Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL
S K R I P S I
DIAJUKAN DALAM RANGKA MELENGKAPI TUGAS DAN MEMENUHI SYARAT MEMPEROLEH
GELAAS SARJANA HUKUM
OLEH :
HENDRA JUSANDA NIM : 020 – 222 – 124
DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL
DISETUJUI OLEH :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Pembimbing I
Sutiarnoto MS, SH, M. Hum NIP. 131 616 321
NIP. 131 616 321
Pembimbing II
Sutiarnoto MS, SH, M. Hum
NIP. 132 056 842
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2008
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Syukur Penulis ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya
tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi ini berjudul : “PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL
SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK
DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”.
Penulis skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka
mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Departemen Hukum Internasional.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafaruddin, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
5. Bapak Sutiarnoto, MS, SH, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional, sekaligus Dosen Pembimbing I yang juga telah banyak
membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.
6. Bapak Arif, SH, M.H, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah banyak
membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.
7. Bapak/Ibu dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum USU dimana
penulis menimba ilmu selama ini.
8. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum USU yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.
Demikianlah penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.
Medan, Maret 2008
Penulis,
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
B A B I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejalan dengan perkembangan hukum dewasa ini khususnya hukum
internasional sebagai salah satu pohon ilmu, timbul suatu cabang baru dalam hukum
internasional. Cabang yang dimaksud adalah International Humanitarian Law yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “Hukum Humaniter Internasional”
atau “Hukum Internasional Humaniter”.
Hukum humaniter internasional ini merupakan hukum yang mengatur tentang
perang dan cara serta sarana perang yang pada awalnya disebut juga dengan “hukum
perang” (laws of war, kriegsrecht, oorlogsrecht) dan sebagainya. Dimana hukum
perang ini merupakan bagian dari hukum internasional dan dewasa ini sebagian besar
merupakan hukum yang tertulis. Seorang sarjana bernama Kunz berpendapat bahwa
hukum perang itu merupakan bagian tertua dari hukum internasional dan yang
pertama dikodifikasi. Hukum perang ini juga dapat dilihat dari kebiasaan-kebiasaan
internasional.1
Sejalan dengan perkembangan hukum perang tersebut khususnya setelah
Perang Dunia I yang ternyata membawa kesengsaraan yang luar biasa bagi umat
manusia, baik itu kombatan (tentara) maupun penduduk sipil, orang-orang mulai
membenci istilah hukum perang. Perang telah membawa banyak korban dan kerugian
1
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
baik itu harta, benda maupun jiwa manusia sehingga membuat manusia membenci
perang dan berupaya sekuat-kuatnya memperkecil kemungkinan terjadinya perang.2
Seorang sarjana bernama J. Pictet, menyatakan : “the term armed conflict
tends to replace, at kast in all relevant legal formulation the older nation of war”.
Sehingga akhirnya istilah laws of war atau hukum perang berubah menjadi laws of
armed conflict atau hukum pertikaian bersenjata. Hingga kemudian setelah
mengalami perkembangan, maka kemudian istilah pertikaian bersenjata ini
mengalami perubahan dan berkembang lagi menjadi “Hukum Humaniter
Internasional” (International Humanitarian Law).
Suasana anti perang ini mempunyai dampak pada berbagai bidang, salah
satunya adalah hukum perang. Karena orang tidak lagi mengingingkan adanya perang,
maka dengan sendirinya istilah hukum perang juga tidak disukai lagi. Namun
demikian, tidak dapat dipungkiri pula bahwa pertikaian bersenjata masih ada
walaupun para pihak yang terlibat tidak mau mengatakan bahwa pertikaian bersenjata
itu adalah perang. Sehingga mulailah dipakai suatu istilah baru untuk hukum perang
ini, yaitu “laws of armed conflict” atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
sebagai “hukum pertikaian bersenjata”.
3
d. Resolusi Majelis Umum PBB
Selanjutnya istilah “laws of armed conflict” tersebut secara formal dipakai
dalam Konvensi, Resolusi dan Protocol Internasional, yaitu :
a. Konvensi Jenewa 1949.
b. Konvensi Den Haag 1954.
c. Protokol Tambahan I dan II tahun 1977
2
Ibid, hal. 2.
3
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Sesudah Perang Dunia II, setelah melihat kekejaman perang dan hasil
teknologi atom di Hiroshima dan Nagasaki, segi-segi kemanusiaan yang selama ini
ditinggalkan, dibicarakan kembali dan mempunyai pengaruh yang cukup. Aspek ini
ikut memberi peluang timbulnya hukum humaniter internasional.
Hukum Humaniter Internasional merupakan bagian hukum internasional
umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya
dalam situasi tertentu (perang), serta akibat perang (perlindungan terhadap korban
perang). Dengan kata lain hukum humaniter internasional mempunyai focus sentral
bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi. Sehubungan dengan arah
hukum humaniter internasional tersebut di atas, kiranya hukum humaniter
internasional dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai keseluruhan asas, kaidah
dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan korban sengketa
bersenjata, sebagaimana yang diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949 serta ketentuan
internasional yang lain yang berhubungan dengan itu.
Hukum Humaniter Internasional (dalam arti luas) adalah keseluruhan asas,
kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis dan tidak tertulis yang mencakup
hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan menjamin penghormatan
terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang (definisi hukum humaniter
Departemen Kehakiman). Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu
tanpa memandang kedudukan, fungsi serta peranannya dalam situasi tertentu (konflik)
tersebut diperlakukan sama bagi semua/sesama individu/warga Negara yang sedang
bersengketa (baik dari kombatan maupun penduduk sipil) yang merupakan landasan
utama pemikiran para ahli huikum humaniter internasional untuk menciptakan hukum
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Timbulnya hukum humaniter internasional secara material mencoba
menggabungkan ide moral dan ide hukum dalam suatu disiplin ilmu. J. Pictet
menyatakan :”…humanitarian law appers to combine two ideas of a different
character, the one legal and the other moral…”.4
Menurut J. Pictet, hukum humaniter internasional adalah : “aturan hukum
yang menghormati individu dengan segala hak dan kewajibannya”. Sehingga cabang
hukum ini sangat mendambakan adanya penghormatan dan bantuan yang wajar
terhadap hak dan kewajiban manusia, khususnya pada saat terjadinya pertikaian
senjata, baik yang bersifat internasional maupun non-internasional.
