• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.6 Kemampuan Antagonis Rhizobium

3.7.3 Kemampuan Glukanolitik

Bakteri ditumbuhkan pada media glukan agar yang mengandung laminarin 1%.

Media glukan yang telah dituang kedalam cawan petri dan ditunggu hingga memadat.

Satu ose isolat bakteri Rhizobium diinokulasikan pada medium glukan agar diinkubasi pada suhu ± 28 °C selama 48 jam. Kemudian permukaan media ditetesi congo red 0,1% dan diinkubasi kembali selama 5 menit didalam ruangan yang gelap. Permukaan media kemudian dibilas dengan larutan NaCl 1M (Purba, 2018). Zona bening yang terbentuk kemudian diukur dan ditentukan aktivitas glukanolitik dengan rumus:

IG = DZB-DK DK Keterangan: IG : Indeks Glukanolitik

DZB : Diameter Zona Bening DK : Diameter Koloni 3.8 Produksi Indole-3-Acetic Acid (IAA)

Uji IAA dilakukan dengan metode Datta dan Basu (2000). Sebanyak 10 ml inokulum bakteri yang kerapatan selnya sesuai dengan larutan McFarland 0,5 dimasukkan kedalam 100 ml media YEM (Yeast Extract Mannitol) yang telah ditambahkan L-triptophan sebanyak 0,1 gram. lalu diinkubasi pada suhu ± 28 °C selama 2 hari menggunakan orbital shaker dengan kecepatan 110 rpm. Selanjutnya sebanyak 5 ml cairan kultur disentrifugasi selama 30 menit dengan kecepatan 7000 rpm. Kadar IAA yang dihasilkan diukur dengan metode Salkowski. Sebanyak 1 ml supernatan ditambahkan dengan 4 ml reagen salkowski (150 ml H2SO4, 250 ml aquades steril dan 7,5 ml FeCL3.6H2O 0,5 M) dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Campuran reaksi diinkubasi pada ruang gelap selama 1 hari dan selanjutnya diamati perubahan warna yang terjadi. Jika sampel berwarna merah mengindikasikan bahwa isolat mampu menghasilkan IAA. Perubahan warna yang terbentuk selanjutnya diukur dengan spektrofotomentri pada panjang gelombang 520 nm. Kadar IAA yang dihasilkan dari sampel ditentukan dengan mengkalibrasi nilai absorbansi yang dihasilkan dari kurva standar IAA murni pada konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan 50 ppm.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Isolasi Bakteri Rhizobium

Hasil isolasi bakteri Rhizobium dari bintil akar M. bracteata dengan menggunakan medium Yeast Extract Mannitol Agar (YEMA) diperoleh sebanyak 9 isolat bakteri dalam kultur murni.

4.1.1 Karakter Morfologi

Karakter morfologi koloni dari 9 isolat bakteri yang diperoleh bervariasi baik bentuk, tepian, elevasi, warna, dan tekstur. Dari karakter koloni tersebut kemungkinan besar yang merupakan bakteri Rhizobium adalah isolat MB1AP1, MB2AP1, dan MB3AP2 (Tabel 4.1). Karena memiliki bentuk circular, tepian entire, elevasi flat dengan tekstur mucoid dan berwarna putih.

Tabel 4.1 Karakteristik Morfologi Koloni dari Bintil Akar Mucuna bracteata.

No. Kode Isolat Bentuk Tepian Elevasi Warna

*MB: Mucuna bracteata, AP: Aek Pancur

Karakter morfologi koloni Rhizobium dapat dijadikan sebagai pembeda dengan koloni yang bukan Rhizobium. Menurut Heliati (2003) bahwa koloni Rhizobium dalam skala laboratorium berbentuk cembung hingga circular, warna putih susu dengan tekstur yang lengket. Sementara itu, Sutriningsih et al., (2009) menambahkan bahwa

karakteristik makroskopik Rhizobium adalah warna putih, tidak transparan dengan bentuk koloni sirkuler, convex atau semitransparan. Menurut Sari et al., (2018) pada media miring Rhizobium menunjukkan koloni yang berwarna putih susu, tidak bisa ditembus oleh cahaya, memiliki bentuk circular dengan permukaan yang halus dan mengkilap dengan tepian berbentuk entire.

