• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

C. Analisis

4. Kemampuan Keterampilan Siswa

6

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari berbagai pihak, yaitu bagi peneliti, para guru atau calon guru, siswa, dan peneliti selanjutnya.

1. Bagi peneliti, para guru, atau calon guru

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang suatu model alternatif pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru atau calon guru untuk membantu mengubah konsep siswa yang salah atau kurang lengkap menjadi benar atau lengkap dan keterampilan siswa sehingga dapat membuat siswa terampil dan kompeten dalam belajar. 2. Bagi siswa

Dapat memberikan pengalaman langsung yang dapat menantang pemikiran siswa dalam melakukan perubahan konsep ke arah yang lebih benar atau lengkap serta merangsang siswa menjadi terampil dan kompeten.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Dapat dipakai sebagai masukan dan bahan untuk mengadakan penelitian dan studi selanjutnya agar konsep siswa menjadi lebih tepat.

BAB II

DASAR TEORI

A. Teori Belajar

Belajar menurut pandangan konstruktivistik adalah lebih dari sekedar mengingat. Seseorang yang memahami dan mampu menerapkan pengetahuan yang telah dipelajari, mereka harus mampu memecahkan masalah sendiri, menemukan (discovery) sesuatu untuk dirinya sendiri, dan berkutat dengan berbagai gagasan. Inti sari teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan informasi kompleks ke dalam dirinya sendiri. Teori ini memandang siswa sebagai individu yang selalu memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan prinsip-prinsip yang telah ada dan merevisi prinsip-prinsip tersebut apabila sudah dianggap tidak dapat digunakan lagi (Anni dkk., 2004: 50).

Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh pembelajar (Dimyati & Mudjiono, 1999: 10). Dengan demikian, belajar merupakan seperangkat kognitif seseorang yang mengubah sifat stimulasi lingkungan melewati pengolahan informasi sehingga timbul kapabilitas baru.

Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi yang pertama, berhubungan dengan cara informasi atau

8

materi pelajaran disajikan pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi pada struktur kognitif yang telah ada (Dahar, 1988: 134). Pengetahuan awal yang dimiliki siswa memiliki peran yang sangat penting dalam proses penemuan konsep baru yang dibentuk dari suatu kegiatan untuk memperoleh informasi baru.

David Ausubel mengemukakan teori belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dahar, 1988: 137). Selanjutnya dikatakan bahwa pembelajaran dapat menimbulkan belajar bermakna jika memenuhi prasyarat yaitu; 1) materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial, dan 2) anak yang akan belajar atau siswa bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna (meaningful learning set) (Dahar, 1988: 142). Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu sebab individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang (Dimyati & Mudjiono, 1999: 13).

Thursan Hakim (2000, dalam Sunartombs, 2009) mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap,

9

kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dll. Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya kualitas dan kuantitas kemampuan seseorang dalam berbagai bidang. Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, maka orang tersebut sebenarnya belum mengalami proses belajar atau dengan kata lain ia mengalami kegagalan di dalam proses belajar.

Dengan demikian dapat disimpulkan belajar bukan merupakan sesuatu yang bisa dilakukan dengan cepat tetapi lebih banyak pada proses. Belajar bukan hanya sekedar untuk mendapatkan sebuah hasil saja tetapi proses belajar merupakan sebuah langkah untuk mendapatkan pengetahuan.

B. Konsep

1. Pengertian Konsep

Menurut Memes (dalam Subagyo, 2006: 9), konsep adalah suatu ide atau gagasan yang digeneralisasikan dari pengalaman manusia dengan beberapa peristiwa benda dan fakta. Konsep itu adalah hasil berfikir manusia yang merangkum beberapa pengalaman. Konsep dalam fisika sangat penting untuk memperoleh dan mengkomunikasikan pengetahuan. Dengan menguasai konsep-konsep kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan baru pada siswa tidak terbatas. Salah satu keunggulan dari model pencapaian konsep ini ialah dalam meningkatkan

10

kemampuan untuk belajar dengan cara lebih mudah dan lebih efektif di masa depan (Winataputra, 1992: 35).

