• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PRINSIP-PRINSIP UMUM MENGENAI HUKUM HUMANITER SEBAGAI HUKUM KONFLIK BERSENJATA

A. Kemelut Panjang di negara Irak

Setelah Perang Teluk pada tahun 1990 terjadi, dunia kembali dikejutkan dengan terjadinya invasi Amerika Serikat beserta Inggeris, Spanyol dan Australia ke Irak. Namun terdapat perbedaan dimana pada waktu Perang Teluk 1990 Amerika Serikat beserta sekutunya yang tergabung dalam pasukan multinasional mendapat restu dari PBB dan dunia internasional, tetapi dalam Invasi ke Irak ini, Amerika Serikat tidak mendapat dukungan dari dunia internasional maupun PBB secara resmi.

Beberapa peristiwa yang dianggap melatarbelakangi terjadinya invasi Amerika Serikat ke Irak ini, adalah antara lain 50

50

Majalah Mingguan Gatra, Jakarta, edisi 5 April 2003, hal. 30.

:

1. Pada tanggal 11 September 2001 Amerika Serikat mengalami tragedi yang disebabkan oleh serangan teroris yang mengakibatkan hancurnya gedung World Trade Centre (WTC) dan menewaskan lebih kurang 5000 jiwa.

2. Pada tanggal 30 Januari 2002 Presiden Amerika Serikat George W. Bush menyebut istilah “poros setan” bagi Korea Utara, Iran, Irak dalam pidatonya di depan anggota kongres dan senat AS. Istilah titik awal kampanye politik dan diplomatik Amerika Serikat menuju Perang Irak.

3. Pada tanggal 6 Februari 2002, Para pejabat tinggi AS mulai menyebut-nyebut soal pergantian rezim di Irak.

4. Pada tanggal 12 September 2002, Presiden Amerika Serikat George W. Bush menyatakan di depan Majelis Umum PBB, bahwa Amerika Serikat tidak akan membiarkan Saddam Husein menghancurkan dunia dengan senjata pemusnah massal.

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

5. Pada tanggal 17 Oktober 2002 Senat AS menyetujui peningkatan anggaran militer terbesar dalam dua dasawarsa terakhir, yaitu US$ 355,1 miliar (sekitar 3.200 triliun).

6. Pada tanggal 8 November 2002 PBB mengeluarkan Resolusi PBB No. 1441 yang isinya : “Irak diwajibkan menyerahkan semua senjata pemusnah massal. Jika tidak, Amerika Serikat akan melakukan serarangan militer.

7. Pada tanggal 27 November 2002 Tim Hans Blix menyelesaikan inspeksi pertama selama empat tahun.

8. Pada tanggal 7 Desember 2002 Baghdad menyerahkan dokumen “pengakuan dosa” setelah 12 ribu halaman, berisi data-data program nuklir, kimia dan biologi. Peristiwa 6 Februari 2002, Para pejabat tinggi AS mulai menyebut-nyebut soal pergantian rezim di Irak.

9. Pada tanggal 19 Desember 2002 Amerika Serikat menyatakan dokumen Irak sama sekali tidak lengkap dan mengklaim AS pnya data intelijen tentang senjata pemusnah massal yang disembunyikan oleh Saddam Husein.

10. Pada tanggal 9 Januari 2003 Blix mengakui masih ada tanda Tanya terhadap senjata pemusnah massal Irak, tetapi dia tidak bisa menemukan bukti.

11. Pada tanggal 20 Januari 2003 Menteri Pertahanan Inggeris Geoff Hoon mengumumkan pengiriman 26.000 tentara Inggeris ke Teluk.

12. Pada tanggal 27 Januari 2003 Hans Blix melaporkan di depan Dewan Keamanan bahwa Irak tidak menunjukkan kerjasama yang sebenar-benarnya untuk pelucutan senjata.

13. Pada tanggal 30 Januari 2003 Presiden Bush memberi batas waktu beberapa minggu lagi bagi upaya diplomasi anggota Dewan Keamanan PBB.

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

14. Pada tanggal 6 Februari 2003 Menteri Luar Negeri AS Colin Powell menyatakan Irak punya keterkaitan dengan Al-Qaidah. Senjata kimia dan biologi Irak diduga diserahkan kepada Al–Qaidah.

15. Pada tanggal 14 Februari 2003 Blix melaporkan bahwa Irak telah bekerja sama secara baik dengan tim inspeksi senjata.

16. Pada tanggal 14 Februari 2003 Pentagon mengumumkan 150.000 tentara AS di kawasan Teluk siap berperang. Pada hari ini pula demonstrasi anti perang terbesar dalam sejarah merebak di seluruh dunia.

