• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

1. Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika Siswa Kelas

Pemahaman berasal dari kata understanding. Suatu pemahaman ditentukan oleh hubungan suatu gagasan, prosedur atau fakta matematika yang dipahami secara menyeluruh jika hal-hal tersebut membentuk jaringan dengan keterkaitan yang tinggi.1 Sedangkan menurut Longworth, Pemahaman merupakan landasan bagi peserta didik atau siswa untuk membangun wawasan dan kebijaksanaan.2

Konsep dapat diartikan sebuah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Konsep dasar dapat dipelajari melalui definisi atau penggunaan secara langsung. Dengan kata lain konsep dapat dipelajari dengan cara melihat, mendengar, mendiskusikan, dan memikirkannya. Chaplin menyebutkan pengertian konsep meliputi: (1) Suatu ide atau pengertian umum, berupa kata, simbol, tanda. (2) Suatu ide yang menggabungkan beberapa unsur ke dalam satu gagasan tunggal.3 Namun menurut Ratna, belum ada suatau definisi yang tepat mengenai konsep. Pengertian konsep yang diberikan dalam kamus, seperti “sesuatu yang diterima dalam pikiran” atau “suatu ide yang umum dan abstrak” menurutnya masih terlalu luas untuk digunakan.4 Sehingga dari pendapat beberapa ahli dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa konsep adalah suatu

1

Nila Kesumawati, “Pemahaman konsep dan Pembelajaran Matematika”, Makalah disampaikan pada Semnas Matematika dan Pendidikan Matematika 2008, h. 230.

2 Ibid. 3

Mulyati, Pengantar Psikologi Belajar, (Jogjakarta: Quality Publishing, 2007), h. 53.

4

Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar & Pembelajaran, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 62.

ide atau gagasan yang memungkinkan kita untuk dapat mengelompokkan benda ke dalam atu kelompok yang sama.

Menurut Duffin & Simpson, pemahaman konsep sebagai kemampuan siswa untuk menjelaskan konsep, siswa mampu untuk mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan atau diajarkan kepadanya kedalam bahasa sendiri.5 Penggunaan suatu konsep biasanya digunakan secara terus menerus untuk menjelaskan satu konsep dengan konsep yang lain. Oleh karena itu siswa harus benar-benar dapat mengklasifikasikan suatu konsep dengan masalah, dan memahami relasinya. Konsep yang salah diterima oleh siswa berakibat fatal untuk mempelajari konsep berikutnya yang saling berkaitan dengan konsep sebelumnya.

b. Pemahaman Konsep dalam Matematika

Terdapat beberapa pengertian matematika menurut para ahli, James dan James menjelaskan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika, mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan lainnya.6 Sedangkan pendapat yang lain dikemukakan oleh Dindin, menurutnya matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, keterkaitan antar konsep-konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas karena disebabkan kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran yang telah dibuktikan sebelumnya.7

Depdiknas mengungkapkan bahwa pemahaman konsep merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yaitu dengan menunjukkan pemahaman konsep matematika yang dipelajarinya, menjelaskan keterkaitan antar

5 Ibid. 6

Hakikat Matematika, dari

http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/MODEL_PEMBELAJARAN_MATEMATIKA/HAKIKAT_MATEMATIKA.pdf, h. 4, diakses Sabtu, 4 Januari 2014, pukul: 10.00.

7

Dindin Abdul Muiz Lidinillah, “Strategi Pembelajaran Matematika di Sekoah Dasar”,

makalah disampaikan pada Kegiatan Pembinaan Profesionalisme Guru SD Kecamatan Kawalu Kota Tasikmalaya, Maret 2006, h. 1.

konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.8

Menurut Skinner untuk menguatkan pemahaman konsep dalam pokok bahasan yang dibahas, maka setelah terjadinya proses stimulus-respon yang tanya-jawab dalam proses pengajaran, harus dilanjutkan dengan memberikan penguatan antara lain berupa latihan soal-soal, tugas, pekerjaan rumah, dan ulangan.9 Dengan adanya latihan soal atau tugas ini membuat siswa mengingat kembali apa yang telah dipelajari, sehingga pemahaman tentang materi atau pokok bahasan yang telah dipelajari akan menjadi lebih kuat.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemahaman konsep matematika adalah kemampuan siswa untuk memahami suatu ide matematika, mengaitkan konsep satu dengan konsep yang lain, serta menerapkan konsep yang telah dipahaminya untuk menyelesaikan masalah. Pahamnya siswa terhadap suatu konsep dapat diukur dari indicator pemahaman konsep. Misalnya siswa dapat menjelaskan kembali konsep dengan kata-kata sendiri, menerapkan konsep/rumus dan lain-lain.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pemahaman konsep sekaligus keberhasilan belajar matematika siswa ditinjau dari segi komponen pendidikan adalah sebagai berikut: (1) tujuan yang akan dicapai dalam kegiatan belajar mengajar, (2) guru, (3) anak didik, (4) kegiatan pengajaran, (5) bahan dan alat evaluasi, (6) suasana evaluasi.10