Demikianlah ruang lingkup dan perkembangan hukum humaniter
internasional yang dapat disamakan dengan hukum perang. Namun sejalan dengan
telah diadakannya Konvensi Jenewa 1949 dan kemudian dilengkapi dengan Protokol
Tambahan Konvensi Jenewa I dan II tahun 1977, hukum humaniter internasional
terikat oleh aturan-aturan formal yang menyangkut aturan kemanusiaan, ialah sejauh
mana manusia tetap dapat dilindungi dalam krisis/perang dan dalam situasi tertentu.
5
Sejalan dengan hal tersebut, perubahan situasi dunia saat ini sangat menuntut
adanya penerapan hukum humaniter internasional. Walaupun tidak ada istilah perang,
namun kondisi dunia sekarang ini sangat rawan dengan pertikaian senjata. Konflik
senjata terjadi dimana-mana di belahan dunia, seperti konflik bersenjata antara
Palestina dan Israel, Konflik di Kosovo, Invasi Amerika Serikat ke Irak yang sangat
banyak memakan korban harta dan jiwa baik dari kombatan (tentara) maupun dari
penduduk sipil.
4
J. Pictet pertama kali memakai istilah “International Humanitarian Law” dalam bukunya “The Principles of International Humanitarian Law”, ICRC, Geneva Swiss, (tanpa tahun) hal. 9, seperti dikutip oleh GPH. Haryomataram, hal. 24.
5
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Ketidakmampuan PBB untuk melaksanakan tugas dan fungsinya untuk
memelihara perdamaian dan keamanan dunia menyebabkan banyaknya terjadi konflik
bersenjata. Ketidakmampuan PBB menahan sepak terjang Amerika Serikat di Irak,
menyebabkan Bush secara fundamental mengubah Amerika dan dunia. Hanya dalam
waktu 17 bulan, misalnya, Presiden Bush telah mendeklarasikan dua perang besar.
Ketika melengserkan rezim Taliban, tujuannya adalah memburu Osama bin Laden.
Tapi, pada saat yang sama, keuntungan strategis dari menempatkan pangkalan militer
di sekujur Asia Tengah juga diperoleh.6
Lebih dari 650 pakar urusan luar negeri dari Amerika Serikat dan
negara-negara lain menandatangani surat terbuka yang mengecam kebijakan luar negeri
pemerintahan George W Bush Surat terbuka tersebut menjabarkan serangkaian
kesalahan di Irak, Afghanistan dan tempat lainnya di dunia. 7 Para pakar menilai
bahwa kebijakan Amerika saat ini yang berpusat sekitar perang di Irak merupakan
kebijakan yang paling salah arah sejak periode Vietnam, yang membahayakan tujuan
perjuangan melawan teroris-teroris ekstrim. Diimbuhkan bahwa akibat dari kebijakan
ini telah sangat negatif bagi kepentingan Amerika Serikat, namun hal tersebut tidak
mengurangi niat George W. Bush untuk menginvasi Irak. 8
Demikianlah kalau dilihat invasi Amerika Serikat di Irak. PBB yang
notabene sebagai organisasi perdamaian internasinal dan dunia tidak mampu
meredam hal tersebut. Invansi Amerika Serikat telah menelan banyak korban baik
korban jiwa maupun harta di Irak. Tujuan invasi yang seakan dibuat-buat makin
6
Hartono Ruslam DES, Demokratisasi dan Restrukturisasi DK PBB, Harian Republika, Jumat 24 Oktober 2004.
7
Abdul Halim Mahally, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hal. 19.
8
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
melengkapi penderitaan panjang di Irak. Seperti apa yang tertuang dalam Resolusi
DK PBB nomor 1441 tahun 2002 yang diadopsi dalam sidang DK PBB yang ke 4644
tanggal 8 Nopember 2002 yang menyatakan bahwa Irak harus memberitahukan
tempat-tempat pembuatan senjata kimia, biologi dan nuklir. 9. Ternyata setelah 5
minggu Inspektur pemeriksa senjata dari PBB memeriksa hampir lebih dari 230
tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat pengembangan dan pembuatan senjata
kimia, biologi dan nuklir di Irak hasilnya adalah nol besar seperti yang diungkapkan
oleh Jenderal Hossam Mohammed Amin Kepala Direktorat Monitoring Nasional Irak
yang bekerja sama dengan United Nations Monitoring, Verification and Inspection
Commission (UNMOVIC) dan International Atomic Energy Agency (IAEA)10
Pada tanggal 19 Desember 2002 Amerika Serikat menyatakan dokumen
Irak sama sekali tidak lengkap dan mengklaim AS pnya data intelijen tentang senjata
pemusnah massal yang disembunyikan oleh Saddam Husein. Pada kenyataannya,
PBB menyatakan tidak menemukan jenis dan bentuk proliferasi senjata pemusnah
massal apapun di Irak. Dan, ternyata Irak juga bisa bersikap kooperatif dengan tim
PBB, bahkan mengeluarkan deklarasi tentang kosongnya senjata pemusnah massal .
Setelah Perang Teluk pada tahun 1990 terjadi, dunia kembali dikejutkan
dengan terjadinya invasi Amerika Serikat beserta Inggeris, Spanyol dan Australia ke
Irak. Namun terdapat perbedaan dimana pada waktu Perang Teluk 1990 Amerika
Serikat beserta sekutunya yang tergabung dalam pasukan multinasional mendapat
restu dari PBB dan dunia internasional, tetapi dalam Invasi ke Irak ini, Amerika
Serikat tidak mendapat dukungan dari dunia internasional maupun PBB secara resmi.
