• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Karakteristik Demografi Pasien

3. Keluhan pasien

a. Nyeri Perut

Nyeri perut merupakan keluhan utama yang biasanya dirasakan pasien dengan apendisitis akut.

Sesuai dengan anatomi apendiks, pada beberapa manusia letak apendiks berada retrosekal atau berada pada rongga retroperitoneal. Keberadaan apendiks retrosekal menimbulkan gejala nyeri perut yang tidak khas apendisitis karena terlindungi sekum sehingga rangsangan ke peritoneum minimal. Nyeri perut pada apendisitis jenis ini biasanya muncul apabila pasien berjalan dan terdapat kontraksi musculus psoas mayor secara dorsal.

b. Mual dan Muntah

Gejala mual dan muntah sering menyertai pasien apendisitis. Nafsu makan atau anoreksia merupakan tanda-tanda awal terjadinya apendisitis.

c. Gejala Gastrointestinal

Pada pasien apendisitis akut, keluhan gastrointestinal dapat terjadi baik dalam bentuk diare maupun konstipasi. Pada awal terjadinya penyakit, sering ditemukan adanya diare 1-2 kali akibat respons dari nyeri viseral. Konstipasi juga seringkali terjadi pada pasien apendisitis, terutama dilaporkan ketika pasien sudah mengalami nyeri somatik.

E. Prinsip pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut

Pemberian antibiotika profilaksis harus sesuai dengan kondisi dan keadaan yang dialami pasien. Indikasi penggunaan antibiotika profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih terkontaminasi (Permenkes, 2011).

Pemilihan antibiotika profilaksis ini bergantung pada bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada prosedur operasi, keamanan, efikasi, adanya dukungan pedoman atau guideline dalam penggunaan suatu antibiotika profilaksis, dan biaya yang dikeluarkan (Kanji, et al., 2008).

Untuk mencapai tujuan penggunaan antibiotika profilaksis yang diinginkan, maka antibiotika profilaksis yang diberikan pada pasien operasi apendisitis akut harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. aktivitas antibiotika harus disesuaikan dengan kemungkinan terbesar mikroorganisme patogen yang menginfeksi luka atau lokasi operasi (sefositin, sefotetan, kombinasi ampisilin dengan metronidasol, atau kombinasi gentamisin dengan metronidasol)

2. agen antimikroba harus dapat dihantarkan ke lokasi operasi 1 jam sebelum operasi dimulai

3. dosis yang diberikan untuk jenis antibiotika profilaksis sefositin atau sefotetan 1-2 gram, kombinasi gentamisin dan metronidasol masing-masing 1,5-2 mg/kgBB dan 500 mg

4. dosis kedua antibiotika profilaksis diperlukan jika operasi berlangsung lebih dari 4 jam atau pasien kehilangan 1500 ml darah selama proses operasi berlangsung

5. antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah operasi

(WHO, 2009, Kanji, et al., 2008, Kernodle, et al., 2000, dan ASHP, 2013) F. Antibiotika profilaksis pilihan

Pemberian antibiotika profilaksis sangat direkomendasikan pada prosedur operasi apendisitis akut (SIGN, 2008). Risiko tingkat infeksi luka pada operasi apendisitis akut dapat mencapai 7-30% sehingga penggunaan antibiotika profilaksis sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi (ASHP, 2013).

Sefalosporin generasi kedua (sefositin, sefotetan) merupakan golongan antibiotika yang paling banyak direkomendasikan sebagai profilaksis pada operasi apendisitis akut. Kombinasi gentamisin dan metronidasol juga dapat menjadi pilihan sebagai profilaksis untuk pasien operasi apendisitis akut. Selain itu, kombinasi ini dapat digunakan bagi pasien yang mengalami alergi terhadap antibiotika golongan β–laktam (WHO, 2009, Kanji, et al., 2008, dan ASHP, 2013). Antibiotika profilaksis diberikan 1 jam sebelum operasi dan melalui cara pemberian intravena (IV) untuk memastikan kadar antibiotika yang cukup pada lokasi bedah (Kanji, et al., 2008 dan ASHP, 2013).