Umumnya Rhizobium menghasilkan lendir. Menurut Fuhrman (1990) Rhizobium menghasilkan lendir yang banyak, hal ini disebabkan oleh produksi EPS (Eksopolisakarida) yang tinggi. EPS berfungsi untuk meningkatkan viskositas sel, melindungi sel bakteri dari pengaruh lingkungan, serta berperan dalam proses pelekatan Rhizobium pada rambut akar tanaman.

4.1.2 Pewarnaan Gram Bakteri

Hasil pewarnaan Gram dari 9 isolat bakteri yang diisolasi dari bintil akar tanaman M. bracteata diperoleh sebanyak 3 isolat memiliki bentuk sel basil dengan sifat Gram negatif dan 6 isolat lainnya berbentuk coccus dengan sifat Gram positif (Tabel 4.2). Dari ke 9 bakteri tersebut, kemungkinan besar yang merupakan jenis Rhizobium adalah isolat MB1AP1, MB2AP1, dan MB3AP2 karena umumnya bakteri Rhizobium memiliki bentuk basil dengan sifat Gram negatif. Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Purwaningsih (2004) yang mengisolasi Rhizobium dari tanah Wamena dan Saputra (2014) yang mengisolasi Rhizobium dari Akar tanaman Alfafa (Medicago sativa L.).

Tabel 4.2 Bentuk Sel Bakteri dan Sifat Pewarnaan Gram dari Bakteri Isolat Bintil Akar Tanaman M. bracteata.

*MB: Mucuna bracteata, AP: Aek Pancur

Pada bintil akar tanaman tidak hanya terdapat bakteri Rhizobium. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Gonnerman (1894) dan Beijenrick (1888) dalam Fred et al., (1932). yang menemukan beberapa pesies bakteri pada bintil akar yaitu bakteri Bacillus fluorescens, Bacillus tuberigenus, Micrococcus tuberigenus, Bacillus luteo-albus, Bacillus agglomerans, dan Bacillus trimethylamin.

4.1.3 Karakter Isolat pada Medium Selektif

Karakterisasi bakteri Rhizobium juga dilakukan dengan menumbuhkannya pada medium selektif yaitu YEMA+CR dan YEMA+BTB. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa terdapat variasi warna koloni putih dan merah pada medium YEMA+CR. Sementara bakteri yang tumbuh pada medium YEMA+BTB semuanya menunjukkan warna kuning (Tabel 4.3)

Tabel 4.3 Karakter Pertumbuhan Bakteri Isolat Bintil Akar Mucuna bracteata Pada Medium Selektif YEMA+CR dan YEMA+BTB Waktu

*MB: Mucuna bracteata, AP: Aek Pancur

Berdasarkan warna medium pertumbuhan pada medium selektif ini, isolat bakteri yang menunjukkan ciri positif Genus Rhizobium adalah yang memiliki morfologi koloni berwarna putih pada medium YEMA + Congo Red. Menurut Soekartadiredja (1992) ciri-ciri bakteri Rhizobium adalah tidak menyerap warna merah pada media YEMA + Congo Red sehingga koloni yang tumbuh akan berwarna putih . Berdasarkan (Tabel 4.3) isolat dengan kode MB1AP1, MB2AP1, dan MB3AP2 tidak menyerap warna merah (berwarna putih) pada media yang mengindikasikan bahwa

ketiga isolat tersebut merupakan bakteri Rhizobium. Hal ini juga didukung oleh penelitian Shetta et al., (2011) yang menyatakan bahwa seluruh isolat Rhizobium yang ditumbuhkan pada media yang mengandung Congo Red tidak menyerap warna merah.