9
A. Fatih Syuhud, Ambisi Amerika dan Realitas Dunia Multipolar, Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University of India, Waspada Online, 24 Juni 2004.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
dan dengan sukarela menghancurkan rudal Al Samoud. Penemuan fakta di lapangan
yang berbeda dengan harapan AS ternyata tidak mengurungkan niat untuk tetap
menginvasi Irak.
Kemudian di sinilah AS melakukan tindakan sepihak menyerang Irak,
pada hal bukti profilerasi senjata tidak ditemukan PBB. Andaipun ternyata tim PBB
menemukan bukti, maka pihak AS tidak serta merta memiliki otoritas meakukan
serangan dengan menafsirkan kalimat “konsekuensi serius” secara sepihak. Akan
tetapi kalimat tersebut masih harus diolah Dewan Keamanan PBB guna melakukan
tindakan apa yang selanjutnya diberikan kepada Irak. “Konsekuensi serius” itu akan
berada pada tahapan berikutnya, yaitu pada ruang Pasal 41 Piagam PBB. Pasal ini
menyebutkan Dewan Keamanan masih harus menggunakan tindakan di luar kekuatan
bersenjata agar keputusannya dapat dijalankan dan dapat meminta anggota PBB untuk
melaksanakan tindakan itu. Tindakan itu antara lain pemutusan seluruhnya atau
sebagian hubungan-hubungan ekonomi termasuk hubungan kereta api, laut, udara,
pos, telegraf, radio dan alat komunikasi lain, serta pemutusan hubungan diplomatik
guna memaksa Irak menghentikan profilerasi dan menghancurkan senjata pemusnah
massal. 11
Invasi Amerika Serikat di Irak yang berkedok untuk menghentikan
profilerasi dan menghancurkan senjata pemusnah massal di Irak hanyalah kedok
belaka. Saat ini terdapat sikap umum bahwa Amerika tidak tertarik pada demokrasi
atau kesejahteraan rakyat Irak. Amerika Serikat hanya hendak menguasai ekonomi
dan ladang minyak Irak. Politik membebaskan Irak tampaknya telah berganti arah
setelah kegagalan strategi AS untuk memecah-belah Syiah dan Sunni. Pada minggu
11
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
lalu, kedua kelompok ini bertempur dengan sengit melawan pasukan pendudukan.
Pada minggu kedua April, di Falluja saja lebih dari 600 warga Irak terbunuh oleh
Amerika. Satu anggota dari Iraqi Governing Council (IGC) tunjukan AS
mengundurkan diri. Adnan Pachachi, anggota pro-AS, menyebut aksi Amerika di
Falluja sebagai illegal. Apa yang paling menyakitkan rakyat Irak adalah larangan
pasukan AS atas penyebaran suplai bantuan makanan dan obat-obatan.12
Terdapat sejumlah kasus pembunuhan brutal atas rakyat yang tak berdosa
di checkpoint militer. Begitu juga sejumlah kasus yang tidak diinginkan:
penggeledahan yang tidak mempertimbangkan tata krama adat setempat, penahanan,
penyiksaan, dan lain-lain. Apa yang menyulut lingkaran krisis di Irak adalah
penundaan yang disengaja oleh pasukan pendudukan dalam memberlakukan aktivitas
“perbaikan dan rehabilitasi” oleh Coaltion Provisional Authority (CPA) atau otoritas
sementara koalisi dan 350 LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang berada di Irak.
Setahun telah berlalu dan tidak ada perbaikan terjadi dalam segi keamanan dan
normalisasi kehidupan. Rakyat awam Irak lebih kuatir tentang penghasilan sehari-hari
dan keamanan mereka. Rakyat Irak percaya bahwa beberapa persoalan seperti listrik,
minyak, pekerjaan, komunikasi telepon, kebebasan rakyat untuk bepergian,
pendidikan, dan lain-lain akan dapat diatasi oleh AS dalam beberapa bulan saja. Akan
tetapi mereka tidak tertarik dalam hal-hal semacam ini. Sinyalemen seperti ini
tampaknya benar karena semakin tidak stabil, tidak aman dan anarki, maka akan
semakin besarlah alasan bagi pasukan pendudukan untuk tetap terlibat dalam bidang
militer di Irak13
12
Ibid
13
A. Fatih Syuhud, op.cit.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis ingin lebih mengetahui
tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan perlindungan terhadap penduduk sipil
sebagai korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Hak Asasi manusia, sehingga dapat diketahui
bahwa pada dasarnya penduduk sipil diberikan perlindungan dan tidak boleh menjadi
sasaran dalam suatu konflik bersenjata.
B. Rumusan Masalah
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang
akan dibahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam
invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional.
2. Bagaimana penerapan hukum humaniter internasional terhadap Invasi Amerika
Serikat ke Irak .
3. Bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban dalam
invasi Amerika serikat ke Irak ditinjau dari Hukum Hak Asasi Manusia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulisan skripsi ini juga bertujuan
untuk :
1. Untuk mengetahui perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban
dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter
Internasional.
2. Untuk mengetahui penerapan hukum humaniter internasional terhadap Invasi
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
3. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap penduduk sipil yang menjadi
korban dalam invasi Amerika Serikat ke Irak ditinjau dari Hukum Hak Asasi
Manusia.
Di samping itu tentunya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, maka
penulis berharap dapat memberikan masukan dan manfaat untuk :
1. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada kita tentang hal-hal yang
berhubungan perlindungan yang menjadi korban dalam invasi Amerika Serikat
ke Irak ditinjau dari hukum Humaniter Internasional maupun Hukum Hak Asasi
2. Memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan
analisa-analisa yang bersifat objektif.
3. Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada para pihak dalam kaitannya
dengan perkembangan politik dunia global pada saat ini khususnya dalam
perkembangan penerapan (law enforcement) terhadap hukum internasional dewasa
ini.