Dosis antibiotika profilaksis golongan sefalosporin yang diberikan pada pasien operasi apendisitis akut adalah sebesar 1-2 gram, sedangkan gentamisin

diberikan pada dosis 1,5-2 mg / kgBB dan metronidasol diberikan pada dosis 500 mg. Penambahan dosis antibiotika profilaksis dalam prosedur operasi diperlukan jika operasi berlangsung lebih dari 4 jam atau pasien kehilangan 1500 ml darah selama proses operasi berlangsung (Kanji, et al., 2008, Kernodle, et al., 2000, dan ASHP, 2013). Antibiotika profilakis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah operasi dilakukan (WHO, 2009). Namun, pemberian antibiotika profilaksis dapat dilanjutkan pada pasien yang ditemukan perforasi atau gangraen (mikroperforasi) pada apendiksnya (Kanji, et al., 2008).

Infeksi pada luka operasi merupakan infeksi yang sering terjadi setelah melakukan operasi apendisitis. Tingkat infeksi luka operasi pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut dapat mencapai 7- 30% (ASHP, 2013). Tanda-tanda klinis luka operasi apendisitis yang mulai terinfeksi adalah terjadinya pembengkakan dan warna kemerahan pada daerah yang disayat, muncul rasa sakit di daerah sayatan, atau daerah sayatan operasi apendisitis mengeluarkan cairan atau nanah. Tanda-tanda ini muncul dalam waktu 30 hari setelah operasi dilakukan (Mangram, et al., 1999).

G. Mekanisme kerja antibiotika profilaksis

Suatu antibiotika idealnya mempunyai aktivitas bakterisidal atau membunuh bakteri untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Antibiotika yang mempunyai aktivitas bakterisidal diantaranya adalah penisilin, sefalosporin, monobaktam, kuinolon, dan vankomisin (James, et al., 2008). Pada operasi apendisitis akut, Bacteroides fragilis (bakteri anaerob) dan Escherichia coli (bakteri gram negatif) merupakan jenis bakteri yang paling banyak

ditemukan pada kultur infeksi luka setelah operasi (Elhag, et al., 1986 dan Lau, et al., 1984). Sefalosporin generasi kedua (sefositin, sefotetan) bekerja sangat aktif dalam membunuh bakteri gram negatif dan bakteri anaerob tersebut. Oleh karena itu, sefalosporin generasi kedua banyak direkomendasikan sebagai antibiotika profilaksis pada operasi apendisitis akut (WHO, 2009, Kanji, et al., 2008, dan ASHP, 2013). Antibiotika ini menghambat cross-linking peptidoglikan sehingga dinding sel bakteri menjadi lemah, bakteri lisis, dan kemudian mati (Woodin, et al., 1994 dan Kalman, et al., 1990).

Agen lain yang dapat digunakan sebagai profilaksis pada operasi apendisitis akut adalah kombinasi gentamisin dengan metronidasol. Gentamisin merupakan suatu aminoglikosida yang mempunyai aktivitas bakterisidal dengan mekanisme pengikatan ribosom 30S secara ireversibel sehingga mengakibatkan sintesis protein bakteri menjadi terhambat. Gentamisin memiliki aktifitas terhadap bakteri gram negatif, seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus, Acinetobacter, dan Enterobacter. Selain itu gentamisin juga dapat melawan Staphylococcus aureus. Metronidasol aktif melawan bakteri anaerob dan sebagian besar protozoa. Mekanismenya dalam melawan bakteri anaerob adalah dengan menembus atau berdifusi ke dalam sel bakteri kemudian metronidasol mengalami reduksi menjadi suatu bentuk radikal bebas. Radikal bebas metronidasol ini mengakibatkan kerusakan DNA bakteri (Gordon, 2009 dan Graumlich, 2003).