Euwee van Berg berpendapat bahwa dalam fisika, konsep adalah segala pengertian yang sudah ada mengenai benda-benda, gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa, kondisi-kondisi dan ciri-ciri yang menjadi obyek dalam proses belajar mengajar fisika, penelitian, dan penerapannya untuk berbagai kepentingan (Kartika Budi, 1992: 39).

Contoh konsep dalam fisika antara lain: kecepatan, momentum, gaya, gelombang, listrik, dan sebagainya. Dengan demikian pendekatan konsep dalam fisika pengajarannya berpangkal pada peran pembantu konsep dan keterkaitannya sehingga memberi makna pada siswa.

2. Teori Perubahan Konsep

Posner, Strike, Hewson, dan Gertzog, (1982, dalam Suparno, 2005: 87) Perubahan konsep terjadi dalam dua model yaitu asimilasi dan akomodasi Proses asimilasi terjadi bila siswa dalam menghadapi tantangan baru, tidak harus mengubah konsep awal mereka, tetapi mengembangkan atau menambah konsep awal mereka menjadi lebih lengkap. Sedangkan akomodasi, terjadi bila siswa harus mengubah atau mengganti konsep awal mereka karena konsep awal mereka salah sama sekali. Bila mereka mau terus mempertahankan konsep awal mereka, mereka tidak akan dapat menangani persoalan yang dihadapi. Kalau mereka ingin maju dalam pengetahuan mereka, maka mereka haruslah mengubah atau mengganti konsep awalnya. Seluruh proses pembelajaran

11

adalah proses membantu siswa melakukan asimilasi dan akomodasi; sehingga pengertian siswa menjadi benar dan lengkap.

Posner, Strike, Hewson, and Gertzog (1982, dalam Sharon, 1997: 108) menjelaskan bahwa proses akomodasi memerlukan keadaan tertentu untuk dapat terjadi, antara lain:

a. Siswa merasa tidakpuas terhadap konsep mereka yang ada. Siswa mengubah konsep mereka jika mereka percaya bahwa konsep yang telah mereka punyai tidak dapat lagi digunakan untuk memecahkan masalah.

b. Konsep yang baru harus dapat dimengerti; Siswa dapat mengerti bagaimana pengalaman-pengalaman baru dapat didekati dengan konsep-konsep baru tersebut.

c. Konsep yang baru harus masuk akal, yaitu mempunyai kemampuan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh para pendahulu.

d. Konsep baru harus berguna bagi perkembangan penelitian dan memiliki kemampuan untuk dikembangkan dan membuka penemuan yang baru.

Menurut Posner, sumber ketidak puasan dengan konsep yang telah ada adalah keadaan anomali. Ini terjadi bila siswa tidak dapat mengasimilasikan sesuatu atau tidak dapat membuat mengerti sesuatu. Chinn (1993, dalam Suparno, 2005: 92), menjelaskan beberapa sikap

12

yang sering dilakukan oleh siswa atau ilmuwan dalam menghadapi data anomali, antara lain sebagai berikut:

a. Mengesampingkan atau menolaknya. Melihat bahwa kenyataan yang dihadapi berbeda dengan konsep yang telah ia punyai, siswa atau ilmuwan tidak mau menggunakan kenyataan atau data itu. Mereka menolaknya. Dengan demikian tidak terjadi perubahan konsep. b. Mengeluarkan data itu dari teori yang ada. Data yang berlainan dari

konsep yang dipikirkan itu dikeluarkan dari teori yang digunakan. Dengan demikian data dianggap sebagai perkecualian saja dari teori yang telah dibangunnya. Sehingga tidak terjadi perubahan konsep ke arah yang lebih benar.

c. Menginterpretasikan kembali data itu. Melihat data yang berlainan tersebut, siswa atau ilmuwan menginterpretasikan kembali atau mengartikan kembali data itu. Dengan menginterpretasikan yang baru dapat terjadi data diterima sehingga terjadi perubahan, tetapi juga dapat terjadi dan tidak diterima sehingga tidak terjadi perubahan konsep.

d. Menginterpretasikan data itu dengan perubahan-perubahan pada teori yang sudah ada secara perlahan-lahan. Data yang dihadapi diartikan dan digunakan untuk mengubah konsep yang ada secara perlahan-lahan. Dalam hal ini jelas terjadi perubahan kecil dari konsep yang dipunyai siswa atau ilmuwan.