Koloni bakteri berwarna merah dan putih (Gambar 4.1)

Gambar 4.1 Koloni bakteri pada media YEMA+CR selama 48 jam dengan suhu ±28 °C .

Pengamatan koloni bakteri pada medium YEMA+BTB juga mengindikasikan bahwa isolat bakteri MB1AP1, MB2AP1, dan MB3AP2 merupakan Rhizobium karena mrnghasilkan koloni berwarna kuning meskipun isolat lainnya juga berwarna kuning.

Hal ini menandakan bahwa semua isolat merupakan kelompok bakteri dengan pertumbuhan yang cepat (fast growing). Menurut Purwaningsih (2009) pada media YEMA+BTB adalah medium selektif untuk membedakan kecepatan pertumbuhan bakteri. Isolat yang tumbuh pada medium YEMA+BTB akan berwarna kuning atau biru. Perubahan warna koloni menjadi kuning dikarenakan adanya produksi asam oleh mikroorganisme (Shetta et al., 2011).

Warna biru menandakan bahwa bakteri yang diperoleh merupakan bakteri yang pertumbuhannya lambat (slow growing). Sementara itu koloni yang berwarna kuning merupakan bakteri yang pertumbuhannya cepat (fast growing). Menurut Purwaningsih (2002) isolat yang berwarna biru menunjukkan reaksi basa, sementara isolat yang berwarna kuning menunjukkan reaksi asam. Menurut Segiman (2005) dan Kaur et al. (2012) Pada jenis Bradyrhizobium jika ditumbuhkan pada media YEMA+BTB akan menghasilkan koloni berwana biru karena kelompok bakteri ini merupakan bakteri yang pertumbuhannya lambat (slow growing). Koloni bakteri yang berwarna kuning (Gambar 4.2). Selain sebagai indikator pH bromothymol blue biasanya juga digunakan sebagai indikator respirasi serta fotosintesis,

Gambar 4.2 Koloni bakteri berwarna kuning pada media YEMA+BTB selama 48 jam dengan suhu ±28 °C .

4.2 Identifikasi Molekuler Rhizobium

Hasil visualisasi elektroforesis sekuens yang diperoleh dapat dilihat pada (Gambar 4.3).

Gambar 4.3 Visualisasi hasil amplifikasi gen 16s rRNA isolat MB1AP1, MB2AP1, dan MB3AP2 pada konsentrasi 1% gel agarose.

Hasil elektroforesis gen 16s rRNA menunjukkan bahwa isolat MB1AP1 memiliki panjang DNA sekitar 576 bp, isolat MB2AP1 577 bp, dan isolat MB3AP2 memiliki panjang DNA sekitar 495 bp. Hasil BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) sekuen DNA isolat MB1AP1, MB2AP1, dan MB3AP2 menunjukkan bahwa ketiga isolat yang diperoleh memiliki tingkat kemiripan 98,24%, 97,88%, dan 97,77%

dengan spesies Rhizobium sp. Strain J007 dari Gene Bank menggunakan website NCBI (National Centre for Biotechnology Information) (Tabel 4.4 - 4.6).

Marker MB1AP1 MB2AP1 MB3AP2

Tabel 4.4 BlastN Isolat MB1AP1

Tabel 4.5 BlastN isolat MB2AP1

No. Description Max

Tabel 4.6 BlastN isolat MB3AP2

Hasil BlastN menunjukkan bahwa sekuen isolat MB1AP1, MB2AP1, dan MB3AP2 memiliki persentase kesamaan sekuens yang tinggi dengan jenis Rhizobium sp. Strain J007. Hal ini dapat dilihat pada nilai Per. Ident (Percent Identity) , dimana nilai Per. ident merupakan nilai yang menunjukkan kesamaan antar sekuen yang dimiliki dengan sekuen target. Menurut Bagus et al. (2019). Nilai Per Ident 99%

mengindikasikan bahwa isolat merupakan spesies yang sama. Jika nilai Per Ident lebih kecil dari 97% maka isolat yang diperoleh berasal dari genus yang sama. Sedangkan jika nilai Per Ident bernilai 83-93% menunjukkan bahwa isolat berasal dari famili yang berbeda.