8

Nizarwati dkk, Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berorientasi Konstruktivisme untuk Mengajarkan Konsep Perbandingan Trigonometri Siswa Kelas X Sma, Jurnal Pendidikan Matematika Unsri Volume 3. No. 2, 2009, h. 57-58.

9

Didi Suryadi, Pendidikan Matematika, UPI, dari

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/195802011984031-DIDI_SURYADI/DIDI-18.pdf, diakses Sabtu, 4 Januari 2014, pukul: 10.00.

10 Linda Rahmawati, “Pemahaman Pribadi Siswa”, Makalah Perkembangan Peserta Didik, Purwokerto, 2013, h. 7-8.

c. Indikator Kemampuan Pemahaman Konsep Matematika

Siswa dikatakan memahami konsep jika siswa mampu mendefinisikan konsep, mengidentifikasi dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep, mengembangkan kemampuan koneksi matematik antar berbagai ide, memahami bagaimana ide-ide matematik saling terkait satu sama lain sehingga terbangun pemahaman menyeluruh, dan menggunakan matematik dalam konteks di luar matematika.

Indikator pemahaman konsep menurut Bloom dibagi menjadi tiga, yaitu translasi, interpretasi dan ekstrapolasi, berikut penjelasannya:

1. Penerjemahan (translasi), yaitu pemahaman yang berkaitan dengan kemampuan siswa menerjemahkan kalimat dalam soal menjadi bentuk lain. Pemahaman translasi digunakan untuk menyampaikan informasi dengan menggunakan bahasa dan bentuk lain dan mengenai pemberian makna dari informasi yang berbeda.11 Kemampuan menterjemahkan merupakan pengalihan dari bahasa konsep ke dalam bahasa sendiri, atau pengalihan dari konsep abstrak ke suatu model atau simbol yang dapat mempermudah orang untuk mempelajarinya.

2. Penafsiran (interpretasi), yaitu pemahaman yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menentukan konsep-konsep yang tepat untuk digunakan dalam menyelesaikan soal. Pemahaman interpretasi digunakan untuk menjelaskan suatu bacaan, tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga mencakup pemahaman suatu informasi dari sebuah gagasan.12 Misalnya dalam bentuk grafik, peta konsep, tabel, simbol, dan sebaliknya. Jika kemampuan menterjemahkan mengandung pengertian mengubah bagian demi bagian, kemampuan menafsirkan meliputi penyatuan dan penataan kembali. Dengan kata lain, menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan bagian-bagian yang diketahui berikutnya.

11

Ety Mukhlesi Yeni, Pemanfaatan Benda-Benda Manipulatif untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Geometri dan Kemampuan Tilikan Ruang Siswa Kelas V Sekolah Dasar,

Jurnal Matematika Edisi Khusus No. 1, Agustus 2011.

12 Ibid.

3. Ektrapolasi, yaitu pemahaman yang berkaitan dengan kemampuan siswa menyimpulkan konsep yang telah diketahui dengan menerapkannya dalam perhitungan matematika untuk menyelesaikan soal. Pemahaman ekstrapolasi merupakan etimasi yang didasarkan pada sebuah pemikiran dari suatu informasi, juga mencakup pembuatan kesimpulan dengan konsekuensi yang sesuai dengan penerapan suatu bahan yang sudah dipelajari ke dalam situasi baru, yaitu berupa ide, teori atau petunjuk teknis.13 Dengan demikian, bukan saja berarti mengetahui yang sifatnya mengingat saja, tetapi mampu mengungkapkan kembali ke dalam bentuk lainnya yang mudah dimengerti, memberi interpretasi, serta mampu mengaplikasikannya.