13

e. Menerima data itu dan merubah teorinya. Data yang berlainan dengan konsep yang telah dipunyai diterima. Akibatnya, konsep yang tidak cocok dengan data itu harus diubah. Maka terjadi proses akomodasi secara kuat.

3. Hubungan Teori Perubahan Konsep Dengan Teori Konstruktivisme

Menurut Suparno (1997: 53) pengetahuan siswa tidak sekali jadi, melainkan merupakan suatu proses perkembangan yang terus-menerus. Dalam perkembangan itu ada yang mengalami perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi. Proses perubahan terjadi bila siswa aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa teori perubahan konsep dipengaruhi atau didasari oleh filsafat konstruktivisme. Konstruktivisme menekankan pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus-menerus. Konstruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang guru dibantu untuk mengarahkan siswa dalam pembentukkan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong guru agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat

14

pada siswa sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan pemahaman ilmuwan.

Konstruktivisme dan teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap siswa dapat membentuk pengertian yang berbeda dengan pengertian para ilmuwan. Namun pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir perkembangan, karena setiap saat siswa masih dapat mengubah pemahamannya sehingga lebih sesuai dengan pemahaman ilmuwan. “salah pengertian” dalam memahami sesuatu, menurut teori konstruktivisme dan teori perubahan konsep, bukanlah akhir segala-galanya, melainkan awal untuk perkembangan yang lebih baik (Suparno, 1997).

4. Metode Pengajaran Perubahan Konsep

Davis dkk, (dalam Suparno, 2005: 99), merangkum beberapa metode pengajaran perubahan konsep sebagai berikut:

a. Metode pengajaran berdasarkan konflik kognitif siswa. b. Metode pengajaran berdasarkan perkembangan ide-ide siswa.

Dalam metode ini digunakan gagasan dasar yang ada pada siswa, lalu dibantu dengan pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk mengembangkan dan memperluas gagasan mereka ke arah pandangan yang bersifat ilmiah. Dengan model ini maka konsep awal siswa pelan-pelan dijembatani dan berubah ke konsep ilmiah yang benar.

15

c. Metode pengajaran berdasarkan metode pembelajaran fisika yang dapat membantu perubahan konsep siswa.

Beberapa peneliti, ahli, dan pendidik fisika menemukan beberapa metode pembelajaran fisika yang telah terbukti dapat membantu perubahan konsep, terutama perubahan konsep fisika yang kurang benar kearah yang lebih benar.

Beberapa metode itu antara lain, adalah: 1) Analogi penghubung 2) Simulasi komputer 3) Wawancara diagnosis 4) Diskusi kelompok 5) Peta konsep 6) Problem solving

7) Percobaan atau pengalaman lapangan 8) Pertanyaan terus-menerus di kelas

5. Pemahaman Konsep

Menurut Kartika Budi (1992) dalam artikelnya yang berjudul “Pemahaman Konsep Gaya dan Beberapa Salah Konsepsi yang Terjadi”, fisika pada hakekatnya merupakan akumulasi hasil keilmuan berupa konsep-konsep fisis, prinsip, hukum, dan teori yang diperoleh melalui proses keilmuan, dan sikap keilmuan sehingga memfasilitasi siswa, yang dapat diartikan sebagai proses siswa membangun kosep, hukum, dan teori. Bila hal ini dilakukan, maka tujuan yang harus dicapai dalam

16

belajar fisika supaya dapat memahami konsep adalah dengan melakukan proses keilmuan dan memilih sikap keilmuan yang diperlukan dalam melakukan proses tersebut.