H. Operasi Apendisitis Akut

Operasi apendisitis merupakan penanganan apendisitis yang dilakukan dengan jalan operasi untuk mengangkat atau membuang apendiks (Kozar, et al.,

2003). Operasi apendisitis akut harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih buruk. Hal ini dikarenakan apendisitis akut mempunyai risiko untuk berkembang menjadi apendisitis perforasi pada setiap 12 jam berikutnya setelah timbulnya gejala (Busch, et al., 2011, Papaziogas, et al., 2009, dan Ditillo, et al., 2006). Perforasi atau pecahnya apendiks ini dapat memungkinkan terjadinya komplikasi seperti peritonitis umum atau abses.

Operasi pada kasus apendisitis akut dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu operasi apendisitis akut terbuka dan laparaskopi apendisitis. Operasi apendisitis akut terbuka maupun laparaskopi apendisitis menggunakan antibiotika profilaksis pada 1 jam sebelum operasi dimulai. Antibiotika profilaksis yang diberikan dapat berupa sefositin atau sefotetan dalam dosis 1-2 gram, sedangkan bagi pasien yang mengalami alergi terhadap antibiotika golongan β-laktam dapat diberikan kombinasi gentamisin dan metronidasol, masing-masing dalam dosis 1,5-2 mg/kgBB dan 500 mg (Kanji, et al., 2008, Omran, 2008, dan Kernodle, et al., 2000).

Operasi apendisitis terbuka dilakukan dengan membuat sebuah sayatan dengan panjang sekitar 2-4 inci pada bagian kanan bawah abdomen dan appendiks dipotong melalui lapisan lemak dan otot apendiks atau usus buntu. Kemudian apendiks diangkat atau dipisahkan dari usus, sedangkan laparaskopi merupakan teknik yang paling sederhana untuk penanganan apendisitis. Dokter bedah akan membuat 1 hingga 3 sayatan kecil di perut. Sebuah pipa semprot dimasukkan ke dalam salah satu celah, dan gas CO2 memompa abdomen kemudian sebuah laparascope dimasukkan ke celah yang lain. Peralatan bedah ditempatkan di

bagian terbuka (celah) yang kecil dan digunakan untuk mengangkat apendiks (Kozar, et al., 2003).

I. Keterangan Empiris

Penggunaan antibiotika profilaksis pada sebelum operasi apendisitis akut penting untuk mencegah terjadinya infeksi. Penelitian ini diharapkan dapat mengevaluasi penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut pada tahun 2011 di RS Baptis Batu Jawa Timur.

23

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat non-eksperimental sebab observasinya dilakukan secara apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi serta perlakuan dari peneliti (Notoatmodjo, 2010). Rancangan penelitian termasuk dalam deskriptif evaluatif karena bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci sehingga dapat melukiskan fakta atau karakteristik populasi yang ada, mengidentifikasi masalah yang terjadi, kemudian melakukan evaluasi atau penilaian dari data yang telah dikumpulkan (Hasan, 2002). Penelitian ini bersifat retrospektif karena data didapat dari penelusuran data masa lalu pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur pada catatan rekam medis yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medis RS Baptis Batu Jawa Timur.

B. Definisi Operasional

1. Pasien adalah seseorang yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011, menggunakan antibiotika profilaksis dan memiliki data rekam medis yang lengkap.

2. Operasi adalah operasi apendisitis akut yang berlangsung di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011.

3. Antibiotika profilaksis yang dimaksud yaitu antibiotika yang digunakan sebelum maupun sesudah operasi apendisitis akut yang bertujuan untuk mencegah infeksi setelah operasi.

4. Catatan rekam medik adalah catatan pengobatan dan perawatan pasien yang memuat data nomor rekam medik, usia, jenis kelamin, diagnosis sebelum dan sesudah operasi, tanggal operasi, jam operasi, jenis tindakan operasi, data laboratorium, instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat, lama keperawatan, riwayat pengobatan yang diterima, dan pemeriksaan fisik pasien seperti tekanan darah, nadi, dan suhu badan.

5. Pedoman wawancara adalah susunan garis-garis besar pertanyaan yang digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan wawancara mendalam.