Polya merinci kemampuan pemahaman pada empat tahap, yaitu: 1. Pemahaman mekanikal yang dicirikan oleh dapat mengingat dan

menerapkan rumus secara rutin dan menghitung secara sederhana. 2. Pemahaman induktif, yakni dapat menerapkan rumus atau konsep

dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa.

3. Pemahaman rasional, yakni dapat membuktikan kebenaran rumus dan teorema.

4. Pemahaman intiutif, yakni dapat memperkirakan kebenaran dengan pasti (tanpa ragu-ragu) sebelum menganalisis lebih lanjut.14

Berbeda dengan Polya, Pollatsek menggolongkan pemahaman dalam dua jenis, yaitu: (1) pemahaman komputasional, yaitu dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik, (2) pemahaman fungsional, yaitu dapat mengkaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya dan menyadari proses yang dikerjakan. Pendapat lain yang serupa dikemukakan oleh Skemp dan Copeland. Skemp menggolongkan pemahaman dalam dua jenis, yaitu: (1) pemahaman instrumental, yakni hafal konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya, dapat menerapkan

13 Ibid. 14

Utari Sumarmo, Berfikir dan Disposisi Matemetik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana

rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik, dan (2) pemahaman relasional, yakni dapat mengaitkan satu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya. Mirip pendapat Pollatsek dan Skemp, Copeland menggolongkan pemahaman dalam dua jenis, yaitu: (1) knowing how to, yaitu dapat mengerjakan suatu perhitungan secara rutin/algoritmi, dan (2) knowing, yakni dapat mengerjakan suatu perhitungan secara sadar.15

Dari uraian di atas terdapat beberapa macam indikator pemahaman konsep dalam pembelajaran matematika. Namun dalam penelitin ini penulis menggunakan indikator-indikator pemahaman konsep yang dikemukakan oleh Bloom yang meliputi translasi, interpretasi dan eksplorasi.

2. Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving a. Pembelajaran Kolaboratif

Ada beberapa pendapat ahli mengenai pengertian pembelajaran. Kevin Seifert, “pembelajaran merangkumi perubahan tingkah laku yang agak kekal disebabkan oleh pengalaman tertentu atau ulangan pengalaman”.16 Sedangkan pendapat Anita E. Woolfolk, “pembelajaran adalah proses di mana pengalaman menyebabkan perubahan dalam pengetahuan dan tingkah laku yang kekal”.17

Dapat ditarik kesimpulan bahwa Pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran

15 Ibid. 16

Ahmad Johari Sihes, Konsep Pembelajaran, (Johor Bahru, UTM, 2013), h.2.

17

adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

Keohane berpendapat bahwa: “kolaborasi adalah bekerja bersama dengan yang lain dalam satu team, dan di dalamnya bercampur di dalam satu kelompok untuk mencapai tujuan bersama”.18 Sedangkan Patel berpendapat bahwa “kolaborasi adalah suatu proses saling ketergantungan fungsional antara keterampilan koordinasi, tools, dan hadiah”.19 Menurut Jacob, “kolaboratif adalah suatu folosofi interaksi dan gaya hidup personal di mana individual bertanggungjawab terhadap tindakan mereka, meliputi belajar dan respek kemampuan dan kontribusi rekan-rakan mereka”.20

Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian belajar kolaborasi adalah suatu strategi pembelajaran di mana para siswa dengan variasi yang bertingkat bekerjasama dalam kelompok kecil kearah satu tujuan. Dalam pembelajaran kolaboratif siswa belajar bersama-sama dengan siswa yang lain dalam satu kelompok tertentu. Gokhale mendefinisikan bahwa collaborative learning mengacu pada metode pengajaran di mana siswa dalam satu kelompok yang bervariasi tingkat kecakapannya bekerjasama dalam kelompok kecil yang mengarah pada tujuan bersama.21

Ada empat domain kemampuan berkolaborasi yang dibutuhkan pebelajar dalam memecahkan suatu masalah, yakni (1) kemampuan membentuk tim, (2) bekerja /belajar secara kolaborasi, (3) melaksanakan pemecahan masalah secara kolaborasi, dan (4) mengatur perbedaan dalam tim. Kemampuan berkolaborasi merupakan sesuatau yang dapat dipelajari.

18

Kolaboratif, http://buning_pap.staff.uns.ac.id/files/2010/05/kolaboratif.doc, diakses Sabtu, 4 Januari 2014, pukul: 10.30

19 Ibid. 20

C. Jacob, Belajar Kolaboratif Lawan Kooperatif: Suatu Perbandingan Dua Konsep

yang dapat Membantu Kita Mengerti Ciri Utama Belajar Interaktif, Bandung: FMIPA UPI, 2013,

h. 1.

