepada Gereja yang mana Kristus sebagai kepalanya dan manusia menjadi anggota-anggotanya. Oleh karena itu sebuah pernikahan yang telah dilakukan secara sah dan diikat oleh rahmat sakramen perkawinan tidak dapat terceraikan atau dipisahkan lagi. Demikian juga segala bentuk perbedaan maupun perpecahan yang menyangkut apapun itu merupakan sebuah penyimpanan dari makna kesatuan yang sesungguhnya. Walaupun suami-istri memiliki berbagai perbedaan, hendaknya jangan sampai hal tersebut menjadi sumber perceraian tetapi justru didayagunakan secara sinergis, agar dapat tercipta kesejahteraan bersama (Kristianto dalam Rukiyanto dan Esti Sumarah 2014: 65).

e. Tugas Keluarga Katolik

Kristianto dalam buku Rukiyanto dan Esti Sumarah (2014: 66-70) mengungkapkan kembali isi dari Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang peranan Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern (Familiaris Consortio) bahwa sesusai dengan rencana Allah, keluarga Katolik mengemban tugas penting sebagai berikut:

1) Mengabdi Kehidupan

Kristianto dalam Rukiyanto dan Esti Sumarah (2014: 66) mengungkapkan bahwa “peranan keluarga Kristiani yang juga sangat penting adalah mengabdi kehidupan. Ini pertama-tama demi penyaluran kehidupan melalui keturunan.” Tentu pengadaan keturunan didasari oleh cinta suami-istri yang bersifat subur, baik dalam arti menurunkan anak maupun dalam membuahkan kekayaan moral dan spiritual. Tugas dan kewajiban orang tua untuk mendidik anak ini merupakan hak esensial, orisinil dan primer, tak tergantikan dan tak terpindahkan oleh siapun. Semua itu didasarkan atas dasar cinta sebagai prinsipnya. Anak-anak perlu dididik dalam nilai-nilai dasar: tidak lekat pada harta, adil karena cinta meluap, dan murni dalam seksualitas. Dan masih banyak hal lain, seperti pendidikan iman, pendidikan mengenal arah hidup atau panggilan, dan sebagainya, karena orang tua adalah ibu dan guru, seperti Gereja, dalam bidang iman.

2) Ikut Serta Dalam Pengembangan Masyarakat

Keluarga sebagai sel masyarakat mempunyai peranan yang pertama dan amat penting dalam mengembangkan masyarakat yang sehat. Masyarakat yang

sehat dapat terwujud oleh faktor adanya keluarga yang sehat pula. Hubungan erat antara keluarga dan masyarakat menuntut sikap terbuka dari keluarga dan masyarakat untuk berkerjasama membela dan mengembangkan kesejahteraan setiap orang. Tetapi masyarakat harus mengakui keberadaan keluarga sebagai rukun hidup yang mempunyai hak aslinya sendiri (FC art. 45).

Suasana kesatuan yang akrab keluarga sebagai sekolah hidup bermasyarakat dapat menumbuhkan semangat berkorban dan dialog untuk dapat membina dan mengembangkan sikap sosial dan rasa tanggungjawab. Maka orang tua diharapkan mengajak anak belajar memperhatikan orang lain Kristianto dalam Rukiyanto dan Esti sumarah (2014: 68).

3) Berperan Serta Dalam Kehidupan dan Misi Gereja

Keluarga Kristiani mempunyai peranan untuk ikut serta dalam kehidupan Gereja. Keluarga dan Gereja mempunyai ikatan yang mendalam yaitu menjadi keluarga suatu “Gereja Kecil” (“Ecclesia Domestica” = Gereja rumah tangga) sedemikian rupa sehingga dengan caranya sendiri keluarga menjadi lambang hidup dan penampilan historis bagi misteri Gereja (FC art. 49). Oleh karena itu keluarga tidak hanya menerima cinta kasih Kristus dan menjadi rukun hidup yang diselamatkan, melainkan mereka diharapkan juga dapat menyalurkan cinta kasih Kristus kepada saudara-saudara mereka. Hanya dengan demikian keluarga mampu menjadi persekutuan yang menyelamatkan.

Melalui kegiatan merayakan sakramen-sakramen Gereja diharapkan dapat semakin memperkaya dan memperkuat keluarga Kristiani dengan rahmat Kristus,

supaya keluarga dikuduskan demi kemulian Bapa Kristianto dalam Rukiyanto dan Esti Sumarah 2014: 68. Ini berarti kehadiran Gereja juga ikut memberi warna akan cinta kasih terus menerus kepada keluarga Kristiani dengan demikian akan semakin mendorong dan membina keluarga Kristiani untuk melaksanakan pelayanannya dalam cinta kasih. Pelayanan cinta kasih tersebut berpola pada Kristus yang penuh pengorbanan. Maka dari itu, keluarga diharapkan dapat menyalurkan cinta kasih Kristus kepada saudara-saudari mereka.

Yesus Kristus menjadi teladan dan sumber hidup keluarga Kristiani maka keluarga Kristiani juga mempunyai tugas pokok dalam mengembangkan misi Gereja yang mengacu pada hidup Yesus sebagai Nabi dan Raja Rukiyanto dan Esti Sumarah, (2014: 69). “Keluarga juga mempunyai tugas rajawi, yakni memberi arah dan kepemimpinan dengan melayani sesama manusia seperti Kristus Raja (Rm 6:12)” Kristianto Rukiyanto dan Esti Sumarah (2014: 70). Dalam tugas rajawi ini keluarga harus mampu melihat setiap orang khususnya anak-anak sebagai citra Allah dan terutama pada mereka yang menderita, yang mana semuanya itu harus dilaksanakan dan didasarkan dengan cinta kasih.

Dokumen terkait