17. Pada tanggal 20 Februari 2003 Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld menyatakan tentara di Teluk sudah cukup memadai untuk melakukan invasi ke Irak.

18. Pada tanggal 24 Februari 2003 Amerika Serikat, Inggris dan Spanyol mengusulkan resolusi kedua agar serangan benar-benar bisa dilegalkan. Sedangkan Jerman, Prancis dan Rusia mengajukan resolusi tandingan untuk memperpanjang masa inspeksi.

19. Pada tanggal 26 Februari 2003 Perdana Menteri Inggris Tony Blair mendapat tantangan serius dari parlemen Inggris karena Blair mendukung sikap AS untuk berperang tanpa resolusi PBB.

20. Pada tanggal 1 Maret 2003 Irak mulai menghancurkan rudal Al-Samoud.

21 Pada tanggal 7 Maret 2003 Kepada Dewan Keamanan PBB Blix menyatakan timnya membutuhkan beberapa bulan lagi untuk menuntaskan tugas inspeksi. 22. Pada tanggal 10 Maret 2003 Prancis dan Rusia bertekad memveto usul AS dan

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

23. Pada tanggal 11 Maret 2003 Menteri Perhanan AS Donald Rumsfeld menyatakan bahwa AS akan tetap menggempur Irak meskipun tanpa dukungan Inggris.

24. Pada tanggal 16 Maret 2003 Bush, Blair dan PM Spanyol Jose Maria Axnar bertemu di Pulau Azores di tengah Lautan Atlantik untuk mematangkan strategi serangan ke Irak.

25. Pada tanggal 17 Maret 2003 Bush menyatakan Saddam Husein dan anak-anaknya harus meninggalkan Irak dalam jangka waktu 48 jam. Jika menolak, konflik militer akan dimulai sesuai dengan kehendak kami.

26. Pada tanggal 18 Maret 2003 Saddam Husein menolak ultimatum Bush.

27. Pada tanggal 19 Maret 2003 Parlemen Irak memberi persetujuan kepada pimpinan mereka untuk berperang. Sementara itu, Bush mengklaim telah mendapat dukungan penuh dari 45 negara baik secara moril maupun logistic.

28. Pada tanggal 20 Maret 2003 Amerika Serikat dan sekutunya mulai menyerang Irak. Bush berpidato di bawah perintah saya kekuatan koalisi mulai menghancurkan sasaran-sasaran tertentu, untuk melemahkan kemampuan tempur Saddam.

Pada kenyataannya, PBB menyatakan tidak menemukan jenis dan bentuk proliferasi senjata pemusnah massal apapun di Irak. Dan, ternyata Irak juga bisa bersikap kooperatif dengan tim PBB, bahkan mengeluarkan deklarasi tentang kosongnya senjata pemusnah massal dan dengan sukarela menghancurkan rudal Al Samoud. Penemuan fakta di lapangan yang berbeda dengan harapan AS ternyata tidak mengurungkan niat untuk tetap menginvasi Irak.

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

Kemudian di sinilah AS melakukan tindakan sepihak menyerang Irak, pada hal bukti profilerasi senjata tidak ditemukan PBB51

Karena itu serangan dan aksi militer tidak dapat ditafsrikan sebagai wujud “konsekuensi serius” yang serta merta dapat dilakukan Dewan Keamanan PBB apabila oleh tindakan-tindakan sepihak pemerintah AS. Aksi militer harus dilakukan jika “konsekuensi serius” pada ruang Pasal 41 Piagam PBB dianggap tidak mencukupi, maka dapat digunakan blokade angkatan darat, laut dan udara yang mungkin diperlukan guna memelihara atau memulihkan ancaman perdamaian serta keamanan internasional. Selanjutnya kalau kita lihat sejumlah insiden terakhir di Irak telah memaksa AS untuk mendeklarasikan bahwa ia akan melakukan kebijakan yang lebih agresif dalam menghadapi ‘aksi teroris’ dan perlawanan bersenjata. Tidak ada . Andaipun ternyata tim PBB menemukan bukti, maka pihak AS tidak serta merta memiliki otoritas meakukan serangan dengan menafsirkan kalimat “konsekuensi serius” secara sepihak. Akan tetapi kalimat tersebut masih harus diolah Dewan Keamanan PBB guna melakukan tindakan apa yang selanjutnya diberikan kepada Irak. “Konsekuensi serius” itu akan berada pada tahapan berikutnya, yaitu pada ruang Pasal 41 Piagam PBB. Pasal ini menyebutkan Dewan Keamanan masih harus menggunakan tindakan di luar kekuatan bersenjata agar keputusannya dapat dijalankan dan dapat meminta anggota PBB untuk melaksanakan tindakan itu. Tindakan itu antara lain pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan ekonomi termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraf, radio dan alat komunikasi lain, serta pemutusan hubungan diplomatik guna memaksa Irak menghentikan profilerasi dan menghancurkan senjata pemusnah massal.