21 Ibid.

Kemampuan berkolaborasi dapat dikembangkan melalui kegiatan observasi dan mengerjakan suatu proyek.22

Belajar kolaboratif menuntut adanya modifikasi tujuan pembelajaran dari yang semula sekedar penyampaian informasi menjadi konstruksi pengetahuan oleh individu melalui belajar kelompok. Dalam belajar kolaboratif, tidak ada perbedaan tugas untuk masing-masing individu, melainkan tugas itu milik bersama dan diselesikan secara bersama tanpa membedakan percakapan belajar siswa.

Pembelajaran kolaboratif memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya yaitu: (1) siswa belajar bermusyawarah, (2) menghargai pendapat orang lain, (3) mengembangkan cara berpikir kritis dan rasional, (4) memupuk rasa kerja sama, dan (5) terjadinya persaingan yang sehat. Sedangkan kelemahannya yaitu: (1) pendapat serta pertanyaan siswa dapat melebar, (2) boros waktu, (3) adanya sifat-sifat pribadi yang ingin menonjolkan diri, (4) siswa yang lemah merasa rendah diri dan selalu tergantung pada orang lain, dan (5) Kadang terjadi permasalahan dalam pengambilan kesimpulan. 23

b. Pembelajaran Model Collaborative Problem Solving

Dalam dunia pendidikan, Nelson mengemukakan bahwa collaborative problem solving merupakan kombinasi antara dua pendekatan pembelajaran, yaitu pembelajaran kerja sama dan pembelajaran berbasis masalah. Kedua pembelajaran ini sebenarnya memungkinkan untuk menciptakan lingkungan belajar kolaboratif, namun tidak komprehensif. Lingkungan belajar yang mendukung siswa untuk berkolaborasi secara natural dan efektif sangat penting untuk didesain agar mereka dapat mengembangkan pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibuatlah desain pembelajaran collaborative problem solving yang didukung oleh kegiatan pemecahan masalah siswa dimana siswa dapat melakukan kesepakatan,

22

Mustaji, Desain Pembelajaran Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kolaborasi

Untuk Meningkatkan Kemampuan Berkolaborasi, (Surabaya, UNS, 2007), h.10.

23 Ibid.

didasarkan pada proses kolaboratif alami mereka masing-masing. Hal ini yang membedakan anatara pembelajaran collaborative problem solving dengan pembelajaran kolaboratif saja atau pembelejaran problem solving saja.

Djamilah berpendapat bahwa dengan memperhatikan keunggulan model kolaboratif dan pendekatan berbasis masalah, maka menggabungkan keduanya tentulah dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Gabungan model kolaboratif yang menekankan timbulanya kolaborasi dan pendekatan berbasis masalah sebagai titik awal dan jangkar yang memandu proses pembelajaran inilah yang disebut pembelajaran berbasis masalah.24

Green menjelaskan bahwa collaborative problem solving adalah suatu pendekatan yang berpegang pada dua hal utama. Pertama, bahwa tantangan sosial, emosional, dan perilaku pada anak sebaiknya dipahami sebagai hasil sampingan dari perkembangan keterampilan kognitif. Kedua, bahwa tantangan sebaiknya ditangani dengan problem solving yang menjadikan masalah sebagai fokus perhatian, untuk menantang perilaku secara bersama.25

Hannebaur menjelaskan bahwa collaborative problem solving menunjukan proses dimana suatu agen cerdas bekerja bersama-sama untuk mencari sulosi dari suatu masalah umum.26 Sedangkan menurut Willihnganz menjelaskan bahwa dalam collaborative problem solving, individu-individu bergabung bersama untuk menemukan solusi yang dapat diterima keduanya. Pendapat berbeda disamapaikan oleh PISA, collaborative croblem solving merupakan keterampilan kritis dan dibutuhkan dalam pendidikan di dalam kelompok. Di dalam kelompok

24

Djamilah Bondan Widjajanti, “Strategi Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Masalah”,

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, (Yogyakarta: FMIPA UNY,

2008), h. 7, Tersedia online: http://eprints.uny.ac.id/10501/1/P13-Djamilah.pdf, diakses pada 30 Desember 2014, jam 12.59 WIB

25

Rose W. Green, The Explosive Child: (New York, Guilford Press, 2006) h. 1.