Query coverage adalah persentasi dari panjang nukleotida yang selaras dengan database yang terdapat pada BLAST. Max identitiy adalah nilai tertinggi dari persentasi identitas atau kecocokan antara sekuen query dengan sekuen database yang tersejajarkan. Sementara itu, score adalah jumlah keselarasan semua segmen dari urutan database yang cocok (Miller 1990). 10 sekuens Rhizobium dengan jenis yang berbeda. Kemudian, pohon filogenetik digunakan untuk melihat kedekatan kekerabatan dengan ketiga isolat yang telah diperoleh (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Pohon filogenetika berdasarkan perbandingan sekuens 16S rRNA

Hasil dari pohon filogenetika menunjukkan bahwa isolat MB1AP1, MB2AP1, dan MB3AP2 dekat kekerabatannya dengan Rhizobium sp. Strain J007. Tetapi kemungkinan besar adalah jenis Rhizobium leguminosarum. Bakteri Rhizobium leguminosarum adalah bakteri yang memang ditemukan pada tanaman M. bracteata sesuai dengan penelitian Salwani et al., (2012) yang meneliti dan mengidentifikasi bakteri yang bersimbiosis dengan M, bracteata. Pohon Filogenetik dibuat untuk melihat kekerabatan antara isolat MB1AP1, MB2AP1, dan MB3AP2 dengan strain-strain Rhizobium yang diduga memiliki tingkat kemiripan berdasarkan urutan basa nukleotidanya. Menurut Claverie dan Notredame (2007). Filogenetik merupakan filogeni yang sesungguhnya membandingkan gen-gen yang ekuivalen yang datang dari beberapa spesies untuk merekontruksi pohon kehidupan (genealogic tree) dari spesies-spesies ini dan mengetahui siapa yang relatif berkerabat dengan yang lain.

Tujuan filogeni adalah untuk mengetahui kekerabatan suatu individu dengan individu lainnya dan menjelaskan keragaman makhluk hidup. Pada saat ini dari genus Rhizobium sudah ditemukan sekitar 98 spesies Rhizobium pada inang yang

berbeda-MB1AP1 MB2AP1 MB3AP2

beda. Hal ini sesuai dengan penelitian Shamseldin et al., (2017). Yang mengklasifikasikan bakteri pengikat nitrogen yang berasosiasi dengan kacang-kacangan.

4.3 Seleksi Kemampuan Antagonis Rhizobium Terhadap G. boninense

Hasil uji antagonis dari 3 bakteri Rhizobium MB1AP1, MB2AP1, dan MB3AP2. menunjukkan bahwa ketiga bakteri dapat menghambat pertumbuhan miselium G. boninense (Tabel 4.7) dengan persentase HPM berkisar antara 43,44-66,7%. Rhizobium dengan persentase hambatan terbesar yaitu MB3AP2 dengan hambatan 66,7 % sementara Rhizobium MB1AP1 menghasilkan persentase hambatan terkecil dengan persentase hambatan 43,33%

boninense maka akan terlihat adanya zona hambat diantara keduaya. Hambatan yang terbentuk pada pengujian Rhizobium MB1AP1 dan MB2AP1 berupa zona transparan dari penipisan miselium. Sementara itu, pada pengujian Rhizobium MB3AP2 terlihat berhentinya pertumbuhan miselium sehingga terjadi penebalan dan perubahan warna pada miselium G. boninense (Gambar 4.5).

