• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. PROFIL KASUS ANAK PEKERJA PENYAPU ANGKOT

5.2. Perilaku Yang Bersifat Ekternal

5.2.2. Keluarga

Keluarga yang merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat dan merupakan sekelompok orang yang memiliki ikatan emosional dan memiliki hubungan darah sehingga memiliki rasa ingin saling melindungi. Hubungan ini sangat kuat sehingga antara anggota yang satu denganyang lainnya saling membantu dan melindungi. Masalah yang sering dihadapi keluarga adalah masalah pemenuhan kebutuhan, baik kebutuhan primer maupun skunder. masalah pemenuhan kebutuhan inilah pada akhirnya membuat tatanan nilai keluarga

menjadi rancu dan tidak sesuai dengan nilai-nilai secara umum. Kita ketahui bersama bahwa keluarga memiliki seorang kepala keluarga dan biasanya posisi kepala keluarga di pegang oleh seorang suami/ bapak bagi anak-anak yang menjadi tulang punggung dalam pemenuhan kebutuhan keluarganya. Namun berbeda saat kondisi sosial ekonomi keluarga tersebut kurang terpenuhi, kepala keluarga tidak memiliki kemampuan untuk menunjang terpenuhinya kebutuhan secara layak seperti yang terjadi di Desa Mangaran, dimana banyak anak yang turut bekerja membantu menopang kebutuhan ekonomi keluarga.

Berdasarkan hasil wawancara, para informan terpaksa menjadi pekerja anak di terminal Pinang Baris dikarenakan pengaruh tekanan kebutuhan ekonomi keluarga mendorong anak bekerja sebagai penyapu angkot. Keluarga mereka memotivasi mereka untuk bekerja, karena mereka kasihan pada ibunya yang setiap hari mengeluhkan apa yang bisa di masak karena bahan-bahan dapur sudah habis. Perkataan ibu mereka seperti itulah mendorong mereka harus mencari cara agar bisa membantu ibunya, rasa sayang seorang anak kepada ibunya mempengaruhi perilaku dan sikap yang harus mereka ambil.

Sikap merupakan konsep yang menjadi perhatian utama dalam psikologi sosial, sehingga ada yang menganggap psikologi sosial adalah bidang studi yang mempelajari sikap (Thomas dan Zaniecki 1918 dalam Sarlito W. Sarwono). Menurut Allport sikap merupakan dalam keadaan sehat dan sikap melakukan aksi/ tindakan atau dapat dianalogikan dengan keadaan atau kesiapan raga yang dapat diamati. Kesiapan mental dan saraf diatur melalui pengalaman, mengunakan

pengaruh petunjuk atau dinamis atau respon individual terhadap objek dan situasi yang terkait.

Anak-anak pekerja penyapu angkot ini berkerja bukan di sektor pabrik yang berbahaya dan berat, namun mereka bekerja membersihkan angkot-angkot yang ada diterminal dan di titik-titik dimana angkot tersebut berhenti lalu mereka menawarkan jasanya, tetapi yang di kwatikan adalah pengaruh negatif akibat terlalu dini bekerja. Seperti yang di sahkan oleh pemerintah bahwasanya seseorang yang belum berusia 0- 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan, yang harus di lindungi, di sayangi serta di berikan perhatian yang lebih. Sebenarnya, secara Psikologis dengan melatih anak bekerja secara mandiri atau bekerja dalam rangka membantu orantua memiliki efek pedagogis yang positif. Tetapi yang di kwatirkan adalah keluarga miskin seringkali pekerjaan anak terlalu berlebihan.

Sesuai dari hasil penelitian yang penulis temukan, anak-anak pekerja penyapu angkot ini, mereka bekerja justru masih dikatakan anak di bawah umur karena mereka rata-rata berumur 5 tahun sampai 18 tahun. Menurut Mulandar (1996), kebanyakan anak jalanan mempunyai cerita tentang latar belakang keluarga mereka sendiri sebelum mereka bekerja dan hidup di jalanan.