Seperti yang ditulis oleh Kartika Budi (1987, dalam Juniarsih, 2008: 6) tentang: “KONSEP: Pembentukkan dan Penanamannya” bahwa pemahaman konsep merupakan dasar dari pemahaman prinsip dan teori, maka untuk dapat memahami prinsip dan teori harus memahami terlebih dulu konsep-konsep yang menyusun prinsip dan teori yang bersangkutan. Berdasarkan hal ini maka pemahaman konsep memegang peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar dapat dimengerti dan diterima sejauh tidak mengabaikan aspek-aspek lain.

Toulmin menyebut bahwa bagian terpenting dalam pemahaman siswa adalah perkembangan konsepnya yang evolutif, terus berubah pelan-pelan dan bukan konsep-konsep yang telah baku, prosedur yang stereotip, atau konsep yang tidak dapat diubah. Dalam perkembangan konsep, siswa mengubah gagasannya lebih maju. Rasionalitas siswa justru terletak pada bagaimana siswa mengubah konsep, prosedur, dan gagasannya untuk semakin maju (Suparno, 2005: 85).

Menurut Kartika Budi (1992), untuk dapat memutuskan apakah siswa memahami konsep atau tidak, diperlukan kriteria atau indikator-indikator yang dapat menunjukkan pemahaman tersebut.

17

Beberapa indikator yang menunjukkan pemahaman siswa akan suatu konsep antara lain:

a. Dapat menyatakan pengertian konsep dalam bentuk definisi menggunakan kalimat sendiri.

b. Dapat menjelaskan makna dari konsep bersangkutan kepada orang lain.

c. Dapat menganalisis hubungan antara konsep dalam suatu hukum. d. Dapat menerapkan konsep untuk 1) menganalisis dan menjelaskan

gejala-gejala alam, 2) untuk memecahkan masalah fisika baik secara teoritis maupun secara praktis, 3) memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada suatu sistem bila kondisi tertentu dipenuhi.

e. Dapat mempelajari konsep lain berkaitan dengan lebih cepat.

f. Dapat membedakan konsep yang satu dengan konsep yang lain yang saling berkaitan.

g. Dapat membedakan konsepsi yang benar dengan konsepsi yang salah, dan dapat membuat peta konsep dari konsep-konsep yang ada dalam suatu pokok bahasan.

C. Metode Eksperimen

Menurut Gilbert, Watts, Osborne (1982); Brouwer (1984); McClelland (1985) dalam Suparno, 2005: 114 Percobaan ataupun pengalaman lapangan adalah cara yang baik untuk mengkontraskan

18

pengertian siswa dengan kenyataan. Yang perlu diperhatikan adalah, percobaan yang tidak menyeluruh sering kali dapat menyebabkan miskonsepsi yang baru. Jelas bahwa pemilihan percobaan dan pengalaman pun perlu diperhatikan agar benar-benar dipilih yang membantu perkembangan konsep siswa, dan bukan yang sebaliknya.

Metode eksperimen menekankan pada kegiatan yang harus dialami sendiri, dicari dan ditemukan sendiri data dan pemecahannya. Dalam metode ini, murid mencari dan menyelidiki sendiri kebenaran dari suatu obyek maupun proses. Murid mengalami sendiri dan bukan hanya percaya atau mengandalkan keterangan guru ataupun penjelasan yang diuraikan dalam suatu buku pelajaran.

Menurut Karo-karo (1984) seperti dikutip Hira Prihandoko (2006: 8), secara umum metode pengajaran eksperimen dilaksanakan dengan langkah-langkah berikut ini:

Langkah pertama

Guru menerangkan dan menjelaskan tujuan diadakannya eksperimen, misalnya agar pelajar mengetahui proses apa yang terjadi, cara bekerjanya alat tertentu, benar atau tidaknya hipotesa.

Langkah kedua

Guru atau murid, atau guru bersama murid menyediakan alat-alat yang digunakan. Dalam langkah ini guru menerangkan fungsi alat-alat tersebut atau menerangkan tentang pemakaian alat-alat tersebut.

19

Langkah ketiga

Dalam langkah ini menjelaskan urutan langkah-langkah dalam mempertunjukkan atau mencobakan sesuatu.