Zona transparan dan penipisan miselium yang terbentuk kemungkinan dikarenakan dihasilkannya enzim-enzim hidrolitik yaitu kitinase dan glukanase yang dihasilkan oleh bakteri Rhizobium. Enzim-enzim tersebut mampu mendegradasi komponen-komponen penyusun dinding sel jamur yaitu kitin dan glukan sehingga akan menghambat pertumbuhan jamur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tangavelu dan Mustaffa (2012) bahwa Rhizobakteri merupakan kelompok bakteri yang berada pada perakaran tanaman yang mampu melindungi tanaman dari serangan patogen

dengan cara menghasilkan enzim ekstraseluler (kitinase, protease, dan glukanase) yang melisiskan dindik sel jamur serta senyawa antibiotik yang menghambat pertumbuhan jamur

Penelitian Irma et al., (2018) menunjukkan salah satu jenis bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan jamur G. boninense adalah Pseudomonas aeruginosa dengan persentase hambatan 88%. Penebalan dan perubahan warna pada miselium kemungkinan karena bakteri menghasilkan senyawa antijamur oleh bakteri Rhizobium sehingga menghalangi pertumbuhan jamur yang menghalangi pertumbuhan miselium jamur disekitar koloni bakteri Rhizobium. Sesuai dengan penelitian (Pawar et al., 2014) yang menyatakan Rhizobium menghasilkan metabolit sekunder, enzim, dan senyawa volatile yang memiliki efek pada patogen tular tanah.

Gambar 4.5 Uji antagonis bakteri Rhizobium umur lima hari terhadap G. boninense pada medium PDA+Yeast Extract yang diinkubasi selama 5 hari pada suhu ±28 °C . (a) Rhizobium MB1AP1 (b) Rhizobium MB2AP1 (c) Rhizobium MB3AP2. Tanda panah menunjukkan zona hambat yang

dihasilkan isolat Rhizobium terhadap G. boninense.

Isolat MB1AP1, Mb2AP1, dan MB3AP2 menunjukkan kemampuan yang berbeda-beda dalam menghambat G. boninense. Beberapa bakteri yang memiliki kemampuan menghambat G. boninense seperti Flavobacterium, Lactobacillus, Acinetobakter, dan Alcaligenes diketahui menghasilkan senyawa antijamur berupa (asam benzenasetat dan 2-propenil ester) Wang et al., (2012). Penelitian Liu et al., (2007) melaporkan bahwa Alcaligenes mampu menekan pertumbuhan jamur patogen disebabkan bakteri tersebut menghasilkan senyawa iturin yang merupakan senyawa antijamur.

Hambatan pertumbuhan terhadap miselium G. boninense oleh bakteri Rhizobium kemungkinan juga karena kemampuan bakteri ini berkompetisi nutrisi serta

a b c

ruang dengan jamur G. boninense. Wafa (2017) menyatakan bahwa mikroba mampu menjadi kompetitor langsung dari patogen salah satunya adalah jamur G. boninense dalam hal kompetisi akan selulosa. Bakteri akan menghambat G. boninense sehingga jamur tersebut tidak dapat memanfaatkan selulosa yang terdapat pada akar dan pangkal batang kelapa sawit.

4.4 Mekanisme Antagonis Rhizobium Terhadap G. boninense 4.4.1 Produksi Senyawa Antijamur

Ekstrak etil asetat dari 3 bakteri Rhizobium menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap miselium G. boninense dengan persentase hambatan berkisar antara 11,67-27% (Tabel 4.8). Bakteri dengan kemampuan hambat terbesar adalah MB3AP2. Hal ini sejalan dengan nilai dari hasil antagonis yang menunjukkan adanya perubahan warna pada miselium G. boninense.

Tabel 4.8 Presentase hambatan miselium Ganoderma boninense ekstrak etil asetat oleh isolat bakteri Rhizobium selama 24 jam dengan suhu ±28 °C.