26

Markus Hannebaur, Improving the Quality and Efficiency of Collaborative Problem Solving, (Berlin Heiderberg, Spinger-Verlag, 2002) h. 18.

tersebut, siswa menggabungkan pemahamannya dan bekerja sama dalam upaya memecahkan masalah.27

Dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa collaborative problem solving adalah pembelajaran dimana siswa berpartisipasi dalam kelompok untuk menyelesaikan suatu masalah secara bersama-sama. Collaborative problem solving merupakan gabungan antara aspek yang ditemukan dalam pemecahan masalah individu disamping aspek kolaboratif. Pembelajaran ini juga melibatkan anggota kelompok lainnya dalam proses belajar sehingga membutuhkan keterampilan kognitif dan sosial untuk memungkinkan penyampaian pemahaman, pengetahuan, saling berbagi informasi, membuat dan memahami organisasi kelompok yang sesuai, dan untuk melakukan tindakan terkoordinasi untuk memecahkan masalah.

Pada model pembelajaran collaborative problem solving siswa diberikan soal secara individu dengan tujuan agar siswa lebih mandiri. Selanjutnya dibentuk kelompok agar siswa aktif menyampaikan pendapat atau konsep yang telah diketahuinya. Setelah hasil diskusi didapatkan salah siswa dalam kelompok menjelaskan hasil diskusinya kepada kelompok lain. Pada tahap yang terakhir ini terjadi koreksi dari kelompok lain sehingga jika ada konsep yang belum benar siswa dari kelompok lain ini akan meluruskannya.

Hesse menjelaskan bahwa collaborative problem solving memiliki keunggulan yang sangat berguna ketika berhadapan dengan masalah yang kompleks: (1) pertama siswa dapat melakukan pertukaran pengetahuan atau pendapat untuk mengoptimalkan pemahaman, (2) kedua adalah kerjasama, yaitu terutama disepakati pembagian kerja, melibatkan kontribusi responsif terhadap perencanaan dan analisis masalah, (3) ketiga adalah sikap tanggap, aktif dan partisipasi secara mendalam.28

27

PISA 2015, Draft Collaborative Problem Solving Framework, Maret 2013, h. 3.

28

Hesse Friedrich, A Framework for Teachable Collaborative Problem Solving Skill,

Selain kelebihan yang terdapat pada model pembelajaran collaborative problem solving, terdapat juga kelemahan. Kelemahan tersebut hampir serupa dengan pembelajaran kolaboratif, diantaranya: pendapat dan pertanyaan siswa dapat melebar dari pokok bahasan yang dipelajari, membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

c. Tahapan Pembelajaran Model Collaborative Problem Solving

Ada beberapa langkah dalam pembelajaran collaborative problem solving. Menurut pendapat Rod Windle dan Suzane Warren Langkah-langkah tersebut dibagi menjadi enam:

1. Berbagi pandangan/informasi dengan menggunakan keterampilan komunikasi kita untuk memahami persepsi orang lain dari situasi, kebutuhan dan keinginan mereka. Proses ini dilakukan agar siswa dalam kelompok untuk memahami dengan jelas berbagai perspektif dari masing-masing anggota terhadap masalah yang dihadapi.

2. Menentukan masalah dari pandangan/informasi yang didapat akan membantu untuk menetukan isu-isu atau subjek untuk diskusi dan pemecahan masalah bagi kedua belah pihak menjadi diidentifikasi. Setelah semua siswa menyampaikan persfektifnya masing-masing berkaitan dengan permasalahan, pada langkah kedua ini siswa mendeskripsikan berbagai topik yang menjadi poin penting dari persfektif yang muncul untuk didiskusikan bersama.

3. Identifikasi minat dengan mencari kesamaan antara semua pihak untuk mencari tahu apa yang pihak benar-benar minati dalam rangka untuk mencapai kesepakatan. Dari berbagai persfektif yang muncul kemudian siswa melakukan identifikasi untuk mengetahui kecenderungan berbagai solusi permasalahan yang ada dan mencari kesamaannya.

4. Setelah melakukan identifikasi, siswa mendiskusikan tentang berbagai solusi yang mungkin dan menggeneralisasi berbagai pilihan solusi.

Hasilkan pilihan dengan melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan pertimbangan sehingga menghasilkan banyak ide yang berbeda. 5. Mengembangkan standar atau kriteria yang cukup untuk memutuskan

tujuan bersama. Pada langkah ini, siswa mengembangkan suatu kriteria objektif untuk memutuskan solusi akhir permasalahan dengan menggunakan indikator-indikator tertentu yang disetujui.