Langkah keempat

Pelaksanaan dari eksperimen. Langkah kelima

Mencatat dan menyimpulkan hasil. Langkah keenam

Dalam langkah ini diadakan penilaian atau membicarakan kebaikan-kebaikan dari apa yang telah dikerjakan atau membicarakan kekurangan-kekurangan dan cara menanggulanginya.

Dari uraian diatas pembelajaran dengan metode eksperimen terlihat tidak terlalu sukar untuk dilaksanakan tetapi harus diingat bahwa dalam pelaksanaannya memerlukan biaya dan tenaga yang besar sehingga sebagai guru fisika harus ahli dalam mendesain kegiatan eksperimen untuk siswanya. Namun demikian, hendaknya hal tersebut tidak menjadi momok bagi guru dalam mempersiapkan penggunaannya di kelas, akan tetapi justru menjadi tantangan bagi guru untuk mempersiapkan eksperimen sebaik-baiknya agar pembelajaran fisika dapat efektif.

Kebaikan atau keuntungan metode eksperimen: 1. Meniadakan kemungkinan timbulnya verbalisme.

20

3. Karena mengamati sendiri suatu proses atau kejadian, maka menjadi benar-benar yakin akan hasil atau akibat suatu proses.

4. Menjadi lebih bersikap hati-hati, teliti, mampu berfikir analitis dan tidak begitu saja percaya pada “kata orang”.

5. Sesuai dengan perkembangan jiwa murid yang selalu tertarik pada realitas atau obyek-obyek yang nyata dari alam sekitarnya.

6. Sesuai dengan jiwa anak yang selalu mengadakan eksplorasi (penjelajahan) untuk menemukan hal-hal yang baru baginya.

7. Sesuai dengan prinsip didaktik modern, yaitu mengembangkan sikap inovatif (mencari sesuatu yang baru, hasrat menemukan sesuatu yang baru).

8. Memupuk dan mengembangkan sikap berfikir ilmiah. 9. Membangkitkan hasrat ingin tahu pada anak.

10.Memperkaya pengalaman dan meningkatkan keterampilan.

Sedangkan kerugian atau kelemahan metode eksperimen antara lain: 1. Tidak semua mata pelajaran dapat diajarkan dengan metode ini. Tidak

semua hal dapat dieksperimenkan. Hanya hal-hal yang kongkrit dapat dilakukan eksperimen. Itupun jika tidak membahayakan kesehatan maupun keselamatan jiwa dan jasmani yang bersangkutan.

2. Suatu eksperimen tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan. Lebih-lebih jika kita bekerja dengan zat-zat kimia, dan baru untuk pertama kali melakukannya.

21

3. Mahalnya alat-alat praktikum di sekolah sering merupakan hambatan untuk melakukan eksperimen-eksperimen di laboratorium sekolah maupun di kelas. Eksperimen terpaksa dikerjakan berkelompok yang berarti bahwa tidak semua murid dapat mengalami sendiri suatu eksperimen.

D. Lembar Kerja Siswa

Dalam eksperimen yang akan dilakukan menggunakan lembar kerja siswa (LKS) untuk menuntun siswa dalam melakukan eksperimen. Biasanya LKS disajikan sebagai media dalam bentuk lembaran yang berisi serangkaian kegiatan yang harus dilakukan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. LKS yang digunakan dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan karakteristik pelajaran yang disampaikan guru. Selain itu format LKS harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan penalaran siswa yang sedang melaksanakan proses belajar. Kesesuaian format LKS ini akan mempengaruhi motivasi dan minat siswa untuk mempelajari fisika. Format LKS harus dengan urutan tertentu dan sesuai dengan penalaran siswa sehingga dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran.

Dengan LKS, siswa dapat dilatih berfikir secara sistematis, dan dengan memeriksa lembar kerja siswa, guru akan lebih mudah melihat kemampuan keterampilan siswa selama proses belajar berlangsung. Yang penting dalam LKS adalah serangkaian langkah-langkah, uraian, dan pertanyaan yang terdapat dalam lembar kerja siswa yang harus dilakukan, dicermati, dan

22

dijawab oleh siswa. Jadi yang dimaksud dengan lembar kerja siswa (LKS) adalah media pembelajaran yang menggunakan lembar kerja yang harus diikuti oleh siswa yang belajar sebagai pelengkap dari kegiatan pembelajaran.