No. Kode Isolat Persentase Hambatan terhadap G. boninense

1. MB1AP1 11,67%

2. MB2AP1 12,77%

3. MB3AP2 27%

Kemampuan ketiga bakteri Rhizobium dalam menghasilkan senyawa antijamur berbeda-beda (Gambar 4.6). Perbedaan kemampuan ketiga jenis Rhizobium dalan menghambat G. boninense kemungkinan disebabkan oleh perbedaan strain bakteri, Jenis dan jumlah metabolit yang dihasilkan juga tidak sama. Yeldi (2013) menambahkan bahwa perbedaan jenis dan jumlah metabolit yang dihasilkan bakteri mempengaruhi besarnya daya hambat. Liu et al., (2007) menambahkan bakteri menghasilkan senyawa metabolit bertujuan untuk melindugi tanaman inangnya dari serangan patogen. Menurut Purba (2021), Senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan bakteri biasanya memyebabkan perrtumbuhan yang abnormal seperti pembengkakan hifa patogen. Aktivitas anti jamur juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH lingkungan, besarnya inokulum, aktivitas metabolik bakteri.

Senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan jamur patogen namun tidak dapat menyebabkan kematian sel jamur disebut fungistatik.

Gambar 4.6 Zona hambat yang terbentuk dari Produksi Senyawa Antijamur Ekstrak Etil Asetat pada Medium YEM (Yeast Extract Mannitol) selama 48 jam suhu ±28 °C . (a). Isolat G. boninense kontrol, (b). G.

boninense dengan esktrak etil asetat.

Senyawa metabolit sekunder yang bersifat antijamur antara lain alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan saponin. Menurut Puspitasari et al., (2009). Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan. Penurunan tegangan permukaan ini dapat menghambat pertumbuhan jamur. Saponin dan terpenoid dapat mengganggu aktivitas semipermeabilitas sel sehingga dapat mengakibatkan kematian sel. Menurut Argawal (2010), flavonoid menyebabkan perubahan komponen organik dan mengganggu proses transport nutrisi sehingga menimbulkan efek toksik pada jamur. Sedangkan, senyawa alkaloid mengganggu pertumbuhan jamur dengan cara mencegah replikasi DNA jamur (Watson dan Preedy, 2007).

4.4.2 Kemampuan Kitinolitik dan Glukanolitik

Ketiga bakteri Rhizobium tidak menunjukkan adanya kemampuan kitinolitik.

Hal ini diketahui dari tidak terbentuknya zona bening disekitar koloni Rhizobium yang ditumbuhkan pada medium kitin agar. Kelompok Rhizobium ada yang dapat menghasilkan enzim kitanase sesuai penelitian Sitrit et al., (1993). Bahwa Rhizobium Meliloti mampu menghasilkan kitinase sehingga menghambat pertumbuhan jamur Serratia marcescens. Tetapi ada juga kelompok Rhizobium yang tidak dapat menghasilkan kitinase. Hasil uji glukanolitik ketiga jenis Rhizobium menunjukkan adanya zona glukanolitik yang bervariasi (Gambar 4.7) diantara ketiga jenis bakteri Rhizobium indeks glukanolitik didapatkan antara (0,25-0,4) (Tabel 4.9).

a

Tabel 4.9 Indeks kitinolitik dan glukanolitik oleh bakteri Rhizobium masa inkubasi kitinolitik selama 5 hari dan glukanolitik selama 48 jam dengan suhu ±28 °C

No. Kode Isolat Indeks Kitinolitik Indeks

Glukanolitik

1. MB1AP1 - 0,25

2. MB2AP1 - 0,33

3. MB3AP2 - 0,4

Glukanase dan kitinase merupakan enzim litik yang dapat menghidrolisis dinding sel jamur. Menurut Adams (2004) glukanase dapat menghidrolisis β-glukan yang merupakan salah satu komponen utama pada dinding sel jamur. Doxey et al., (2007) menambahkan glukanase bekerja pada ikatan glikosidik dalam struktur β-glukan. Kitinase merupakan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri. Kitin mendegradasi kitin menjadi N-asetilglukosamin (Muharni 2010).