Sejalan dengan menurut Mulandar, bahwasanya penulis menemukan bahwa anak-anak pekerja penyapu angkot di Terminal Pinang Baris ini mereka memulai dan memilih bekerja di karenakan beberapa hal masalah di keluarga mereka yakni, permasalahan ekonomi keluarga, konflik dalam keluarga, serta budaya

keluarga, yang menganggap anak harus mengapdi kepada orangtua. Seperti salah satu kasus anak pekerja penyapu angkot di terminal Pinang Baris yakni Noki julio ia bekerja dikarenakan masalah ekonomi di keluarganya, ibu dan ayahnya berpenghasilan taktentu, sedangkan tanggungan dalam keluarganya tidak mendukung gaji ayah dan ibunya. Keterpurukan dalam ekonomi keluarga, acap kali orantua mengunakan anaknya dalam mencari nafkah, anak di anggap bisa membantu kebutuhan sehari-hari.

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, diketahui bahwa pendapatan yang diperoleh oleh informan/ anak pekerja penyapu angkot ini cukup beragam antara lain RP. 10.000- 30.000 perharinya, namun kalau ramai mereka bisa mendapatkan paling tinggi Rp. 80-100 ribu perharinya. Sikap anak-anak pekerja penyapu angkot ini mengambil keputusan untuk membantu orangtuanya dalam kesulitan ekonomi meskipun mereka tahu bahaya yang akan mengancam mereka dari kecelakaan lalu lintas, karena mereka bekerja di temapat keramaian dari kendaraan yang hilir mudik di sepanjang jalan Pinang Baris dan di pangkalan terminal. Dari hasil temuan penelitian beberapa anak-anak pekerja ini pernah mengalami kecelakaan kerja dan pengalaman jatuh dari angkot yang sedang mereka sapu. Akibat dari kejadian ini mereka ada yang terkilir, terbentur hingga berdarah dan biru-biru. Terpaksa mereka berhenti sementara waktu sampai luka tersebut kembali pulih. Sikap yang diambil oleh orangtua mereka mengobati anaknya yang sedang terluka dan meminta pertanggung jawaban dari sang supir yang telah lalai dalam mengendarai angkotnya membuat anak yang sedang

bekerja terjatuh. Namun pengalaman seperti ini justru tidak membuat anak-anak yang penah mengalami kecelakaan ini menjadi jera untuk tidak bekerja, mereka masih ingin bekerja menyapu angkot seperti biasanya. Mereka mengaku selama sakit dalam pemulihan justru merasa merasa bosan hanya bisa duduk diam dirumah, sehingga mereka merasa sudah tidak sabar untuk sembuh dan kembali aktif bekerja lagi. Sikap gigih anak-anak pekerja penyapu angkot ini dalam bekerja sangatlah tinggi, meskipun mereka pernah mengalami kecelakaan.

Beberapa masayarakat sekitar juga pernah menegur anak-anak pekerja penyapu angkot ini untuk tidak bekerja dan menyuruhnya untuk sekolah, tetapi anak-anak tersebut tidak menghiraukan apa yang dikatakan oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya. Menurut Kardiner, Linton dkk (1959), struktur kepribadian orang yang dimiliki oleh kebanyakan anggota masyarakat, sebagai akibat pengalaman pada masa kanak-kanak yang sama. Begitu pula yang penulis temukan di anak-anak pekerja penyapu angkot di terminal Pinang Baris. Kehidupan mereka sebagian besar mereka habiskan di tempat mereka bekerja atau di jalanan, sehingga partisipasi dan interaksi mereka sehari-hari hanya dengan teman-teman mereka yang sama-sama yang bekerja sebagai penyapu angkot, bekerja membantu orangtua mereka. Dari rumah berangkat kesekolah setelah itu pulang dan berangkat kembali untuk bekerja menyapu angkot lagi di terminal Pinang Baris, begitu setiap harinnya. Mereka merelakan waktu bermain bersama teman-teman sebaya mereka, mereka memilih untuk bekerja. Tempat kerja mereka adalah tempat bermain mereka, walaupun terminal adalah merupakan