D. Keaslian Penulisan
Pembahasan ini dengan judul : “PERLINDUNGAN TERHADAP
PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT
KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”, adalah
judul yang sebenarnya tidak asing lagi di telinga kita, karena sebelumnya telah
banyak dibahas di berbagai media, namun dalam pembahasan skripsi ini penulis
khusus membahas mengenai masalah perlindungan yang menjadi korban dalam
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Hukum Hak Asasi. Judul ini adalah murni hasil pemikiran dalam rangka melengkapi
tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Apabila di kemudian hari terdapat kesamaan
judul dan isi dengan skripsi ini, maka penulis sepenuhnya akan bertanggung jawab
terhadap hal tersebut.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Hukum Humaniter Internasional
Isitilah hukum humaniter atau “International Humanitarian Law Applicable in
Armed Conflict” berasal dari istilah hukum perang (laws of war) yang kemudian
berkembang menjadi hukum persengketaan bersenjata (laws of armed conflict), yang
pada akhirnya saat ini biasa dikenal dengan istilah Hukum Humaniter Internasional.
14
Haryomataram membagi hukum Humaniter Internasional ini menjadi 2 (dua)
aturan pokok, yaitu : 15
Mochtar Kusumaatmadja membagi Hukum Perang menjadi 2 (dua) bagian,
yaitu :
1). Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk
berperang (Hukum Den Haag/The Hague Law).
2). Hukum yang mengatur perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil
akibat perang (Hukum Jenewa/The Jenewa Laws).
16
14
GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 2-3. 15
Ibid, hal. 5
16
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
1). Jus ad bellum, yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang bagaimana negara
dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.
2). Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua)
bagian, yaitu :
a). hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini
biasanya disebut The Hague Laws.
b). hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang.
Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.
Berdasarkan uraian di atas, maka hukum Humaniter Internasional terdiri dari
dua aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.
Seperti telah diketahui bersama, semula istilah yang digunakan adalah Hukum
Perang, tetapi karena istilah Perang tidak disukai karena trauma yang disebabkan oleh
Perang Dunia II yang memakan banyak korban, maka istilah Hukum Perang diganti
menjadi Hukum Humaniter Internasional.17
17
Pada Perang Dunia I terdapat lebih dari 60 juta jiwa terbunuh. Pada abad ke-18 jumlah korban mencapai 5,5 juta jiwa, abad ke-19 mencapai 16 juta jiwa. Pada Perang Dunia II korban mencapai 38 juta jiwa, sedangkan pada koflik-konflik yang terjadi sejak tahun 1949-1995 jumlah korban telah mencapai angka 24 juta jiwa, seperti dikutip oleh ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, Miamata Print, Jakarta, 1999, hal. 6.
Hukum humaniter Internasional merupakan bagian dari hukum internasional
umum yang inti dan maksudnya diarahkan pada perlindungan individu, khususnya
dalam siatuas tertentu, yaitu situasi perang/pertikaian bersenjata serta akibatnya yaitu
perlindungan terhadap korban perang/pertikaian bersenjata. Dengan kata lain, hukum
Humaniter Internasional mempunyai fokus sentral tentang bagaimana memperlakukan
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Sehubungan dengan arah hukum Humaniter Internasional tersebut di atas,
kiranya hukum Humaniter Internasional dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai
keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlidnungan
korban sengketa bersenjata sebagaimana diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949 serta
ketentuan Internasional lainnya yang berhubungan dengan itu.
Sedangkan hukum Humaniter Internasional dalam arti luas adalah
keseluruhan asas atau kaidah dan ketentuan-ketentuan Internasional lainnya baik
tertulis atau tidak yang mencakup Hukum Perang dan Hak Asasi Manusia yang
bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat martabat pribadi seseorang.
Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang
kedudukan, fungsi dan wewenang dalam situasi tertentu (konflik) diperlakukan sama
di muka hukum. Jaminan perlakuan dan perlindungan yang sama untuk semua
individu/warga negara yang sedang bersengketa baik militer atau sipil merupakan
landasan utama pemikiran para ahli Hukum Internasional untuk menciptakan hukum
Humaniter Internasional sebagai bagian dari hukum Internasional.
J. Pictet lebih lanjut menjelaskan arti hukum Humaniter Internasional, yaitu :
“International Humanitarian Law is wide sense, is constituted by all the International
legal provisions, whether writers or customary ensuring respect for individual and his
well being”.18
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa :“Hukum Humaniter
merupakan bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan Dari definisi yang dikemukakan oleh J. Pictet ini tampak bahwa hukum
Humaniter Internasional juga mencakup Hak Asasi Manusia.
18
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan
segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan melakukan perang itu sendiri”.19
b). Human rights tidak dimasukkan karena di dalam Negara sosialis, human rights ini
ditegakkan (enforced) oleh Negara dengan jalan menggunakan hukum nasional. Apabila diperhatikan kembali definisi dari hukum Humaniter Internasional
tersebut dan dihubungkan dengan pembagian/cabang hukum Humaniter Internasional,
maka dapat ditarik suatu pengertian umum, bahwa hukum Humaniter Internasional
(dalam arti luas) terdiri dari dua cabang, yaitu Hukum Perang dan Hak Asasi Manusia
yang mempunyai makna dan arah tidak hanya pengakuan akan adanya hak-hak asasi
manusia, tetapi juga dihormati dan dilaksanakannya hak-hak asasi manusia pada
waktu manusia “dikuasai” emosi, terutama pada saat-saat kritis dengan
memperhatikan cara-cara (conduct of war) sebagaimana diatur dalam Konvensi Den
Haag, sehingga diharapkan penderitaan akibat perang menjadi seminimal mungkin
untuk itu dibutuhkan akan adanya kesadaran Internasional yang tinggi.
Gezaherzegh memberi definisi hukum Humaniter Internasional dalam arti
sempit dengan membagi hukum Humaniter Internasional pada Hukum Jenewa saja.