6. Jenis antibiotika profilaksis yang dimaksud yaitu macam antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis.

7. Waktu pemberian adalah berapa jam pemberian antibiotika profilaksis sebelum operasi yang bertujuan untuk mencegah infeksi.

8. Cara pemberian adalah intravena atau per oral.

9. Lama pemberian yaitu jumlah hari dimana pasien mendapatkan antibiotika profilaksis.

10. Lama perawatan pasien yaitu jumlah hari yang dihitung mulai dari pasien masuk ke rumah sakit sampai dengan keluar atau pulang dari rumah sakit.

C. Subyek Penelitian

Pengambilan subyek uji didasarkan pada kriteria inklusi yaitu pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 dan

menggunakan antibiotika profilaksis serta memiliki penyakit penyerta lainnya. Kriteria eksklusinya adalah operasi apendisitis akut yang dilakukan bersama dengan prosedur operasi lainnya.

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medis pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011.

E. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah: 1. Lembar kerja untuk pengumpulan data.

2. Pedoman wawancara dengan Dokter Bedah di RS Baptis Batu Jawa Timur. 3. Pedoman wawancara dengan Kepala Instalasi Farmasi di RS Baptis Batu Jawa

Timur.

4. Pedoman wawancara dengan Perawat Kamar Bedah di RS Baptis Batu Jawa Timur.

F. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Baptis Batu, Jalan Raya Tlekung no 1 Batu, Jawa Timur.

G. Tata Cara Penelitian

Penelitian ini meliputi 3 tahap yaitu tahap persiapan, tahap pengambilan data, dan tahap penyelesaian data.

1. Tahap persiapan

Tahap persiapan dimulai dengan pembuatan proposal yang berisi semua informasi mengenai penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis dan surat ijin untuk melakukan penelitian di RS Baptis Batu Jawa Timur.

2. Tahap pengambilan data

Pada tahap pengambilan data ini diawali dengan penelusuran jumlah subyek penelitian dari rekam medis. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui jumlah subyek, nomor rekam medis, tanggal operasi, nama dokter, dan jenis kelamin pasien. Setelah diketahui jumlah subyek maka dilakukan pencatatan data rekam medis pada lembar pencatatan yang berisi nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, keluhan, riwayat penyakit, data laboratorium, diagnosis sebelum dan setelah operasi, tanggal pasien opname, tanggal pasien menjalani operasi, jam operasi, jenis antibiotika profilaksis yang digunakan, waktu, cara pemberian, dosis pemberian, lama pemberian, tanggal pasien keluar dari rumah sakit,

3. Tahap penyelesaian data

Pada tahap penyelesaian data ini data yang telah diperoleh dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan karakteristik demografi pasien (usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan pasien), pola penggunaan antibiotika profilaksis (jenis antibiotika, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian), serta kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksi dengan standar yang ada.

H. Tata Cara Analisis Hasil

Data yang telah diperoleh dievaluasi menggunakan pedoman umum, yaitu WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013). Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel dan atau diagram.

Tata cara analisis sebagai berikut: 1. Jumlah pasien operasi apendisitis akut

Data jumlah pasien operasi apendisitis akut dianalisis dengan cara menghitung jumlah pasien operasi apendisitis akut selama tahun 2011, lalu dari data tersebut dihitung jumlah pasien yang menerima dan yang tidak menerima antibiotika profilaksis.

2. Karakteristik demografi pasien

Analisis data karakteristik demografi pasien dilakukan berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan pasien.