tempat yang bahaya. Bahaya untuk tumbuh kembang sosial-psikologis mereka, seperti penulis temukan di terminal tersebut yakni banyaknya bapak-bapak dan agen/ supir angkot yang bermain judi, minum-minuman yang beralkohol, merokok, main kartu dan hal-hal negatif yang bisa mempengaruhi tumbuh kembang anak-anak yang bekerja disana. Sehingga mereka juga ikut terpengaruh oleh bapak-bapak dan para supir tersebut untuk melakukan hal yang sama yakni, main judi, main kartu, mencuri dan berbicara penuh emosional. Beberapa masyarakat yang ada di terminal ini juga ada yang memperdulikan anak-anak tersebut agar tidak terpengaruh dan melarang mereka melihat aktifitas main judi mereka. Dan melarang anak-anak tersebut untuk tidak ngelem dan menganja dan sebagainya, beberapa dari anak-anak tersebut bisa mendengarkan nasihat orang yang bersikap baik kepadanya, namun beberapanya lagi tidak menghiraukan nasehat mereka.

Munculnya pekerja anak dalam berbagai sektor disebabkan sulitnya memenuhi kebutuhan anak dalam keluarga sehingga memaksa anak terjun kedalam dunia industri maupun prositusi. Menurut hasil penelitian yang penulis temukan tidak jarang anak-anak pekerja penyapu angkot ini mendapatkan kekerasan. Kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik saja, namun kekerasan disini berbentuk perlakuan kasar, ejekan, penghinaan, membentak, dengan mengatakan hal-hal yang tidak baik kepada mereka. Namun penulis tidak menemukan pelecehan sex sual pada mereka. Anak-anak pekerja penyapu angkot ini penulis tidak menemukan anak perempuan mereka terdiri dari anak laki-laki saja. Mereka

mengatakan anak pekerja penyapu angkot ini hanya terdiri anak laki-laki saja, namun anak perempuan ia bekerja di rumah tangga dan di pasar.

Berbicara tentang kekerasan dan pelecehan sexsual memang anak-anak pekerja penyapu angkot ini tidak mendapatkan hal itu. Meskipun tempat mereka rentan akan kekerasan seksual namun anak-anak bekerja disana mengaku tidak pernah mendapatkan hal tersebut. Memang mereka pernah dibawa-bawa oleh supir angkot yang memperkerjakan mereka, tetapi bukan untuk diperlakukan pelecehan. Mereka mengaku sering di minta oleh supir-supir angkot tersebut untuk membawa mereka mencari sewa hingga ke-Binje, Belawan untuk menjadi kenek. Setelah itu mereka akan pulang kembali dengan supir tersebut keterminal Pinang Baris dan memberi mereka upah lebih dari menyapu angkot tersebut. Sikap para supir kepada anak-anak yang bekerja disana bermacam-macam, ada yang baik dan memberikan uang lebih kepada mereka dan ada yang memperlakukan mereka dengan kasar, serta membentak-bentak mereka. Namun anak-anak tersebut menyikapi hal tersebut justru hal yang biasa dan membalas kebali dengan berprilaku kasar penuh emosional.

Itulah perilaku internal dan perilaku eksternal sosial psikologis anak-anak pekerja penyapu angkot di terminal Pinang Baris yang penulis gambarkan situasi tempat mereka bekerja serta kegiatan mereka sehari-hari, dengan seperti itu bisa kita lihat bagaimana pertumbuhan dan perkembangan mereka secara sosial psikologis anak. Adapun kegiatan keseharian mereka dalam bekerja sebagai berikut:

Gambar 15. Foto Contoh Kegiatan Saat Anak Bekerja di Sepangang Tepi Jalan Pinang Baris.