Alasan yang dikemukakan adalah sebagaimana yang dikutip oleh Haryomataram
sebagai berikut :
a). Bahwa yang benar-benar dapat dikatakan mempunyai sifat Internasional dan
Humaniter hanyalah apa yang disebut dengan Hukum Jenewa saja. Apabila The
Hague dimasukkan, maka hal ini hanya akan mengurangi sifat humaniter yang
begitu diutamakan.
19
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa hukum Humaniter Internasional
merupakan bagian dari Hukum Perang, khusus perlindungan korban perang.
Sedangkan Hukum Perang itu sendiri mengatur cara berperang (conduct of war).20
J.G. Starke termasuk aliran tengah, menurut istilah Haryomataram,
menyatakan :”…as will appear post, the appellation “laws of war” has been replaced
by that of International Humanitarian Law…”.
Pada hakikatnya Hukum Perang dalam arti luas (sejak awal sampai akhir suatu
peperangan), termasuk korban perang, idealnya dilakukan dengan cara-cara sesuai
dengan ketentuan yang ada, sehingga segi-segi kemanusiaan tetap diperhatikan. Kalau
demikian halnya, hukum Humaniter Internasional dalam arti luas tepat untuk
dikembangkan dan diperhatikan terus dalam setiap pertikaian/konflik yang timbul
antar dua negara.
21
Sedangkan Haryomataram berpendapat dan menyimpulkan bahwa hukum
Humaniter Internasional mencakup baik Hukum Den Haag maupun Hukum Genewa
dengan dua Protokol Tambahannya.
Kesan yang didapat dalam hal ini
adalah bahwa dengan Hukum Humaniter Internasional berperang lebih dapat
dikendalikan.
22
Prinsip atau asas pembedaan (Distinction Principle) merupakan suatu asas
penting dalam hukum Humaniter Internasional, yaitu suatu prinsip atau asas yang
2. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) dalam Hukum Humaniter Internasional
20
Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 16. 21
Ibid, hal. 17.
22
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau
sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan, yakni kombatan
(combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang
secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil
adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. 23
Perlunya pembedaan demikian adalah untuk mengetahui mereka yang boleh
turut serta dalam permusuhan, sehingga boleh dijadikan sasaran atau objek kekerasan,
dan mereka yang tidak boleh turut serta dalam permusuhan sehingga tidak boleh
dijadikan objek kekerasan. Ini sangat penting ditekankan karena perang, sejak ia
mulai dikenal, sesungguhnya berlaku bagi anggota angkatan bersenjata dari
negara-negara yang bermusuhan. Sedangkan penduduk sipil, yang tidak turut serta dalam
permusuhan itu, harus dilindungi dan tindakan-tindakan peperangan itu. Keadaan ini
sudah diakui sejak zaman kuno. Setiap kodifikasi hukum modern kembali
menegaskan perlunya perlindungan terhadap penduduk sipil dari kekejaman atau
kekerasan perang.24
Menurut J. Pictet, prinsip pembedaan ini berasal dari asas umum yang
dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan : ”the civilian
population and individual civilians shall enjoy general protection against danger
arising from military operation”. Asas umum ini memerlukan penjabaran lebih jauh
ke dalam sejumlah asas pelaksanaan (principle of application), yakni : 25
a). Pihak-pihak yang bersengketa setiap saat, harus membedakan antara kombatan
dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan objek-objek sipil.
23
Ibid,, hal. 63.
24
ICRC, Op.cit, hal. 73-74. 25
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
b). Penduduk sipil, demikian pula orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan
objek serangan (walaupun) dalam hal reprisal (pembalasan).
c). Tindakan maupun ancaman kekekasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan
terror terhadap penduduk sipil adalah dilarang.
d). Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang
memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau, setidak-tidaknya,
untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tak disengaja menjadi sekecil
mungkin.
e). Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.
Uraian di atas menunjukkan bahwa, sebagaimana tersirat dari pernyataan J.
Pictet itu, meskipun prinsip pembedaan ini lebih ditujukan sebagai upaya untuk
melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak
langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan atau anggota angkatan bersenjata
dari pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik bersenjata. Karena, dengan adanya
prinsip pembedaan itu, akan dapat diketahui siapa yang boleh turut serta dalam
permusuhan dan karenanya tidak boleh dijadikan sasaran kekerasan. Jadi, secara
normative, prinsip ini dapat mengeliminasi kemungkinan terjadinya pelanggaran yang
dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil. Ini berarti memperkecil
kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap Hukum Humaniter, khususnya
ketentuan mengenai kejahatan perang, yang dilakukan oleh kombatan secara sengaja.
26
26
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009 F. Metode Penelitian
1. Sifat/Bentuk Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan
pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini
dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan). Selanjutnya penelitian yang
dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian
hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi
peraturan-peraturan yang berkaitan perlindungan terhadap penduduk sipil yang
menjadi korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak oleh Hukum Humaniter
Internasional. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tertulis lainnya yang
berkaitan dengan persoalan ini.
Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam
meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum internasional khususnya yang
berkaitan penduduk sipil yang menjadi korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak
oleh Huku m Humaniter Internasional.
2. D a t a
Data yang diteliti adalah data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan/sumber primer berupa peraturan perundang-undangan, buku, kertas
kerja.
b. Bahan/sumber skunder berupa bahan acuan lainnya yang berisikan informasi
yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti tulisan-tulisan, surat kabar,
internet dan sebagainya.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka
penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu
mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat
kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan
dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Analisis data yang digunakan dalam
skripsi ini adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun
secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan
masalah yang akan dibahas.
G. Sistematika Penulisan.
Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat
sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling berhubungan
satu dengan yang lain.
Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan
diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab.
Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pembukaan yang berisikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penulisan dan yang terakhir adalah gambaran isi
yang merupakan sistematika penulisan.