a. Distribusi pasien pada tiap kelompok usia. Kelompok usia pasien dibagi secara rasional menjadi 7 kelompok dengan menggunakan rumus Struges (Budiarto, 2001), yaitu: kelompok I (8-16 tahun), II (17-25 tahun), III (26-34 tahun), IV (35-43 tahun), V (44-52 tahun), VI (53-61 tahun), dan VII (62-70 tahun). Persentase masing-masing kelompok umur dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

b. Distribusi pasien pada tiap jenis kelamin. Jenis kelamin pasien terdiri dari laki-laki dan perempuan. Persentase masing-masing jenis kelamin dihitung

dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

c. Distribusi pasien pada tiap keluhan apendisitis akut. Keluhan apendisitis akut terdiri dari nyeri perut di bagian kanan bawah, demam (37,40C - 38,50C), mual, muntah, dan diare. Persentase masing-masing keluhan apendisitis akut dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok yang mengalami keluhan dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

d. Distribusi pasien pada tiap lama keluhan apendisitis akut. Lama keluhan pasien dihitung dari saat timbulnya gejala yang dirasakan hingga sebelum pasien datang ke rumah sakit. Persentase masing-masing lama keluhan apendisitis akut dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

e. Rata-rata lama perawatan pasien. Lama perawatan pasien dihitung dari tanggal pasien masuk ke rumah sakit sampai dengan tanggal pasien keluar atau pulang dari rumah sakit. Rata-rata lama perawatan dihitung dengan cara menghitung jumlah keseluruhan lama perawatan pasien operasi apendisitis akut kemudian dibagi dengan jumlah total pasien operasi apendisitis akut.

3. Jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis

Analisis data dilakukan dengan cara mengelompokkan berdasarkan jenis antibiotika, waktu, cara dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis.

a. Jenis antibiotika. Persentase masing-masing jenis antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap jenis antibiotika profilaksis dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

b. Waktu pemberian. Waktu pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari ≤ 1 jam sebelum operasi, > 1 jam sebelum operasi, dan setelah operasi. Persentase masing-masing kelompok waktu pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus waktu pemberian profilaksis pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

c. Cara pemberian. Cara pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari per oral (PO) dan intravena (IV). Persentase masing-masing kelompok cara pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok cara pemberian antibiotika profilaksis dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

d. Dosis pemberian. Dosis pemberian antibiotika profilaksis ditulis berdasarkan besarnya dosis tiap jenis antibiotika profilaksis yang tercantum pada lembar rekam medis. Persentase masing-masing dosis pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap dosis pemberian dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

e. Lama pemberian. Lama pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari pemberian 1 hari dan > 1 hari. Persentase masing-masing kelompok lama pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok lama pemberian dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

4. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis

Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis ditinjau berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis yang dibandingkan dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

Persentase penggunaan antibiotika profilaksis yang sesuai maupun tidak sesuai dihitung berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis. Cara perhitungannya adalah dengan menghitung jumlah kasus pada tiap penggunaan antibiotika profilaksis yang sesuai maupun tidak sesuai berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara dosis, dan lama pemberiannya, dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

5. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis

Analisis faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap dokter bedah yang menggunakan antibiotika profilaksis, Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar Bedah. Alasan pemilihan antibiotika profilaksis disajikan dalam bentuk narasi dengan menyertakan testimoni yang mendukung.

I. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu :

1. Penelitian ini bersifat retrospektif sehingga data yang diperoleh dari rekam medis kurang lengkap menyebabkan banyak data yang tereliminasi. Maka hasil evaluasi belum mencakup keseluruhan kasus.

2. Rumah sakit tempat penelitian belum memiliki Standar Pelayanan Medik sebagai pedoman dalam menentukan antibiotika profilaksis yang digunakan untuk pasien apendisitis akut. Maka data yang didapat hanya dapat dievaluasi menggunakan tiga pedoman yaitu WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

3. Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2012 sehingga data yang bisa diambil adalah data pasien operasi apendisitis akut pada tahun 2011 dan wawancara dengan dokter bedah, kepala instalasi farmasi dan wakil kepala kamar bedah bisa dilaksanakan pada tahun 2013.

32

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jumlah Pasien

Hasil penelitian menunjukkan ada 38 pasien yang menjalani operasi apendistis akut pada tahun 2011 di RS Baptis Batu Jawa Timur. Kasus operasi apendisitis akut ini menempati peringkat kedua pada tahun 2011 dan seluruh pasien tersebut menerima antibiotika profilaksis. Berdasarkan kondisi setelah operasi, keadaan luka operasi seluruh pasien baik atau tidak menunjukan adanya infeksi.

