• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Bakteri Resisten Antibiotik Menghambat Pertumbuhan Vibrio sp Secara In vitro

TSIA* Slant Butt

4.2 Kemampuan Bakteri Resisten Antibiotik Menghambat Pertumbuhan Vibrio sp Secara In vitro

Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa setiap isolat bakteri resisten menghasilkan zona hambat yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan patogen

Vibrio sp. Isolat sp2 menunjukkan zona hambat yang terbesar dan berbeda secara signifikan dengan isolat resisten lainnya (Tabel 3). Untuk uji DMRT kemampuan bakteri resisten antibiotik menghambat pertumbuhan Vibrio sp. secara in vitro

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10a (hlm 44).

Tabel 3. Hasil uji DMRT kemampuan bakteri resisten antibiotik menghambat pertumbuhan Vibrio sp. secara in vitro.

Isolat

Ulangan zona hambat (mm) Zona hambat rata-

rata (mm) I II III sp1 10,0 11,0 11,0 10,67de sp2 14,0 15,0 16,5 15,17h sp3 13,0 12,2 13,0 12,73g sp4 10,0 10,5 10,0 10,17de sp5 12,5 12,0 11,0 11,83fg sp6 8,0 7,0 6,0 7,00ab sp7 12,0 12,0 11,5 11,83fg sp8 7,0 6,70 6,7 6,80a sp9 12,0 10,5 11,0 11,17ef sp10 10,0 9,0 8,5 9,17cd sp11 7,0 6,0 6,0 6,33a sp12 8,5 8,2 8,0 8,23bc sp13 10,0 8,5 12,0 10,17de sp14 7,0 7,0 7,0 7,00ab sp15 7,0 6,5 6,0 6,50a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Hasil uji secara in vitro menunjukkan beberapa isolat seperti sp2, sp3, dan sp7 memiliki zona hambat yang cukup luas juga yaitu berturut-turut 15,17 mm, 12,73 mm, dan 11,83 mm sedangkan isolat sp11 memiliki zona hambatan yang terendah. Kemampuan isolat sp2, sp3 dan sp7 dalam menghambat pertumbuhan

memproduksi senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksin terhadap patogen

Vibrio sp. Pengujian lebih lanjut dilakukan untuk memastikan metabolit sekunder yang berperan.

4.3 Kemampuan Bakteri Resisten Antibiotik Menghambat Pertumbuhan

Bakteri Vibrio sp. Pada Larva Udang PL9

Hasil perhitungan terakhir (96 jam perendaman) menunjukkan jumlah kumulatif kematian larva udang setelah pemberian bakteri resisten berbeda-beda pada setiap isolat. Hasil analisis statistik yang diperoleh menunjukkan bahwa isolat yang berbeda menyebabkan jumlah kematian yang berbeda nyata (Tabel 4). Untuk uji DMRT kemampuan isolat resisten terhadap Vibrio sp. dalam pemeliharaan larva udang PL9 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10b (hlm 46).

Tabel 4. Hasil uji DMRT kemampuan isolat resisten antibiotik terhadap Vibrio

sp. dalam pemeliharaan larva udang PL9.

Isolat Jumlah larva mati (%)

sp1 5b (23) sp2 1a sp3 (3) 12ef sp4 (55) 9de sp5 (47) 9cde sp6 (43) 13fg sp7 (67) 18g sp8 (78) 13fg sp9 (65) 16g sp10 (72) 9de sp11 (47) 6bc sp12 (32) 7bcd sp13 (35) 10e sp14 (52) 7bcd sp15 (33) 8cde Kontrol + (42) 14g Kontrol - (75) 4b (22)

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%.

Jumlah larva udang yang hidup pada perlakuan dari hari pertama sampai hari keempat terus berkurang. Jumlah kematian larva tertinggi ditemukan pada perlakuan dengan isolat sp7 (78%) kemudian diikuti kontrol positif sebesar 75%. Sedangkan jumlah kematian larva terkecil terlihat hanya pada perlakuan isolat sp2 sebesar 3%. Hal ini menunjukkan isolat sp2 memiliki kemampuan menurunkan serangan penyakit vibriosis.

Pada kontrol positif (dengan penambahan Vibrio sp.) menunjukkan persentase jumlah kematian larva udang sebesar 75% dan pada kontrol negatif (tanpa pemberian isolat resisten dan bakteri Vibrio sp.) sebesar 22%. Kematian pada kontrol negatif diduga karena larva udang mengalami penurunan sistem imun sehingga faktor lingkungan mudah mempengaruhi kelangsungan hidupnya. Sedangkan pada kontrol positif selain mengalami penurunan sistem imun, larva udang juga mendapat serangan dari patogen Vibrio sp. sehingga jumlah kematian larva tinggi.