Selain dengan kelebihannya, LKS juga memiliki kelemahan yaitu, siswa terus menerus fokus mengikuti petunjuk dalam LKS, misalnya saja dalam menjawab pertanyaan atau membaca uraian dalam LKS. Jika siswa tidak benar-benar memahami salah satu bagian dalam LKS maka akan sangat dimungkinkan siswa akan mengalami kebingungan pada langkah berikutnya hal ini disebabkan karena bagian-bagian dalam LKS saling berkaitan satu sama lain.

E. Evaluasi

Evaluasi hasil belajar antara lain menggunakan tes untuk melakukan pengukuran hasil belajar. Tes dapat didefinisikan sebagai seperangkat pertanyaan dan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait, atribut pendidikan, psikologik atau hasil belajar yang setiap butir pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar. Pengukuran diartikan sebagai pemberian angka pada satus atribut atau karakterisitik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu menurut aturan atau formulasi yang jelas. Penilaian adalah suatu proses untuk mengambil keputusan dengan menggunakan instrumen tes maupun non tes. Penilaian dimaksudkan untuk memberi nilai tentang kualitas hasil belajar.

23

Secara kalsik tujuan evaluasi hasil belajar adlah untuk membedakan kegagalan dan keberhasilan seorang peserta didik. (Tim PEKERTI-AA PPSP LPP, 2007: 10).

Menurut prosedur pelaksanaannya, evaluasi dapat digolongkan menjadi:

1. Tes

a. Tes tertulis: tes uraian, tes singkat, dan tes obyektif. b. Tes lisan: kelompok atau individu.

c. Tes perbuatan: kelompok atau individu. 2. Non tes

a. Observasi. b. Wawancara.

Sedangkan menurut fungsinya tes dapat dibedakan atas:

1. Tes seleksi, tes untuk menentukan apakah seseorang memenuhi untuk masuk ke program tertentu.

2. Tes diagnostis, tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa sehingga berdasarkan kelemahan-kelemahan-kelemahan-kelemahan tersebut dapat dilakukan pemberian perlakuan yang tepat.

3. Tes penempatan, tes untuk mengetahui program apa yang paling cocok untuk siswa.

Dalam penelitian ini bentuk tes yang akan dipilih adalah tes tertulis dengan bentuk uraian, karena dengan tes uraian siswa mempunyai kebebasan dalam menjawab dan mengembangkan pikirannya. Dengan

24

demikian luas pengetahuan dan jenjang pengetahuan siswa akan benar-benar dapat dievaluasi.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penyusunan evaluasi (tes) adalah sebagai berikut:

1. Menentukan tujuan mengadakan tes.

2. Mengadakan pembatasan terhadap bahan yang diteskan. 3. Merumuskan indikator hasil belajar dari setiap bahan.

4. Menderetkan semua indikator hasil belajar dalam tabel persiapan yang memuat pula aspek tingkah laku terkandung dalam indikator hasil belajar itu.

5. Menuliskan butir-butir soal, didasarkan atas indikator hasil belajar yang sudah dituliskan pada tabel indikator hasil belajar dan aspek tingkah laku yang dicakup (Suharsimi Arikunto, 1991:151-152).

Perumusan yang terperinci tentang tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam suatu tindakan evalusi dapat dilakukan melalui dua hal. Pertama adalah dengan mengadakan perincian tentang luas pengetahuan yang hendak diukur dan yang kedua tentang jenjang pengetahuan. Perincian tentang luas pengetahuan yang hendak diukur hendaknya berpedoman kepada ruang lingkup ilmu pengetahuan tersebut, sesuai dengan luas yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah bersangkutan. Sedangkan perincian tentang jenjang pengetahuan yang hendak diukur dapat dilakukan dengan berpedoman kepada salah satu sistematika tentang jenjang pengetahuan. Salah satu sistematika jenjang pengetahuan yang sering dipakai adalah

Dokumen terkait