Pasien yang menerima antibiotika profilaksis tidak mengalami infeksi luka operasi karena mendapat perlindungan dari terjadinya infeksi selama operasi berlangsung hingga selesai hasil ini diketahui dari catatan perawat mengenai luka operasi pasien. Pada saluran pencernaan, terutama di bagian usus, terdapat sejumlah besar populasi mikroorganisme yang berpotensi menyebabkan infeksi (Kanji, et al., 2008). Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan dokter bedah RS Baptis Batu Jawa Timur diperoleh bahwa operasi yang dilakukan di rumah sakit tersebut adalah operasi bersih terkontaminasi. Oleh sebab itu, antibiotika profilaksis harus selalu digunakan pada operasi apendisitis akut sehingga pasien dapat terlindungi dari hadirnya bakteri penyebab infeksi dan mencegah terjadinya infeksi setelah operasi.

B. Karakteristik Demografi Pasien 1. Usia pasien

Hasil penelitian menunjukkan 38 pasien yang menjalani operasi apendisitis akut berusia antara 8 hingga 68 tahun. Dengan menggunakan rumus Struges (Budiarto, 2001) 38 pasien tersebut dikategorikan menjadi 6 kelompok usia. Dari 6 kelompok tersebut yang memiliki jumlah pasien terbanyak adalah kelompok ke III (27-35 tahun) dengan jumlah 10 orang lalu diikuti dengan kelompok ke II dan ke I. Hasil tersebut sesuai dengan National Digestive Disease Information Clearinghouse (2008) yang menjelaskan bahwa apendisitis akut lebih sering diderita oleh orang yang berusia sekitar 10 hingga 30 tahun. Apendisitis akut banyak terjadi pada masa anak – anak hingga dewasa muda dan menurun secara bertahap setelah usia 30 tahun (Banieghbal, et al., 2011). Selain itu juga dipengaruhi oleh pola makan yang kurang baik pada usia tersebut. Memang hal ini tidak terjadi pada setiap orang, tapi seperti yang kita ketahui bahwa usia 20-40 tahun bisa dikategorikan sebagai usia produktif dan orang yang berada pada usia tersebut melakukan banyak sekali kegiatan. Hal ini menyebabkan orang tersebut mengabaikan nutrisi makanan yang dikonsumsinya. Kebanyakan orang memakan makanan cepat saji agar tidak mengganggu waktunya, padahal makanan-makanan cepat saji itu tidak mengandung serat yang cukup. Akibatnya terjadi kesulitan buang air besar yang akan menyebabkan peningkatan tekanan pada rongga usus dan pada akhinya menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks (Pasaribu, 2010).

Tabel I. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut kelompok usia di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011

Kelompok Usia Jumlah Pasien % (n= 38) I (9-17 tahun) 7 18% II (18-26 tahun) 8 21% III (27-35 tahun) 10 26% IV (36-44 tahun) 6 16% V (45-53 tahun) 6 16% VI (54-62 tahun) 1 3%

2. Jenis kelamin pasien

Pada penelitian ini, persentase pasien laki-laki yang menjalani operasi apendisitis 53% (n= 38) dan pasien perempuan 47%, dengan rasio keduanya adalah 1,13 : 1. Rasio yang hampir sama antara jumlah pasien laki-laki dan perempuan ini menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan atau faktor risiko yang sama untuk mengalami apendisitis akut (Craig, et al., 2006). Laki – laki memiliki jumlah lebih besar dibandingkan dengan perempuan karena dipengaruhi aktivitas laki – laki yang lebih banyak dibandingkan perempuan sehingga biasanya laki – laki membutuhkan asupan makanan yang lebih banyak atau lebih sering. Namun terkadang mereka tidak memperhatikan nutrisi makanan yang mereka makan dan dengan frekuensi aktivitas laki – laki yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, pola makan laki – laki lebih sering tidak teratur.

Dokumen terkait