51

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

yang tahu apakah langkah semacam itu akan berguna dalam jangka panjang. Terutama ia tampak kontraproduktif dalam usaha AS merebut hati rakyat Irak52

Perlawanan telah mendapatkan momentum di Irak. Ia merefleksikan perencanaan dan koordinasi yang lebih canggih. Terdapat juga gejala bahwa perlawanan bersenjata tidak lagi terbatas dilakukan warga Irak tetapi ada kemungkinan partisipasi elemen asing yang memasuki Irak dari berbagai negara. Fareed Zakaria, redaktur Newsweek mencatat pada November ‘semakin jelas bahwa resistansi di Irak bukanlah pekerjaan sekelompok kecil orang, tetapi telah menjadi gerakan yang semakin meluas.’ Laporan berbagai kantor berita mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan pendapat antara komando AS di Irak dan CIA tentang jumlah yang sebenarnya dari kelompok perlawanan. Jenderal John Abizaid percaya jumlah mereka sekitar 5000 sedang CIA memperkirakan sekitar 50.000. Suatu perbedaan yang sangat menyolok dan sekaligus menunjukkan ketidakmampuan besar AS dalam konteks pengumpulan intelijen militer

.

53

Peningkatan respons militer bukanlah jawaban terbaik. Perang nonkonvensional sangat tergantung pada simpati rakyat. Semakin banyak pasukan konvensional memanifestasikan diri melalui pengeboman dan berbagai perangkat keras militer di jalan-jalan, semakin mengesankan adanya peningkatan ketidaknormalan. Langkah semacam itu hanya akan mengalienasi populasi lokal dan hidup keseharian mereka. Tayangan televisi tentang anak-anak kecil yang memeluk

.

52

A. Fatih Syuhud, Kemelut Panjang di Irak, WASPADA Online 04 Mei 2004, penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Agra University dan Research Associate di Zakir Hussein Institute of Islamic Studies New Delhi, India. Indonesia,

53

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

ibu mereka ketika pasukan AS memeriksa baju mereka, jelas tidak akan menciptakan dukungan dan simpati bagi pasukan koalisi di dunia Arab54

Pada 16 Oktober 2003 , AS memperoleh kemenangan diplomatik di DK PBB. Pada hari itu, DK PBB secara bulat mengadopsi resolusi tentang rekonstruksi politik dan ekonomi di Irak. Resolusi ini mempertegas berbagai Resolusi sebelumnya termasuk Resolusi 1483 pada 22 Mei 2003, Resolusi 1500 pada 14 Agustus 2003, dan sejumlah resolusi yang berkaitan dengan ancaman perdamaian dan keamanan yang disebabkan oleh aksi teroris seperti Resolusi 1373 pada 28 September 2001

.

Aspek lain yang mengancam hubungan konstruktif di Irak adalah perubahan radikal dalam perimbangan pemerintahan. AS tampaknya mengacuhkan fakta bahwa populasi Sunni di Irak merupakan komponen intelektual sentral di Irak. Komunitas Sunni ini telah menciptakan banyak politisi, profesional, insinyur, guru, pedagang dan pemimpin pasukan. Sebaliknya, populasi Syiah lebih terlibat dalam bidang teoktratis dan bagian kecil pemerintahan. Sejumlah usaha saat ini untuk menciptakan mayoritas Syiah pada eselon kekuasaan dan memarjinalkan pengaruh Sunni cukup mengundang kecurigaan. Akan lebih tepat seandainya otoritas koalisi menciptakan perimbangan antara Sunni yang menuntut kekuasaan dan Syiah yang meminta demokrasi langsung, bukan pemilu tidak langsung. Terdapat juga dua elemen lain yang mempengaruhi psikis publik Irak. Ketergantungan AS pada kalangan ekspatriat Irak sebagai ‘anak emas’ dalam reformulasi basis kekuasaan dan anggapan miring atas elemen suku Kurdi telah menciptakan dinamikanya sendiri.