Zona bening yang terbentuk dikarenakan enzim glukanase yang dihasilkan oleh bakteri Rhizobium menhidrolisis laminarin sebagai substrat yang terdapat didalam medium glukan agar. Indeks glukanolitik yang dihasilkan oleh bakteri Rhizobium dari penelitian ini tidak sebesar indeks glukanolitik yang dihasilkan oleh bakteri endofit pada penelitian Purba (2018), yaitu sebesar 1,3 hal ini kemungkinan berdasarkan perbedaan jenis dan kemampuan bakteri dalam menghasilkan enzim glukanase. Budi et al. (2018). Menjelaskan bahwa variasi dan konsentrasi medium pertumbuhan bakteri juga mempengaruhi dihasilkannya enzim glukanase.

Gambar 4.7 Zona bening yang dihasilkan bakteri Rhizobium (a) MB1AP1,

4.5 Produksi Indole-3-Acetic Acid (IAA)

Kemampuan tiga jenis Rhizobium dalam menghasilkan IAA bervariasi.

Rhizobium dengan kemampuan menghasilkan IAA terbesar adalah MB1AP1 dan yang terkecil adalah MB3AP2 (Tabel 4.10). Bakteri Rhizobium mampu menghasilkan IAA dengan kemampuan yang cukup besar. Hal ini sesuai dengan penelitian Datta dan Basu (2000) yang membuktikan bahwa Rhizobium mampu menghasilkan IAA. Rhizobium menghasilkan IAA untuk membantu pada saat infeksi rambut akar tanaman. Sesuai dengan penelitian (Laplaze et al., 2015) yang menyatakan hal serupa.

Biosintesis IAA menggunakan IAA sebagai precursor utama. Menurut Spaepen et al. (2007) Biosintesis IAA oleh bakteri terjadi dengan tryptophan yang diidentifikasi sebagai senyawa precursor utama dalam beberapa jalur antara lain: (a) pyruvate, (b) acetonitrile, (c) tryptamine, dan (d) indole-3-acetamide. Beberapa bakteri dilaporkan dapat menghasilkan IAA diantaranya Azotobacter, Azospirillum, dan Serratia (Patten dan Glick, 1996).

Tabel 4.10 Konsentrasi IAA yang dihasilkan oleh bakteri Rhizobium

No. Kode Isolat Konsentrasi IAA

1. MB1AP1 23,66

2. MB2AP1 21,72

3. MB3AP2 1,166

Perubahan warna merah pada uji IAA disebabkan adanya interaksi Fe dengan IAA yang ada di dalam supernatant sehingga membentuk senyawa kompleks [Fe2(OH)2(IA)4]. Perbedaan kepekatan warna merah disebabkan oleh perbedaan konsentrasi IAA yang dihasilkan oleh Rhizobium. Perubahan warna supernatant setelah diberi reagen Salkowski dapat dilihat pada (Gambar 4.8). Menurut Yurnaliza et al. (2011) Perbedaan konsentrasi IAA yang dihasilkan juga disebabkan oleh perbedaan jenis berdasarkan lokasi sampel diperoleh yang membuat kemampuannya berbeda. Pada bakteri IAA yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh kondisi oksigen, dan status carbon pada media pertumbuhan bakteri juga. Hal ini sesuai dengan penelitian Danapriatna (2014) yang meneliti faktor yang mempengaruhi biosintesis IAA oleh Azospirillum.

Sebelum Sesudah

Gambar 4.8 Perubahan warna supernatant sebelum dan sesudah diberi reagen Salkowski.