6. Langkah terakhir, siswa melakukan evaluasi terhadap berbagai pilihan solusi untuk selanjutnya diperoleh persetujuan atas solusi akhir permasalahan. Mengevaluasi pilihan (options) dan capilah kesepakatan yang akan memenuhi kebutuhan bersama.29

Pendapat lain dikemukakan oleh Willihnganz yang menjelaskan ada 6 langkah dalam collaborative problem solving: (1) menentukan masalah sebagai kebutuhan bukan sebagai solusi, (2) lakukan penyampaian pendapat semua solusi yang mungkin, (3) pilih solusi yang akan memenuhi kebutuhan kedua belah pihak dan periksa kemungkinan konsekuensi dari pendapat-pendapat yang muncul, (4) menyusun rencanakan dari ide yang dipilih, (5) laksanakan rencana tersebut, (6) mengevaluasi proses pemecahan masalah kemudian seberapa baik solusi bekerja.30

Secara garis besar, pembelajaran collaborative problem solving ini bisa dilakukan dalam empat langkah kegiatan. Langkah-langkah ini antara lain:

1. Siswa dihadapkan pada masalah yang diberikan guru untuk dipelajari secara individual. Pada sesi ini guru membuat kelompok yang terdiri dari 2-4 siwa kemudian membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS) kepada setiap siswa untuk dikerjakan secara individu. Sesi ini bisa disebut dengan pemunculan masalah.

29

Rod Windle dan Suzane Warren,Collaborative Problem Solving: Steps in the Process,

dari www.directionservice.org/cadre/section5.cfm, diakses Sabtu, 4 September 2013, pukul: 11.00.

30

Nancy Willihnganz, Collaborative Problem Solving, 2013, dari http://willihnganz.disted.camosun.bc.ca/collaborativeps.htm, diakses Sabtu, 4 September 2013, pukul: 10.00.

2. Siswa mencoba mengolah masalah berupa membuat pertanyaan-pertanyaan dari masalah yang diberikan dengan modal pemahaman yang didapatkan dari sesi sebelumnya untuk menjadi bahan acuan dalam menyelesaikan masalah pada LKS. Pada sesi ini siswa mulai bekerja sebagai tim dalam kelompoknya masing-masing. Siswa saling bertukar pendapat atau pemahaman yang diperoleh dari sesi pertama mengenai masalah yang disajikan dalam LKS. Pada sesi yang kedua ini lebih menekankan pada proses kolaboratif.

3. Siswa meyelesaikan masalah berdasarkan acuan yang telah dibuat. Pada sesi ini siswa mulai mulai menyelesaikan masalah bersama-sama untuk mencari solusi dari permasalahan yang disajikan dalam LKS sehingga diperoleh solusi yang terbaik. Pada sesi yang ketiga ini merupakan sesi yang paling penting, selain proses kerjasama terdapat juga proses yang lebih penting yaitu pemecahan masalah.

4. Siswa mentransfer pekerjaannya secara individu ke dalam kelompok lain. Pada sesi ini perwakilan kelompok maju ke depan untuk menjelaskan/mempresentasikan solusi yang diperoleh kemudian kelompok lain bertugas menanggapi hasil kerja kelompok yang maju. Pada sesi yang keempat ini terjadi proses evaluasi dari proses pembelajaran yang berlangsung.

Pembelajaran Collaborative Problem Solving yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu pembelajaran dimana siswa yang terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus diselesaikan secara individu dan berkelompok, untuk memperoleh solusi permasalahan dan pemahaman yang mendalam melalui aktivitas diskusi dalam kelompoknya masing-masing. Tahapan pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:  Tahap 1: Muncul permasalahan

Guru menyajikan permasalahan dengan memberikan lembar kerja siswa kepada masing-masing siswa.

- Masing-masing siswa secara individu mengidentifikasi permasalahan dan berusaha mencari solusi permasalahan tersebut.

- Siswa mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan materi ajar. Selain itu siswa juga mendaftar hal-hal yang belum dimengerti untuk nanti ditanyakan kepada anggota lainnya.

 Tahap 3: Penyelesaian masalah secara kelompok

- Setelah waktu penyelesaian tugas individu habis, guru menginformasikan pembagian kelompok diskusi. masing-masing

Dokumen terkait