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian dan
Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter, Sumber-Sumber Hukum
Humaniter, Sarana dan Metoda Berperang dan Hubungan Hukum
Humaniter dengan Hak Asasi Manusia
BAB III SEKILAS MENGENAI INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK
Bab ini akan menguraikan mengenai Kemelut Panjang di negara Irak,
Resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Irak, Taktik Devide et Impera
Amerika Serikat di Irak dan Reaksi Dunia dan Sejumlah Pakar
terhadap Invasi Amerika Serikat Ke Irak
BAB IV PERLINDUNGAN TERHADAP PENDUDUK SIPIL SEBAGAI KORBAN DALAM INVASI AMERIKA SERIKAT KE IRAK DITINJAU DARI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Bab ini akan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan Perlindungan
Penduduk Sipil dalam Konvensi den Haag 1899 dan 1907,
Perlindungan Penduduk Sipil dalam Konvensi Jenewa 1949, Status
Invasi Amerika Serikat ke Irak Menurut Protokol Tambahan 1977 dan
Penerapan Prinsip Hukum Hak Asasi Manusia terhadap Penduduk
Sipil Yang Menjadi Korban dalam Invasi Amerika Serikat ke Irak.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan penulis
dari pembahasan terhadap pokok permasalahan serta saran-saran penulis
atas bagaimana sebaiknya langkah-langkah yang diambil di dalam
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
BAB II
PRINSIP-PRINSIP UMUM MENGENAI HUKUM HUMANITER SEBAGAI HUKUM KONFLIK BERSENJATA
A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter
Seperti telah dikemukakan di atas, istilah Hukum Humaniter atau
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian
berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada
akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri
dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini
lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on
the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai
bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi
mengenai hukum humaniter.
Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is
constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for
individual and his well being.”27
Geza Herzeg menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “ Part of the rule
of public international law which serve as the protection of individuals in time of
armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but
must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.”28
Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur
ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang
mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan
perang itu sendiri.”29
Esbjorn Rosenbland menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “The law
of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian;
pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai dengan negara netral.
27
GPH Haryomataram, Op.cit.hal. 21. 28
Ibid, hal. 22.
29
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana berperang,
status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.”30
S.R Sianturi menyatakan bahwa hukum humaniter adalah : “Hukum yang
mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih
pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh
salah satu pihak.“31
merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah
dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup
hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan
terhadap harkat dan martabat seseorang.”
Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan
32
Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional.
Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum
internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara
negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara-negara Berdasarkan berbagai rumusan dari para sarjana tentang definisi hukum
humaniter di atas, maka dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional adalah
seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi
akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak
lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang.
Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war)
dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).
30
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter,ICRC, Jakarta, 1999, hal. 10. 31
Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002, hal. 120.
32
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter
tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional,
tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk
mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena
alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan
individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata
diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut
sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”.
Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan
dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui
mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang.
Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata
dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang
hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu : 33
33
GPH Haryomataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988, hal. 12.
1). Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari
penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2). Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke
tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan
dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3). Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Hukum perang atau yang sering disebutdengan hukum Humaniter
internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya
dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan
bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250
tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa
keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan
umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan
pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara
bangsa-bangsa.34
Selanjutnya Mochtar Kusumaatmadja juga mengatakan bahwa tidaklah
mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu
sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisantulisan mengenai hukum
perang. Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam
aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern
dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah
setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan
pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu
keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari
negara-negara. 35
Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di
seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter
internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem
34
Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hal. 20. 35
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
hukum yang benar-benar universal. Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat
dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi
kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui
sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa
Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu
meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata
dan tawanan perang.
Hampir tidak mungkin menemukan bukti okumenter kapan dan dimana
aturan-aturan hukum humaniter itu timbul. Namun, untuk sampai kepada bentuknya
yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang
sangat panjang dan dalam rentang waktu yang sangat panjang tersebut telah banyak
upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut
terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari
kekejaman perang dan perlakuan yang semena-mena dari pihakpihak yang terlibat
dalam. Upaya-upaya dapat dibagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum
humaniter sebagai berikut : 36
Sebelum perang dimulai, maka pihakmusuh akan diberi peringatan dahulu.
Lalu dari luka yang berlebihan, maka ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan
segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15
hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit dari
kedua pihak yang berperang ditarik dari medan pertempuran. Pada masa ini pula,
pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang
1). Zaman Kuno
36
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil
musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan, maka pihakpihak yang berperang
biasanya sepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.
Selain itu, dalam berbagai peradaban bangsa-bangsa selama tahun 3000
sampai dengan 1500 Sebelum Masehi upaya-upaya seperti itu terus dikembangkan.
Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut : 37
(3) Dalam kebudayaan bangsa Hitite, perang dilakukan dengan cara-cara yang sangat
manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas.
Mereka menandatangani pernyataan perang dan traktat. Para penduduk yang
menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para
penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini
merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya
dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa
Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.
(1) Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang
terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan
mengadakan arbitrase, kekebalan utusan musuh dan perjanjian damai.
(2) Kebudayaan Mesir kuno, sebagaimanandisebutkan dalam “seven works of true
mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan,
minuman, pakaian dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat
yang sakit dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan,
”anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”. Seorang tamu,
bahkan musuhpun tak boleh diganggu.
37
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
(4) Di India, sebagaimana tercantum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan
undang-undang Manu, para ksatria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang
menyerah, yang luka harus segera dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati.
Semua senjata dengan sasaran menusuk ke hati atau senjata beracun dan panah api
dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para
tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal
dilarang.
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat ditemukan
beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra sejarah,
periode klasik, maupun periode Islam. Praktek dan kebiasaan perang yang dilakukan,
antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan
menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai sasaran perang, dan juga tentang
pengakiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (prasasti
Talang Tuwo) misalnya, berisikan berota raja yang memuat tentang kutukan (dan
ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah raja akan diserang oleh
bala tentara raja. Begitu pula pada masa kerajaan Gowa diketahui adanya perintah raja
yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik.
2). Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari
agama Kristen, Islam dan prinsip ksatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya
memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” (just war), ajaran Islam
tentang perang antara lain bisa dilihat dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 190, 191,
surat al Anfal ayat 39, surat at Taubah ayat 5, dan surat al Haj ayat 39, yang
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
Adapun prinsip ksatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini misalnya
mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan penggunaan senjata-senjata
tertentu.38
Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Anggotan Angkatan Perang yang Luka dan
Sakit di Medan Pertempuran Darat, mempunyai sejarah yang tertua. Konvensi 1864
ini merupakan hasil yang dirintis oleh Henry Dunant. Pada waktu itu Henry Dunant
menulis buku tentang pengalamanpengalamannya di medan pertempuran antara
Austria dengan tentara gabungan Perancis-Sardinia, yang berjudul “Un Souvenir de
Solferino” (1861). Isi buku ini menggambarkan penderitaan prajurit yang luka dan
sakit di medan pertempuran Solferino. Buku ini sangat menggugah penduduk kota
Jenewa, sehingga warga kota yang tergabung dalam “ Societe d’Utilite Publique”
3). Zaman Modern
Hukum humaniter mencapai tahap perkembangan yang sangat maju ketika
memasuki abad ke-19, yaitu ketika perang yang dilakukan oleh tentara nasional
menggunakan senjata-senjata baru dan lebih merusak dan membiarkan sejumlah
prajurit yang terluka secara mengerikan tergeletak tanpa bantuan di medan tempur.
Bukanlah suatu peristiwa yang kebetulan bahwa perkembangan ini terjadi pada waktu
ketika negara-negara menjadi semakin berkepentingan dalam prinsip umum
penghormatan manusia. Kecenderungan umum ini diberikan momentum yang
menentukan dengan pendirian Palang Merah Internasional dan ditandatanganinya
Konvensi Jenewa 1864 untuk Perbaikan Keadaan yang Luka di Medan Perang,
dimana dalam konvensi ini mengharuskan para pihak yang perjanjian untuk merawat
orang-orang yang terluka, baik dari pihak musuh dengan perlakuan yang sama.
38
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
dibawah pimpinan Gustave Moynier membentuk sebuah panitia yang terdiri dari 5
(lima) orang pada tanggal 17 Februari menjadi sebuah badan yang dinamakan
“Comite international et permanent de secours aux militaries blesses”. Panitia yang
terdiri dari 5 (lima) warga kota Jenewa ini mengambil inisiatif untuk mengadakan
sebuah konferensi internasional tidak resmi untuk membahas kekurangan-kekurangan
perawatan kesehatan tentara di medan pertempuran di darat. Konferensi yang dihadiri
oleh 16 negara berhasil membentuk sebuah badan yang dinamakan Palang Merah
dalam bulan Oktober 1963. Karena merupakan suatu konferensi yang tidak resmi,
konferensi tidak dapat mengambil keputusan-keputusan yang mengikat negara-negara
peserta. Namun demikian konferensi menyarankan dalam suatu annex yang bahwa
anggota dinas kesehatan dan yang luka-luka dalam pertempuran dilindungi dengan
jalan “menetralisir mereka”.
Pada tahun 1864, Dewan Federal Swiss melaksanakan saran-saran ini dengan
mengadakan suatu konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berkuasa
penuh dari negara-negara yang mengikuti konferensi sebelumnya. Konferensi ini
menghasilkan apa yang kemudian dikenal dengan Konvensi Jenewa 1864. Konvensi
ini didalamnya mengandung asas-asas bagi perlakuan korban perang yang hingga kini
masih berlaku. Konvensi 1864, yaitu Konvensi untuk Perbaikan Keadaan yang Luka
di Medan Perang Darat, dipandang sebagai konvensi-konvensi yang mengawali
Konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan perlindungan korban perang.
Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang
di darat. Berdasarkan konvensi ini, maka unitunit dan personil kesehatan bersifat
netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan, tidak boleh dihukum. Konvensi
memperkenalkan tanda Palang Merah di atas dasar putih sebagai tanda pengenal bagi
bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambang dari
International Committee of the Red Cross, yang sebelumnya bernama International
Committee for the Aid the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga
Jenewa dan Henry Dunant pada tahun 1863. 39
Peristiwa penting lainnya adalah rancangan Kode Leiber ( Instructions for
Armies of the United States, 1863), di Amerika Serikat, yang mencantumkan
instrument-instrumen panjang dan serba lengkap dari semua hukum dan kebiasaan
perang, dan juga menggarisbawahi asas-asas kemanusiaan tertentu yang tak begitu
jelas sebelumnya. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan
perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil,
perlakuan terhadap kelompok-kelompok orang tertentu, seperti tawanan perang, orang
yang luka, dan sebagainya.40
B. Sumber-Sumber Hukum Humaniter
Dengan demikian, tidak seperti pada masamasa
sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa kini
perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter
dikembangkan melalui traktat-traktat yang ditandatangani oleh mayoritas
negara-negara setelah tahun 1850.
Untuk mengetahui sumber-sumber hukum Humaniter Internasional, terlebih
dahulu kita harus mengetahui sumber-sumber hukum Internasional yang terdapat di
dalam Pasal 38 ayat (1) Piagama Mahkamah Internasional yang terdiri dari :
39
ICRI, Op.cit, hal. 20.
40
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang
mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang
bersangkutan.
2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah
diterima sebagai hukum.
3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.
4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari
berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaidah hukum.