Sumber: Dokumenrasi Pribadi Tahun 2016

Penulis melihat anak-anak pekerja penyapu angkot ini mereka bekerja dengan berdiri ditepi sepanjang jalan Pinang Baris menunggu dan menawarkan jasanya kepada setiap angkot yang lewat terhadap supir yang sedang mengemudi tersebut. Sedangkan di sepanjang jalan Pinang Baris tersebut sangat banyak kendaraan yang lewat, dan kendaraan yang lewat pun tidaklah angkot saja namun kendaraan besar seperti Bus antar Provinsi, Truk besar, Tronton dan lain-lain. Dan penulis melihat disana pun kendaraan banyak yang membawa kendaraannya dengan ugal- ugalan, sedangkan anak-anak pekerja penyapu angkot ini selain di pangkalan terminal mereka juga banyak di tepi-tepi jalan sepanjang jalan Pinang Baris. Karena menurut mereka dengan menunggu di tepi jalan ini mereka bisa dengan cepat mendapatkan sewa atau angkot untuk di sapu, karena angkot tersebut ia akan menuju terminal, sebelum menuju terminal mereka akan rela panas-panasan menunggu di pinggir jalan Pinang Baris tersebut. Selain itu penulis temukan mereka sambil menunggu angkot di sepangang jalan Pinang Baris ini, sesama pekerja mereka sering bergurau di pinggir jalan tersebut dan lari-larian di jalan

tersebut, tampa menghiraukan mereka bisa tertabrak oleh kendaraan yang lewat disana. Hal seperi inilah yang beresiko kecelakaan pada anak-anak pekerja penyapu angkot ini.

Dari segi kesehatan anak-anak pekerja penyapu angkot ini berpenampilan kotor penuh solar dan debu. Karena kesehariannya mereka bekerja dengan mengunakan solar dan sapu untuk membersihkan angkot tersebut, di dalam angkot berbagai jenis sampah bisa mereka temukan disana, selain itu debu-debu yang bisa menganggu pernafasan mereka. Sehingga mereka setiap hari menghirup debu di dalam angkot yang mereka sapu dan menghirup solar sehingga ini akan beresiko pada kesehatan mereka. Belum lagi berjalan-jalan di tengah panasnya matahari mencari angkot di berbagai titik dimana angkot banyak berhenti.

Konvensi Hak Anak, yang diratifikasikan oleh sebagian besar negara-negara di dunia, termasuk Indonesia dalam pasal 32 mewajibkan pemerintah untuk melindungi anak-anak dari Eksploitasi ekonomi dan dari melakukan pekerjaan apa saja yang memungkinkan membahayakan atau menganggu pendidikan anak, atau berbahaya terhadap fisik, jiwa, rohani, moral atau perkembangan sosial anak. Hak-hak anak sebagaimana yang diabadikan dalam Konvensi adalah anak-anak atas asuhan orangtua mereka sendiri, atas wajib belajar dan pendidikan dasar yang Cuma-Cuma, atas pencapaian yang standar kesehatan yang tertinggi, atas jaminan sosial dan atas ketentuan untuk istirahat dan rekreasi. Jika anak-anak terpaksa atau harus bekerja maka berarti bisa mendapatkan anak-anak tersebut dalam kategori berbahaya dan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak secara wajar.

Dampak dari mereka bekerja dari hasil penelitian secara pendidikan mereka banyak yang putus sekolah, mereka lupa akan pentingnya pendidikan untuk masa depan yang lebih baik saat dewasa kelak. Secara sosial yang mereka dapatkan di lingkungan tempat mereka bekerja, perilaku mereka terlihat berperilaku sama dengan agen-agen angkot tempat mereka bekerja, seperti berperilaku kasar, keras, dan mereka merasa nyaman dan kepuasan secara emosional pada saat bersama dengan teman-teman sesama pekerja. Mereka dengan cepat menyesuaikan diri dengan kawan yang mempengaruhinya untuk ikut bekerja. Berbagai pengaruh untuk tumbuh kembangnya yakni, merokok, mencuri, ngelem, obat-obatan telarang, judi, berperilaku suka berkata kasar dan kotor atau tidak sopan pada saat berbicara dengan orang yang lebih dewasa. Namun beberapa dari mereka masih sangat mengerti harus bersikap sopan pada orang yang lebih dewasa padanya dan masih mengerti menghargai.

Dokumen terkait