55 54 Ibid. . 55

Sejak itu, diadakan pertemuan donatur di Madrid di mana sejumlah AS.5 milyar dijanjikan dalam bentuk bantuan dan hutang guna membantu membangun kembali Irak. Banyak ungkapan indah terdengar tetapi faktanya adalah sampai saat ini India, Pakistan, Jerman, Prancis, Rusia dan Jepang belum mengirim satupun pasukan sebagai penjaga perdamaian atau untuk memperbaiki kondisi

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

Perdebatan tentang legalitas keterlibatan bersenjata di Irak saat ini semakin kompleks dengan adanya keputusan Komando AS untuk menjalankan kebijakan yang lebih agresif. Protokol 1 1997 Tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 dijadikan rujukan oleh kelompok civil society berkenaan dengan meningkatnya insiden ‘collateral damage’ yang diderita warga sipil. Kondisi yang semakin memburuk jelas akan mempengaruhi impelementasi tindakan legal yang diperlukan bagi pembentukan Pemerintahan Irak yang sah di masa depan.

Demokrasi dalam maknanya yang sejati juga akan mungkin diaplikasikan di Irak dan Afghanistan. Ia membutuhkan banyak waktu dan kesabaran. Akan tetapi, proses perubahan, baik politik maupun ekonomi akan sulit bahkan tidak mungkin tercapai melalui moncong senjata. Langkah membangun kepercayaan hendaknya dimulai dengan membawa kembali suasana normal. Kredibilitas harus diperbaiki demi suksesnya proses ini. Dan harus ada pemahaman di Irak bahwa demokrasi dan pengembangan prinsip demokrasi bukanlah bagian dari opsi geostrategi barat. Signifikansi dari kunjungan rahasia Presiden Bush pada hari Thanksgiving ke basis militer AS di Irak hendaknya tidak terlalu dilebih-lebihkan. Memang, kunjungan ini penting untuk mendapatkan suara domestik AS, tetapi kita tidak tahu apakah hal ini dalam jangka panjang akan mempengaruhi kejadian di lapangan di Irak.

Jadi secara singkat dapat disimpulkan bahwa selain alasan untuk melucuti senjata pemusnah massal, biologi dan kimia yang dimiliki Irak, maka alasan-alasan lain yang mendorong invasi Amerika Serikat ke Irak adalah56

stabilitas dan keamanan. Kehadiran pasukan Turki juga digagalkan pada detik-detik akhir, diakses dari situs

:

56

Elba Damhuri, Dibalik Invasi Amerika Serikat ke Irak, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2003, hal. 34.

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

1. Alasan ekonomi terutama minyak Irak yang memiliki cadangan terbesar kedua di dunia. Seperti kita ketahui bahwa negara-negara industri maju sangat tergantung pada energi, dalam hal ini minyak dan gas. Untuk itu Amerika Serikat yang membutuhkan minyak per hari 20 juta barel sedangkan cadangan minyak yang dimilikinya sekitar 30,4 miliar barel sangat berambisi untuk penguasaan pengoperasian dan pengelolaan minyak di Irak yang berjumlah sekitar 112 miliar barel.

2. Irak terkait dengan jaringan terorisme dunia seperti Al-Qaida.

Hingga saat ini tidak ada satupun resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyatakan Irak terlibat dalam gerakan terorisme Al-Qaida pasca pemeriksaan tim pemeriksa persenjataan PBB (tim PBB) yang dapat mengganggu perdamaian dan keamanan internasional. Berkaitan dengan tuduhan AS kepada Irak sebagai negara sponsor teroris sebenarnya sangat riskan dan debatable tuduhan seperti itu dapat dibuktikan.

3. Dendam pribadi Bush terhadap Shaddam Husein.

Seperti yang kita ketahui bahwa George W. Bush merupakan anak dari George Bush yang merupakan mantan Presiden Amerika Serikat. George Bush ketika Perang Teluk tahun 1990 menjabat sebagai Presiden AS, tetapi cita-cita George Bush untuk menggulingkan rezim Saddam Husein pada waktu itu tidak tercapai. Sekarang hal tersebut dilanjutkan oleh anaknya George W. Bush dengna melakukan invasi ke Irak dan menggulingkan pemerintahan Saddam Husein dengan dalih ingin membentuk negara Irak yang lebih demokratis yang bebas dari belenggu dan kekejaman serta kekuataan rezim Saddam Husein.