MB3AP2 MB2AP1

MB1AP1

MB1AP1 MB2AP1 MB3AP2

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

a. Didapatkan 3 bakteri Rhizobium yang berasal dari bintil akar M. bracteata perkebunan kelapa sawit Aek Pancur, Sumatera Utara. Ketiga bakteri Rhizobium yang diperoleh dekat kekerabatannya dengan Rhizobium leguminosarum.

b. Ketiga Rhizobium mampu menghambat pertumbuhan jamur G. boninense.

Persentase hambatan yang diperoleh berkisar 43,33%-66,7%. Ketiga isolat berpotensi menghasilkan senyawa antijamur dengan persentase hambatan 11,67-27% dan indeks glukanolitik berkisar 0,25-4

c. Ketiga isolat Rhizobium mampu menghasilkan zat pemacu pertumbuhan IAA dengan konsentrasi IAA berkisar 1,166-23,66

5.2 Saran

Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan uji aktivitas enzim glukanase dan meneliti lebih lanjut jenis senyawa antijamur yang dihasilkan bakteri Rhizobium.

DAFTAR PUSTAKA

Adams DJ, 2004. Fungal Cell Wall Chitinases and Glucanases. Microbiology. 150:

2020-2035.

A’ini ZA, 2013. Isolasi dan Indentifikasi Bakteri Penghasil IAA (Indole-3-Acetic-Acid) dari Tanah dan Air di Situgunung, Sukabumi. Faktor Exacta.

6(3):231-240.

Agrios GN, 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Edisi Ketiga. Penerjemah Busnia.

Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Alviodinasyari R, Martina A, Lestari W, 2005. Pengendalian Ganoderma boninense oleh Trichoderma sp. SBJ8 Pada Kecambah dan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). JOM FMIPA. 2(1) : 99-107.

Antoun H, Bordeleau LM, Gagnon C, 1978. Antagonisme entre Rhizobium meliloti

Internasional Journal of Pharmaceutical Sciences an Nanotechnology. 4 (2), 1394-1398.

Bagus WI, Wirawan IGP, Adiartayasa IW, 2019. Analisis Homologi Fragmen DNA CVPD dari Jeruk Kinkit Trophasia trifolia Menggunakan BLAST protein dan BLAST Nukleotida. Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 8(4): 381-387.

Beauchamp CJ, Dion P, Kloepper JW, Antoun H, 1991. Physiological Characterization of Opine-Utilizing Rhizobacteria for Traits Related to Plant Growth-Promoting Activity. Plant Soil. 132 (1991) 273.

Breil BT, Borneman J, Triplett EW, 1996. A Newly Discovered Gene tfuA, Involved in the Production of the Ribosomally Synthesized Peptide Antibiotic Trifoliotoxin, J Bacteriol. 178(1996) 4150.

Brown TA, 1992. Second Edition Genetics: Molecular Approach. London.

Chapman & Hall.

Budi LK, Wijanarka, Kudiyantini, 2018. Aktivitas Enzim Selulase yang dihasilkan oleh Bakteri Serratia marcescens pada Substrat Jerami. Jurnal Biologi.

7(1):35-42.

Budiarto SW, Widyastuti SM, Margino ST, 2004. 𝛽-1,3 Glucanase Enzyme Production by Trichoderma reesei during Mycoparasitism. Journal of Coastal Life Medicine. 56-63.

Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG, 2003. Biologi. Terjemahan Biologi 5th Edition oleh Wasmen Manalu. 1999. Jakarta. Erlangga.

Chin-A- TFC, GV Bloemberg, BJJ Lugtenberg, 2003. Phenazines and Their Role in Biocontrol by Pseudomonas Bacteria. New Phytologist. 157, 503-23.

Cook RJ, Baker KF, 1983. Nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogens. Minnesota. The American Phytopathology Society Press.

Danapriatna N, 2014. Faktor yang mempengaruhi Biosintesis IAA oleh Azospirillum. Jurnal Ilmiah Solusi. 1(2):82-88

Dokumen terkait