Kemampuan bakteri resisten antibiotik untuk menghambat pertumbuhan

Vibrio sp. secara in vitro dan pada uji tantang dengan menggunakan larva udang menunjukkan hasil yang berbeda. Pada uji in vitro terlihat isolat sp7 mampu menghambat pertumbuhan Vibrio sp. dengan diameter zona hambat sebesar 11,83 mm sedangkan pada uji tantang menggunakan larva udang isolat sp7 menyebabkan jumlah kematian larva (vibriosis) yang terbesar yaitu 78%. Hal ini menunjukkan bahwa selain bakteri patogen yang menyebabkan kematian ada faktor lingkungan yang turut mempengaruhi kelangsungan hidup larva udang, antara lain pH, oksigen terlarut, perubahan suhu, kadar ammonia, nitrat dan sistem imun. Kualitas air tambak yang tidak baik dapat menjadikan larva udang rentan terhadap infeksi (Supamattaya et al. 2000). Kepadatan populasi, suhu air yang tinggi, dan pertukaran air yang sedikit akan meningkatkan faktor virulensi dari

Tingkat kematian larva udang pada perlakuan dengan isolat sp2 hanya 3% atau lebih kecil bila dibandingkan dengan kontrol negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa isolat sp2 selain mampu menghambat pertumbuhan

Vibrio sp. secara in vitro, isolat sp2 juga diduga mampu meningkatkan sistem imun larva udang sehingga faktor lingkungan yang bersifat merugikan dapat diminimalisir pengaruhnya bagi kelangsungan hidup larva udang tersebut. Pada wadah pemeliharaan yang berisi isolat resisten selain sp2 memperlihatkan keadaan larva udang yang semakin hari semakin terlihat lemah (berenang dengan lambat) dan berwarna kemerahan.

Pengamatan dengan scanning electron microscopy menunjukkan bahwa pada kontrol negatif (tanpa pemberian bakteri) terlihat permukaan tubuh larva udang tidak mengalami kerusakan yang signifikan dan kelihatan beberapa bakteri menempel dipermukaan tubuh larva yang diduga merupakan flora normal larva udang (Gambar 1a), sedangkan pada kontrol positif (dengan pemberian Vibrio sp.) kelihatan pada permukaan tubuh larva mengalami kerusakan dan terbentuk kolonisasi bakteri Vibrio sp. (Gambar 1b).

Kerusakan pada permukaan tubuh udang disebabkan karena Vibrio sp.

mampu menghasilkan enzim khitinase yang merupakan salah satu faktor virulensi dan dapat mendegradasi permukaan tubuh larva udang. Kemampuan Vibrio sp. menghasilkan protein pendegradasi khitin dapat terlihat pada media yang diperkaya dengan khitin (Stivil et al. 1997). Pada perlakuan dengan isolat sp2 (Gambar 1c) menunjukkan tidak terbentuknya kolonisasi Vibrio sp. pada permukaan tubuh larva udang sehingga kelihatan permukaan kulit larva tidak mengalami kerusakan.

Isolat sp2 diduga mampu memproduksi enzim pemecah acyl homoserine lactone (AHL)sehingga mencegah tercapainya quorum sensing bakteri Vibrio sp. pada permukaan larva udang. Aktivitas enzim pemecah AHL ini pertama kali ditemukan pada Bacillus sp. 240B1 hasil isolasi dari tanah dan dikarakterisasi sebagai AHL-lactonase yang menghidrolisis ikatan lactone dan mengkode gen

aiiA (Dong & Zhang, 2005). Variovorax paradoxus dapat menggunakan AHL sebagai sumber energi dan nitrogen (Leadbetter & Greenberg, 2000), Ralstonia

strain XJ12B (Lin et al. 2003; Hu et al. 2003), Pseudomonas strain PAI-A dan P. aeruginosa PAO1 (Huang et al. 2003) mampu memproduksi enzim AHL-acylase yang menghidrolisis ikatan ke gugus amida (Dong & Zhang, 2005). Sejauh ini enzim pemecah AHL ini sudah digunakan untuk mengurangi virulensi patogen

Erwinia carotovora pada tanaman tembakau (Dong 2000), mengurangi gejala penyakit akar layu pada kentang (Dong et al. 2004) dan P. aeuginosa pada manusia (Molina et al. 2003).

Hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa keadaan air pemeliharaan pada wadah yang berisi isolat sp2 dan Vibrio sp. terlihat lebih bersih jika dibandingkan air pemeliharaan pada kontrol positif maupun kontrol negatif. Hal ini diduga larva udang yang sehat akan melakukan aktivitas metabolisme (misalnya: pola makan, gerak) yang baik sehingga kerusakan-kerusakan pada organ tubuh larva serta sisa-sisa pakan tidak menambah pencemaran pada air pemeliharaan.

Hasil yang diperoleh hingga akhir penelitian ini menunjukkan bahwa isolat sp2 merupakan kandidat bakteri probiotik yang efektif dalam menekan jumlah kematian pada larva udang. Keberadaan bakteri resisten pada tambak juga dapat digunakan untuk memonitor penggunaan antibiotik pada tambak udang dan memilih antibiotik yang efektif untuk mengatasi penyakit pada udang secara berkelanjutan.

BAB V

Dokumen terkait