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

Selama masa invasi Amerika Serikat ke Irak, ada perkembangan yang membuat kita merasa trenyuh dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat yang meminta diadakan pengadilan internasional terhadap orang-orang Irak yang dianggap melakukan kejahatan perang, termasuk siapa saja yang memerintahkan aksi bom mobil yang menewaskan serdadu dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat. Usul itu diajukan sejumlah senator dan anggota DPR, sehari setelah duta besar dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat untuk urusan kejahatan perang mengatakan dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat bermaksud menginvestigasi dan menghukum pelanggar hak-hak asasi manusia yang dilakukan rezim di Irak. Menurut para pembuat undang-undang itu, aksi bom bunuh diri melanggar hukum internasional seperti tertera dalam konvensi Den Haag 1907 dan Jenewa 1949 yang menetapkan standar untuk operasi militer dan perlakuan terhadap para tawanan perang.

Pada sisi lain kita juga mengikuti bahwa sejumlah LSM dan tokoh masyarakat di AS, yang tergabung dalam Center for Constitutional Rights (CCR), telah mengajukan surat kepada Jaksa Internasional pada Pengadilan Kriminal PBB di Den Haag yang isinya melaporkan berbagai kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer AS selama melancarkan agresi ke Irak. CCR menilai pengeboman bertubi-tubi sejak perang dilancarkan 20 Maret, yang tidak memedulikan apakah itu sasaran sipil atau militer, sebagai kejahatan perang

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

Bukti paling nyata terjadi Selasa ketika meriam tank-tank AS dengan sengaja menembak Palestine Hotel yang sudah diketahui sebagai tempat menginap ratusan wartawan internasional peliput jalannya perang. Korbannya dua juru kamera dari Reuters (Inggris) dan Telecinco (Spanyol) tewas seketika dan sejumlah lainnya cedera. Tak jauh dari hotel itu, kantor jaringan televisi Al-Jazeera (Qatar) juga diserang dan menewaskan seorang wartawan. Seperti diketahui bahwa Al-Jazeera selama ini menyampaikan pemberitaan yang cukup berimbang mengenai jalannya perang dan bukan semata dari sisi pihak koalisi Amerika atau Inggris. Para wartawan yang bertugas di Baghdad dapat dianggap sebagai kaum sipil yang mewakili mata dunia mengenai sepak terjang tentara dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat dan Inggris, dan situasi yang dialami masyarakat sipil di Irak. Mereka berbeda dengan para wartawan yang ditanamkan (embedded) bersama-sama militer dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat dan Inggris yang menjadi bagian dari operasi militer koalisi. Dari kejadian ini, bisa dikataian ada indikasi sebagai kesengajaan dengan menyerang sasaran pers di Baghdad, mungkin untuk tujuan intimidasi. Menurut Sekjen International Federation of Journalists yang berpusat di Brussels serangan yang sengaja ditujukan kepada para wartawan jelas merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Sehingga menjadi pertanyaan kita, apakah aksi-aksi seperti ini tidak menggugah para pembuat undang- undang di dan harus mengelus dada. Ini tentang ulah para anggota parlemen di negara adidaya Amerika Serikat untuk menganggapnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang pantas diajukan ke pengadilan internasional?

Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.

USU Repository © 2009

Sejauh ini, sekurangnya 10 pekerja pers dari berbagai media telah tewas karena meliput jalannya perang. Itu semua demi menjelaskan kepada dunia mengenai tragedi terhadap kemanusiaan yang tengah dialami bangsa Irak. Selain itu, yang makin membuat kita harus merasa prihatin adalah tingginya angka kematian di kalangan rakyat sipil Irak akibat agresi ini.

Menurut catatan pihak Irak, sekurangnya 600 penduduk sipil (pria, wanita, orang tua atau anak-anak) tewas secara mengenaskan akibat agresi AS dan Inggris itu. Tidak dipungkiri dalam sejumlah kasus, militer Irak menggunakan tameng manusia untuk melindungi perlawanan mereka, dan tindakan ini juga tidak bisa dibenarkan. Dalam hukum humaniter internasional ditegaskan ada prinsip-prinsip dasar harus dipatuhi dalam perang: dilarang menyerang penduduk sipil; yang sakit dan cedera harus dirawat; semua pihak harus bertanggung jawab melindungi kaum sipil yang berada di tengah konflik; dan pasukan pendudukan harus bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat di wilayah pendudukan mereka. Tentunya prinsip-prinsip itu sudah jelas dan berbagai kejadian memperlihatkan semua pihak yang bertanggung jawab atas agresi dan perang ini sebenarnya patut dijadikan penjahat perang. Namun itulah hukum rimba, siapa berkuasa berhak menentukan kebenarannya sendiri. 57