Dengan demikian, perjanjian internasional diakui secara tegas (expressly
recognized), kebiasaan diterima sebagai hukum (accepted as law) sedangkan prinsip
hukum yang diakui oleh bangsa beradab (civilized nation) dalam arti love peace
nationa.41
Menurut J. Pictet, hukum Humaniter Internasional adalah aturan hukum yang
menghormati individu dengan segala hak dan kewajibannya. Sehingga cabang hukum Dengan demikian, hukum Humaniter Internasional selain terikat oleh
sumber-sumber hukum Internasional, juga terikat oleh hukum formal yang menyangkut
aturan-aturan kemanusiaan pada umumnya. Misalnya, yang termuat dalam Konvensi
Jenewa 1949, diciptakan untuk “respect for human personality and equity”, beserta
aturan-aturan hukum humaniter internasional yang lainnya yang di dalam
operasionalnya terbagi dalam dua aspek, yaitu satu aspek yang terkait dengan hukum
perang, sedangkan di pihak lian terikat dengan hak-hak asasi manusia. Sehingga
sasaran utama hukum Humaniter Internasional adalah sejauh mana manusia tetap
dapat dilindungi dalam situasi perang/krisis dan dalam keadaan tertentu.
41
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
ini sangat mendambakan adanya penghormatan dan bantuan yang wajar terhadap hak
dan kewajiban manusia, khususnya pada saat terjadinya konflik antar negara, karena
itu hukum Humaniter Internasional ini mempunyai sifat internasional pula.42
42
Ibid, hal. 59.
Seperti telah dikemukakan di atas, hukum Humaniter Internasional terdiri dari
Hukum Den Haag yang mengatur mengenai cara dan alat berperang dan Hukum
Jenewa yang mengatur perlindungan terhadap korban perang. Berikut ini akan dilihat
kedua hukum tersebut sebagai sumber hukum Humaniter Internasional.
Konvensi-konvensi Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang
mengatur mengenai cara dan alat berperang. Konvensi-konvensi Den Haag ini
merupakan konvensi-konvensi yang dihasilkan dari Konferensi-konferensi Den Haag
I dan II yang diadakan pada tahun 1899 dan 1907.
a). Konvensi Den Haag 1899
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi
Perdamaian I yang diselenggarakan pada tanggal 18 Mei - 29 Juli 1899. Konferensi
ini terselenggara atas prakarsa Tsar Nicholas II dari Rusia. Untuk melaksanakan
kehendak Tsar Nicholas II itu, maka pada tahun 1898 Menteri Luar Negeri Rusia
Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua Perwakilan Negara-negara yang
terakreditasi di St. Petersburg, berupa ajakan Tsar untuk mempertahankan perdamaian
Dunia dan mengurangi persenjataan. Konvensi yang berlangsung 2 (dua) bulan ini
menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899.
Ketiga Konvensi yang dihasilkan adalah :
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
(2). Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat;
(3). Konvensi III tentang Adaptasi Azasazas Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus
1864 tentang Hukum Perang di Laut.
Sedangkan tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut :
(1). Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya
tidak sempurna menutup bagian dalam, sehingga dapat pecah dan membesar
dalam tubuh manusia).
(2). Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon selama
jangka lima tahun yang terakhir di tahun 1905 juga dilarang.
(3). Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun
juga dilarang.
b). Konvensi Den Haag 1907
Konvensi-konvensi tahun 1907 ini merupakan kelanjutan dari Konferensi
Perdamaian I tahun 1809 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan dari
Konvensi Den Haag II adalah sebagai berikut :
(1). Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
(2). Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut
Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian Perdata;
(3). Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan;
(4). Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan
Peraturan Den Haag;
(5). Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
(6). Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan Perang;
(7). Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;
(8). Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut;
(9). Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang;
(10). Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang Perang di
Laut;
(11). Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;
(12). Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-barang Sitaan;
(13). Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut.
Hal-hal penting yang terdapat dalam Konvensi Den Haag tahun 1907 antara
lain adalah :
(1). Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Peperangan
Perang antara Rusia dan Jepang pada tahun 1904 dimulai dengan suatu
serangan secara tiba-tiba oleh Jepang terhadap kapal perang Rusia. Kejadian inilah
yang menjadi bahan pembicaraan dalam Konferensi Den Haag tahun 1907, yang
hasilnya adalah disepakatinya Konvensi III tahun 1907 yang judul resminya “Hague
Convention No. III
Relative to the Opening of Hostilities”, dimana Pasal 1 Konvensi ini berbunyi : “The
Contracting Powers recognize that hostilities between themselves must not commence
without previous and explecit warning, in the either of a reasoned declaration of war
or of an ultimatum with conditional declaration of war”.
Dengan demikian, suatu perang dapat dimulai dengan :
Hendra Jusanda : Perlindungan Terhadap Penduduk Sipil Sebagai Korban Dalam Invasi Amerika Serikat Ke Irak Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional, 2008.
USU Repository © 2009
(b). Suatu ultimatum yang disertai dengan pernyataan perang yang bersyarat. Apabila
penerima ultimatum tidak memberi jawaban yang tegas/memuaskan pihak yang
mengirim ultimatum dalam waktu yang ditentukan, sehingga pihak pengirim
ultimatum akan berada dalam keadaan perang dengan penerima ultimatum.
(2). Konvensi Den Haag IV 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
Konvensi ini judul lengkapnya adalah “Convention Respecting to the Laws
and Customs of War on Land”. Konvensi ini terdiri dari 9 pasal, yang disertai juga
dengan lampiran yang disebut “Hague Regulations”. Konvensi ini merupakan
penyempurnaan terhadap Konvensi Den Haag II 1899 tentang Kebiasaan Perang di
Darat. Hal penting yang diatur dalam Konvensi Den Haag IV 1907 adalah mengenai
apa yang disebut sebagai “Klausula si Omnes”, yaitu bahwa konvensi hanya berlaku
apabila kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah
satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku. Selain itu, hal
penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah ketentuanketentuan yang terdapat
dalam Lampiran Konvensi Den Haag IV (Hague Regulations), antara lain :
(a). Pasal 1 HR, yang berisi mengenai siapa saja yang termasuk “belligerents”, yaitu
tentara. Pasal ini juga mengatur mengenai syaratsyarat yang harus dipenuhi oleh
kelompok milisi dan korps sukarela, sehingga mereka bisa disebut sebagai
kombatan, yaitu :
(1). Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya;
(2). Memakai tanda/atribut yang dapat dilihat dari jauh;